Brama Kumbara sedang membuat laporan bisnis ketika tiba-tiba dering telepon memecah keheningan ruangan. Ia meraih ponselnya dan melihat nama Nyonya Esmee, ibu Max, tertera di layar.Brama segera menjawab panggilan itu. “Halo, Tante Esmee?”Tanpa basa-basi lagi, Nyonya Esmee langsung menyerbunya dengan pertanyaan. “Aku baru saja membaca berita yang tak enak tentang Max. Tapi itu tidak benar, kan? Masa iya Max menyukai istri orang? Aku tidak keberatan dia menjalin hubungan dengan wanita manapun, tetapi istri orang? Tidak, aku tidak akan pernah setuju. Bram, tolong jelaskan sesuatu padaku, apa yang sebenarnya terjadi?” suaranya terdengar khawatir di seberang sana.Brama menghela napas panjang, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menenangkan hati ibu Max. “Tante, ini cuma gosip yang beredar di media. Kita semua tahu, Max selalu menjaga sikapnya, dia bukan tipe orang yang akan melakukan hal seperti itu.”Nyonya Esmee menghela napas panjang. “Bram, kamu adalah orang terdekatnya di In
“Siapa yang meneleponmu barusan, Bel? Kenapa bawa-bawa namaku?” tanya Dessy yang rupanya sedang berada di apartemen Belinda. Belinda mengedikkan bahunya dengan acuh tak acuh. “Itu, si acar bodohku,” sahut Belinda dengan nada kesal. Dessy terkekeh. Dia tadi menguping pembicaraan mereka. Dia sedikit banyak tahu apa yang baru saja dibicarakan oleh Belinda dengan Noel. Dan dia bangga memiliki teman yang memiliki loyalitas seperti Belinda, yang rela bertengkar dengan pacarnya hanya untuk membelanya. “Jadi, menurutmu gosip tentang Max itu benar?” ujar Dessy sambil menggoyang-goyangkan gelas anggur merahnya. Cahaya lampu apartemen memantulkan warna merah anggur yang berkilauan di gelas kristal, menciptakan bayangan elegan di meja di depannya. Si model cantik itu menatap Belinda, di balik senyumnya yang tipis itu terlihat keingintahuan.Belinda menatap Dessy sejenak sebelum menghela napas. "Aku hanya asal bicara," jawabnya akhirnya, sambil menyandarkan tubuhnya di sofa dan menggelengkan ke
Dokter Joshua duduk dengan tegap di salah satu kursi di baris tengah ruang kuliah yang luas. Di hadapannya, layar proyektor besar menampilkan gambar-gambar tulang dan sendi, sementara suara profesor yang berbicara tentang teknik terbaru dalam bedah ortopedi mengisi ruangan. Di depan ruangan, sang profesor menjelaskan tentang teknik minimal invasif terbaru dalam operasi penggantian sendi lutut. Gambar-gambar animasi di layar memperlihatkan prosedur yang kompleks namun efektif, yang dapat mempercepat pemulihan pasien dan mengurangi risiko komplikasi. Dokter Joshua mencatat setiap langkah dengan cermat, matanya berkedip-kedip saat mencoba memahami teknik yang sedang dijelaskan.“Dengan menggunakan alat ini,” ujar profesor sambil menunjuk gambar instrumen bedah di layar, “kita dapat meminimalkan kerusakan jaringan di sekitar sendi dan memastikan pemasangan prostetik yang lebih presisi.”Dokter Joshua mengangguk pelan, sepenuhnya tenggelam dalam pelajaran. Dia membayangkan dirinya di rua
"Mia, apa kamu merasa mual akhir-akhir ini?" Dokter Joshua bertanya disela-sela pemeriksaannya."Iya, belakangan ini kadang sampai muntah. Sepertinya aku stres, mungkin itu memicu asam lambungku ya, Dok?” Dokter Joshua berpikir sejenak. "Kamu sering merasa ingin buang air kecil lebih sering dari biasanya?"Mia mengerutkan kening, seperti berusaha mengingat-ingat, kemudian ia mengangguk pelan. "Iya, sepertinya begitu.""Ada perubahan nafsu makan atau keinginan makan yang berbeda dari biasanya?" lanjut Dokter Joshua sambil melakukan palpasi.Mia terlihat bingung, tapi kemudian mengangguk lagi. "Ya, mungkin. Aku merasa lebih lapar tapi juga cepat kenyang. Biasanya aku tidak tahan pedas dan asam, tapi belakangan ini aku baru bisa makan kalau ada rasa pedas dan asamnya. Ah, apa mungkin karena sering makan pedas dan asam, makanya lambungku tidak kuat ya, Dok?"Dokter Joshua melanjutkan palpasi pada perut Mia. Meskipun belum ada tanda-tanda fisik yang jelas, kombinasi dari gejala-gejala in
