Share

Bab 6

Keesokan paginya, Aksa dan Vania membereskan barang-barangnya untuk pindah ke apartemen yang telah diberikan oleh Kirana. Begitu pula dengan Elena, ia dengan santai dan raut malas menyiapkan barang-barangnya. Saat ini Elena sudah tidak tidur bersama dengan Aksa melainkan ia pindah kamar, tentu saja atas perintah Naomi.

Tok... Tok... Tok...

Suara pintu kamarnya diketuk dari luar. Elena dengan langkah malas berjalan untuk membuka pintu itu. Ia menghembuskan napas kasar di balik pintu kemudian membukanya. Ia mendatarkan wajahnya saat melihat Aksa yang berdiri di depan pintu kamarnya, tentu saja bersama dengan Vania yang bergelayut manja di lengan Aksa.

“Udah selesai? Lama banget sih!” ketus Aksa dengan nada datar, sementara Vania tersenyum tipis menatap Elena.

Elena menangkap pandangan tanda cinta yang menghiasi leher Vania, seakan-akan gadis itu sengaja mengenakan tank top untuk memancing emosinya. Tak hanya itu, tanda merah di leher Aksa juga tampak begitu mencolok. Dada Elena terasa sesak melihat pemandangan tersebut, namun ia bertekad untuk tidak menunjukkan kelemahannya lagi.

“Hm,” dehem Elena dengan nada malas, kemudian ia acuh tak acuh berbalik dan mengambil kopernya yang berisi pakaian.

Melihat sikap acuh tak acuh Elena itu, membuat Aksa merasa heran dan mengerutkan keningnya. Ada yang berbeda dengan Elena dan hati Aksa sedikit terusik melihat perubahan itu. Sementara itu, Vania yang menyadari perubahan gelagat Aksa, mulai merasa kesal dan mengepalkan sebelah telapak tangannya.

“Ishh, kenapa sih Mbak Elena begitu ya? Kayaknya dia gak suka deh sama Vania,” keluh Vania dengan nada penuh kekecewaan.

Aksa meraih tangan Vania dan mengelusnya lembut, lalu menatap matanya, “Kamu tenang aja, sayang. Biar aku yang ngobrol sama Elena nanti,” ujar Aksa dengan tegas.

Vania mengerucutkan bibirnya, “Udah Mas, gak usah khawatir. Mungkin Mbak Elena lagi gak mood aja,” ucap Vania sambil tersenyum tipis. Aksa lalu mengelus pipi Vania dengan lembut.

“Kamu istriku yang paling luar biasa, aku sungguh beruntung memiliki istri sebaik kamu,” puji Aksa dengan tulus, membuat pipi Vania memerah karena terpukau.

Elena yang telah berdiri di depan mereka berdua hanya menggelengkan kepala sambil mengeyalkan matanya. Ia benar-benar muak menyaksikan kemesraan pasangan yang baru menikah itu.

“Sudah selesai berbagi cinta?” tanya Elena dengan nada sinis, yang langsung menarik perhatian Vania dan Aksa ke arahnya.

“Hehe, udah Mbak,” jawab Vania sambil cengar-cengir. Ia pikir dengan dirinya seperti itu Elena akan cemburu? Cih! Tidak sama sekali. Mulai detik ini hatinya sudah mati rasa terhadap Aksa.

Aksa dan Vania berjalan terlebih dahulu menuruni tangga sambil menyeret koper mereka masing-masing, sedangkan Elena berjalan di belakang mereka dengan raut datarnya. Sesampainya di lantai dasar ternyata di sana sudah ada keluarga mereka kecuali Jovita.

“Vita di mana, Tante?” tanya Vania pada Naomi.

“Kok Tante sih, kamu harus panggil aku Ibu. Kan kamu sudah resmi jadi menantu Ibu,” pinta Naomi sambil mengelus rambut Vania dan tersenyum tulus padanya.

Vania tersenyum lebar, “Baik, Ibu. Oh ya, Vita di mana, Bu?” tanya Vania sekali lagi.

“Vita sama ayahnya udah duluan pulang ke rumah. Katanya mereka ada urusan mendadak,” jawab Naomi.

“Loh, terus Mami pulangnya gimana?” tanya Aksa dengan raut heran.

“Mami udah pesan gojek kok, paling sebentar lagi datang tuh,” jawab Naomi.

Elena yang berada di belakang mereka seketika menghembuskan napas kasar. Terlalu banyak basa-basi yang melelahkan, sungguh sia-sia menguras waktu saja.

“Ya sudah, kalau begitu kami pamit dulu ya, Ibu. Jaga diri Ibu baik-baik ya,” pamit Vania. Ia kemudian menyalami tangan Naomi dengan sopan begitu pula dengan Aksa. Kemudian mereka berdua berjalan keluar.

Elena juga ingin menyalami tangan Naomi, namun dengan cepat Naomi menghempaskan tangan Elena dan raut jijik tercipta di wajahnya.

Elena yang diperlakukan seperti itu hanya bisa menghela napas pelan. Tanpa menghiraukan mertuanya itu lagi, akhirnya Elena menyusul langkah Aksa.

“Jangan ganggu kebahagiaan mereka berdua!” cibir Naomi, membuat langkah Elena terhenti.

