Para wartawan yang berdiri di lobi hotel segera bergerak cepat begitu melihat Max dan Dessy bersama. Kilatan lampu kamera menyilaukan mata, dan suara mereka mulai terdengar memanggil-manggil dengan penuh antusiasme.“Dessy!” seru salah satu wartawan wanita dengan mikrofon di tangannya. "Max!"Para wartawan berusaha mendapatkan jawaban dari mereka. Suasana menjadi riuh dengan suara mereka yang saling bersahutan, ingin mencari tahu lebih banyak tentang hubungan antara Max dan Dessy.“Max, masuk dan beristirahatlah, biar aku yang mengatasi mereka,” kata Dessy sambil mengedipkan sebelah matanya.Max tersenyum tipis. “Terima kasih,” katanya sambil mengangguk singkat.“Cuma terima kasih?” sindir Dessy dengan alis terangkat. Tatapannya seolah menggoda, namun ada sedikit rasa kecewa yang terpancar di matanya.Max yang seolah tak peduli segera pergi menyusul rekan-rekan timnas lainnya yang sedang mengantre di depan lift, bersiap kembali ke kamar masing-masing. Di sana, Max tidak menoleh lagi
Nathan meletakkan gelas whisky ke meja bar dengan kasar, terdengar benturan pantat gelas dengan meja yang menimbulkan suara tidak enak didengar, yang menandakan bahwa suasana hati Nathan sedang tidak baik-baik saja hari ini.Winda, sang sekretaris yang mendampinginya dalam perjalanan bisnis kali ini, sudah tidak kaget lagi melihatnya. Dia sudah terbiasa menangani suasana hati Nathan yang mudah berubah-ubah belakangan ini. Dengan gerakan tenang namun tegas, Winda mendekat dan mengambil botol whisky yang hampir kosong, menjauhkannya dari jangkauan Nathan. "Pak, sudah cukup," katanya sambil menatap Nathan dengan penuh perhatian. Suaranya lembut tapi tegas, menunjukkan keprihatinannya tanpa meninggalkan profesionalisme. "Ini sudah larut malam, Bapak harus segera istirahat. Besok kita masih ada satu agenda lagi," tegas Winda, matanya tetap terkunci pada Nathan, berharap kata-katanya bisa menyentuh akal sehat bosnya yang sedang mabuk.Sudah segelas whisky yang dihabiskan oleh Nathan, dan
Vena duduk lesu di sisi ranjang perawatan Alyra, tubuhnya terasa lunglai dan matanya sembab karena kurang tidur. Sudah beberapa hari ini Alyra menjalani terapi di rumah sakit, dan selama itu pula Vena hampir tidak pernah meninggalkan sisi putrinya. Rambutnya yang biasanya rapi kini berantakan, tanda kelelahan dan kurangnya perawatan diri.Dia tampak begitu letih setelah mengurusi Alyra sendirian. Setiap hari terasa seperti ujian, setiap detik diisi dengan kecemasan dan harapan agar kondisi Alyra membaik. Vena merasa sangat tertekan, terjebak dalam rutinitas tanpa akhir di rumah sakit, di mana suara mesin-mesin medis dan aroma antiseptik menjadi latar belakang yang konstan.“Padahal Pak Nathan sebelumnya tak pernah seperti ini. Biasanya dia selalu peduli pada Alyra. Tapi kenapa sekarang dia berubah?” Vena menghela napas dalam-dalam. Ada yang terasa menusuk dalam dadanya kala merasakan ketidakpedulian Nathan pada buah hati mereka lagi.Nathan belum juga kembali dari perjalanan bisnisnya
