Share

Bab 8

Aksa terdiam, wajahnya memerah karena amarah yang membuncah, tapi ada kilatan keraguan di matanya. Sebelum ia bisa merespons, Vania muncul di ambang pintu dapur, wajahnya cemas. “Sayang, sudahlah. Kita bisa bicarakan masalah ini baik-baik,” katanya dengan suara yang dilembut-lembutkan, membuat Elena jijik melihatnya.

Elena dengan napas masih memburu, memandang Vania dengan tatapan dingin. "Kau bilang bicara baik-baik? Lucu, karena seingatku, kau tak pernah memberi kesempatan untuk berbicara sebelum merebut suamiku," kata Elena dengan tajam, lalu berbalik untuk melanjutkan memasak, seolah ingin menutup pembicaraan.

Namun, Aksa tidak bisa menahan amarahnya lagi. Dengan gerakan cepat, dia meraih lengan Elena dan menariknya keras hingga tubuh Elena berputar menghadapnya. “Jangan berpura-pura jadi korban, Elena! Kamu tahu apa yang terjadi! Kamu yang tak bisa memberikan aku anak! Kau pikir aku bisa terus bersabar?!" Aksa membentak, napasnya berat karena emosi yang tak terkendali.

Elena menahan rasa sakit di lengannya, menatap Aksa dengan mata penuh amarah. “Dan kau pikir dengan menikahi orang lain semua masalah akan selesai? Kau pikir semua ini hanya tentang punya anak?! Ini tentang kehormatan, Aksa! Tentang cinta dan kepercayaan yang kau hancurkan tanpa ampun!” Elena membalas, suaranya serak karena emosi yang terus mendesak keluar.

Aksa terdiam, terpaku oleh kata-kata Elena yang begitu menyakitkan namun penuh kebenaran. Suasana menjadi begitu tegang, udara di sekitar mereka terasa berat oleh beban kata-kata yang telah diucapkan.

Akhirnya, Vania kembali membuka suara, seolah memanas-manasi keadaan. Dengan suara yang pelan tapi jelas, ia berkata, “Elena, aku tahu aku salah. Aku hanya ingin kita bisa...”

“Ya, kamu memang salah, harusnya kamu berpikir sebelum menikahi suami orang lain!” Elena memotong, matanya menyala dengan kemarahan yang tak bisa lagi ia bendung. "Kalian berdua telah membuat pilihan kalian, dan sekarang kalian harus hidup dengan itu. Aku akan keluar dari rumah ini."

Dengan itu, Elena melepaskan genggaman Aksa dan bergegas keluar dari dapur, meninggalkan Vania dan Aksa dalam kebisuan yang menggantung. Aksa menatap kepergian Elena dengan campuran emosi yang tidak dapat ia kendalikan—marah, bersalah, dan ketakutan.

Aksa mengejar Elena dan kembali memegang lengannya dengan kuat, membuat Elena meringis kesakitan. Aksa dengan kuat menarik tubuh Elena, hingga tubuh Elena berputar menghadapnya. Vania juga berdiri tidak jauh dengan mereka, tak ada raut bersalah sedikit pun di wajahnya melihat Elena seperti itu karena dirinya.

"Jangan coba-coba keluar dari apartemen ini, Elena," tekan Aksa dengan nada dingin

Elena terperanjat oleh kekuatan genggaman Aksa yang semakin mencengkeram lengannya. Rasa sakit menjalar di tubuhnya, tapi amarah di hatinya lebih mendominasi. Dia menatap Aksa dengan mata penuh kebencian, meskipun rasa takut perlahan merayap masuk. “Lepaskan aku, Aksa!” serunya, mencoba menarik tangannya dari genggaman Aksa, tetapi sia-sia.

Aksa mempererat cengkeramannya, wajahnya dingin dan tanpa belas kasihan. “Kau pikir bisa lari begitu saja? Kau akan tetap di sini, di mana aku bisa mengawasimu. Jangan coba-coba menantangku, Elena,” katanya dengan nada yang begitu mengancam, seakan tak ada ruang untuk membantah.

Elena menelan ludah, berusaha menenangkan dirinya meskipun jantungnya berdebar kencang. “Kau sudah menghancurkan hidupku, Aksa. Apa lagi yang kau mau dariku?!” Dia melawan, suaranya penuh dengan kebencian yang selama ini ia tahan.

