Aksa kembali bergabung dengan mereka yang ada di ruang tamu. Ia melihat ayahnya juga sudah tidak ada di ruangan itu. Aksa tahu ayahnya pasti kecewa dengan keputusannya, tapi ia juga tidak ingin mengecewakan ibunya yang sudah mengatur semua rencana perjodohan itu.
Vania menatap lekat wajah Aksa yang tampan itu, senyum manis terukir di bibirnya. Aksa yang ditatap seperti itu juga tersenyum manis pada Vania. "Ya ampun, belum sah udah senyum-senyum aja nih!" goda Jovita yang duduk di dekat Vania. Naomi tertawa pelan, "Oke, karena Aksa sudah ada di sini, bagaimana kalau kita tentukan saja hari pernikahan mereka?" usul Naomi yang sudah tidak sabar punya menantu kaya raya. Kirana menganggukkan kepalanya sambil menatap Aksa dan Vania bergantian. Ia kemudian berucap, "Bagaimana kalau satu minggu lagi? Menurutku, lebih cepat lebih baik," saran Kirana. Vania dan Aksa mengangguk setuju, begitu pun dengan Jovita dan Naomi. Mereka berdua tersenyum lebar. Sebentar lagi mereka akan jadi orang kaya, bukan hanya bergantung pada gaji Aksa yang lumayan itu, tapi juga uang dari Vania. "Oh ya, selain syarat yang aku sebutkan tadi, aku juga ada syarat lain untuk keberlangsungan pernikahan mereka," sambung Kirana. Suasana kembali tegang karena penasaran dengan syarat apalagi yang akan disebutkan oleh Kirana. "Apa itu, Jeng?" tanya Naomi penasaran. Mereka semua menanti jawaban dari Kirana. Kirana menatap mereka satu per satu, kemudian matanya berhenti ke arah Aksa. Ia berucap, "Saat pernikahan nanti, jangan pernah sebut nama istri pertamamu itu. Aku tidak ingin nama putriku jelek di luar sana, aku tidak mau dia disebut pelakor." Kirana menjelaskan persyaratan itu pada Aksa, matanya menatap lekat wajah Aksa. Aksa mengangguk paham, "Baiklah, tapi kami masih sah di mata negara dan agama, apa nanti tidak ketahuan?" Pertanyaan Aksa memancing Kirana, ia tidak ingin uangnya melayang sepeser pun untuk mengurus itu semua. "Kalau masalah itu biar aku yang urus, kalian hanya perlu menuruti perintahku saja!" tekan Kirana. "Karena tidak ada lagi yang akan dibahas, aku dan putriku pamit dulu ya, Jeng," pamit Kirana pada Naomi. Mereka semua berdiri dari duduknya dan melangkah keluar. Aksa dan Vania berjalan di belakang orang tua mereka, berusaha mengakrabkan diri masing-masing. "Kak Aksa," panggil Vania. "Hm?" jawab Aksa sambil menatap mata Vania. Seketika darah Vania berdesir hebat mendengar suara berat dari Aksa itu. Suaranya benar-benar seksi. Vania seketika gugup dibuatnya, "A-aku cuma gak sabar aja mau nikah sama Kak Aksa," ujar Vania dengan malu-malu. "Ta-tapi... kalau misalnya udah nikah nanti, Kak Aksa lebih sayang istri pertama Kak Aksa atau aku?" tanya Vania sambil menatap lekat mata Aksa. Aksa mengelus rambut Vania dengan lembut, "Tentu saja lebih sayang sama kamu. Kamu lebih cantik dari dia, kamu kan lihat sendiri dia sangat jelek dan tidak pandai mengurus dirinya itu, ahh... mataku sangat sakit melihatnya," dengus Aksa menjelek-jelekkan Elena. Seketika senyum smirk muncul di bibir Vania. "Ya sudah, kalau gitu aku pulang dulu ya, Kak Aksa," pamit Vania sambil melambaikan sedikit tangannya pada Aksa. Kemudian ia berjalan menuju mobilnya di mana ibunya sudah menunggunya. Mereka masih berada di teras menatap kepergian mobil itu. Setelah mobil itu menghilang di tikungan jalan, Naomi berbicara menasihati Aksa. "Kamu harus memperlakukan Vania dengan baik setelah menikah nanti. Selain ladang uang, dia juga bisa memberikanmu keturunan," ungkap Naomi. Aksa