Share

Bab 4

Aksa kembali bergabung dengan mereka yang ada di ruang tamu. Ia melihat ayahnya juga sudah tidak ada di ruangan itu. Aksa tahu ayahnya pasti kecewa dengan keputusannya, tapi ia juga tidak ingin mengecewakan ibunya yang sudah mengatur semua rencana perjodohan itu.

Vania menatap lekat wajah Aksa yang tampan itu, senyum manis terukir di bibirnya. Aksa yang ditatap seperti itu juga tersenyum manis pada Vania.

"Ya ampun, belum sah udah senyum-senyum aja nih!" goda Jovita yang duduk di dekat Vania.

Naomi tertawa pelan, "Oke, karena Aksa sudah ada di sini, bagaimana kalau kita tentukan saja hari pernikahan mereka?" usul Naomi yang sudah tidak sabar punya menantu kaya raya.

Kirana menganggukkan kepalanya sambil menatap Aksa dan Vania bergantian. Ia kemudian berucap, "Bagaimana kalau satu minggu lagi? Menurutku, lebih cepat lebih baik," saran Kirana.

Vania dan Aksa mengangguk setuju, begitu pun dengan Jovita dan Naomi. Mereka berdua tersenyum lebar. Sebentar lagi mereka akan jadi orang kaya, bukan hanya bergantung pada gaji Aksa yang lumayan itu, tapi juga uang dari Vania.

"Oh ya, selain syarat yang aku sebutkan tadi, aku juga ada syarat lain untuk keberlangsungan pernikahan mereka," sambung Kirana. Suasana kembali tegang karena penasaran dengan syarat apalagi yang akan disebutkan oleh Kirana.

"Apa itu, Jeng?" tanya Naomi penasaran. Mereka semua menanti jawaban dari Kirana.

Kirana menatap mereka satu per satu, kemudian matanya berhenti ke arah Aksa. Ia berucap, "Saat pernikahan nanti, jangan pernah sebut nama istri pertamamu itu. Aku tidak ingin nama putriku jelek di luar sana, aku tidak mau dia disebut pelakor." Kirana menjelaskan persyaratan itu pada Aksa, matanya menatap lekat wajah Aksa.

Aksa mengangguk paham, "Baiklah, tapi kami masih sah di mata negara dan agama, apa nanti tidak ketahuan?" Pertanyaan Aksa memancing Kirana, ia tidak ingin uangnya melayang sepeser pun untuk mengurus itu semua.

"Kalau masalah itu biar aku yang urus, kalian hanya perlu menuruti perintahku saja!" tekan Kirana. "Karena tidak ada lagi yang akan dibahas, aku dan putriku pamit dulu ya, Jeng," pamit Kirana pada Naomi.

Mereka semua berdiri dari duduknya dan melangkah keluar. Aksa dan Vania berjalan di belakang orang tua mereka, berusaha mengakrabkan diri masing-masing.

"Kak Aksa," panggil Vania.

"Hm?" jawab Aksa sambil menatap mata Vania. Seketika darah Vania berdesir hebat mendengar suara berat dari Aksa itu. Suaranya benar-benar seksi.

Vania seketika gugup dibuatnya, "A-aku cuma gak sabar aja mau nikah sama Kak Aksa," ujar Vania dengan malu-malu. "Ta-tapi... kalau misalnya udah nikah nanti, Kak Aksa lebih sayang istri pertama Kak Aksa atau aku?" tanya Vania sambil menatap lekat mata Aksa.

Aksa mengelus rambut Vania dengan lembut, "Tentu saja lebih sayang sama kamu. Kamu lebih cantik dari dia, kamu kan lihat sendiri dia sangat jelek dan tidak pandai mengurus dirinya itu, ahh... mataku sangat sakit melihatnya," dengus Aksa menjelek-jelekkan Elena. Seketika senyum smirk muncul di bibir Vania.

"Ya sudah, kalau gitu aku pulang dulu ya, Kak Aksa," pamit Vania sambil melambaikan sedikit tangannya pada Aksa. Kemudian ia berjalan menuju mobilnya di mana ibunya sudah menunggunya.

Mereka masih berada di teras menatap kepergian mobil itu. Setelah mobil itu menghilang di tikungan jalan, Naomi berbicara menasihati Aksa.

"Kamu harus memperlakukan Vania dengan baik setelah menikah nanti. Selain ladang uang, dia juga bisa memberikanmu keturunan," ungkap Naomi. Aksa menganggukkan kepalanya pelan.

