Max dan Mia memulai babak baru dalam kehidupan mereka di Lake District, Inggris, sebuah tempat yang menawarkan ketenangan dan keindahan alam yang kontras dengan kehidupan kota yang sibuk. Keputusan mereka untuk menetap di kawasan ini adalah bagian dari keinginan mereka untuk menemukan kedamaian dan kebahagiaan dalam kehidupan baru mereka bersama.Rumah mereka, sebuah cottage yang terletak di tepi danau, dikelilingi oleh hutan hijau dan pegunungan yang menjulang, memberikan latar belakang yang sempurna untuk melanjutkan kehidupan mereka. Setiap pagi, mereka disambut oleh pemandangan matahari terbit yang memukau dan suara lembut angin yang berdesir di antara pepohonan. Ini adalah tempat di mana Mia dan Max dapat menghindar dari hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari dan benar-benar fokus pada kebersamaan mereka.Max, sebagai pemain sepak bola profesional, berhasil menjalani karier yang cemerlang di Inggris bersama Lakeside City, klub sepak bola yang kini terdaftar dalam EPL (English Premi
Di lobi gedung rumah sakit elit di jantung kota Jakarta, sebuah sedan Rolls Royce hitam berhenti dengan anggun, memancarkan aura kemewahan yang nyata di antara deretan mobil mewah lainnya yang sedang memasuki halaman rumah sakit tersebut.Pintu mobil sedan mewah itu terbuka, menampilkan seorang pria tampan berwajah oriental yang melangkah keluar dengan aura kecerdasan dan percaya diri. Berbalut sepatu kulit hitam mengkilap, kaki pria itu menapak lantai lobi dengan ketegasan seorang pemimpin sejati. Setelan jas hitam yang dikenakannya begitu pas membingkai tubuhnya yang tinggi dan atletis, menambah kesan elegan dan berwibawa yang kini melekat erat pada diri pria berusia 40 tahun itu.“Silakan, Tuan Valen,” sapa asistennya sambil membukakan pintu mobil, memberikan anggukan hormat pada CEO “Bintang Hospital Group” yang baru saja tiba.Aura Dokter Joshua Valen kini begitu berbeda, mencerminkan transformasi yang telah ia lalui dalam beberapa tahun ini. Sejak ditinggalkan oleh Mia, Valen me
“Aku menginginkanmu, Mia.” Bisikan sang suami membuat Mia meloloskan desah dari bibirnya. Wanita itu membuka mulut saat lidah Nathan mendorong masuk ke dalam celah bibirnya, sembari mengalungkan tangannya ke leher pria itu seraya menikmati ciuman mereka. Sebuah pesan dari suaminya mengantarkan Mia ke kamar ini, yang langsung disambut oleh kejutan manis dari Nathan. Rupanya, pria itu ingin mereka berkencan berdua tanpa sang buah hati dalam momen spesial ini, begitu pikir Mia. Nathan meletakkan tangannya di atas pundak Mia yang mulus, menyelipkan jarinya ke balik lingerie hitam seksi wanita itu dan menyibaknya dengan lembut. Gaun tipis itu pun meluncur turun dan teronggok di lantai. Pria itu membelai bagian-bagian tubuh Mia yang telanjang sembari membawanya ke arah yang ia inginkan–sebuah ranjang di tengah kamar hotel ini. Tanpa menghentikan aksi nakalnya, Nathan kembali berbisik mesra, ”Selamat ulang tahun, Mia Alyra Malik.” Mia tersenyum memandang Nathan yang kini sudah berad
Ah, kondisi Mia sangat kacau. Bisa-bisanya–Tiba-tiba, Max masuk ke dalam lift dan memanggul tubuh Mia begitu saja di salah satu pundaknya yang tegap.“Max, apa-apaan kamu?” pekik Mia.Mengabaikan kebingungan Mia, Max melangkah mantap menuju sebuah kamar yang tadi ia tinggalkan. “Kita perlu bicara banyak, Mia.” Suara Max terdengar dalam, membuat tubuh Mia gemetar. “Ke mana saja kamu menghilang selama tujuh tahun ini? Aku mencari-carimu seperti orang gila!” Tubuh Mia dilemparkan begitu saja ke atas ranjang.Ya, Mia tahu. Ia bersalah pada lelaki ini.Max berkacak pinggang, berdiri di tepi ranjang. Tatapannya mengurung Mia dengan rasa ingin tahu yang tak terelakkan. “Jelaskan apa yang terjadi selama tujuh tahun ini, Mia.” Max bergerak mendekat dan duduk di tepi ranjang. “Kenapa kamu tiba-tiba menghilang, Mia? Meninggalkanku tanpa kabar sama sekali.” Mia beringsut mundur, menjauhi Max dengan tatapan takut-takut, seolah ada rahasia besar yang selama ini dia sembunyikan dari mantan kekas
