Keesokan paginya, Aksa dan Vania membereskan barang-barangnya untuk pindah ke apartemen yang telah diberikan oleh Kirana. Begitu pula dengan Elena, ia dengan santai dan raut malas menyiapkan barang-barangnya. Saat ini Elena sudah tidak tidur bersama dengan Aksa melainkan ia pindah kamar, tentu saja atas perintah Naomi.
Tok... Tok... Tok... Suara pintu kamarnya diketuk dari luar. Elena dengan langkah malas berjalan untuk membuka pintu itu. Ia menghembuskan napas kasar di balik pintu kemudian membukanya. Ia mendatarkan wajahnya saat melihat Aksa yang berdiri di depan pintu kamarnya, tentu saja bersama dengan Vania yang bergelayut manja di lengan Aksa. “Udah selesai? Lama banget sih!” ketus Aksa dengan nada datar, sementara Vania tersenyum tipis menatap Elena. Elena menangkap pandangan tanda cinta yang menghiasi leher Vania, seakan-akan gadis itu sengaja mengenakan tank top untuk memancing emosinya. Tak hanya itu, tanda merah di leher Aksa juga tampak begitu mencolok. Dada Elena terasa sesak melihat pemandangan tersebut, namun ia bertekad untuk tidak menunjukkan kelemahannya lagi. “Hm,” dehem Elena dengan nada malas, kemudian ia acuh tak acuh berbalik dan mengambil kopernya yang berisi pakaian. Melihat sikap acuh tak acuh Elena itu, membuat Aksa merasa heran dan mengerutkan keningnya. Ada yang berbeda dengan Elena dan hati Aksa sedikit terusik melihat perubahan itu. Sementara itu, Vania yang menyadari perubahan gelagat Aksa, mulai merasa kesal dan mengepalkan sebelah telapak tangannya. “Ishh, kenapa sih Mbak Elena begitu ya? Kayaknya dia gak suka deh sama Vania,” keluh Vania dengan nada penuh kekecewaan. Aksa meraih tangan Vania dan mengelusnya lembut, lalu menatap matanya, “Kamu tenang aja, sayang. Biar aku yang ngobrol sama Elena nanti,” ujar Aksa dengan tegas. Vania mengerucutkan bibirnya, “Udah Mas, gak usah khawatir. Mungkin Mbak Elena lagi gak mood aja,” ucap Vania sambil tersenyum tipis. Aksa lalu mengelus pipi Vania dengan lembut. “Kamu istriku yang paling luar biasa, aku sungguh beruntung memiliki istri sebaik kamu,” puji Aksa dengan tulus, membuat pipi Vania memerah karena terpukau. Elena yang telah berdiri di depan mereka berdua hanya menggelengkan kepala sambil mengeyalkan matanya. Ia benar-benar muak menyaksikan kemesraan pasangan yang baru menikah itu. “Sudah selesai berbagi cinta?” tanya Elena dengan nada sinis, yang langsung menarik perhatian Vania dan Aksa ke arahnya. “Hehe, udah Mbak,” jawab Vania sambil cengar-cengir. Ia pikir dengan dirinya seperti itu Elena akan cemburu? Cih! Tidak sama sekali. Mulai detik ini hatinya sudah mati rasa terhadap Aksa. Aksa dan Vania berjalan terlebih dahulu menuruni tangga sambil menyeret koper mereka masing-masing, sedangkan Elena berjalan di belakang mereka dengan raut datarnya. Sesampainya di lantai dasar ternyata di sana sudah ada keluarga mereka kecuali Jovita. “Vita di mana, Tante?” tanya Vania pada Naomi. “Kok Tante sih, kamu harus panggil aku Ibu. Kan kamu sudah resmi jadi menantu Ibu,” pinta Naomi sambil mengelus rambut Vania dan tersenyum tulus padanya. Vania tersenyum lebar, “Baik, Ibu. Oh ya, Vita di mana, Bu?” tanya Vania sekali lagi. “Vita sama ayahnya