menganggukkan kepalanya pelan. Melihat itu, Naomi dan Jovita melangkah masuk ke dalam rumah meninggalkan Aksa seorang diri yang masih terpaku di tempatnya. Aksa menatap lurus ke depan dengan pikiran yang melayang pada Elena, istri pertamanya. Sebenarnya, dari lubuk hatinya yang paling dalam, dia masih mencintai istrinya itu, terlepas dari perlakuan buruknya pada Elena, tapi ia juga tidak mau melawan kemauan ibunya. Naomi sangat ingin memiliki cucu dan suka berfoya-foya. Aksa tersentak kaget ketika pundaknya ditepuk dari samping. Aksa menoleh dan melihat ayahnya yang berdiri di sampingnya dengan raut kecewa. Aksa menundukkan kepalanya, tidak berani menatap raut wajah ayahnya itu. "Harusnya kamu tidak menerima perjodohan itu, Aksa. Kamu lelaki pengecut yang pernah ayah temui. Padahal kelakuan ayah tidak brengsek seperti kamu. Entah siapa yang kamu tiru sampai kamu menjadi lelaki bajingan seperti ini. Dulu ayah mengajarimu untuk menghargai perempuan, tapi ternyata itu tidak masuk di pikiranmu itu, ayah tidak tahu lagi mau bilang apa." Evan menggelengkan kepalanya, matanya berkaca-kaca dan tidak bisa membayangkan bagaimana hancurnya Elena ketika melihat dengan mata kepalanya sendiri suaminya bersanding dengan perempuan lain. Aksa menghela napas pelan, "Maaf, Ayah, aku hanya ingin menuruti ucapan ibu dan tidak ingin mempermalukannya," jawab Aksa. Evan menggelengkan kepalanya pelan sambil tersenyum miris melihat kelakuan putranya yang brengsek itu. "Jangan mengkambinghitamkan ibumu, Aksa. Walaupun ibumu berkata seperti itu, jika memang kamu bukan pengecut, kamu bisa membicarakan baik-baik dan menolak perjodohan itu. Tapi ayah lihat kamu juga menginginkan pernikahan itu," Evan menghela napas kasar. Ia kemudian berbalik ingin masuk ke dalam rumah, tapi menghentikan langkahnya sejenak kemudian berucap, "Harusnya maafmu itu buat Elena, perempuan yang kamu sakiti hatinya, bukan buat ayah." Evan kemudian melanjutkan langkahnya. Hati kecil Aksa tersentil mendengar ucapan ayahnya. Ada setitik penyesalan yang hadir di dalam hatinya ketika mendengar nasihat dari Evan. Ia kemudian menghela napas pelan, lalu masuk ke dalam rumah dan melanjutkan langkah kakinya ke kamar. Aksa perlahan membuka kamar itu. Cahaya yang temaram karena Elena sudah mematikan lampu utama dan yang tersisa hanya lampu hias saja. Aksa melihat Elena yang sudah tertidur membelakangi dirinya. Ia menatap punggung ringkih milik Elena dengan tatapan yang dalam. Aksa kemudian naik ke atas ranjang dengan perlahan dan berbaring telentang, matanya menatap langit-langit kamar itu dan tak lama ia tidur menyamping mendekati Elena. Aksa perlahan memeluk Elena dari belakang. Elena yang ternyata belum tidur itu meneteskan air matanya saat melihat tangan kekar Aksa melingkar di pinggangnya. Setelah sekian lama, akhirnya Aksa memeluknya lagi saat tidur. Sudut bibir Elena terangkat ke atas, tapi tiba-tiba ia mengingat tentang perjodohan itu membuat tangan Elena terkepal erat. "Jangan sentuh aku!" hardik Elena sambil menghempaskan tangan Aksa dari pinggangnya. Hal itu membuat Aksa tersentak kaget. Entah mengapa dadanya terasa sesak melihat penolakan Elena. Rahang Aksa tiba-tiba mengeras melihat Elena yang mulai membangkang. Aksa menarik tubuh Elena dengan sekali sentakan, membuat Elena terkejut. "Berani-beraninya kamu memperlakukan aku seperti itu!" desis Aksa dengan mata memerah menatap lekat manik mata Elena. "Kenapa? Bukannya kamu memang tidak suka menyentuhku selama beberapa bulan