Mia meringis kesakitan sebab Nathan mencengkeram pergelangan tangannya dengan kekuatan yang terlalu berlebihan. Matanya berkaca-kaca. Ada rasa sakit yang tersorot di dalamnya. Suaminya justru melindungi perempuan yang menghina dirinya.
Sementara itu senyum tipis menghiasi wajah Vena, memancarkan aura kemenangan yang membuat darah Mia mendidih.
"Lepaskan tanganku, Mas!”
Tangisan Alyra pun pecah, wajah bocah itu bingung dan ketakutan melihat Mia yang tampak bernafsu ingin menyakiti ibu yang disayanginya.
"Sudah, Mia! Kamu bikin Alyra ketakutan." Nathan membentak, nada suaranya yang tegas dan penuh perintah memotong udara seperti pisau tajam. Mata kelamnya menyala, penuh peringatan saat melihat Mia masih berusaha melampiaskan amarahnya.
Pria itu berdiri tegak, tubuh gagahnya menjadi benteng yang melindungi Vena dari amukan Mia. Sementara itu, Vena meringkuk di balik punggung Nathan, menggunakan pria itu sebagai tameng, senyum tipis lagi-lagi bermain di bibirnya.
Mia, dengan mata yang berkilat luka, menatap Nathan. "Kamu lebih memilih dia, Mas?"
Nathan menghela napas panjang, matanya melembut sejenak sebelum kembali mengeras. "Jangan buang energi untuk hal semacam ini, Mia. Tenanglah," bujuknya.
"Hal semacam ini?” Mia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Dia menghinaku dan Rival. Menurutmu, ini hal sepele?” Mia mengibaskan tangannya dan kali ini Nathan melepaskannya, namun malah membuat tubuh Mia terhuyung ke belakang. Nathan cepat-cepat mengulurkan tangan untuk menahannya, tapi terlambat, punggung Mia telanjur membentur lemari jati di belakangnya dengan lumayan keras.
"Aku lelah denganmu, Mas." Mia berkata lirih, suaranya hampir tenggelam dalam isak tangis, merasa sakit di hati dan juga di punggungnya. Iapun bergegas pergi meninggalkan Nathan yang sibuk menenangkan tangisan Alyra.
Air mata mengaburkan pandangannya saat Mia berjalan cepat menuju kamarnya, kesedihan menyesakkan dadanya. Begitu sampai di kamar, Mia mengunci pintu, mengurung dirinya dalam keheningan yang menyakitkan.
Tangis Mia pecah tanpa bisa dibendung lagi. Hatinya semakin sakit ketika menyadari bahwa Nathan tidak menyusulnya atau berusaha membujuknya agar berhenti menangis. Padahal biasanya, setiap kali mereka bertengkar, Nathan akan mengetuk pintu dengan lembut, memohon maaf dan menenangkan Mia dengan pelukan hangat dan kata-kata manis.
Tapi kali ini, tidak ada ketukan di pintu. Tidak ada suara Nathan yang mencoba membujuknya. Keheningan di luar kamarnya terasa menusuk, membuat Mia merasa semakin terluka dan terabaikan.
"Dia sekarang pasti sibuk menenangkan tangisan Alyra dan Vena," gumam Mia sambil tersedu-sedu, hatinya semakin perih dengan pikiran itu.
Mia merosot di sisi tempat tidurnya, memeluk bantal dengan erat. Isaknya semakin menjadi, mengisi ruangan kamar yang terasa begitu sepi dan dingin. Bayangan masa-masa bahagia bersama Nathan melintas di benaknya, membuat luka di hatinya semakin dalam. Dia teringat bagaimana dulu Nathan selalu ada untuknya, menjadi pelindung dan penghibur dalam setiap keadaan.
Sekarang, Mia merasa sendirian, terjebak dalam kesedihan yang tak berujung. Dia meringkuk di sudut ranjang, berharap keajaiban bisa mengembalikan Nathan yang dulu, pria yang selalu memprioritaskan dirinya di atas segalanya. Namun, kenyataan yang ada di hadapannya sekarang terasa begitu berbeda dan menyakitkan, menghancurkan harapan-harapan yang pernah dia miliki.
Suara Vena terngiang kembali di telinganya, "Kamu hanyalah wanita bekas pakai pria lain, sedangkan aku… benar-benar telah mempersembahkan kesucianku untuknya."
Kata-kata Vena itu memukul batin Mia berulang kali. Tiba-tiba, Mia merasa rendah diri karena Vena telah memberikan Nathan satu hal yang tak pernah bisa ia berikan untuk suaminya itu sampai kapanpun, yaitu kesuciannya.
