Mia meringis kesakitan sebab Nathan mencengkeram pergelangan tangannya dengan kekuatan yang terlalu berlebihan. Matanya berkaca-kaca. Ada rasa sakit yang tersorot di dalamnya. Suaminya justru melindungi perempuan yang menghina dirinya.
Sementara itu senyum tipis menghiasi wajah Vena, memancarkan aura kemenangan yang membuat darah Mia mendidih.
"Lepaskan tanganku, Mas!”
Tangisan Alyra pun pecah, wajah bocah itu bingung dan ketakutan melihat Mia yang tampak bernafsu ingin menyakiti ibu yang disayanginya.
"Sudah, Mia! Kamu bikin Alyra ketakutan." Nathan membentak, nada suaranya yang tegas dan penuh perintah memotong udara seperti pisau tajam. Mata kelamnya menyala, penuh peringatan saat melihat Mia masih berusaha melampiaskan amarahnya.
Pria itu berdiri tegak, tubuh gagahnya menjadi benteng yang melindungi Vena dari amukan Mia. Sementara itu, Vena meringkuk di balik punggung Nathan, menggunakan pria itu sebagai tameng, senyum tipis lagi-lagi bermain di bibirnya.
Mia, dengan mata yang berkilat luka, menatap Nathan. "Kamu lebih memilih dia, Mas?"
Nathan menghela napas panjang, matanya melembut sejenak sebelum kembali mengeras. "Jangan buang energi untuk hal semacam ini, Mia. Tenanglah," bujuknya.
"Hal semacam ini?” Mia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Dia menghinaku dan Rival. Menurutmu, ini hal sepele?” Mia mengibaskan tangannya dan kali ini Nathan melepaskannya, namun malah membuat tubuh Mia terhuyung ke belakang. Nathan cepat-cepat mengulurkan tangan untuk menahannya, tapi terlambat, punggung Mia telanjur membentur lemari jati di belakangnya dengan lumayan keras.
"Aku lelah denganmu, Mas." Mia berkata lirih, suaranya hampir tenggelam dalam isak tangis, merasa sakit di hati dan juga di punggungnya. Iapun bergegas pergi meninggalkan Nathan yang sibuk menenangkan tangisan Alyra.
Air mata mengaburkan pandangannya saat Mia berjalan cepat menuju kamarnya, kesedihan menyesakkan dadanya. Begitu sampai di kamar, Mia mengunci pintu, mengurung dirinya dalam keheningan yang menyakitkan.
Tangis Mia pecah tanpa bisa dibendung lagi. Hatinya semakin sakit ketika menyadari bahwa Nathan tidak menyusulnya atau berusaha membujuknya agar berhenti menangis. Padahal biasanya, setiap kali mereka bertengkar, Nathan akan mengetuk pintu dengan lembut, memohon maaf dan menenangkan Mia dengan pelukan hangat dan kata-kata manis.
Tapi kali ini, tidak ada ketukan di pintu. Tidak ada suara Nathan yang mencoba membujuknya. Keheningan di luar kamarnya terasa menusuk, membuat Mia merasa semakin terluka dan terabaikan.
"Dia sekarang pasti sibuk menenangkan tangisan Alyra dan Vena," gumam Mia sambil tersedu-sedu, hatinya semakin perih dengan pikiran itu.
Mia merosot di sisi tempat tidurnya, memeluk bantal dengan erat. Isaknya semakin menjadi, mengisi ruangan kamar yang terasa begitu sepi dan dingin. Bayangan masa-masa bahagia bersama Nathan melintas di benaknya, membuat luka di hatinya semakin dalam. Dia teringat bagaimana dulu Nathan selalu ada untuknya, menjadi pelindung dan penghibur dalam setiap keadaan.
Sekarang, Mia merasa sendirian, terjebak dalam kesedihan yang tak berujung. Dia meringkuk di sudut ranjang, berharap keajaiban bisa mengembalikan Nathan yang dulu, pria yang selalu memprioritaskan dirinya di atas segalanya. Namun, kenyataan yang ada di hadapannya sekarang terasa begitu berbeda dan menyakitkan, menghancurkan harapan-harapan yang pernah dia miliki.
Suara Vena terngiang kembali di telinganya, "Kamu hanyalah wanita bekas pakai pria lain, sedangkan aku… benar-benar telah mempersembahkan kesucianku untuknya."
Kata-kata Vena itu memukul batin Mia berulang kali. Tiba-tiba, Mia merasa rendah diri karena Vena telah memberikan Nathan satu hal yang tak pernah bisa ia berikan untuk suaminya itu sampai kapanpun, yaitu kesuciannya.
Mia menatap bayangannya di cermin, mengingat masa lalunya yang penuh gejolak. Dia memang sedang dalam kondisi mengandung Rival saat menikah dengan Nathan. Kehamilannya itu bahkan sempat tak ia sadari.
Saat itu, Mia masih kuliah di Bandung dan sudah memasuki semester enam, sibuk dengan pengajuan judul skripsi. Namun di tengah kesibukannya itu, Mia tetap menyempatkan diri untuk menonton pertandingan sepakbola secara langsung di stadion utama Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta. Dia ingin memberikan dukungan untuk Max yang ikut berlaga membela timnas sepakbola Indonesia.
Sepulangnya dari GBK, Mia menginap di rumah Nathan. Pria itu terbelalak memandangi Mia yang berpakaian jersey merah timnas sepakbola Indonesia dengan kedua pipinya yang bergambarkan bendera merah-putih.
"Mia? Kamu nonton bola? Ke GBK? Dari Bandung? Sendirian? Baru pulang semalam ini?" cecar Nathan. Ah, Nathan memang suka sekali overthinking terhadap segala sesuatu yang Mia lakukan.