udah duluan pulang ke rumah. Katanya mereka ada urusan mendadak,” jawab Naomi. “Loh, terus Mami pulangnya gimana?” tanya Aksa dengan raut heran. “Mami udah pesan gojek kok, paling sebentar lagi datang tuh,” jawab Naomi. Elena yang berada di belakang mereka seketika menghembuskan napas kasar. Terlalu banyak basa-basi yang melelahkan, sungguh sia-sia menguras waktu saja. “Ya sudah, kalau begitu kami pamit dulu ya, Ibu. Jaga diri Ibu baik-baik ya,” pamit Vania. Ia kemudian menyalami tangan Naomi dengan sopan begitu pula dengan Aksa. Kemudian mereka berdua berjalan keluar. Elena juga ingin menyalami tangan Naomi, namun dengan cepat Naomi menghempaskan tangan Elena dan raut jijik tercipta di wajahnya. Elena yang diperlakukan seperti itu hanya bisa menghela napas pelan. Tanpa menghiraukan mertuanya itu lagi, akhirnya Elena menyusul langkah Aksa. “Jangan ganggu kebahagiaan mereka berdua!” cibir Naomi, membuat langkah Elena terhenti. Elena berbalik sambil tersenyum miring. Hal itu membuat Naomi tersentak kaget menatap wajah Elena. “Tenang saja, Ibu mertua. Aku gak akan ganggu kebahagiaan mereka kok. Tapi... Sepertinya aku akan menjelma jadi batu sandungan mereka berdua untuk mendapatkan kebahagiaan itu. Ahh... Maksudnya masalah dalam rumah tangga mereka!” tekan Elena dengan nada dingin, lagi dan lagi membuat Naomi melototkan matanya dan terdiam kaku di tempatnya. “Kamu...” “Syutt, diam saja ya, Bu!” Elena menepuk-nepuk bahu Naomi, seolah-olah sedang menghilangkan kotoran. Kemudian ia melangkah sambil tersenyum puas. “Elena...” desis Naomi sambil mengepalkan tangannya erat dan menatap tajam punggung Elena. Elena melangkah keluar gedung dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia merasa puas telah mengungkapkan perasaannya pada Naomi, namun di sisi lain, ada ketakutan yang menghantui tentang masa depannya. Ia harus mencari cara untuk bertahan di apartemen bersama Aksa dan Vania tanpa merusak harga dirinya. Setibanya di apartemen, Aksa dan Vania langsung mengatur barang-barang mereka di kamar utama. Elena memilih kamar yang berada paling jauh dari mereka, agar bisa mendapatkan ketenangan yang ia butuhkan. Ia menatap sekeliling kamarnya yang baru, mencoba mencari sedikit kenyamanan dalam situasi yang tidak nyaman. Malam itu, setelah semuanya beres, Elena duduk di tepi tempat tidurnya, memandang langit-langit kamar. Ingatannya kembali pada malam pernikahan Aksa dan Vania. Ia tidak bisa melupakan rasa sakit yang ia rasakan, namun ia bertekad untuk tidak membiarkan rasa sakit itu menguasainya. Ia harus menjadi lebih kuat. “Ya Tuhan, berikan aku kekuatan untuk menjalani hari-hariku ke depan,” gumam Elena sambil menutup matanya. Air mata yang selama ini ia tahan akhirnya mengalir, namun kali ini, ia tidak merasa lemah. Ia merasa lebih kuat setelah mengungkapkan perasaannya kepada Naomi. Ia yakin, ini adalah awal dari perubahan besar dalam hidupnya. Di tempat lain, Aksa dan Vania sedang menikmati malam pertama mereka di apartemen baru. Aksa merasa bahagia bisa memulai hidup baru dengan Vania, namun ada perasaan tidak nyaman yang terus menghantui pikirannya. Perubahan sikap Elena membuatnya gelisah. Ia tidak bisa mengabaikan perasaan itu, meskipun ia berusaha keras untuk menikmati kebahagiaannya dengan Vania. “Mas, kenapa melamun?” tanya Vania sambil memeluk Aksa dari belakang. “Oh, nggak apa-apa, sayang. Aku cuma kepikiran pekerjaan saja,” jawab Aksa sambil tersenyum. Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa bukan pekerjaan yang membuatnya gelisah. Ada sesuatu tentang Elena yang membuatnya merasa bersalah. “Kalau begitu, kita istirahat saja ya, Mas. Besok kita harus mulai beradaptasi dengan lingkungan baru ini,” ujar Vania sambil menarik tangan Aksa menuju tempat tidur. Mereka berdua berbaring di tempat tidur, mencoba untuk tidur, namun Aksa tidak bisa memejamkan matanya. Pikirannya terus berkecamuk tentang Elena dan perubahan sikapnya yang tiba-tiba. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, namun ia yakin, hari-hari ke depan tidak akan mudah. Di tengah malam, Aksa bangun dari tidurnya dan berjalan keluar kamar. Ia menuju balkon apartemen, mencari udara segar untuk menenangkan pikirannya. Ia menatap langit malam yang dipenuhi bintang, mencoba mencari jawaban atas kegelisahannya. “Elena... apa yang sebenarnya kamu rencanakan?” gumam Aksa pelan. Keesokan paginya, kehidupan di apartemen baru mereka dimulai. Aksa berangkat kerja lebih awal, sementara Vania mulai menata apartemen dengan lebih rapi. Elena, yang masih beradaptasi dengan lingkungan baru, memilih untuk berjalan-jalan di sekitar apartemen, mencoba menemukan kedamaian dalam hiruk pikuk kota. Saat berjalan-jalan, Elena bertemu dengan tetangga baru, seorang wanita paruh baya yang ramah. Mereka berkenalan dan berbincang-bincang sebentar. Wanita itu memperkenalkan dirinya sebagai Bu Rini, dan mereka dengan cepat menjadi akrab. “Kalau ada apa-apa, jangan sungkan-sungkan ya, Bu Elena. Saya di apartemen nomor 302,” ujar Bu Rini sambil tersenyum. “Terima kasih, Bu Rini. Senang bertemu dengan Anda,” balas Elena dengan senyum tulus. Setelah perbincangan singkat itu, Elena merasa sedikit lebih baik. Ia tahu bahwa masih ada orang baik di sekitarnya yang bisa memberikan dukungan. Ia bertekad untuk tidak membiarkan dirinya terpuruk oleh keadaan.Elena kembali pulang ke apartemen tempatnya tinggal. Saat ia membuka pintu, ternyata Aksa dan Vania sedang bercumbu mesra di atas sofa depan TV. Elena terdiam sejenak, kemudian melanjutkan langkahnya ke dalam kamar dengan raut datar. “Elena! Dari mana saja kamu?” tanya Aksa, menghentikan langkah Elena. Elena berhenti, mengambil napas dalam-dalam sebelum berbalik menghadap Aksa dan Vania. “Aku hanya keluar sebentar, mencari udara segar,” jawabnya dengan nada tenang. Namun, di dalam hatinya, perasaannya bergemuruh. Ternyata, tidak semudah itu menghilangkan rasa cinta sepenuhnya pada Aksa, dan ia baru menyadarinya. "Kenapa kamu keluar, tidak pamit sama aku, hah?!" desis Aksa dengan nada tajam, membuat Elena mengernyitkan dahinya. "Pamit?" Elena menatap Aksa dengan tajam, mencoba menahan amarah yang mendidih di dalam dirinya. "Pamit untuk apa? Toh, kamu lagi sibuk bercumbu dengan istri barumu itu, gak usah terlalu membatasi ku mulai saat ini!" jawabnya dengan nada yang tegas dan d