Mia menatap bayangannya di cermin, mengingat masa lalunya yang penuh gejolak. Dia memang sedang dalam kondisi mengandung Rival saat menikah dengan Nathan. Kehamilannya itu bahkan sempat tak ia sadari.
Saat itu, Mia masih kuliah di Bandung dan sudah memasuki semester enam, sibuk dengan pengajuan judul skripsi. Namun di tengah kesibukannya itu, Mia tetap menyempatkan diri untuk menonton pertandingan sepakbola secara langsung di stadion utama Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta. Dia ingin memberikan dukungan untuk Max yang ikut berlaga membela timnas sepakbola Indonesia.
Sepulangnya dari GBK, Mia menginap di rumah Nathan. Pria itu terbelalak memandangi Mia yang berpakaian jersey merah timnas sepakbola Indonesia dengan kedua pipinya yang bergambarkan bendera merah-putih.
"Mia? Kamu nonton bola? Ke GBK? Dari Bandung? Sendirian? Baru pulang semalam ini?" cecar Nathan. Ah, Nathan memang suka sekali overthinking terhadap segala sesuatu yang Mia lakukan.
Mia cuma nyengir kuda menerima tatapan tajam dari seorang Nathan Romeo. Dia tahu, semarah apapun, Nathan pasti akan lekas kembali baik kepadanya.
“So what?” Mia menyahut santai, tapi kemudian gadis itu memekik kaget karena tiba-tiba saja Nathan menjewernya seperti anak kecil.
Sial. Galaknya Nathan masih saja nggak ada obat!
“Gimana kalau pertandingan bolanya berakhir rusuh, heh? Kalau kamu sampai kenapa-napa gara-gara bola seperti ayahmu, bayangin... gimana perasaan ibumu?" Tatapan Nathan menghunus tajam.
Mia tercekat saat Nathan kembali mengungkit kematian ayahnya yang meninggal sebagai korban tawuran antar suporter klub sepakbola di Bandung pada lima tahun silam. Sejak saat itu, ibunya menjadi trauma dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan sepakbola. Karena itulah Mia menutupi hubungannya dengan Max, yang merupakan atlet sepakbola. Mia juga melarang Max untuk tidak mempublikasikan hubungan asmara mereka.
Esok harinya, Mia muntah-muntah dan tidak enak badan. Sampai-sampai dia tak punya energi untuk kembali ke Bandung. Mungkin maagnya sedang kambuh, pikirnya. Mia terpaksa menginap lebih lama di rumah Nathan, hampir seminggu.
Pagi itu, Mia kembali muntah-muntah hebat hingga tubuhnya lemas. “Kamu harus ke dokter sekarang!” Nathan langsung menggendong Mia dan membawanya ke rumah sakit, karena Mia selalu saja menolak tiap disuruh baik-baik.
Dan alangkah kagetnya mereka ketika dokter menyampaikan hasil pemeriksaannya, "Ibu Mia positif hamil. Untuk sementara, Ibu perlu dirawat karena mengalami hiperemesis."
Melalui ekor matanya, Mia bisa melihat Nathan langsung menoleh kepadanya. Pria itu juga pasti syok seperti dirinya.
Begitu Mia sudah terbaring di ruang perawatan, Nathan langsung mencecarnya. "Siapa bajingan itu, Mia?" Suara dingin Nathan bagai pisau yang menusuk-nusuk Mia dengan ketakutan.
Mia tak sanggup memandang wajah kakak sepupunya itu. Dia menunduk, matanya terpaku pada selang infus di tangannya.
"Kamu pikir air matamu bisa menjawab pertanyaanku, Mia?" Dalam suara Nathan mengandung kemarahan yang menyala-nyala.
Mia bungkam seribu bahasa, berbanding terbalik dengan berisiknya suara televisi di ruang perawatan VIP itu, yang sedang ramai menayangkan siaran pertandingan final sepak bola antara Indonesia dengan Irak.
“Gol…! Pemirsa, tendangan yang sangat cantik dari gelandang muda kita, Max Julian! Akhirnya menjadi gol untuk Indonesia.”
Suara komentator mengisi keheningan, membawa ironi yang begitu menyakitkan bagi Mia.