Vania, yang menyaksikan dari dekat, tidak bergerak, malah menatap dengan pandangan datar, seolah ini adalah pemandangan menyenangkan baginya. Tidak ada rasa bersalah, tidak ada empati dihatinya.

Aksa menarik Elena lebih dekat, hingga wajah mereka hanya berjarak beberapa inci. “Kau tidak akan pergi ke mana-mana, Elena. Ini rumahku sekarang, aku yang memutuskan apa yang akan terjadi di sini. Kau akan tetap tinggal, dan kau akan menurut,” katanya dengan suara rendah namun penuh ancaman.

Tapi Elena tidak mau menyerah begitu saja. Dengan sekuat tenaga, dia melepaskan tangannya dari genggaman Aksa dan mendorongnya sekuat tenaga. “Kau mungkin bisa menguasai tubuhku, Aksa, tapi kau tidak akan pernah lagi menguasai jiwaku! Aku lebih baik mati daripada terus hidup di bawah kendalimu!” teriaknya dengan penuh keberanian, meskipun tubuhnya bergetar.

Amarah Aksa semakin membara mendengar kata-kata itu. Dalam sekejap, tangannya melayang dan mendarat dengan keras di pipi Elena, membuatnya tersentak ke belakang. Suara tamparan itu bergema di dalam apartemen, membuat Vania sedikit mundur, matanya terbelalak kaget namun sedetik kemudian seringai tipis muncul di bibirnya.

Elena terjatuh ke lantai, pipinya memerah dan berdenyut akibat tamparan itu. Air mata menggenang di matanya, bukan hanya karena rasa sakit fisik, tetapi juga karena penghinaan yang baru saja ia alami. Tapi dia tidak akan menyerah begitu saja. Dengan gemetar, dia bangkit kembali, menatap Aksa dengan tatapan yang begitu penuh tekad, seolah mengisyaratkan bahwa dia tidak akan pernah tunduk.

Aksa menatap Elena dengan sorot mata tajam, mencoba menakutinya, namun yang ia lihat adalah seorang wanita yang sudah tidak lagi gentar. “Ingat, Elena, kita ini masih suami istri yang sah di hadapan Allah, dan sebagai istri, kamu berkewajiban untuk taat kepada suamimu,” desisnya dengan amarah yang bergejolak.

Elena mengusap pipinya yang masih terasa panas, lalu menatap Aksa dengan mata penuh keteguhan. “Taat kepada suami yang memuliakan istrinya adalah kewajibanku, Aksa. Tapi kamu telah melanggar amanah yang diberikan Allah. Aku tidak akan tunduk pada perlakuanmu yang zalim,” ujarnya dengan suara yang bergetar namun tegas. "Aku akan keluar dari sini, meskipun harus melawanmu."

Vania yang melihat situasi semakin buruk, akhirnya angkat bicara dengan nada yang datar, “Aksa, mungkin lebih baik kau membiarkan dia pergi. Kita tidak perlu membuat semuanya semakin buruk.”

Namun, Aksa tidak mendengarkan. Dia kembali melangkah mendekati Elena, kali ini dengan niat yang lebih gelap. “Kau mau melawan? Kau benar-benar mau melihat seberapa jauh aku bisa menyakiti mu, Elena?” katanya, tangannya terangkat seolah ingin menamparnya lagi.

Namun, sebelum Aksa bisa melakukan lebih jauh, Elena dengan cepat meraih sebuah benda tajam—gunting yang tergeletak di meja ruang tamu—dan mengarahkan ke arah Aksa. Matanya bersinar dengan kegilaan yang tercipta dari rasa takut dan putus asa.

“Jangan mendekat! Atau aku akan menusukmu dengan gunting ini, Aksa!” Elena berteriak, menggertak gunting ke depan untuk menegaskan ucapannya.

Aksa terhenti, terkejut melihat perubahan drastis pada Elena. Untuk pertama kalinya, dia merasakan sesuatu yang asing di diri Elena. Dia menyadari bahwa Elena tidak lagi takut padanya, dan dia sekarang berada di ujung tanduk, siap untuk melakukan apa saja demi kebebasannya.

Keheningan menyelimuti ruangan, di mana setiap orang membeku di tempatnya, menunggu langkah selanjutnya. Tapi di mata Elena, ada api yang berkobar, menandakan bahwa pertempuran ini belum berakhir, dan dia akan memastikan bahwa apa pun yang terjadi, dia tidak akan lagi tunduk pada Aksa.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status