Aksa terdiam, wajahnya memerah karena amarah yang membuncah, tapi ada kilatan keraguan di matanya. Sebelum ia bisa merespons, Vania muncul di ambang pintu dapur, wajahnya cemas. “Sayang, sudahlah. Kita bisa bicarakan masalah ini baik-baik,” katanya dengan suara yang dilembut-lembutkan, membuat Elena jijik melihatnya. Elena dengan napas masih memburu, memandang Vania dengan tatapan dingin. "Kau bilang bicara baik-baik? Lucu, karena seingatku, kau tak pernah memberi kesempatan untuk berbicara sebelum merebut suamiku," kata Elena dengan tajam, lalu berbalik untuk melanjutkan memasak, seolah ingin menutup pembicaraan.Namun, Aksa tidak bisa menahan amarahnya lagi. Dengan gerakan cepat, dia meraih lengan Elena dan menariknya keras hingga tubuh Elena berputar menghadapnya. “Jangan berpura-pura jadi korban, Elena! Kamu tahu apa yang terjadi! Kamu yang tak bisa memberikan aku anak! Kau pikir aku bisa terus bersabar?!" Aksa membentak, napasnya berat karena emosi yang tak terkendali.Elena men
Aksa tetap terpaku, matanya menyiratkan keterkejutan yang sulit disembunyikan. Elena yang biasanya tunduk dan patuh kini berdiri di depannya dengan gunting di tangan, mata bersinar penuh dengan tekad dan kemarahan. Seolah-olah seluruh dunia mereka terhenti, hanya menyisakan ketegangan yang menggantung di udara.Vania, yang semula tampak menikmati situasi ini, kini mulai merasa ada sesuatu yang berubah. Dia melangkah mundur perlahan, mulai memahami bahwa situasinya sudah tidak bisa dikendalikan lagi. Aksa yang biasanya mendominasi kini justru kehilangan kontrol, dan itu membuatnya merasa terancam.“Elena, jangan lakukan sesuatu yang bodoh,” Aksa berkata dengan suara serak, mencoba mengambil kembali kendali. Namun, suaranya tidak lagi sekuat sebelumnya. Ada keraguan di sana, dan Elena bisa merasakannya.“Kau yang bodoh, Aksa. Kau pikir aku akan terus membiarkan diriku diperlakukan seperti ini?” Elena membalas, menggertakkan giginya. Tangan yang memegang gunting bergetar, tapi bukan kare
Elena Grace baru saja turun dari taksi, rambut cokelat blonde-nya berkilau di bawah sinar matahari sore. Senyum manisnya, yang selalu tampak di bibir merah delima miliknya itu, memancarkan kebahagiaan yang baru saja dirasakannya. Ia baru saja menerima kabar baik dari dokter kandungan, sesuatu yang sudah lama ia nantikan. Elena sangat bahagia, karena dokter kandungan itu mengatakan kalau dirinya tidak mandul. “Terima kasih, Pak. Kembaliannya untuk Bapak saja,” kata Elena kepada sopir taksi, dengan nada ramah dan penuh syukur. “Wah, terima kasih, Mbak,” jawab sopir itu ramah, sedikit terkejut dengan kemurahan hati Elena. Elena melangkah masuk ke rumah minimalisnya yang terkesan mewah. Dinding putih bersih dan dekorasi modern memberikan kesan elegan, meskipun ruangannya tidak terlalu besar. Dari dalam, terdengar suara tawa suaminya yang sedang berbincang dengan seseorang. Suara itu mengingatkannya pada realita yang harus dihadapinya setiap hari. “Sepertinya ibu dengan Vita datang
