Share

Bab 2

Malam itu, rumah minimalis Elena dipenuhi dengan kesibukan persiapan menyambut tamu istimewa. Namun, yang paling sibuk tentu saja Elena. Ia mulai memasak, menata makanan di meja makan, mengepel, dan membersihkan seluruh rumah. Sementara yang lain hanya sibuk bersolek.

Selama mengerjakan semua pekerjaan itu, pikiran Elena terus tertuju pada tamu istimewa yang mereka sebutkan. Siapa sebenarnya tamu istimewa itu? Mengapa perasaannya begitu tidak enak? Tak lama kemudian, ia melihat ayah mertuanya melintas di dekatnya.

"Ayah!" panggil Elena.

Evan langsung menoleh menatap Elena. Senyum tipis terukir di bibirnya ketika melihat menantunya itu. Entah apa yang ada di pikiran Aksa sampai harus mengabaikan istrinya yang baik hati ini. Ia sebenarnya muak dengan sikap Aksa yang seperti itu, tapi ia sadar bahwa semuanya adalah hasutan dari istrinya. Sudah sering ia menasihati Naomi untuk tidak ikut campur dalam rumah tangga anaknya, tetapi Naomi sangat keras kepala.

"Iya, Nak, ada apa?" tanya Evan sambil berjalan mendekati Elena.

Elena menatap kanan kiri untuk memantau keadaan. Ia merasa aman karena tidak melihat ibu mertua, suami, dan adik iparnya.

"Ayah, siapa sebenarnya tamu istimewa yang ibu maksud?" tanya Elena penasaran.

Evan menghela napas pelan, lalu menggelengkan kepalanya. "Ayah juga tidak tahu, Nak. Ayah hanya disuruh untuk ikut saja," jawab Evan.

Elena tersenyum tipis dan menganggukkan kepalanya. "Terima kasih, Ayah. Kalau begitu, aku mau lanjut bersihin rumah dulu ya," ujar Elena dengan sopan. Ia kemudian berjalan melanjutkan pekerjaannya.

"Nak, kalau sudah capek, lebih baik istirahat dulu. Kamu sudah bekerja dari sore tadi, lebih baik istirahat," pinta Evan, merasa kasihan melihat Elena yang harus menjadi seperti babu di rumah sendiri.

Elena menghentikan pekerjaannya, memejamkan mata sejenak, dan bergumam dalam hati, "Jadi begini rasanya diperhatikan oleh seorang ayah."

Orang tua Elena meninggal saat ia masih kecil, sekitar umur satu tahun, akibat kecelakaan lalu lintas. Ia dibesarkan oleh neneknya sampai umur sepuluh tahun. Ketika neneknya meninggal, Elena harus menghidupi dirinya sendiri. Bayangkan saja, anak perempuan berumur sepuluh tahun harus bekerja banting tulang untuk bertahan hidup. Sungguh miris!

Elena berbalik dan tersenyum tulus menatap ayah mertuanya. "Gak apa-apa, Ayah. Elena masih kuat kok. Kalau Elena capek, pasti akan istirahat," jawabnya, lalu melanjutkan pekerjaannya.

Evan menghela napas pelan, menatap sendu menantunya. Keluarganya benar-benar kurang ajar memperlakukan Elena seperti itu. Nasihat yang ia berikan malah sering diabaikan. Jika ia tahu putranya akan memperlakukan perempuan selembut Elena seperti ini setelah menikah, mungkin dulu ia tidak akan membiarkan Aksa menikahi Elena.

Sekitar pukul 07:30, mereka semua berkumpul di ruang tamu menunggu tamu spesial mereka, kecuali Elena yang masih sibuk di dapur. Tak lama, suara mobil berhenti di halaman rumah mereka, membuat mata mereka berbinar dan segera membuka pintu untuk menyambut tamu istimewa itu.

Seorang wanita paruh baya yang berpenampilan glamor turun dari mobil mewah itu bersama seorang gadis cantik. Mereka berjalan dengan senyum manis terukir di wajahnya. Aksa dan Naomi menyambut mereka dengan hangat, sementara Evan mengerutkan kening heran melihat dua orang yang tidak dikenalnya itu.

"Jeng, apa kabar?" sapa Naomi sambil cipika-cipiki dengan wanita paruh baya itu.

"Alhamdulillah baik, Jeng Naomi," jawab wanita paruh baya itu.

