Malam itu, rumah minimalis Elena dipenuhi dengan kesibukan persiapan menyambut tamu istimewa. Namun, yang paling sibuk tentu saja Elena. Ia mulai memasak, menata makanan di meja makan, mengepel, dan membersihkan seluruh rumah. Sementara yang lain hanya sibuk bersolek.
Selama mengerjakan semua pekerjaan itu, pikiran Elena terus tertuju pada tamu istimewa yang mereka sebutkan. Siapa sebenarnya tamu istimewa itu? Mengapa perasaannya begitu tidak enak? Tak lama kemudian, ia melihat ayah mertuanya melintas di dekatnya. "Ayah!" panggil Elena. Evan langsung menoleh menatap Elena. Senyum tipis terukir di bibirnya ketika melihat menantunya itu. Entah apa yang ada di pikiran Aksa sampai harus mengabaikan istrinya yang baik hati ini. Ia sebenarnya muak dengan sikap Aksa yang seperti itu, tapi ia sadar bahwa semuanya adalah hasutan dari istrinya. Sudah sering ia menasihati Naomi untuk tidak ikut campur dalam rumah tangga anaknya, tetapi Naomi sangat keras kepala. "Iya, Nak, ada apa?" tanya Evan sambil berjalan mendekati Elena. Elena menatap kanan kiri untuk memantau keadaan. Ia merasa aman karena tidak melihat ibu mertua, suami, dan adik iparnya. "Ayah, siapa sebenarnya tamu istimewa yang ibu maksud?" tanya Elena penasaran. Evan menghela napas pelan, lalu menggelengkan kepalanya. "Ayah juga tidak tahu, Nak. Ayah hanya disuruh untuk ikut saja," jawab Evan. Elena tersenyum tipis dan menganggukkan kepalanya. "Terima kasih, Ayah. Kalau begitu, aku mau lanjut bersihin rumah dulu ya," ujar Elena dengan sopan. Ia kemudian berjalan melanjutkan pekerjaannya. "Nak, kalau sudah capek, lebih baik istirahat dulu. Kamu sudah bekerja dari sore tadi, lebih baik istirahat," pinta Evan, merasa kasihan melihat Elena yang harus menjadi seperti babu di rumah sendiri. Elena menghentikan pekerjaannya, memejamkan mata sejenak, dan bergumam dalam hati, "Jadi begini rasanya diperhatikan oleh seorang ayah." Orang tua Elena meninggal saat ia masih kecil, sekitar umur satu tahun, akibat kecelakaan lalu lintas. Ia dibesarkan oleh neneknya sampai umur sepuluh tahun. Ketika neneknya meninggal, Elena harus menghidupi dirinya sendiri. Bayangkan saja, anak perempuan berumur sepuluh tahun harus bekerja banting tulang untuk bertahan hidup. Sungguh miris! Elena berbalik dan tersenyum tulus menatap ayah mertuanya. "Gak apa-apa, Ayah. Elena masih kuat kok. Kalau Elena capek, pasti akan istirahat," jawabnya, lalu melanjutkan pekerjaannya. Evan menghela napas pelan, menatap sendu menantunya. Keluarganya benar-benar kurang ajar memperlakukan Elena seperti itu. Nasihat yang ia berikan malah sering diabaikan. Jika ia tahu putranya akan memperlakukan perempuan selembut Elena seperti ini setelah menikah, mungkin dulu ia tidak akan membiarkan Aksa menikahi Elena. Sekitar pukul 07:30, mereka semua berkumpul di ruang tamu menunggu tamu spesial mereka, kecuali Elena yang masih sibuk di dapur. Tak lama, suara mobil berhenti di halaman rumah mereka, membuat mata mereka berbinar dan segera membuka pintu untuk menyambut tamu istimewa itu. Seorang wanita paruh baya yang berpenampilan glamor turun dari mobil mewah itu bersama seorang gadis cantik. Mereka berjalan dengan senyum manis terukir di wajahnya. Aksa dan Naomi menyambut mereka dengan hangat, sementara Evan mengerutkan kening heran melihat dua orang yang tidak dikenalnya itu. "Jeng, apa kabar?" sapa Naomi sambil cipika-cipiki dengan wanita paruh baya itu. "Alhamdulillah