lalu. Kenapa baru sekarang mau menyentuhku? Nyesal dengan perjodohan itu, hm?" tantang Elena membalas tatapan tajam Aksa. Aksa menyunggingkan senyum miringnya, "Cih! Ngapain aku nyesal. Lagipula Vania lebih cantik dibandingkan kamu! Dasar mandul!" cibir Aksa. Ia kemudian membalikkan tubuhnya membelakangi Elena. Lagi dan lagi, kata-kata yang paling dibenci Elena itu terucap dari bibir Aksa. Setetes air mata Elena terjatuh namun dengan kasar ia mengusapnya. Mulai saat ini, dia tidak ingin terlihat lemah lagi.Satu minggu kemudianAksa menatap Vania dengan mata berbinar, tangan gemetar memegang mikrofon. Napasnya terasa berat seiring dengan detak jantung yang kencang.Dengan suara yang berusaha dikendalikan namun tetap lantang, ia melafalkan, "Saya terima nikah dan kawinnya Vania Clarista binti Arya Adipati dengan seperangkat alat sholat dibayar tunai!" Ruangan itu seakan menahan napas, menyaksikan janji suci yang terucap."Bagaimana, para saksi? Sah!""SAAHH!!!""Alhamdulillah......."Tatapan kosong Elena Grace yang berada di antara para tamu undangan menyaksikan suaminya yang selama ini ia cintai bersanding dengan perempuan lain. Tak ada air mata yang terjatuh dari pelupuk matanya, hanya ada tatapan pasrah menatap punggung Aksa yang telah selesai mengucapkan ijab qabul dengan lantang.Di sisi lain, Naomi dan Jovita tersenyum lebar. Sebentar lagi mereka akan menjadi orang kaya, dan pasti orang lain akan segan pada keluarga mereka. Kirana dikenal sebagai janda anak satu dengan kekayaan meli
Keesokan paginya, Aksa dan Vania membereskan barang-barangnya untuk pindah ke apartemen yang telah diberikan oleh Kirana. Begitu pula dengan Elena, ia dengan santai dan raut malas menyiapkan barang-barangnya. Saat ini Elena sudah tidak tidur bersama dengan Aksa melainkan ia pindah kamar, tentu saja atas perintah Naomi.Tok... Tok... Tok...Suara pintu kamarnya diketuk dari luar. Elena dengan langkah malas berjalan untuk membuka pintu itu. Ia menghembuskan napas kasar di balik pintu kemudian membukanya. Ia mendatarkan wajahnya saat melihat Aksa yang berdiri di depan pintu kamarnya, tentu saja bersama dengan Vania yang bergelayut manja di lengan Aksa.“Udah selesai? Lama banget sih!” ketus Aksa dengan nada datar, sementara Vania tersenyum tipis menatap Elena.Elena menangkap pandangan tanda cinta yang menghiasi leher Vania, seakan-akan gadis itu sengaja mengenakan tank top untuk memancing emosinya. Tak hanya itu, tanda merah di leher Aksa juga tampak begitu mencolok. Dada Elena terasa s
Elena kembali pulang ke apartemen tempatnya tinggal. Saat ia membuka pintu, ternyata Aksa dan Vania sedang bercumbu mesra di atas sofa depan TV. Elena terdiam sejenak, kemudian melanjutkan langkahnya ke dalam kamar dengan raut datar. “Elena! Dari mana saja kamu?” tanya Aksa, menghentikan langkah Elena. Elena berhenti, mengambil napas dalam-dalam sebelum berbalik menghadap Aksa dan Vania. “Aku hanya keluar sebentar, mencari udara segar,” jawabnya dengan nada tenang. Namun, di dalam hatinya, perasaannya bergemuruh. Ternyata, tidak semudah itu menghilangkan rasa cinta sepenuhnya pada Aksa, dan ia baru menyadarinya. "Kenapa kamu keluar, tidak pamit sama aku, hah?!" desis Aksa dengan nada tajam, membuat Elena mengernyitkan dahinya. "Pamit?" Elena menatap Aksa dengan tajam, mencoba menahan amarah yang mendidih di dalam dirinya. "Pamit untuk apa? Toh, kamu lagi sibuk bercumbu dengan istri barumu itu, gak usah terlalu membatasi ku mulai saat ini!" jawabnya dengan nada yang tegas dan d