Melihat itu, Naomi dan Jovita melangkah masuk ke dalam rumah meninggalkan Aksa seorang diri yang masih terpaku di tempatnya. Aksa menatap lurus ke depan dengan pikiran yang melayang pada Elena, istri pertamanya. Sebenarnya, dari lubuk hatinya yang paling dalam, dia masih mencintai istrinya itu, terlepas dari perlakuan buruknya pada Elena, tapi ia juga tidak mau melawan kemauan ibunya. Naomi sangat ingin memiliki cucu dan suka berfoya-foya.

Aksa tersentak kaget ketika pundaknya ditepuk dari samping. Aksa menoleh dan melihat ayahnya yang berdiri di sampingnya dengan raut kecewa. Aksa menundukkan kepalanya, tidak berani menatap raut wajah ayahnya itu.

"Harusnya kamu tidak menerima perjodohan itu, Aksa. Kamu lelaki pengecut yang pernah ayah temui. Padahal kelakuan ayah tidak brengsek seperti kamu. Entah siapa yang kamu tiru sampai kamu menjadi lelaki bajingan seperti ini. Dulu ayah mengajarimu untuk menghargai perempuan, tapi ternyata itu tidak masuk di pikiranmu itu, ayah tidak tahu lagi mau bilang apa." Evan menggelengkan kepalanya, matanya berkaca-kaca dan tidak bisa membayangkan bagaimana hancurnya Elena ketika melihat dengan mata kepalanya sendiri suaminya bersanding dengan perempuan lain.

Aksa menghela napas pelan, "Maaf, Ayah, aku hanya ingin menuruti ucapan ibu dan tidak ingin mempermalukannya," jawab Aksa. Evan menggelengkan kepalanya pelan sambil tersenyum miris melihat kelakuan putranya yang brengsek itu.

"Jangan mengkambinghitamkan ibumu, Aksa. Walaupun ibumu berkata seperti itu, jika memang kamu bukan pengecut, kamu bisa membicarakan baik-baik dan menolak perjodohan itu. Tapi ayah lihat kamu juga menginginkan pernikahan itu," Evan menghela napas kasar. Ia kemudian berbalik ingin masuk ke dalam rumah, tapi menghentikan langkahnya sejenak kemudian berucap, "Harusnya maafmu itu buat Elena, perempuan yang kamu sakiti hatinya, bukan buat ayah." Evan kemudian melanjutkan langkahnya.

Hati kecil Aksa tersentil mendengar ucapan ayahnya. Ada setitik penyesalan yang hadir di dalam hatinya ketika mendengar nasihat dari Evan. Ia kemudian menghela napas pelan, lalu masuk ke dalam rumah dan melanjutkan langkah kakinya ke kamar.

Aksa perlahan membuka kamar itu. Cahaya yang temaram karena Elena sudah mematikan lampu utama dan yang tersisa hanya lampu hias saja. Aksa melihat Elena yang sudah tertidur membelakangi dirinya. Ia menatap punggung ringkih milik Elena dengan tatapan yang dalam.

Aksa kemudian naik ke atas ranjang dengan perlahan dan berbaring telentang, matanya menatap langit-langit kamar itu dan tak lama ia tidur menyamping mendekati Elena. Aksa perlahan memeluk Elena dari belakang.

Elena yang ternyata belum tidur itu meneteskan air matanya saat melihat tangan kekar Aksa melingkar di pinggangnya. Setelah sekian lama, akhirnya Aksa memeluknya lagi saat tidur. Sudut bibir Elena terangkat ke atas, tapi tiba-tiba ia mengingat tentang perjodohan itu membuat tangan Elena terkepal erat.

"Jangan sentuh aku!" hardik Elena sambil menghempaskan tangan Aksa dari pinggangnya. Hal itu membuat Aksa tersentak kaget.

Entah mengapa dadanya terasa sesak melihat penolakan Elena. Rahang Aksa tiba-tiba mengeras melihat Elena yang mulai membangkang. Aksa menarik tubuh Elena dengan sekali sentakan, membuat Elena terkejut.

"Berani-beraninya kamu memperlakukan aku seperti itu!" desis Aksa dengan mata memerah menatap lekat manik mata Elena.

"Kenapa? Bukannya kamu memang tidak suka menyentuhku selama beberapa bulan lalu. Kenapa baru sekarang mau menyentuhku? Nyesal dengan perjodohan itu, hm?" tantang Elena membalas tatapan tajam Aksa.

Aksa menyunggingkan senyum miringnya, "Cih! Ngapain aku nyesal. Lagipula Vania lebih cantik dibandingkan kamu! Dasar mandul!" cibir Aksa. Ia kemudian membalikkan tubuhnya membelakangi Elena.

Lagi dan lagi, kata-kata yang paling dibenci Elena itu terucap dari bibir Aksa. Setetes air mata Elena terjatuh namun dengan kasar ia mengusapnya. Mulai saat ini, dia tidak ingin terlihat lemah lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status