baik, Jeng Naomi," jawab wanita paruh baya itu. "Ayo masuk, Jeng." Mereka berdua masuk ke dalam rumah itu, diikuti oleh Aksa dan gadis itu di belakang mereka. Evan sudah masuk terlebih dahulu, merasa tidak nyaman dengan kehadiran dua wanita itu. "Mari kita makan malam terlebih dahulu," ajak Naomi dengan ramah. Mereka semua berjalan menuju meja makan. Di sana sudah tersedia berbagai macam menu makanan yang masih hangat. Mereka mengambil tempat duduk masing-masing. Aksa menarik kursi yang biasanya diduduki Elena untuk gadis itu. "Oh ya, Mas, kenalin ini teman aku. Namanya Jeng Kirana," ucap Naomi memperkenalkan temannya. "Kirana," kata wanita itu sambil mengulurkan tangan pada Evan, yang disambut Evan dengan sopan. "Evan," jawab Evan singkat. "Itu putri semata wayangnya, namanya Vania Clarista," ujar Naomi lagi, memperkenalkan gadis yang duduk di sebelah Aksa. Vania berdiri dan mengulurkan tangan pada Evan. "Aku Vania, Om," ucap Vania dengan senyum manis. Evan menganggukkan kepala sambil tersenyum tipis pada Vania, lalu duduk kembali di kursinya. Sesekali Vania melirik Aksa sambil tersenyum malu-malu, membuat Evan semakin curiga. Ada apa ini? "Oh ya, Vita di mana?" tanya Vania mencari Jovita, yang belum dilihatnya sejak datang tadi. "Kayaknya masih di kamar," jawab Aksa sambil tersenyum tipis menatap Vania yang terlihat sangat cantik di matanya. Vania, dengan mata coklat, hidung mancung, bibir seksi semerah buah ceri, dan rambut lurus kuning bak bule, tampak bersinar di mata Aksa. Sangat berbeda dengan Elena yang terlihat kusam dan jarang berdandan. "Kak Vaniaaa!" teriak Jovita dengan gembira melihat kedatangan Vania. Mereka berdua saling berpelukan. Naomi dan Kirana tersenyum lebar melihat keakraban Jovita dan Vania yang seperti adik kakak. Aksa juga tersenyum tipis, sementara Evan hanya menatap mereka dengan raut datar. "Karena Vita sudah datang, mari kita langsung makan malam saja," tukas Naomi. Mereka semua memulai makan malam tanpa Elena. Diam-diam, Elena mengintip tamu yang mereka maksud, penasaran siapa tamu istimewa itu. Namun, ia mengerutkan dahi heran melihat dua wanita asing yang datang. Tiba-tiba dada Elena terasa sesak saat melihat gadis lain duduk di samping suaminya. Bahkan, yang lebih menyakitkan, gadis itu duduk di kursi yang biasa ia duduki saat makan. Namun, yang paling mengganggu pikirannya adalah saat melihat gadis itu menyendokkan beberapa lauk ke piring Aksa seperti melayani suaminya. Mata Elena berkaca-kaca, tetapi dengan cepat ia menggelengkan kepala untuk menghilangkan pikiran negatif. Namun, entah mengapa dadanya terasa semakin sesak. "Enggak, aku gak boleh berpikir seperti ini. Bisa saja itu keluarga dekat mereka. Tapi... kenapa aku gak tahu ya? Ahh... Aksa memang selama ini tidak mau mengenalkanku pada keluarga besarnya." Elena menghela napas, berusaha menenangkan hati, lalu melanjutkan pekerjaannya di dapur. Setelah selesai makan, mereka berkumpul di ruang tamu untuk membahas sesuatu yang penting. Naomi menyuruh Vania duduk di samping Aksa, membuat Evan semakin curiga. "Baiklah, kedatangan Jeng Kirana dan Vania ke sini dengan maksud baik," tutur Naomi. Kirana tersenyum tipis menatap putrinya, sementara Vania tersenyum malu-malu di dekat Aksa. "Jadi, kedatangan mereka ingin menjodohkan Vania dengan Aksa," lanjut Naomi dengan senyum lebar. DEG... PRANGGG... "NAOMII!!!" teriak Evan dengan suara bergetar marah. Elena mematung mendengar itu. Nampan yang berisi teh terjatuh berserakan di lantai dan pecah. Evan berdiri dari duduknya setelah membentak istrinya, matanya menatap tajam ke arah Naomi. Suasana seketika berubah tegang.