Detak jantung Mia melompat ketika suara lembut menyapanya dari belakang. Dengan cepat, ia membalikkan badan sambil merapatkan tangannya ke dadanya. "Dokter Joshua? Ya ampun, Dokter bikin saya kaget aja," Mia tertawa kecil, matanya masih terbuka lebar karena keterkejutannya. "Kenapa Dokter ke sini?" tanyanya ragu, tak yakin apakah dokter ini datang untuk menyewa barang mewah seperti klien-kliennya yang biasanya melakukannya—kebanyakan untuk keperluan membuat konten, khususnya para kreator konten seperti YouTuber atau selebgram. Tapi klien-klien dari kalangan biasa juga ada, yang menyukai gaya hidup flexing, menunjukkan kekayaan atau barang-barang mewah mereka—yang sebenarnya merupakan sewaan— dalam upaya untuk menarik perhatian dan pengakuan sosial."Mia.” Si dokter memandang ke dalam rak-rak kaca di mana barang-barang mewah yang siap untuk disewakan berjajar rapi. “Apakah ada jam tangan yang cocok untuk kupakai buat acara gala dinner?""Hah?" Mia mengulang, mencoba memproses pertanya
Mia menarik napasnya dalam-dalam. Ada yang bergetar di dalam dirinya karena tiba-tiba saja Dokter Joshua mengingatkan tentang kehamilannya. Mia sudah melakukan tes kehamilan dan hasilnya memang positif. Dokter Joshua kemudian menemaninya menemui dokter spesialis obgyn untuk melakukan USG.Meskipun Mia tidak menginginkan kehamilan ini, tapi ia sadar bahwa kewajibannya sebagai seorang ibu adalah menjaga agar janinnya tumbuh sehat. “Jam tujuh nanti kita akan bertemu dengan Victor. Katanya ada kabar baik tentang proses perceraianmu dengan Nathan.”“Kuharap itu tentang hak asuh Rival.” Mia berkata lirih sambil mencetak invoice.Dokter Joshua mengangguk, ada harapan yang sama di matanya. “Aku nanti sore ke sini lagi buat menjemputmu,” tambahnya dengan nada lembut.Mia mengunci lemari tas yang telah ia susun rapi, lalu menatap Dokter Joshua dengan pandangan penuh ketegasan. “Kita nanti ketemu saja di kantornya Victor. Dokter tak perlu repot-repot kembali ke sini hanya untuk menjemputku. Aku
“Dokter tidak perlu melakukan ini,” kata Mia setelah menyadari bahwa Dokter Joshua ternyata memilih menunggunya agar mereka bisa pulang bersama.“Menunggu hingga kamu selesai kerja itu masih lama, Mia. Jalanan bakal macet. Dan aku tak akan membiarkan kamu naik ojek.” Mobil mereka perlahan bergerak di antara deretan kendaraan lain yang sama-sama terjebak dalam kemacetan. Klakson mobil dan deru mesin menciptakan simfoni khas kota besar yang sibuk. “Nah. Apa kubilang, sudah mulai macet kan? Padahal belum jam pulang kantor,” kata Dokter Joshua sambil melirik Mia.“Yeah. Seharusnya kita naik helikopter saja,” gurau Mia, menatap keluar jendela mobil. Kerumunan orang berlalu-lalang di trotoar, pedagang kopi keliling menjajakan dagangannya dengan sepeda, dan hiruk-pikuk kota yang tak pernah tidur.Tiba-tiba, pikirannya melayang pada kebiasaan Nathan yang tidak mau membuang-buang waktunya hanya untuk menunggu macet. Sebagai presiden direktur sebuah perusahaan jasa transportasi mewah yang mem
Mia dan Dokter Joshua tiba di kantor Victor Sitompul, terletak di sebuah gedung tinggi yang menjulang di pusat kota. Begitu memasuki lobi, aroma wangi menyambut mereka, memberikan efek menenangkan di tengah suasana tegang yang menyertai kasus-kasus hukum para klien yang mendatangi kantor ini. Sekretaris Victor Sitompul menyambut mereka dengan senyum hangat di ruang konferensi yang tertata dengan rapi. “Silakan masuk,” katanya sambil mengangguk lembut tapi tegas. Aroma terapi lavender yang lembut dan menenangkan memenuhi udara, menciptakan lingkungan yang nyaman meskipun ruangan ini dipenuhi oleh dokumen-dokumen penting yang mungkin memuat kasus-kasus berat dan menegangkan.“Selamat sore, Mia, Dokter Joshua,” sapa Victor sambil tersenyum hangat. Victor Sitompul, pria berusia sekitar empat puluhan asal Sumatera Utara itu memiliki ciri khas wajah kotak dan kulit sawo matang yang terlihat cerah. Rambutnya hitam, sedikit mulai memutih di sisi-sisinya, disisir rapi ke belakang. Matanya y