Mia terbangun dan memandang sisi ranjang yang kosong di sebelahnya. Kekosongan dalam hatinya kian menjadi, setiap Nathan tidak tidur di kamar mereka terasa seperti pengkhianatan. Pria itu lebih banyak menghabiskan waktunya dengan Alyra, anak kecil yang rapuh itu. Mia merasa jahat, karena cemburu pada bocah tiga tahun yang tak berdosa. Alyra berhak mendapatkan cinta dari ayahnya, Mia tahu itu. Tapi, rasa cemburu itu tetap menggerogoti hatinya, membuatnya merasa tersingkirkan dan tak berdaya.Nathan adalah suaminya, dan Mia merasa seharusnya masih memiliki hak atas dirinya. Mia menghela napas panjang, merasakan cemburu yang semakin sulit untuk diabaikan. Nathan mulai berat sebelah, dan itu tak bisa disangkal lagi. Sementara itu, Vena semakin sering mencuri ruangnya, seolah ingin mengukuhkan posisinya yang lebih istimewa daripada Mia. Setiap kali Vena ada di dekat Nathan dan Alyra, Mia merasa perannya sebagai istri Nathan semakin dipertanyakan.Mia menolak larut dalam kesedihan. Dia seg
Posisinya di tribun VIP memberikan Mia pandangan yang sempurna ke lapangan. Di sana, Max bermain dengan ketangkasan yang memikat. Max menguasai bola dengan keahlian yang membuat suporter terpana. Gelandang bernomor punggung 23 itu memimpin serangan tim dengan visi yang tajam, mengirimkan umpan-umpan yang akurat."Omaygat. Karin, pacarmu keren," ujar Michella dengan nada menggoda.“Baru tahu? Kasihan.” Karin memutar bola mata sambil tertawa riang.“Hmm ya, pacarmu terlihat hebat di lapangan, kurasa staminanya di ranjang sudah tidak perlu diragukan lagi, bukan?” balas Michella.“Ciumannya saja luar biasa, asal kau tahu,” sahut Karin, tersenyum bangga.Mia mengabaikan obrolan nakal antara Michella dan Karin di sebelahnya. Dia tak bisa mengalihkan pandangannya dari Max. Dia selalu tahu bahwa Max berbakat. Setiap kali Max menguasai bola, Mia seakan menahan napas, menantikan apa yang akan terjadi selanjutnya. Sementara di sebelahnya, Karin dan Michella terus saja bergosip.Max menggirin
“Kamu memang harus lebih menerimaku, Mia," ucap Vena. Ia menyerobot Mia di dapur dan mengambil alih persiapan bekal makan Rival. "Bukankah asyik kalau kita bisa akur dan saling membantu begini? Bersama-sama mengurus anak-anak dan suami kita.”Mia mendengus pelan. "Suami kita?" balasnya, seakan-akan jijik dengan pilihan kata yang dipakai Vena. "Jangan membual."Ia mengambil alih kotak makan siang dari tangan Vena. "Iyuh..., menjijikkan." Dia mencuci kotak bekal itu sambil meringis.Mia menyabun dan membilasnya hingga tiga kali, bahkan mensterilkannya dengan air panas.Vena mengepalkan tangan. “Kau–” Dia menahan geram melihat cara Mia memperlakukan benda itu, seolah-olah baru saja bersentuhan dengan sesuatu yang najis. Mia sengaja membawa Rival berangkat lebih awal, menghindari momen sarapan bersama Nathan, Alyra, dan juga Vena. Melihat kebersamaan mereka membuat Mia mual.Mia beralasan, “Jam latihan sepakbola Rival dimajukan lebih pagi. Kami berangkat sekarang, Mas.” Setibanya di la
Dalam temaramnya bioskop, Mia merasakan tatapan panas Max yang tak henti-hentinya mendarat pada dirinya. Membuat Mia tak bisa memusatkan perhatiannya pada film Doraemon yang sedang tayang.Dia tahu, Max tak tertarik pada film animasi itu, Max lebih menyukai gemerlap dunia film live action yang penuh aksi dan adrenalin. Mia menghela napas, dia memutuskan untuk membuka nomor kontak Max yang selama tujuh tahun ini diblokirnya. Setelah memeriksa bahwa nomor itu rupanya masih tetap digunakan oleh Max, iapun segera mengirim pesan.Mia: [Max, kita di ruang publik. Kamu atlet populer, orang-orang memperhatikanmu. Berhentilah memandangku. Jangan memicu spekulasi orang-orang.]Namun, pesan itu bagaikan batu yang dilemparkan ke kolam sunyi. Max bergeming, tampak asyik dengan dunianya sendiri: menonton film, berbisik-bisik dengan Rival, dan kembali memandangnya, tak sadar tatapannya yang intens itu telah menusuk Mia dengan ketidaknyamanan.Tak tahan lagi, Mia memberi isyarat agar Max memeriksa