“Dia siapa, Jeng?” tanya Kirana sambil menunjuk Elena yang lusuh itu dengan dagunya, bahkan matanya menatap jijik ke arah Elena.Naomi melototkan matanya menatap Elena, sementara mata Evan seolah ingin menerkam istrinya. Tega sekali Naomi menjodohkan Aksa sementara dia sudah memiliki istri.“Dia...” Baru saja Evan akan membuka mulut untuk memberitahukan status Elena, tiba-tiba saja Aksa menyerobot ucapan ayahnya.“Dia pembantu di rumah ini,” sahut Aksa sambil menatap tajam pada Elena. Aksa mengkode Elena untuk masuk ke dapur saja, namun Elena masih tetap berdiri di tempatnya dengan air mata yang mengalir deras.“M-Mas...” ucap Elena lirih, hatinya semakin sakit saat mendengar suaminya sendiri mengatakan bahwa dia adalah seorang pembantu. Melihat Elena yang akan membuka suara lagi, tiba-tiba Naomi langsung memotong ucapannya.“Oh ya Mbok, cepat beresin semua pecahan gelas ini dan bawa yang baru,” perintah Naomi berusaha bersikap lembut, namun tatapan matanya seolah ingin menerkam Elena
Aksa kembali bergabung dengan mereka yang ada di ruang tamu. Ia melihat ayahnya juga sudah tidak ada di ruangan itu. Aksa tahu ayahnya pasti kecewa dengan keputusannya, tapi ia juga tidak ingin mengecewakan ibunya yang sudah mengatur semua rencana perjodohan itu.Vania menatap lekat wajah Aksa yang tampan itu, senyum manis terukir di bibirnya. Aksa yang ditatap seperti itu juga tersenyum manis pada Vania."Ya ampun, belum sah udah senyum-senyum aja nih!" goda Jovita yang duduk di dekat Vania.Naomi tertawa pelan, "Oke, karena Aksa sudah ada di sini, bagaimana kalau kita tentukan saja hari pernikahan mereka?" usul Naomi yang sudah tidak sabar punya menantu kaya raya.Kirana menganggukkan kepalanya sambil menatap Aksa dan Vania bergantian. Ia kemudian berucap, "Bagaimana kalau satu minggu lagi? Menurutku, lebih cepat lebih baik," saran Kirana.Vania dan Aksa mengangguk setuju, begitu pun dengan Jovita dan Naomi. Mereka berdua tersenyum lebar. Sebentar lagi mereka akan jadi orang kaya, b
Satu minggu kemudianAksa menatap Vania dengan mata berbinar, tangan gemetar memegang mikrofon. Napasnya terasa berat seiring dengan detak jantung yang kencang.Dengan suara yang berusaha dikendalikan namun tetap lantang, ia melafalkan, "Saya terima nikah dan kawinnya Vania Clarista binti Arya Adipati dengan seperangkat alat sholat dibayar tunai!" Ruangan itu seakan menahan napas, menyaksikan janji suci yang terucap."Bagaimana, para saksi? Sah!""SAAHH!!!""Alhamdulillah......."Tatapan kosong Elena Grace yang berada di antara para tamu undangan menyaksikan suaminya yang selama ini ia cintai bersanding dengan perempuan lain. Tak ada air mata yang terjatuh dari pelupuk matanya, hanya ada tatapan pasrah menatap punggung Aksa yang telah selesai mengucapkan ijab qabul dengan lantang.Di sisi lain, Naomi dan Jovita tersenyum lebar. Sebentar lagi mereka akan menjadi orang kaya, dan pasti orang lain akan segan pada keluarga mereka. Kirana dikenal sebagai janda anak satu dengan kekayaan meli