"Ayo masuk, Jeng." Mereka berdua masuk ke dalam rumah itu, diikuti oleh Aksa dan gadis itu di belakang mereka. Evan sudah masuk terlebih dahulu, merasa tidak nyaman dengan kehadiran dua wanita itu.

"Mari kita makan malam terlebih dahulu," ajak Naomi dengan ramah.

Mereka semua berjalan menuju meja makan. Di sana sudah tersedia berbagai macam menu makanan yang masih hangat. Mereka mengambil tempat duduk masing-masing. Aksa menarik kursi yang biasanya diduduki Elena untuk gadis itu.

"Oh ya, Mas, kenalin ini teman aku. Namanya Jeng Kirana," ucap Naomi memperkenalkan temannya.

"Kirana," kata wanita itu sambil mengulurkan tangan pada Evan, yang disambut Evan dengan sopan.

"Evan," jawab Evan singkat.

"Itu putri semata wayangnya, namanya Vania Clarista," ujar Naomi lagi, memperkenalkan gadis yang duduk di sebelah Aksa.

Vania berdiri dan mengulurkan tangan pada Evan. "Aku Vania, Om," ucap Vania dengan senyum manis.

Evan menganggukkan kepala sambil tersenyum tipis pada Vania, lalu duduk kembali di kursinya. Sesekali Vania melirik Aksa sambil tersenyum malu-malu, membuat Evan semakin curiga. Ada apa ini?

"Oh ya, Vita di mana?" tanya Vania mencari Jovita, yang belum dilihatnya sejak datang tadi.

"Kayaknya masih di kamar," jawab Aksa sambil tersenyum tipis menatap Vania yang terlihat sangat cantik di matanya.

Vania, dengan mata coklat, hidung mancung, bibir seksi semerah buah ceri, dan rambut lurus kuning bak bule, tampak bersinar di mata Aksa. Sangat berbeda dengan Elena yang terlihat kusam dan jarang berdandan.

"Kak Vaniaaa!" teriak Jovita dengan gembira melihat kedatangan Vania. Mereka berdua saling berpelukan.

Naomi dan Kirana tersenyum lebar melihat keakraban Jovita dan Vania yang seperti adik kakak. Aksa juga tersenyum tipis, sementara Evan hanya menatap mereka dengan raut datar.

"Karena Vita sudah datang, mari kita langsung makan malam saja," tukas Naomi.

Mereka semua memulai makan malam tanpa Elena. Diam-diam, Elena mengintip tamu yang mereka maksud, penasaran siapa tamu istimewa itu. Namun, ia mengerutkan dahi heran melihat dua wanita asing yang datang.

Tiba-tiba dada Elena terasa sesak saat melihat gadis lain duduk di samping suaminya. Bahkan, yang lebih menyakitkan, gadis itu duduk di kursi yang biasa ia duduki saat makan. Namun, yang paling mengganggu pikirannya adalah saat melihat gadis itu menyendokkan beberapa lauk ke piring Aksa seperti melayani suaminya.

Mata Elena berkaca-kaca, tetapi dengan cepat ia menggelengkan kepala untuk menghilangkan pikiran negatif. Namun, entah mengapa dadanya terasa semakin sesak.

"Enggak, aku gak boleh berpikir seperti ini. Bisa saja itu keluarga dekat mereka. Tapi... kenapa aku gak tahu ya? Ahh... Aksa memang selama ini tidak mau mengenalkanku pada keluarga besarnya." Elena menghela napas, berusaha menenangkan hati, lalu melanjutkan pekerjaannya di dapur.

Setelah selesai makan, mereka berkumpul di ruang tamu untuk membahas sesuatu yang penting. Naomi menyuruh Vania duduk di samping Aksa, membuat Evan semakin curiga.

"Baiklah, kedatangan Jeng Kirana dan Vania ke sini dengan maksud baik," tutur Naomi. Kirana tersenyum tipis menatap putrinya, sementara Vania tersenyum malu-malu di dekat Aksa.

"Jadi, kedatangan mereka ingin menjodohkan Vania dengan Aksa," lanjut Naomi dengan senyum lebar.

DEG...

PRANGGG...

"NAOMII!!!" teriak Evan dengan suara bergetar marah.

Elena mematung mendengar itu. Nampan yang berisi teh terjatuh berserakan di lantai dan pecah. Evan berdiri dari duduknya setelah membentak istrinya, matanya menatap tajam ke arah Naomi. Suasana seketika berubah tegang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status