Nathan berdiri di tengah ruangan yang penuh dengan tumpukan berkas dan dokumen hukum, keringat dingin membasahi dahi dan pelipisnya. Wajahnya merah padam, dan matanya yang biasanya tajam kini dipenuhi bara kemarahan yang membakar. Suara penuh kutukan kekesalannya atas kejadian yang tak menguntungkan dirinya menggema di ruang kerjanya yang sepi, menyisakan keheningan yang tegang, seperti suara gemuruh sebelum badai.Tangan kanannya mengepal erat, meremas kertas-kertas penting yang kini hanya menjadi lembaran tak bernilai setelah putusan pengadilan. "Sial. Sial. Siaal…!” jeritnya terdengar frustrasi. Ketika Nathan memukulkan tangannya ke meja dan dentuman yang keras itu membuat beberapa dokumen berhamburan ke lantai, seperti hujan kertas yang menyertai amarahnya.Raut wajahnya menunjukkan kemarahan yang tak terhingga. Bibirnya menyeringai, mengungkapkan betapa mendalamnya kemarahan dan kekesalannya. Keputusan pengadilan yang membuatnya kalah dalam hak asuh anak dan putusan perceraian
Di lobi gedung rumah sakit elit di jantung kota Jakarta, sebuah sedan Rolls Royce hitam berhenti dengan anggun, memancarkan aura kemewahan yang nyata di antara deretan mobil mewah lainnya yang sedang memasuki halaman rumah sakit tersebut.Pintu mobil sedan mewah itu terbuka, menampilkan seorang pria tampan berwajah oriental yang melangkah keluar dengan aura kecerdasan dan percaya diri. Berbalut sepatu kulit hitam mengkilap, kaki pria itu menapak lantai lobi dengan ketegasan seorang pemimpin sejati. Setelan jas hitam yang dikenakannya begitu pas membingkai tubuhnya yang tinggi dan atletis, menambah kesan elegan dan berwibawa yang kini melekat erat pada diri pria berusia 40 tahun itu.“Silakan, Tuan Valen,” sapa asistennya sambil membukakan pintu mobil, memberikan anggukan hormat pada CEO “Bintang Hospital Group” yang baru saja tiba.Aura Dokter Joshua Valen kini begitu berbeda, mencerminkan transformasi yang telah ia lalui dalam beberapa tahun ini. Sejak ditinggalkan oleh Mia, Valen me
Max dan Mia memulai babak baru dalam kehidupan mereka di Lake District, Inggris, sebuah tempat yang menawarkan ketenangan dan keindahan alam yang kontras dengan kehidupan kota yang sibuk. Keputusan mereka untuk menetap di kawasan ini adalah bagian dari keinginan mereka untuk menemukan kedamaian dan kebahagiaan dalam kehidupan baru mereka bersama.Rumah mereka, sebuah cottage yang terletak di tepi danau, dikelilingi oleh hutan hijau dan pegunungan yang menjulang, memberikan latar belakang yang sempurna untuk melanjutkan kehidupan mereka. Setiap pagi, mereka disambut oleh pemandangan matahari terbit yang memukau dan suara lembut angin yang berdesir di antara pepohonan. Ini adalah tempat di mana Mia dan Max dapat menghindar dari hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari dan benar-benar fokus pada kebersamaan mereka.Max, sebagai pemain sepak bola profesional, berhasil menjalani karier yang cemerlang di Inggris bersama Lakeside City, klub sepak bola yang kini terdaftar dalam EPL (English Premi