Aksa terdiam, wajahnya memerah karena amarah yang membuncah, tapi ada kilatan keraguan di matanya. Sebelum ia bisa merespons, Vania muncul di ambang pintu dapur, wajahnya cemas. “Sayang, sudahlah. Kita bisa bicarakan masalah ini baik-baik,” katanya dengan suara yang dilembut-lembutkan, membuat Elena jijik melihatnya. Elena dengan napas masih memburu, memandang Vania dengan tatapan dingin. "Kau bilang bicara baik-baik? Lucu, karena seingatku, kau tak pernah memberi kesempatan untuk berbicara sebelum merebut suamiku," kata Elena dengan tajam, lalu berbalik untuk melanjutkan memasak, seolah ingin menutup pembicaraan.Namun, Aksa tidak bisa menahan amarahnya lagi. Dengan gerakan cepat, dia meraih lengan Elena dan menariknya keras hingga tubuh Elena berputar menghadapnya. “Jangan berpura-pura jadi korban, Elena! Kamu tahu apa yang terjadi! Kamu yang tak bisa memberikan aku anak! Kau pikir aku bisa terus bersabar?!" Aksa membentak, napasnya berat karena emosi yang tak terkendali.Elena men
Aksa tetap terpaku, matanya menyiratkan keterkejutan yang sulit disembunyikan. Elena yang biasanya tunduk dan patuh kini berdiri di depannya dengan gunting di tangan, mata bersinar penuh dengan tekad dan kemarahan. Seolah-olah seluruh dunia mereka terhenti, hanya menyisakan ketegangan yang menggantung di udara.Vania, yang semula tampak menikmati situasi ini, kini mulai merasa ada sesuatu yang berubah. Dia melangkah mundur perlahan, mulai memahami bahwa situasinya sudah tidak bisa dikendalikan lagi. Aksa yang biasanya mendominasi kini justru kehilangan kontrol, dan itu membuatnya merasa terancam.“Elena, jangan lakukan sesuatu yang bodoh,” Aksa berkata dengan suara serak, mencoba mengambil kembali kendali. Namun, suaranya tidak lagi sekuat sebelumnya. Ada keraguan di sana, dan Elena bisa merasakannya.“Kau yang bodoh, Aksa. Kau pikir aku akan terus membiarkan diriku diperlakukan seperti ini?” Elena membalas, menggertakkan giginya. Tangan yang memegang gunting bergetar, tapi bukan kare
Elena Grace baru saja turun dari taksi, rambut cokelat blonde-nya berkilau di bawah sinar matahari sore. Senyum manisnya, yang selalu tampak di bibir merah delima miliknya itu, memancarkan kebahagiaan yang baru saja dirasakannya. Ia baru saja menerima kabar baik dari dokter kandungan, sesuatu yang sudah lama ia nantikan. Elena sangat bahagia, karena dokter kandungan itu mengatakan kalau dirinya tidak mandul. “Terima kasih, Pak. Kembaliannya untuk Bapak saja,” kata Elena kepada sopir taksi, dengan nada ramah dan penuh syukur. “Wah, terima kasih, Mbak,” jawab sopir itu ramah, sedikit terkejut dengan kemurahan hati Elena. Elena melangkah masuk ke rumah minimalisnya yang terkesan mewah. Dinding putih bersih dan dekorasi modern memberikan kesan elegan, meskipun ruangannya tidak terlalu besar. Dari dalam, terdengar suara tawa suaminya yang sedang berbincang dengan seseorang. Suara itu mengingatkannya pada realita yang harus dihadapinya setiap hari. “Sepertinya ibu dengan Vita datang