Malam itu, rumah minimalis Elena dipenuhi dengan kesibukan persiapan menyambut tamu istimewa. Namun, yang paling sibuk tentu saja Elena. Ia mulai memasak, menata makanan di meja makan, mengepel, dan membersihkan seluruh rumah. Sementara yang lain hanya sibuk bersolek. Selama mengerjakan semua pekerjaan itu, pikiran Elena terus tertuju pada tamu istimewa yang mereka sebutkan. Siapa sebenarnya tamu istimewa itu? Mengapa perasaannya begitu tidak enak? Tak lama kemudian, ia melihat ayah mertuanya melintas di dekatnya. "Ayah!" panggil Elena. Evan langsung menoleh menatap Elena. Senyum tipis terukir di bibirnya ketika melihat menantunya itu. Entah apa yang ada di pikiran Aksa sampai harus mengabaikan istrinya yang baik hati ini. Ia sebenarnya muak dengan sikap Aksa yang seperti itu, tapi ia sadar bahwa semuanya adalah hasutan dari istrinya. Sudah sering ia menasihati Naomi untuk tidak ikut campur dalam rumah tangga anaknya, tetapi Naomi sangat keras kepala. "Iya, Nak, ada apa?" tanya Ev
“Dia siapa, Jeng?” tanya Kirana sambil menunjuk Elena yang lusuh itu dengan dagunya, bahkan matanya menatap jijik ke arah Elena.Naomi melototkan matanya menatap Elena, sementara mata Evan seolah ingin menerkam istrinya. Tega sekali Naomi menjodohkan Aksa sementara dia sudah memiliki istri.“Dia...” Baru saja Evan akan membuka mulut untuk memberitahukan status Elena, tiba-tiba saja Aksa menyerobot ucapan ayahnya.“Dia pembantu di rumah ini,” sahut Aksa sambil menatap tajam pada Elena. Aksa mengkode Elena untuk masuk ke dapur saja, namun Elena masih tetap berdiri di tempatnya dengan air mata yang mengalir deras.“M-Mas...” ucap Elena lirih, hatinya semakin sakit saat mendengar suaminya sendiri mengatakan bahwa dia adalah seorang pembantu. Melihat Elena yang akan membuka suara lagi, tiba-tiba Naomi langsung memotong ucapannya.“Oh ya Mbok, cepat beresin semua pecahan gelas ini dan bawa yang baru,” perintah Naomi berusaha bersikap lembut, namun tatapan matanya seolah ingin menerkam Elena
Aksa kembali bergabung dengan mereka yang ada di ruang tamu. Ia melihat ayahnya juga sudah tidak ada di ruangan itu. Aksa tahu ayahnya pasti kecewa dengan keputusannya, tapi ia juga tidak ingin mengecewakan ibunya yang sudah mengatur semua rencana perjodohan itu.Vania menatap lekat wajah Aksa yang tampan itu, senyum manis terukir di bibirnya. Aksa yang ditatap seperti itu juga tersenyum manis pada Vania."Ya ampun, belum sah udah senyum-senyum aja nih!" goda Jovita yang duduk di dekat Vania.Naomi tertawa pelan, "Oke, karena Aksa sudah ada di sini, bagaimana kalau kita tentukan saja hari pernikahan mereka?" usul Naomi yang sudah tidak sabar punya menantu kaya raya.Kirana menganggukkan kepalanya sambil menatap Aksa dan Vania bergantian. Ia kemudian berucap, "Bagaimana kalau satu minggu lagi? Menurutku, lebih cepat lebih baik," saran Kirana.Vania dan Aksa mengangguk setuju, begitu pun dengan Jovita dan Naomi. Mereka berdua tersenyum lebar. Sebentar lagi mereka akan jadi orang kaya, b