Di sebuah rumah sakit, Valen duduk di ruang tunggu keluarga pasien, menantikan Mia yang sedang menjalani operasi darurat dan harus dikuret karena mengalami keguguran. Valen masih mengenakan kemejanya yang bersimbah darah—darah Mia. Asistennya mencoba membujuknya untuk mengganti pakaian. Namun, Valen menggelengkan kepala, menolak tawaran itu. Gelengan itu membuat asistennya mundur, memberikan ruang bagi Valen yang masih terlihat kalut dan terpukul oleh peristiwa tragis yang menimpa Mia.Di depannya, Max yang juga sedang tegang menantikan Mia, ia mengamati semua gerak-gerik Dokter Joshua yang semakin jelas di matanya. “Kamu jatuh cinta pada Mia kan, Dok?”Tanpa ragu, Valen mengangguk. “Aku jatuh cinta padanya sejak pertama kali kami bertemu, di ruang IGD itu. Kupikir saat itu aku hanya merasa iba kepadanya, tapi ternyata tidak… itu bukan hanya rasa iba ataupun sekadar simpati. Aku selalu ingin bersamanya sejak saat itu. Ingin melindunginya, ingin memastikan bahwa dia selalu baik-baik
Gavin menginjak gas mobilnya lebih dalam, melesat keluar dari basement dengan kecepatan yang mencerminkan kepanikan dalam dirinya. Jantungnya berpacu, diliputi oleh ketakutan dan penyesalan yang menghantui setiap pikiran.“Maafkan aku, Valen. Maafkan aku…!” suaranya nyaris tak terdengar, tercekik oleh emosi yang bergolak. Bibirnya gemetar, dan air mata mulai membanjiri pandangannya.Tangis Gavin pecah, mengalir deras seperti sungai yang tak terbendung. Hatinya terasa remuk, diremas oleh kepedihan yang tak tertahankan saat bayangan Valen melintas di benaknya. Bagaimana kondisi pria yang dicintainya itu sekarang?Pikiran itu mencabik-cabik ketenangannya. Ketakutan menyeruak, menggerogoti setiap sudut batinnya. Bagaimana jika Valen… mati? Atau lebih buruk, bagaimana jika Valen cacat permanen akibat keputusan impulsif yang baru saja ia buat?“Tidak…! Tidak!” Gavin memukul-mukul setir mobil dengan frustrasi.Penyesalannya datang terlambat, menghempaskan Gavin ke dalam jurang keputusasaan.
Di dalam basement, area parkir sebuah apartemen, tatapan Gavin tak lepas dari mobil yang terletak beberapa meter di depannya. Mobil itu seolah menjadi simbol dari seseorang yang diam-diam telah menjadi pusat dunianya—Dokter Joshua Valen. Hati Gavin bergejolak dengan perasaan yang tak pernah ia ungkapkan kepada siapa pun, kecuali kepada pemilik mobil itu sendiri.Joshua Valen, sang dokter yang tampan dan baik hati, adalah sosok yang telah membuat Gavin merasakan ketenangan yang tak pernah ia dapati dari orang lain. Setiap kali berada di dekat Valen, Gavin merasa damai, seolah semua beban hidupnya menghilang dalam sekejap. Kekaguman Gavin terhadap Valen melampaui batas-batas yang wajar, melebihi rasa kagum seorang pasien biasa kepada dokternya. Gavin telah jatuh cinta—perasaan yang ia tahu salah, namun tak bisa ia kendalikan.Gavin masih mengingat dengan jelas hari ketika ia akhirnya memberanikan diri mengungkapkan perasaannya kepada Valen. Detik-detik itu penuh ketegangan baginya, n
“Michella, kamu sekarang bisa mencairkan nilai pokok investasi milik Mia, lakukan segera.” Nathan menyampaikan instruksi itu lewat telepon. Michella terkejut mendengar permintaan Nathan. Padahal sebelumnya, Nathan kerap memberinya ancaman yang mengerikan bila ia sampai memberikan bantuan keuangan pada Mia, apalagi sampai mengembalikan nilai pokok investasi yang sudah sering diminta oleh Mia.Namun, tanpa banyak tanya lagi—khawatir Nathan berubah pikiran, Michella segera mentransfer uang itu pada Mia. Membuat Mia menangis lega saat ia menyampaikan kabar baik itu.“Maaf, aku baru bisa mengembalikan uang investasimu sekarang, Mia.” Michella berkata dengan hati yang diliputi rasa bersalah.“Tidak apa-apa, Michella…, yang penting sekarang bisnismu sudah stabil, kan?” ucap Mia begitu tulus.Michella diam-diam merasa bersalah dalam hatinya karena sebenarnya bisnisnya baik-baik saja selama ini. Tetapi ia tak berkutik dan tunduk pada perintah Nathan karena ancaman-ancamannya terhadap bisnis M