Keesokan paginya, Aksa dan Vania membereskan barang-barangnya untuk pindah ke apartemen yang telah diberikan oleh Kirana. Begitu pula dengan Elena, ia dengan santai dan raut malas menyiapkan barang-barangnya. Saat ini Elena sudah tidak tidur bersama dengan Aksa melainkan ia pindah kamar, tentu saja atas perintah Naomi.Tok... Tok... Tok...Suara pintu kamarnya diketuk dari luar. Elena dengan langkah malas berjalan untuk membuka pintu itu. Ia menghembuskan napas kasar di balik pintu kemudian membukanya. Ia mendatarkan wajahnya saat melihat Aksa yang berdiri di depan pintu kamarnya, tentu saja bersama dengan Vania yang bergelayut manja di lengan Aksa.“Udah selesai? Lama banget sih!” ketus Aksa dengan nada datar, sementara Vania tersenyum tipis menatap Elena.Elena menangkap pandangan tanda cinta yang menghiasi leher Vania, seakan-akan gadis itu sengaja mengenakan tank top untuk memancing emosinya. Tak hanya itu, tanda merah di leher Aksa juga tampak begitu mencolok. Dada Elena terasa s
Elena kembali pulang ke apartemen tempatnya tinggal. Saat ia membuka pintu, ternyata Aksa dan Vania sedang bercumbu mesra di atas sofa depan TV. Elena terdiam sejenak, kemudian melanjutkan langkahnya ke dalam kamar dengan raut datar. “Elena! Dari mana saja kamu?” tanya Aksa, menghentikan langkah Elena. Elena berhenti, mengambil napas dalam-dalam sebelum berbalik menghadap Aksa dan Vania. “Aku hanya keluar sebentar, mencari udara segar,” jawabnya dengan nada tenang. Namun, di dalam hatinya, perasaannya bergemuruh. Ternyata, tidak semudah itu menghilangkan rasa cinta sepenuhnya pada Aksa, dan ia baru menyadarinya. "Kenapa kamu keluar, tidak pamit sama aku, hah?!" desis Aksa dengan nada tajam, membuat Elena mengernyitkan dahinya. "Pamit?" Elena menatap Aksa dengan tajam, mencoba menahan amarah yang mendidih di dalam dirinya. "Pamit untuk apa? Toh, kamu lagi sibuk bercumbu dengan istri barumu itu, gak usah terlalu membatasi ku mulai saat ini!" jawabnya dengan nada yang tegas dan d
Aksa terdiam, wajahnya memerah karena amarah yang membuncah, tapi ada kilatan keraguan di matanya. Sebelum ia bisa merespons, Vania muncul di ambang pintu dapur, wajahnya cemas. “Sayang, sudahlah. Kita bisa bicarakan masalah ini baik-baik,” katanya dengan suara yang dilembut-lembutkan, membuat Elena jijik melihatnya. Elena dengan napas masih memburu, memandang Vania dengan tatapan dingin. "Kau bilang bicara baik-baik? Lucu, karena seingatku, kau tak pernah memberi kesempatan untuk berbicara sebelum merebut suamiku," kata Elena dengan tajam, lalu berbalik untuk melanjutkan memasak, seolah ingin menutup pembicaraan.Namun, Aksa tidak bisa menahan amarahnya lagi. Dengan gerakan cepat, dia meraih lengan Elena dan menariknya keras hingga tubuh Elena berputar menghadapnya. “Jangan berpura-pura jadi korban, Elena! Kamu tahu apa yang terjadi! Kamu yang tak bisa memberikan aku anak! Kau pikir aku bisa terus bersabar?!" Aksa membentak, napasnya berat karena emosi yang tak terkendali.Elena men
Aksa tetap terpaku, matanya menyiratkan keterkejutan yang sulit disembunyikan. Elena yang biasanya tunduk dan patuh kini berdiri di depannya dengan gunting di tangan, mata bersinar penuh dengan tekad dan kemarahan. Seolah-olah seluruh dunia mereka terhenti, hanya menyisakan ketegangan yang menggantung di udara.Vania, yang semula tampak menikmati situasi ini, kini mulai merasa ada sesuatu yang berubah. Dia melangkah mundur perlahan, mulai memahami bahwa situasinya sudah tidak bisa dikendalikan lagi. Aksa yang biasanya mendominasi kini justru kehilangan kontrol, dan itu membuatnya merasa terancam.“Elena, jangan lakukan sesuatu yang bodoh,” Aksa berkata dengan suara serak, mencoba mengambil kembali kendali. Namun, suaranya tidak lagi sekuat sebelumnya. Ada keraguan di sana, dan Elena bisa merasakannya.“Kau yang bodoh, Aksa. Kau pikir aku akan terus membiarkan diriku diperlakukan seperti ini?” Elena membalas, menggertakkan giginya. Tangan yang memegang gunting bergetar, tapi bukan kare