Malam itu, rumah minimalis Elena dipenuhi dengan kesibukan persiapan menyambut tamu istimewa. Namun, yang paling sibuk tentu saja Elena. Ia mulai memasak, menata makanan di meja makan, mengepel, dan membersihkan seluruh rumah. Sementara yang lain hanya sibuk bersolek. Selama mengerjakan semua pekerjaan itu, pikiran Elena terus tertuju pada tamu istimewa yang mereka sebutkan. Siapa sebenarnya tamu istimewa itu? Mengapa perasaannya begitu tidak enak? Tak lama kemudian, ia melihat ayah mertuanya melintas di dekatnya. "Ayah!" panggil Elena. Evan langsung menoleh menatap Elena. Senyum tipis terukir di bibirnya ketika melihat menantunya itu. Entah apa yang ada di pikiran Aksa sampai harus mengabaikan istrinya yang baik hati ini. Ia sebenarnya muak dengan sikap Aksa yang seperti itu, tapi ia sadar bahwa semuanya adalah hasutan dari istrinya. Sudah sering ia menasihati Naomi untuk tidak ikut campur dalam rumah tangga anaknya, tetapi Naomi sangat keras kepala. "Iya, Nak, ada apa?" tanya Ev
“Dia siapa, Jeng?” tanya Kirana sambil menunjuk Elena yang lusuh itu dengan dagunya, bahkan matanya menatap jijik ke arah Elena.Naomi melototkan matanya menatap Elena, sementara mata Evan seolah ingin menerkam istrinya. Tega sekali Naomi menjodohkan Aksa sementara dia sudah memiliki istri.“Dia...” Baru saja Evan akan membuka mulut untuk memberitahukan status Elena, tiba-tiba saja Aksa menyerobot ucapan ayahnya.“Dia pembantu di rumah ini,” sahut Aksa sambil menatap tajam pada Elena. Aksa mengkode Elena untuk masuk ke dapur saja, namun Elena masih tetap berdiri di tempatnya dengan air mata yang mengalir deras.“M-Mas...” ucap Elena lirih, hatinya semakin sakit saat mendengar suaminya sendiri mengatakan bahwa dia adalah seorang pembantu. Melihat Elena yang akan membuka suara lagi, tiba-tiba Naomi langsung memotong ucapannya.“Oh ya Mbok, cepat beresin semua pecahan gelas ini dan bawa yang baru,” perintah Naomi berusaha bersikap lembut, namun tatapan matanya seolah ingin menerkam Elena
Aksa tetap terpaku, matanya menyiratkan keterkejutan yang sulit disembunyikan. Elena yang biasanya tunduk dan patuh kini berdiri di depannya dengan gunting di tangan, mata bersinar penuh dengan tekad dan kemarahan. Seolah-olah seluruh dunia mereka terhenti, hanya menyisakan ketegangan yang menggantung di udara.Vania, yang semula tampak menikmati situasi ini, kini mulai merasa ada sesuatu yang berubah. Dia melangkah mundur perlahan, mulai memahami bahwa situasinya sudah tidak bisa dikendalikan lagi. Aksa yang biasanya mendominasi kini justru kehilangan kontrol, dan itu membuatnya merasa terancam.“Elena, jangan lakukan sesuatu yang bodoh,” Aksa berkata dengan suara serak, mencoba mengambil kembali kendali. Namun, suaranya tidak lagi sekuat sebelumnya. Ada keraguan di sana, dan Elena bisa merasakannya.“Kau yang bodoh, Aksa. Kau pikir aku akan terus membiarkan diriku diperlakukan seperti ini?” Elena membalas, menggertakkan giginya. Tangan yang memegang gunting bergetar, tapi bukan kare
Aksa terdiam, wajahnya memerah karena amarah yang membuncah, tapi ada kilatan keraguan di matanya. Sebelum ia bisa merespons, Vania muncul di ambang pintu dapur, wajahnya cemas. “Sayang, sudahlah. Kita bisa bicarakan masalah ini baik-baik,” katanya dengan suara yang dilembut-lembutkan, membuat Elena jijik melihatnya. Elena dengan napas masih memburu, memandang Vania dengan tatapan dingin. "Kau bilang bicara baik-baik? Lucu, karena seingatku, kau tak pernah memberi kesempatan untuk berbicara sebelum merebut suamiku," kata Elena dengan tajam, lalu berbalik untuk melanjutkan memasak, seolah ingin menutup pembicaraan.Namun, Aksa tidak bisa menahan amarahnya lagi. Dengan gerakan cepat, dia meraih lengan Elena dan menariknya keras hingga tubuh Elena berputar menghadapnya. “Jangan berpura-pura jadi korban, Elena! Kamu tahu apa yang terjadi! Kamu yang tak bisa memberikan aku anak! Kau pikir aku bisa terus bersabar?!" Aksa membentak, napasnya berat karena emosi yang tak terkendali.Elena men