“Bisa-bisanya kamu menciptakan kiamat untuk kariermu sendiri, Max!” Brama mengomel dengan nada yang semakin meninggi saat menemuinya di hotel usai pertandingan malam itu, nadanya penuh dengan kekhawatiran. Dia membayangkan dampak dari tindakan Max yang sembrono ini—reputasi yang hancur, skandal yang meledak, efek domino yang bisa berakibat fatal bagi kariernya. Brama sangat memahami bagaimana dunia olahraga bisa kejam; satu langkah salah bisa menghancurkan segalanya dalam sekejap.Brama menatap Max sambil geleng-geleng kepala, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan gelisah. Kepalanya yang botak berkilau di bawah cahaya lampu. Sementara itu, Max duduk dengan tenang di hadapannya, menyandarkan punggung ke kursi dengan senyum tipis yang tampak santai. Matanya memancarkan keteguhan yang sulit digoyahkan, seolah semua kata-kata Brama hanya angin lalu.Senyuman Max mencerminkan keyakinan dan ketidakpeduliannya terhadap apa kata dunia atas tindakannya. “Mia sudah bercerai dari Nathan, itu
Jeritan cinta yang begitu menggema dari Max seolah merobek kebisingan di stadion, menimbulkan kekagetan di pikiran begitu banyak orang, khususnya Mia. Dia tak pernah membayangkan bahwa Max akan melakukan sesuatu yang begitu nekat, begitu terbuka, di depan puluhan ribu pasang mata.Mia membeku, tubuhnya kaku seperti patung di tengah lautan manusia yang seakan tidak berhenti bergejolak dengan sorak sorai dan tepukan tangan. Dalam diri Mia, perasaan malu, terkejut, dan kebingungan bergulat satu sama lain, membuat tubuhnya gemetar. Jantungnya berdetak cepat, seolah tak bisa mengimbangi kekacauan yang terjadi di dalam pikirannya. Dia tidak terbiasa menjadi pusat perhatian seperti ini.Tatapan Mia yang biasanya lembut kini terpaku lurus ke depan, mencoba menghindari pandangan orang-orang yang kini tertuju padanya. Setiap mata di stadion ini seolah sedang memperhatikannya, menilai, dan mungkin bahkan menghakiminya. Tangannya yang dingin berusaha mencari pegangan, dan tanpa sadar, ia mengge
Max bersama para pemain lainnya berjalan menuju tepi lapangan, wajahnya berseri-seri dengan senyum hangat menghiasi bibirnya. Tangannya terangkat, melambai ke arah suporter yang memenuhi tribun, seolah ia ingin menyapa setiap orang yang telah memberikan dukungan penuh selama pertandingan. Setiap langkah yang ia ambil terasa penuh dengan kebanggaan, mencerminkan kemenangan yang baru saja mereka raih.Sesampainya di tepi lapangan, Max sedikit membungkukkan badannya sebagai penghormatan tulus kepada para suporter. “Terima kasih!” teriaknya kemudian, sambil kembali melambaikan tangannya.Aksinya diikuti oleh rekan-rekan timnas yang lain. Seketika sikap rendah hati para pemain itu memicu gelombang tepuk tangan yang riuh dari tribun. Sorak-sorai membahana, mengapresiasi sikap hormat yang ditunjukkan oleh Max dan para pemain timnas.Langkah Max dan timnya terhenti tepat di depan tribun Selatan. Di sana, lautan suporter dengan kostum hitam—warna khas Ultras Garuda, mendominasi pemandangan. N