Elena Grace baru saja turun dari taksi, rambut cokelat blonde-nya berkilau di bawah sinar matahari sore. Senyum manisnya, yang selalu tampak di bibir merah delima miliknya itu, memancarkan kebahagiaan yang baru saja dirasakannya. Ia baru saja menerima kabar baik dari dokter kandungan, sesuatu yang sudah lama ia nantikan. Elena sangat bahagia, karena dokter kandungan itu mengatakan kalau dirinya tidak mandul. “Terima kasih, Pak. Kembaliannya untuk Bapak saja,” kata Elena kepada sopir taksi, dengan nada ramah dan penuh syukur. “Wah, terima kasih, Mbak,” jawab sopir itu ramah, sedikit terkejut dengan kemurahan hati Elena. Elena melangkah masuk ke rumah minimalisnya yang terkesan mewah. Dinding putih bersih dan dekorasi modern memberikan kesan elegan, meskipun ruangannya tidak terlalu besar. Dari dalam, terdengar suara tawa suaminya yang sedang berbincang dengan seseorang. Suara itu mengingatkannya pada realita yang harus dihadapinya setiap hari. “Sepertinya ibu dengan Vita datang
Aksa tetap terpaku, matanya menyiratkan keterkejutan yang sulit disembunyikan. Elena yang biasanya tunduk dan patuh kini berdiri di depannya dengan gunting di tangan, mata bersinar penuh dengan tekad dan kemarahan. Seolah-olah seluruh dunia mereka terhenti, hanya menyisakan ketegangan yang menggantung di udara.Vania, yang semula tampak menikmati situasi ini, kini mulai merasa ada sesuatu yang berubah. Dia melangkah mundur perlahan, mulai memahami bahwa situasinya sudah tidak bisa dikendalikan lagi. Aksa yang biasanya mendominasi kini justru kehilangan kontrol, dan itu membuatnya merasa terancam.“Elena, jangan lakukan sesuatu yang bodoh,” Aksa berkata dengan suara serak, mencoba mengambil kembali kendali. Namun, suaranya tidak lagi sekuat sebelumnya. Ada keraguan di sana, dan Elena bisa merasakannya.“Kau yang bodoh, Aksa. Kau pikir aku akan terus membiarkan diriku diperlakukan seperti ini?” Elena membalas, menggertakkan giginya. Tangan yang memegang gunting bergetar, tapi bukan kare
Aksa terdiam, wajahnya memerah karena amarah yang membuncah, tapi ada kilatan keraguan di matanya. Sebelum ia bisa merespons, Vania muncul di ambang pintu dapur, wajahnya cemas. “Sayang, sudahlah. Kita bisa bicarakan masalah ini baik-baik,” katanya dengan suara yang dilembut-lembutkan, membuat Elena jijik melihatnya. Elena dengan napas masih memburu, memandang Vania dengan tatapan dingin. "Kau bilang bicara baik-baik? Lucu, karena seingatku, kau tak pernah memberi kesempatan untuk berbicara sebelum merebut suamiku," kata Elena dengan tajam, lalu berbalik untuk melanjutkan memasak, seolah ingin menutup pembicaraan.Namun, Aksa tidak bisa menahan amarahnya lagi. Dengan gerakan cepat, dia meraih lengan Elena dan menariknya keras hingga tubuh Elena berputar menghadapnya. “Jangan berpura-pura jadi korban, Elena! Kamu tahu apa yang terjadi! Kamu yang tak bisa memberikan aku anak! Kau pikir aku bisa terus bersabar?!" Aksa membentak, napasnya berat karena emosi yang tak terkendali.Elena men