Elena kembali pulang ke apartemen tempatnya tinggal. Saat ia membuka pintu, ternyata Aksa dan Vania sedang bercumbu mesra di atas sofa depan TV. Elena terdiam sejenak, kemudian melanjutkan langkahnya ke dalam kamar dengan raut datar. “Elena! Dari mana saja kamu?” tanya Aksa, menghentikan langkah Elena. Elena berhenti, mengambil napas dalam-dalam sebelum berbalik menghadap Aksa dan Vania. “Aku hanya keluar sebentar, mencari udara segar,” jawabnya dengan nada tenang. Namun, di dalam hatinya, perasaannya bergemuruh. Ternyata, tidak semudah itu menghilangkan rasa cinta sepenuhnya pada Aksa, dan ia baru menyadarinya. "Kenapa kamu keluar, tidak pamit sama aku, hah?!" desis Aksa dengan nada tajam, membuat Elena mengernyitkan dahinya. "Pamit?" Elena menatap Aksa dengan tajam, mencoba menahan amarah yang mendidih di dalam dirinya. "Pamit untuk apa? Toh, kamu lagi sibuk bercumbu dengan istri barumu itu, gak usah terlalu membatasi ku mulai saat ini!" jawabnya dengan nada yang tegas dan d
Keesokan paginya, Aksa dan Vania membereskan barang-barangnya untuk pindah ke apartemen yang telah diberikan oleh Kirana. Begitu pula dengan Elena, ia dengan santai dan raut malas menyiapkan barang-barangnya. Saat ini Elena sudah tidak tidur bersama dengan Aksa melainkan ia pindah kamar, tentu saja atas perintah Naomi.Tok... Tok... Tok...Suara pintu kamarnya diketuk dari luar. Elena dengan langkah malas berjalan untuk membuka pintu itu. Ia menghembuskan napas kasar di balik pintu kemudian membukanya. Ia mendatarkan wajahnya saat melihat Aksa yang berdiri di depan pintu kamarnya, tentu saja bersama dengan Vania yang bergelayut manja di lengan Aksa.“Udah selesai? Lama banget sih!” ketus Aksa dengan nada datar, sementara Vania tersenyum tipis menatap Elena.Elena menangkap pandangan tanda cinta yang menghiasi leher Vania, seakan-akan gadis itu sengaja mengenakan tank top untuk memancing emosinya. Tak hanya itu, tanda merah di leher Aksa juga tampak begitu mencolok. Dada Elena terasa s
Satu minggu kemudianAksa menatap Vania dengan mata berbinar, tangan gemetar memegang mikrofon. Napasnya terasa berat seiring dengan detak jantung yang kencang.Dengan suara yang berusaha dikendalikan namun tetap lantang, ia melafalkan, "Saya terima nikah dan kawinnya Vania Clarista binti Arya Adipati dengan seperangkat alat sholat dibayar tunai!" Ruangan itu seakan menahan napas, menyaksikan janji suci yang terucap."Bagaimana, para saksi? Sah!""SAAHH!!!""Alhamdulillah......."Tatapan kosong Elena Grace yang berada di antara para tamu undangan menyaksikan suaminya yang selama ini ia cintai bersanding dengan perempuan lain. Tak ada air mata yang terjatuh dari pelupuk matanya, hanya ada tatapan pasrah menatap punggung Aksa yang telah selesai mengucapkan ijab qabul dengan lantang.Di sisi lain, Naomi dan Jovita tersenyum lebar. Sebentar lagi mereka akan menjadi orang kaya, dan pasti orang lain akan segan pada keluarga mereka. Kirana dikenal sebagai janda anak satu dengan kekayaan meli