Satu minggu kemudianAksa menatap Vania dengan mata berbinar, tangan gemetar memegang mikrofon. Napasnya terasa berat seiring dengan detak jantung yang kencang.Dengan suara yang berusaha dikendalikan namun tetap lantang, ia melafalkan, "Saya terima nikah dan kawinnya Vania Clarista binti Arya Adipati dengan seperangkat alat sholat dibayar tunai!" Ruangan itu seakan menahan napas, menyaksikan janji suci yang terucap."Bagaimana, para saksi? Sah!""SAAHH!!!""Alhamdulillah......."Tatapan kosong Elena Grace yang berada di antara para tamu undangan menyaksikan suaminya yang selama ini ia cintai bersanding dengan perempuan lain. Tak ada air mata yang terjatuh dari pelupuk matanya, hanya ada tatapan pasrah menatap punggung Aksa yang telah selesai mengucapkan ijab qabul dengan lantang.Di sisi lain, Naomi dan Jovita tersenyum lebar. Sebentar lagi mereka akan menjadi orang kaya, dan pasti orang lain akan segan pada keluarga mereka. Kirana dikenal sebagai janda anak satu dengan kekayaan meli
Aksa tetap terpaku, matanya menyiratkan keterkejutan yang sulit disembunyikan. Elena yang biasanya tunduk dan patuh kini berdiri di depannya dengan gunting di tangan, mata bersinar penuh dengan tekad dan kemarahan. Seolah-olah seluruh dunia mereka terhenti, hanya menyisakan ketegangan yang menggantung di udara.Vania, yang semula tampak menikmati situasi ini, kini mulai merasa ada sesuatu yang berubah. Dia melangkah mundur perlahan, mulai memahami bahwa situasinya sudah tidak bisa dikendalikan lagi. Aksa yang biasanya mendominasi kini justru kehilangan kontrol, dan itu membuatnya merasa terancam.“Elena, jangan lakukan sesuatu yang bodoh,” Aksa berkata dengan suara serak, mencoba mengambil kembali kendali. Namun, suaranya tidak lagi sekuat sebelumnya. Ada keraguan di sana, dan Elena bisa merasakannya.“Kau yang bodoh, Aksa. Kau pikir aku akan terus membiarkan diriku diperlakukan seperti ini?” Elena membalas, menggertakkan giginya. Tangan yang memegang gunting bergetar, tapi bukan kare
Aksa terdiam, wajahnya memerah karena amarah yang membuncah, tapi ada kilatan keraguan di matanya. Sebelum ia bisa merespons, Vania muncul di ambang pintu dapur, wajahnya cemas. “Sayang, sudahlah. Kita bisa bicarakan masalah ini baik-baik,” katanya dengan suara yang dilembut-lembutkan, membuat Elena jijik melihatnya. Elena dengan napas masih memburu, memandang Vania dengan tatapan dingin. "Kau bilang bicara baik-baik? Lucu, karena seingatku, kau tak pernah memberi kesempatan untuk berbicara sebelum merebut suamiku," kata Elena dengan tajam, lalu berbalik untuk melanjutkan memasak, seolah ingin menutup pembicaraan.Namun, Aksa tidak bisa menahan amarahnya lagi. Dengan gerakan cepat, dia meraih lengan Elena dan menariknya keras hingga tubuh Elena berputar menghadapnya. “Jangan berpura-pura jadi korban, Elena! Kamu tahu apa yang terjadi! Kamu yang tak bisa memberikan aku anak! Kau pikir aku bisa terus bersabar?!" Aksa membentak, napasnya berat karena emosi yang tak terkendali.Elena men
Elena kembali pulang ke apartemen tempatnya tinggal. Saat ia membuka pintu, ternyata Aksa dan Vania sedang bercumbu mesra di atas sofa depan TV. Elena terdiam sejenak, kemudian melanjutkan langkahnya ke dalam kamar dengan raut datar. “Elena! Dari mana saja kamu?” tanya Aksa, menghentikan langkah Elena. Elena berhenti, mengambil napas dalam-dalam sebelum berbalik menghadap Aksa dan Vania. “Aku hanya keluar sebentar, mencari udara segar,” jawabnya dengan nada tenang. Namun, di dalam hatinya, perasaannya bergemuruh. Ternyata, tidak semudah itu menghilangkan rasa cinta sepenuhnya pada Aksa, dan ia baru menyadarinya. "Kenapa kamu keluar, tidak pamit sama aku, hah?!" desis Aksa dengan nada tajam, membuat Elena mengernyitkan dahinya. "Pamit?" Elena menatap Aksa dengan tajam, mencoba menahan amarah yang mendidih di dalam dirinya. "Pamit untuk apa? Toh, kamu lagi sibuk bercumbu dengan istri barumu itu, gak usah terlalu membatasi ku mulai saat ini!" jawabnya dengan nada yang tegas dan d