Elena kembali pulang ke apartemen tempatnya tinggal. Saat ia membuka pintu, ternyata Aksa dan Vania sedang bercumbu mesra di atas sofa depan TV. Elena terdiam sejenak, kemudian melanjutkan langkahnya ke dalam kamar dengan raut datar. “Elena! Dari mana saja kamu?” tanya Aksa, menghentikan langkah Elena. Elena berhenti, mengambil napas dalam-dalam sebelum berbalik menghadap Aksa dan Vania. “Aku hanya keluar sebentar, mencari udara segar,” jawabnya dengan nada tenang. Namun, di dalam hatinya, perasaannya bergemuruh. Ternyata, tidak semudah itu menghilangkan rasa cinta sepenuhnya pada Aksa, dan ia baru menyadarinya. "Kenapa kamu keluar, tidak pamit sama aku, hah?!" desis Aksa dengan nada tajam, membuat Elena mengernyitkan dahinya. "Pamit?" Elena menatap Aksa dengan tajam, mencoba menahan amarah yang mendidih di dalam dirinya. "Pamit untuk apa? Toh, kamu lagi sibuk bercumbu dengan istri barumu itu, gak usah terlalu membatasi ku mulai saat ini!" jawabnya dengan nada yang tegas dan d
Keesokan paginya, Aksa dan Vania membereskan barang-barangnya untuk pindah ke apartemen yang telah diberikan oleh Kirana. Begitu pula dengan Elena, ia dengan santai dan raut malas menyiapkan barang-barangnya. Saat ini Elena sudah tidak tidur bersama dengan Aksa melainkan ia pindah kamar, tentu saja atas perintah Naomi.Tok... Tok... Tok...Suara pintu kamarnya diketuk dari luar. Elena dengan langkah malas berjalan untuk membuka pintu itu. Ia menghembuskan napas kasar di balik pintu kemudian membukanya. Ia mendatarkan wajahnya saat melihat Aksa yang berdiri di depan pintu kamarnya, tentu saja bersama dengan Vania yang bergelayut manja di lengan Aksa.“Udah selesai? Lama banget sih!” ketus Aksa dengan nada datar, sementara Vania tersenyum tipis menatap Elena.Elena menangkap pandangan tanda cinta yang menghiasi leher Vania, seakan-akan gadis itu sengaja mengenakan tank top untuk memancing emosinya. Tak hanya itu, tanda merah di leher Aksa juga tampak begitu mencolok. Dada Elena terasa s
Satu minggu kemudianAksa menatap Vania dengan mata berbinar, tangan gemetar memegang mikrofon. Napasnya terasa berat seiring dengan detak jantung yang kencang.Dengan suara yang berusaha dikendalikan namun tetap lantang, ia melafalkan, "Saya terima nikah dan kawinnya Vania Clarista binti Arya Adipati dengan seperangkat alat sholat dibayar tunai!" Ruangan itu seakan menahan napas, menyaksikan janji suci yang terucap."Bagaimana, para saksi? Sah!""SAAHH!!!""Alhamdulillah......."Tatapan kosong Elena Grace yang berada di antara para tamu undangan menyaksikan suaminya yang selama ini ia cintai bersanding dengan perempuan lain. Tak ada air mata yang terjatuh dari pelupuk matanya, hanya ada tatapan pasrah menatap punggung Aksa yang telah selesai mengucapkan ijab qabul dengan lantang.Di sisi lain, Naomi dan Jovita tersenyum lebar. Sebentar lagi mereka akan menjadi orang kaya, dan pasti orang lain akan segan pada keluarga mereka. Kirana dikenal sebagai janda anak satu dengan kekayaan meli
Aksa kembali bergabung dengan mereka yang ada di ruang tamu. Ia melihat ayahnya juga sudah tidak ada di ruangan itu. Aksa tahu ayahnya pasti kecewa dengan keputusannya, tapi ia juga tidak ingin mengecewakan ibunya yang sudah mengatur semua rencana perjodohan itu.Vania menatap lekat wajah Aksa yang tampan itu, senyum manis terukir di bibirnya. Aksa yang ditatap seperti itu juga tersenyum manis pada Vania."Ya ampun, belum sah udah senyum-senyum aja nih!" goda Jovita yang duduk di dekat Vania.Naomi tertawa pelan, "Oke, karena Aksa sudah ada di sini, bagaimana kalau kita tentukan saja hari pernikahan mereka?" usul Naomi yang sudah tidak sabar punya menantu kaya raya.Kirana menganggukkan kepalanya sambil menatap Aksa dan Vania bergantian. Ia kemudian berucap, "Bagaimana kalau satu minggu lagi? Menurutku, lebih cepat lebih baik," saran Kirana.Vania dan Aksa mengangguk setuju, begitu pun dengan Jovita dan Naomi. Mereka berdua tersenyum lebar. Sebentar lagi mereka akan jadi orang kaya, b