Aksa kembali bergabung dengan mereka yang ada di ruang tamu. Ia melihat ayahnya juga sudah tidak ada di ruangan itu. Aksa tahu ayahnya pasti kecewa dengan keputusannya, tapi ia juga tidak ingin mengecewakan ibunya yang sudah mengatur semua rencana perjodohan itu.Vania menatap lekat wajah Aksa yang tampan itu, senyum manis terukir di bibirnya. Aksa yang ditatap seperti itu juga tersenyum manis pada Vania."Ya ampun, belum sah udah senyum-senyum aja nih!" goda Jovita yang duduk di dekat Vania.Naomi tertawa pelan, "Oke, karena Aksa sudah ada di sini, bagaimana kalau kita tentukan saja hari pernikahan mereka?" usul Naomi yang sudah tidak sabar punya menantu kaya raya.Kirana menganggukkan kepalanya sambil menatap Aksa dan Vania bergantian. Ia kemudian berucap, "Bagaimana kalau satu minggu lagi? Menurutku, lebih cepat lebih baik," saran Kirana.Vania dan Aksa mengangguk setuju, begitu pun dengan Jovita dan Naomi. Mereka berdua tersenyum lebar. Sebentar lagi mereka akan jadi orang kaya, b
“Dia siapa, Jeng?” tanya Kirana sambil menunjuk Elena yang lusuh itu dengan dagunya, bahkan matanya menatap jijik ke arah Elena.Naomi melototkan matanya menatap Elena, sementara mata Evan seolah ingin menerkam istrinya. Tega sekali Naomi menjodohkan Aksa sementara dia sudah memiliki istri.“Dia...” Baru saja Evan akan membuka mulut untuk memberitahukan status Elena, tiba-tiba saja Aksa menyerobot ucapan ayahnya.“Dia pembantu di rumah ini,” sahut Aksa sambil menatap tajam pada Elena. Aksa mengkode Elena untuk masuk ke dapur saja, namun Elena masih tetap berdiri di tempatnya dengan air mata yang mengalir deras.“M-Mas...” ucap Elena lirih, hatinya semakin sakit saat mendengar suaminya sendiri mengatakan bahwa dia adalah seorang pembantu. Melihat Elena yang akan membuka suara lagi, tiba-tiba Naomi langsung memotong ucapannya.“Oh ya Mbok, cepat beresin semua pecahan gelas ini dan bawa yang baru,” perintah Naomi berusaha bersikap lembut, namun tatapan matanya seolah ingin menerkam Elena
Malam itu, rumah minimalis Elena dipenuhi dengan kesibukan persiapan menyambut tamu istimewa. Namun, yang paling sibuk tentu saja Elena. Ia mulai memasak, menata makanan di meja makan, mengepel, dan membersihkan seluruh rumah. Sementara yang lain hanya sibuk bersolek. Selama mengerjakan semua pekerjaan itu, pikiran Elena terus tertuju pada tamu istimewa yang mereka sebutkan. Siapa sebenarnya tamu istimewa itu? Mengapa perasaannya begitu tidak enak? Tak lama kemudian, ia melihat ayah mertuanya melintas di dekatnya. "Ayah!" panggil Elena. Evan langsung menoleh menatap Elena. Senyum tipis terukir di bibirnya ketika melihat menantunya itu. Entah apa yang ada di pikiran Aksa sampai harus mengabaikan istrinya yang baik hati ini. Ia sebenarnya muak dengan sikap Aksa yang seperti itu, tapi ia sadar bahwa semuanya adalah hasutan dari istrinya. Sudah sering ia menasihati Naomi untuk tidak ikut campur dalam rumah tangga anaknya, tetapi Naomi sangat keras kepala. "Iya, Nak, ada apa?" tanya Ev
Elena Grace baru saja turun dari taksi, rambut cokelat blonde-nya berkilau di bawah sinar matahari sore. Senyum manisnya, yang selalu tampak di bibir merah delima miliknya itu, memancarkan kebahagiaan yang baru saja dirasakannya. Ia baru saja menerima kabar baik dari dokter kandungan, sesuatu yang sudah lama ia nantikan. Elena sangat bahagia, karena dokter kandungan itu mengatakan kalau dirinya tidak mandul. “Terima kasih, Pak. Kembaliannya untuk Bapak saja,” kata Elena kepada sopir taksi, dengan nada ramah dan penuh syukur. “Wah, terima kasih, Mbak,” jawab sopir itu ramah, sedikit terkejut dengan kemurahan hati Elena. Elena melangkah masuk ke rumah minimalisnya yang terkesan mewah. Dinding putih bersih dan dekorasi modern memberikan kesan elegan, meskipun ruangannya tidak terlalu besar. Dari dalam, terdengar suara tawa suaminya yang sedang berbincang dengan seseorang. Suara itu mengingatkannya pada realita yang harus dihadapinya setiap hari. “Sepertinya ibu dengan Vita datang