Keesokan paginya, Aksa dan Vania membereskan barang-barangnya untuk pindah ke apartemen yang telah diberikan oleh Kirana. Begitu pula dengan Elena, ia dengan santai dan raut malas menyiapkan barang-barangnya. Saat ini Elena sudah tidak tidur bersama dengan Aksa melainkan ia pindah kamar, tentu saja atas perintah Naomi.Tok... Tok... Tok...Suara pintu kamarnya diketuk dari luar. Elena dengan langkah malas berjalan untuk membuka pintu itu. Ia menghembuskan napas kasar di balik pintu kemudian membukanya. Ia mendatarkan wajahnya saat melihat Aksa yang berdiri di depan pintu kamarnya, tentu saja bersama dengan Vania yang bergelayut manja di lengan Aksa.“Udah selesai? Lama banget sih!” ketus Aksa dengan nada datar, sementara Vania tersenyum tipis menatap Elena.Elena menangkap pandangan tanda cinta yang menghiasi leher Vania, seakan-akan gadis itu sengaja mengenakan tank top untuk memancing emosinya. Tak hanya itu, tanda merah di leher Aksa juga tampak begitu mencolok. Dada Elena terasa s
Satu minggu kemudianAksa menatap Vania dengan mata berbinar, tangan gemetar memegang mikrofon. Napasnya terasa berat seiring dengan detak jantung yang kencang.Dengan suara yang berusaha dikendalikan namun tetap lantang, ia melafalkan, "Saya terima nikah dan kawinnya Vania Clarista binti Arya Adipati dengan seperangkat alat sholat dibayar tunai!" Ruangan itu seakan menahan napas, menyaksikan janji suci yang terucap."Bagaimana, para saksi? Sah!""SAAHH!!!""Alhamdulillah......."Tatapan kosong Elena Grace yang berada di antara para tamu undangan menyaksikan suaminya yang selama ini ia cintai bersanding dengan perempuan lain. Tak ada air mata yang terjatuh dari pelupuk matanya, hanya ada tatapan pasrah menatap punggung Aksa yang telah selesai mengucapkan ijab qabul dengan lantang.Di sisi lain, Naomi dan Jovita tersenyum lebar. Sebentar lagi mereka akan menjadi orang kaya, dan pasti orang lain akan segan pada keluarga mereka. Kirana dikenal sebagai janda anak satu dengan kekayaan meli
Aksa kembali bergabung dengan mereka yang ada di ruang tamu. Ia melihat ayahnya juga sudah tidak ada di ruangan itu. Aksa tahu ayahnya pasti kecewa dengan keputusannya, tapi ia juga tidak ingin mengecewakan ibunya yang sudah mengatur semua rencana perjodohan itu.Vania menatap lekat wajah Aksa yang tampan itu, senyum manis terukir di bibirnya. Aksa yang ditatap seperti itu juga tersenyum manis pada Vania."Ya ampun, belum sah udah senyum-senyum aja nih!" goda Jovita yang duduk di dekat Vania.Naomi tertawa pelan, "Oke, karena Aksa sudah ada di sini, bagaimana kalau kita tentukan saja hari pernikahan mereka?" usul Naomi yang sudah tidak sabar punya menantu kaya raya.Kirana menganggukkan kepalanya sambil menatap Aksa dan Vania bergantian. Ia kemudian berucap, "Bagaimana kalau satu minggu lagi? Menurutku, lebih cepat lebih baik," saran Kirana.Vania dan Aksa mengangguk setuju, begitu pun dengan Jovita dan Naomi. Mereka berdua tersenyum lebar. Sebentar lagi mereka akan jadi orang kaya, b