“Dia siapa, Jeng?” tanya Kirana sambil menunjuk Elena yang lusuh itu dengan dagunya, bahkan matanya menatap jijik ke arah Elena.Naomi melototkan matanya menatap Elena, sementara mata Evan seolah ingin menerkam istrinya. Tega sekali Naomi menjodohkan Aksa sementara dia sudah memiliki istri.“Dia...” Baru saja Evan akan membuka mulut untuk memberitahukan status Elena, tiba-tiba saja Aksa menyerobot ucapan ayahnya.“Dia pembantu di rumah ini,” sahut Aksa sambil menatap tajam pada Elena. Aksa mengkode Elena untuk masuk ke dapur saja, namun Elena masih tetap berdiri di tempatnya dengan air mata yang mengalir deras.“M-Mas...” ucap Elena lirih, hatinya semakin sakit saat mendengar suaminya sendiri mengatakan bahwa dia adalah seorang pembantu. Melihat Elena yang akan membuka suara lagi, tiba-tiba Naomi langsung memotong ucapannya.“Oh ya Mbok, cepat beresin semua pecahan gelas ini dan bawa yang baru,” perintah Naomi berusaha bersikap lembut, namun tatapan matanya seolah ingin menerkam Elena
Malam itu, rumah minimalis Elena dipenuhi dengan kesibukan persiapan menyambut tamu istimewa. Namun, yang paling sibuk tentu saja Elena. Ia mulai memasak, menata makanan di meja makan, mengepel, dan membersihkan seluruh rumah. Sementara yang lain hanya sibuk bersolek. Selama mengerjakan semua pekerjaan itu, pikiran Elena terus tertuju pada tamu istimewa yang mereka sebutkan. Siapa sebenarnya tamu istimewa itu? Mengapa perasaannya begitu tidak enak? Tak lama kemudian, ia melihat ayah mertuanya melintas di dekatnya. "Ayah!" panggil Elena. Evan langsung menoleh menatap Elena. Senyum tipis terukir di bibirnya ketika melihat menantunya itu. Entah apa yang ada di pikiran Aksa sampai harus mengabaikan istrinya yang baik hati ini. Ia sebenarnya muak dengan sikap Aksa yang seperti itu, tapi ia sadar bahwa semuanya adalah hasutan dari istrinya. Sudah sering ia menasihati Naomi untuk tidak ikut campur dalam rumah tangga anaknya, tetapi Naomi sangat keras kepala. "Iya, Nak, ada apa?" tanya Ev
Elena Grace baru saja turun dari taksi, rambut cokelat blonde-nya berkilau di bawah sinar matahari sore. Senyum manisnya, yang selalu tampak di bibir merah delima miliknya itu, memancarkan kebahagiaan yang baru saja dirasakannya. Ia baru saja menerima kabar baik dari dokter kandungan, sesuatu yang sudah lama ia nantikan. Elena sangat bahagia, karena dokter kandungan itu mengatakan kalau dirinya tidak mandul. “Terima kasih, Pak. Kembaliannya untuk Bapak saja,” kata Elena kepada sopir taksi, dengan nada ramah dan penuh syukur. “Wah, terima kasih, Mbak,” jawab sopir itu ramah, sedikit terkejut dengan kemurahan hati Elena. Elena melangkah masuk ke rumah minimalisnya yang terkesan mewah. Dinding putih bersih dan dekorasi modern memberikan kesan elegan, meskipun ruangannya tidak terlalu besar. Dari dalam, terdengar suara tawa suaminya yang sedang berbincang dengan seseorang. Suara itu mengingatkannya pada realita yang harus dihadapinya setiap hari. “Sepertinya ibu dengan Vita datang