Air mata Mia mengalir deras, tangisannya menggema di ruangan. Tapi Max justru menciumnya dengan makin kasar. Ini bukan Max yang dia kenal, bukan pria yang selama ini ia percayai dan cintai. Mia mendorong dada Max, berusaha melepaskan diri dari cengkeramannya. Namun, kekuatannya tidak sebanding dengan kekuatan pria ini. “Max, STOP!” Mia menggeliat, menendang, dan memukul, tapi Max seolah terbutakan oleh amarah dan keputusasaan.Mia teringat saat-saat indah mereka bersama, senyum hangat Max, tatapan lembutnya. Bayangan itu membuatnya bertekad ingin mengembalikan Max. “Max, lihat aku!” Mia berteriak, matanya mencari-cari mata Max, ditahannya kedua sisi wajah Max yang sejak tadi menciumnya dengan liar.Tatapan mereka bertemu, dan di saat itu, ada sesuatu yang berubah. Mata Max yang tadinya dipenuhi amarah kini memancarkan keraguan. Mia tidak berhenti. “Ini bukan kamu, Max. Kamu bukan orang yang seperti ini,” serunya.Max tertegun. Cengkeramannya melemah. Dalam hatinya, ia merasa ada se
Vena cepat-cepat mengambil alih Alyra yang kaget dan ketakutan mendengar teriakan Nathan yang menggelegar. Bocah itu menangis. Vena buru-buru menenangkannya sambil berjalan menuju sebuah Toyota Vellfire hitam yang telah menunggu mereka di lobi.Sementara itu Nathan, dengan sorot matanya yang menyala-nyala, segera menuju ke arah Mia yang sedang saling berpegangan tangan dengan Max. “Rupanya kamu masih di sini?” katanya sambil menarik tangan Mia. Dengan sekali sentak, Mia terlepas dari Max. “Kalian bersama semalam?” cecar Nathan pada Mia, lalu pria itu menoleh kepada Max. Bila tatapan Nathan bisa membunuh, mungkin Max sudah menggelepar di lantai sekarang.Max mengenali sosok pria di depannya. Nathan adalah sepupu Mia, sudah seperti kakak kandung bagi Mia. Pria itu memang dikenalnya over protektif terhadap Mia sejak dulu. “Nathan? Apa kabar?” Max mengulurkan tangan, ingin bersalaman. Namun tangannya hanya menggantung di udara, tak menerima sambutan dari Nathan.Max menarik kembali tan
“Mas, kita perlu bicara.” Mia buka suara begitu Nathan memasuki kamar pada esok paginya. Semalam, Nathan tak kembali ke kamar mereka. Mia mendengar balita itu terus saja menangis dan dia tahu Nathan pasti ada di kamar itu untuk menenangkan putrinya.Oh, Tuhan. Fakta bahwa Nathan memiliki seorang putri bersama wanita lain telah membuat hati Mia remuk. Ditambah sekarang, mereka juga ada di sini, di rumahnya! Perasaan marah dan kecewa bercampur aduk dalam dadanya.“Bicaralah.” Nathan duduk di tepi kasur, dengan nada lelah dan sorot mata redup seperti masih mengantuk. Namun, seberat apapun kondisinya, dia ingin memberi kesempatan istrinya berbicara.“Vena…," suara Mia sedikit bergetar, "dia tidak seharusnya ada di sini." Nathan menghela napas panjang, mengusap wajahnya dengan tangan. “Aku tahu, Mia. Aku tahu." Pria itu mengangguk-angguk pelan. "Tapi kita tak boleh mengusirnya. Dia harus tetap di sini.” Nathan memandang Mia lurus-lurus.Pernyataan Nathan barusan seperti belati yang menusuk
Mia meringis kesakitan sebab Nathan mencengkeram pergelangan tangannya dengan kekuatan yang terlalu berlebihan. Matanya berkaca-kaca. Ada rasa sakit yang tersorot di dalamnya. Suaminya justru melindungi perempuan yang menghina dirinya. Sementara itu senyum tipis menghiasi wajah Vena, memancarkan aura kemenangan yang membuat darah Mia mendidih."Lepaskan tanganku, Mas!” Tangisan Alyra pun pecah, wajah bocah itu bingung dan ketakutan melihat Mia yang tampak bernafsu ingin menyakiti ibu yang disayanginya. "Sudah, Mia! Kamu bikin Alyra ketakutan." Nathan membentak, nada suaranya yang tegas dan penuh perintah memotong udara seperti pisau tajam. Mata kelamnya menyala, penuh peringatan saat melihat Mia masih berusaha melampiaskan amarahnya. Pria itu berdiri tegak, tubuh gagahnya menjadi benteng yang melindungi Vena dari amukan Mia. Sementara itu, Vena meringkuk di balik punggung Nathan, menggunakan pria itu sebagai tameng, senyum tipis lagi-lagi bermain di bibirnya.Mia, dengan mata yang