Mia menghela napas, memandang Rival yang tertidur. “Nah, kan. Dia selalu saja begini, ketiduran di akhir-akhir film.”“Biar saja.” Max menahan tangan Mia yang sedang menepuk-nepuk pelan pipi Rival, bermaksud membangunkannya. “Dia kelelahan,” ujar Max sambil tersenyum, memandang Rival. “Tadi dia bersemangat sekali di lapangan.” Max teringat bagaimana Rival berupaya keras menunjukkan aksi-aksinya yang memukau saat sesi latihan bersamanya tadi. Membuat Max diam-diam mengagumi bakatnya. Mia memandang sekeliling bioskop yang kini kosong. “Max,” panggilnya pelan. “Orang-orang sudah keluar semua, tinggal kita.”“Tidak apa-apa," Max mengerling penuh keisengan padanya, "paling kita cuma diusir…”“Max!” Mia sewot, tapi Max malah tertawa ringan.Mia berdiri, Max juga ikut berdiri dan segera menggendong Rival dengan begitu mudah. Bobot tubuh Rival yang bagi Mia berat, terlihat ringan dalam gendongan Max.Max menuruni undakan demi undakan lantai bioskop dengan gerakan atletis yang mengagumkan,
Max tertawa. “Doakan ya, semoga saya bisa punya anak setampan ini juga di masa depan.” Dia terlihat santai menanggapinya, tapi ada sesuatu yang lebih dalam di matanya.“Memangnya anak siapa ini, Max?” tanya salah seorang dari penggemarnya, rasa penasaran terlihat jelas.Max menunjuk Mia dengan lirikan matanya. “Anaknya teman saya.”Para penggemarnya segera menoleh kepada Mia. Max memperhatikan, Mia mengangguk kecil pada orang-orang yang memandangnya dengan sorot penasaran yang menari-nari di mata mereka. Meskipun terlihat gugup, namun mantan kekasihnya itu berhasil tersenyum dengan baik, senyum yang menawan.“Teman yang cantik, Max,” celetuk salah seorang dari mereka, yang direspons anggukan setuju oleh yang lainnya.“Betul,” Max ikut mengangguk. “Suaminya beruntung sekali mendapatkan teman saya yang cantik ini, bukan?” imbuhnya, berusaha menjaga agar tidak ada gosip yang berkembang tentang kebersamaannya dengan Mia saat ini.“Ooh, sudah menikah?” Ekspresi kelegaan terlihat di wajah
“Tidak. Tidak.” Mia menggeleng keras. “Aku tidak percaya padamu.” Dia menolak tegas saat Max menawarkan diri untuk menggantikannya mengemudi.Max memutar bola mata, tidak mengira Mia bakal menyatakan ketidakpercayaannya secara terang-terangan.“Kamu mungkin hebat di lapangan.” Mia menyalakan mesin mobilnya. “Tapi belum tentu saat menghadapi kondisi jalanan di Jakarta, Max.” Max terkekeh sambil memasang seatbelt. “Baiklah, kamu benar,” dia mengedikkan bahunya, “Membawa mobil di kota ini tidak mudah. Emak-emak di sini memang berbahaya, sein ke kanan tapi beloknya ke kiri.”Tawa mereka meledak, tapi keduanya segera sadar bahwa ada Rival yang tertidur. Max menoleh ke kursi belakang, tersenyum melihat Rival yang masih terlelap. Sementara itu, Mia hanya melirik putranya melalui kaca spion sebab dia harus fokus menyetir.“Apa Rivaldo biasa seperti itu? Tak terganggu keributan kalau sudah ngantuk berat?” tanyanya sedikit heran. Hal itu mengingatkan Max pada dirinya sendiri semasa kecil. Dia
Di ruang perawatan VIP khusus anak, Nathan tampak sibuk menerima telepon sambil memperhatikan layar laptop di hadapannya. Biarpun sambil menunggu Alyra yang sedang sakit, tapi dia tetap fokus mengurus pekerjaan yang saat itu juga membutuhkan perhatiannya, menunjukkan profesionalismenya yang tak pernah surut. Sebagai Presiden Direktur dari Astralux Transportation, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa transportasi, Nathan selalu ingin memastikan bisnisnya tetap terkendali baik, tak peduli apapun situasinya saat ini.Astralux Transportation dikenal sebagai salah satu perusahaan terkemuka yang menyediakan jasa sewa kendaraan, baik darat, laut, maupun udara. Perusahaan ini memiliki armada yang lengkap, mulai dari mobil mewah dan bus untuk transportasi darat, kapal pesiar dan yacht untuk transportasi laut, hingga jet pribadi dan helikopter untuk transportasi udara.Nathan sedang dalam panggilan telepon dengan salah satu investor utama, membahas kesepakatan besar yang akan memperl