“Mia, jangan berkata seperti itu,” ucap Dokter Joshua, suaranya tegas namun tetap lembut. “Kamu jauh lebih kuat dari yang kamu kira. Kamu telah menghadapi banyak hal, dan kamu akan melalui ini juga. Percayalah padaku.”Dokter Joshua membelai wajah Mia dengan lembut, memberikan kehangatan dan dukungan yang ia butuhkan. Dia ingin memberikan segala yang dia bisa untuk memastikan Mia merasa didukung dan dicintai. Dia tidak ingin Mia seperti ibunya yang menghadapi segalanya sendirian dan tanpa dukungan.“Kita akan menemukan cara untuk menghadapi semua ini, Mia," ucap Dokter Joshua dengan penuh keyakinan, berharap kata-katanya bisa memberi Mia sedikit ketenangan di tengah kekhawatirannya yang besar."Bagaimana dengan Max, Dok? Tidak adil rasanya bila aku kembali padanya dalam keadaan hamil anaknya Mas Nathan.” Suara Mia terdengar lirih, matanya menatap Dokter Joshua dengan sorot cemas yang jelas.Dokter Joshua terdiam sejenak, merasakan segenap emosi yang berkecamuk di dalam hatinya. "Biar
Para wartawan yang berdiri di lobi hotel segera bergerak cepat begitu melihat Max dan Dessy bersama. Kilatan lampu kamera menyilaukan mata, dan suara mereka mulai terdengar memanggil-manggil dengan penuh antusiasme.“Dessy!” seru salah satu wartawan wanita dengan mikrofon di tangannya. "Max!"Para wartawan berusaha mendapatkan jawaban dari mereka. Suasana menjadi riuh dengan suara mereka yang saling bersahutan, ingin mencari tahu lebih banyak tentang hubungan antara Max dan Dessy.“Max, masuk dan beristirahatlah, biar aku yang mengatasi mereka,” kata Dessy sambil mengedipkan sebelah matanya.Max tersenyum tipis. “Terima kasih,” katanya sambil mengangguk singkat.“Cuma terima kasih?” sindir Dessy dengan alis terangkat. Tatapannya seolah menggoda, namun ada sedikit rasa kecewa yang terpancar di matanya.Max yang seolah tak peduli segera pergi menyusul rekan-rekan timnas lainnya yang sedang mengantre di depan lift, bersiap kembali ke kamar masing-masing. Di sana, Max tidak menoleh lagi
Nathan meletakkan gelas whisky ke meja bar dengan kasar, terdengar benturan pantat gelas dengan meja yang menimbulkan suara tidak enak didengar, yang menandakan bahwa suasana hati Nathan sedang tidak baik-baik saja hari ini.Winda, sang sekretaris yang mendampinginya dalam perjalanan bisnis kali ini, sudah tidak kaget lagi melihatnya. Dia sudah terbiasa menangani suasana hati Nathan yang mudah berubah-ubah belakangan ini. Dengan gerakan tenang namun tegas, Winda mendekat dan mengambil botol whisky yang hampir kosong, menjauhkannya dari jangkauan Nathan. "Pak, sudah cukup," katanya sambil menatap Nathan dengan penuh perhatian. Suaranya lembut tapi tegas, menunjukkan keprihatinannya tanpa meninggalkan profesionalisme. "Ini sudah larut malam, Bapak harus segera istirahat. Besok kita masih ada satu agenda lagi," tegas Winda, matanya tetap terkunci pada Nathan, berharap kata-katanya bisa menyentuh akal sehat bosnya yang sedang mabuk.Sudah segelas whisky yang dihabiskan oleh Nathan, dan
Vena duduk lesu di sisi ranjang perawatan Alyra, tubuhnya terasa lunglai dan matanya sembab karena kurang tidur. Sudah beberapa hari ini Alyra menjalani terapi di rumah sakit, dan selama itu pula Vena hampir tidak pernah meninggalkan sisi putrinya. Rambutnya yang biasanya rapi kini berantakan, tanda kelelahan dan kurangnya perawatan diri.Dia tampak begitu letih setelah mengurusi Alyra sendirian. Setiap hari terasa seperti ujian, setiap detik diisi dengan kecemasan dan harapan agar kondisi Alyra membaik. Vena merasa sangat tertekan, terjebak dalam rutinitas tanpa akhir di rumah sakit, di mana suara mesin-mesin medis dan aroma antiseptik menjadi latar belakang yang konstan.“Padahal Pak Nathan sebelumnya tak pernah seperti ini. Biasanya dia selalu peduli pada Alyra. Tapi kenapa sekarang dia berubah?” Vena menghela napas dalam-dalam. Ada yang terasa menusuk dalam dadanya kala merasakan ketidakpedulian Nathan pada buah hati mereka lagi.Nathan belum juga kembali dari perjalanan bisnisnya