“Dia siapa, Jeng?” tanya Kirana sambil menunjuk Elena yang lusuh itu dengan dagunya, bahkan matanya menatap jijik ke arah Elena.Naomi melototkan matanya menatap Elena, sementara mata Evan seolah ingin menerkam istrinya. Tega sekali Naomi menjodohkan Aksa sementara dia sudah memiliki istri.“Dia...” Baru saja Evan akan membuka mulut untuk memberitahukan status Elena, tiba-tiba saja Aksa menyerobot ucapan ayahnya.“Dia pembantu di rumah ini,” sahut Aksa sambil menatap tajam pada Elena. Aksa mengkode Elena untuk masuk ke dapur saja, namun Elena masih tetap berdiri di tempatnya dengan air mata yang mengalir deras.“M-Mas...” ucap Elena lirih, hatinya semakin sakit saat mendengar suaminya sendiri mengatakan bahwa dia adalah seorang pembantu. Melihat Elena yang akan membuka suara lagi, tiba-tiba Naomi langsung memotong ucapannya.“Oh ya Mbok, cepat beresin semua pecahan gelas ini dan bawa yang baru,” perintah Naomi berusaha bersikap lembut, namun tatapan matanya seolah ingin menerkam Elena
Malam itu, rumah minimalis Elena dipenuhi dengan kesibukan persiapan menyambut tamu istimewa. Namun, yang paling sibuk tentu saja Elena. Ia mulai memasak, menata makanan di meja makan, mengepel, dan membersihkan seluruh rumah. Sementara yang lain hanya sibuk bersolek. Selama mengerjakan semua pekerjaan itu, pikiran Elena terus tertuju pada tamu istimewa yang mereka sebutkan. Siapa sebenarnya tamu istimewa itu? Mengapa perasaannya begitu tidak enak? Tak lama kemudian, ia melihat ayah mertuanya melintas di dekatnya. "Ayah!" panggil Elena. Evan langsung menoleh menatap Elena. Senyum tipis terukir di bibirnya ketika melihat menantunya itu. Entah apa yang ada di pikiran Aksa sampai harus mengabaikan istrinya yang baik hati ini. Ia sebenarnya muak dengan sikap Aksa yang seperti itu, tapi ia sadar bahwa semuanya adalah hasutan dari istrinya. Sudah sering ia menasihati Naomi untuk tidak ikut campur dalam rumah tangga anaknya, tetapi Naomi sangat keras kepala. "Iya, Nak, ada apa?" tanya Ev
Elena Grace baru saja turun dari taksi, rambut cokelat blonde-nya berkilau di bawah sinar matahari sore. Senyum manisnya, yang selalu tampak di bibir merah delima miliknya itu, memancarkan kebahagiaan yang baru saja dirasakannya. Ia baru saja menerima kabar baik dari dokter kandungan, sesuatu yang sudah lama ia nantikan. Elena sangat bahagia, karena dokter kandungan itu mengatakan kalau dirinya tidak mandul. “Terima kasih, Pak. Kembaliannya untuk Bapak saja,” kata Elena kepada sopir taksi, dengan nada ramah dan penuh syukur. “Wah, terima kasih, Mbak,” jawab sopir itu ramah, sedikit terkejut dengan kemurahan hati Elena. Elena melangkah masuk ke rumah minimalisnya yang terkesan mewah. Dinding putih bersih dan dekorasi modern memberikan kesan elegan, meskipun ruangannya tidak terlalu besar. Dari dalam, terdengar suara tawa suaminya yang sedang berbincang dengan seseorang. Suara itu mengingatkannya pada realita yang harus dihadapinya setiap hari. “Sepertinya ibu dengan Vita datang