Elena berbalik sambil tersenyum miring. Hal itu membuat Naomi tersentak kaget menatap wajah Elena.

“Tenang saja, Ibu mertua. Aku gak akan ganggu kebahagiaan mereka kok. Tapi... Sepertinya aku akan menjelma jadi batu sandungan mereka berdua untuk mendapatkan kebahagiaan itu. Ahh... Maksudnya masalah dalam rumah tangga mereka!” tekan Elena dengan nada dingin, lagi dan lagi membuat Naomi melototkan matanya dan terdiam kaku di tempatnya.

“Kamu...”

“Syutt, diam saja ya, Bu!” Elena menepuk-nepuk bahu Naomi, seolah-olah sedang menghilangkan kotoran. Kemudian ia melangkah sambil tersenyum puas.

“Elena...” desis Naomi sambil mengepalkan tangannya erat dan menatap tajam punggung Elena.

Elena melangkah keluar gedung dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia merasa puas telah mengungkapkan perasaannya pada Naomi, namun di sisi lain, ada ketakutan yang menghantui tentang masa depannya. Ia harus mencari cara untuk bertahan di apartemen bersama Aksa dan Vania tanpa merusak harga dirinya.

Setibanya di apartemen, Aksa dan Vania langsung mengatur barang-barang mereka di kamar utama. Elena memilih kamar yang berada paling jauh dari mereka, agar bisa mendapatkan ketenangan yang ia butuhkan. Ia menatap sekeliling kamarnya yang baru, mencoba mencari sedikit kenyamanan dalam situasi yang tidak nyaman.

Malam itu, setelah semuanya beres, Elena duduk di tepi tempat tidurnya, memandang langit-langit kamar. Ingatannya kembali pada malam pernikahan Aksa dan Vania. Ia tidak bisa melupakan rasa sakit yang ia rasakan, namun ia bertekad untuk tidak membiarkan rasa sakit itu menguasainya. Ia harus menjadi lebih kuat.

“Ya Tuhan, berikan aku kekuatan untuk menjalani hari-hariku ke depan,” gumam Elena sambil menutup matanya. Air mata yang selama ini ia tahan akhirnya mengalir, namun kali ini, ia tidak merasa lemah. Ia merasa lebih kuat setelah mengungkapkan perasaannya kepada Naomi. Ia yakin, ini adalah awal dari perubahan besar dalam hidupnya.

Di tempat lain, Aksa dan Vania sedang menikmati malam pertama mereka di apartemen baru. Aksa merasa bahagia bisa memulai hidup baru dengan Vania, namun ada perasaan tidak nyaman yang terus menghantui pikirannya. Perubahan sikap Elena membuatnya gelisah. Ia tidak bisa mengabaikan perasaan itu, meskipun ia berusaha keras untuk menikmati kebahagiaannya dengan Vania.

“Mas, kenapa melamun?” tanya Vania sambil memeluk Aksa dari belakang.

“Oh, nggak apa-apa, sayang. Aku cuma kepikiran pekerjaan saja,” jawab Aksa sambil tersenyum. Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa bukan pekerjaan yang membuatnya gelisah. Ada sesuatu tentang Elena yang membuatnya merasa bersalah.

“Kalau begitu, kita istirahat saja ya, Mas. Besok kita harus mulai beradaptasi dengan lingkungan baru ini,” ujar Vania sambil menarik tangan Aksa menuju tempat tidur.

Mereka berdua berbaring di tempat tidur, mencoba untuk tidur, namun Aksa tidak bisa memejamkan matanya. Pikirannya terus berkecamuk tentang Elena dan perubahan sikapnya yang tiba-tiba. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, namun ia yakin, hari-hari ke depan tidak akan mudah.

Di tengah malam, Aksa bangun dari tidurnya dan berjalan keluar kamar. Ia menuju balkon apartemen, mencari udara segar untuk menenangkan pikirannya. Ia menatap langit malam yang dipenuhi bintang, mencoba mencari jawaban atas kegelisahannya.

“Elena... apa yang sebenarnya kamu rencanakan?” gumam Aksa pelan.

Keesokan paginya, kehidupan di apartemen baru mereka dimulai. Aksa berangkat kerja lebih awal, sementara Vania mulai menata apartemen dengan lebih rapi. Elena, yang masih beradaptasi dengan lingkungan baru, memilih untuk berjalan-jalan di sekitar apartemen, mencoba menemukan kedamaian dalam hiruk pikuk kota.

Saat berjalan-jalan, Elena bertemu dengan tetangga baru, seorang wanita paruh baya yang ramah. Mereka berkenalan dan berbincang-bincang sebentar. Wanita itu memperkenalkan dirinya sebagai Bu Rini, dan mereka dengan cepat menjadi akrab.

“Kalau ada apa-apa, jangan sungkan-sungkan ya, Bu Elena. Saya di apartemen nomor 302,” ujar Bu Rini sambil tersenyum.

“Terima kasih, Bu Rini. Senang bertemu dengan Anda,” balas Elena dengan senyum tulus.

Setelah perbincangan singkat itu, Elena merasa sedikit lebih baik. Ia tahu bahwa masih ada orang baik di sekitarnya yang bisa memberikan dukungan. Ia bertekad untuk tidak membiarkan dirinya terpuruk oleh keadaan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status