Mia cuma nyengir kuda menerima tatapan tajam dari seorang Nathan Romeo. Dia tahu, semarah apapun, Nathan pasti akan lekas kembali baik kepadanya.
“So what?” Mia menyahut santai, tapi kemudian gadis itu memekik kaget karena tiba-tiba saja Nathan menjewernya seperti anak kecil.
Sial. Galaknya Nathan masih saja nggak ada obat!
“Gimana kalau pertandingan bolanya berakhir rusuh, heh? Kalau kamu sampai kenapa-napa gara-gara bola seperti ayahmu, bayangin... gimana perasaan ibumu?" Tatapan Nathan menghunus tajam.
Mia tercekat saat Nathan kembali mengungkit kematian ayahnya yang meninggal sebagai korban tawuran antar suporter klub sepakbola di Bandung pada lima tahun silam. Sejak saat itu, ibunya menjadi trauma dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan sepakbola. Karena itulah Mia menutupi hubungannya dengan Max, yang merupakan atlet sepakbola. Mia juga melarang Max untuk tidak mempublikasikan hubungan asmara mereka.
Esok harinya, Mia muntah-muntah dan tidak enak badan. Sampai-sampai dia tak punya energi untuk kembali ke Bandung. Mungkin maagnya sedang kambuh, pikirnya. Mia terpaksa menginap lebih lama di rumah Nathan, hampir seminggu.
Pagi itu, Mia kembali muntah-muntah hebat hingga tubuhnya lemas. “Kamu harus ke dokter sekarang!” Nathan langsung menggendong Mia dan membawanya ke rumah sakit, karena Mia selalu saja menolak tiap disuruh baik-baik.
Dan alangkah kagetnya mereka ketika dokter menyampaikan hasil pemeriksaannya, "Ibu Mia positif hamil. Untuk sementara, Ibu perlu dirawat karena mengalami hiperemesis."
Melalui ekor matanya, Mia bisa melihat Nathan langsung menoleh kepadanya. Pria itu juga pasti syok seperti dirinya.
Begitu Mia sudah terbaring di ruang perawatan, Nathan langsung mencecarnya. "Siapa bajingan itu, Mia?" Suara dingin Nathan bagai pisau yang menusuk-nusuk Mia dengan ketakutan.
Mia tak sanggup memandang wajah kakak sepupunya itu. Dia menunduk, matanya terpaku pada selang infus di tangannya.
"Kamu pikir air matamu bisa menjawab pertanyaanku, Mia?" Dalam suara Nathan mengandung kemarahan yang menyala-nyala.
Mia bungkam seribu bahasa, berbanding terbalik dengan berisiknya suara televisi di ruang perawatan VIP itu, yang sedang ramai menayangkan siaran pertandingan final sepak bola antara Indonesia dengan Irak.
“Gol…! Pemirsa, tendangan yang sangat cantik dari gelandang muda kita, Max Julian! Akhirnya menjadi gol untuk Indonesia.”
Suara komentator mengisi keheningan, membawa ironi yang begitu menyakitkan bagi Mia.
Mia terbangun dan memandang sisi ranjang yang kosong di sebelahnya. Kekosongan dalam hatinya kian menjadi, setiap Nathan tidak tidur di kamar mereka terasa seperti pengkhianatan. Pria itu lebih banyak menghabiskan waktunya dengan Alyra, anak kecil yang rapuh itu. Mia merasa jahat, karena cemburu pada bocah tiga tahun yang tak berdosa. Alyra berhak mendapatkan cinta dari ayahnya, Mia tahu itu. Tapi, rasa cemburu itu tetap menggerogoti hatinya, membuatnya merasa tersingkirkan dan tak berdaya.Nathan adalah suaminya, dan Mia merasa seharusnya masih memiliki hak atas dirinya. Mia menghela napas panjang, merasakan cemburu yang semakin sulit untuk diabaikan. Nathan mulai berat sebelah, dan itu tak bisa disangkal lagi. Sementara itu, Vena semakin sering mencuri ruangnya, seolah ingin mengukuhkan posisinya yang lebih istimewa daripada Mia. Setiap kali Vena ada di dekat Nathan dan Alyra, Mia merasa perannya sebagai istri Nathan semakin dipertanyakan.Mia menolak larut dalam kesedihan. Dia seg
Posisinya di tribun VIP memberikan Mia pandangan yang sempurna ke lapangan. Di sana, Max bermain dengan ketangkasan yang memikat. Max menguasai bola dengan keahlian yang membuat suporter terpana. Gelandang bernomor punggung 23 itu memimpin serangan tim dengan visi yang tajam, mengirimkan umpan-umpan yang akurat."Omaygat. Karin, pacarmu keren," ujar Michella dengan nada menggoda.“Baru tahu? Kasihan.” Karin memutar bola mata sambil tertawa riang.“Hmm ya, pacarmu terlihat hebat di lapangan, kurasa staminanya di ranjang sudah tidak perlu diragukan lagi, bukan?” balas Michella.“Ciumannya saja luar biasa, asal kau tahu,” sahut Karin, tersenyum bangga.Mia mengabaikan obrolan nakal antara Michella dan Karin di sebelahnya. Dia tak bisa mengalihkan pandangannya dari Max. Dia selalu tahu bahwa Max berbakat. Setiap kali Max menguasai bola, Mia seakan menahan napas, menantikan apa yang akan terjadi selanjutnya. Sementara di sebelahnya, Karin dan Michella terus saja bergosip.Max menggirin
“Kamu memang harus lebih menerimaku, Mia," ucap Vena. Ia menyerobot Mia di dapur dan mengambil alih persiapan bekal makan Rival. "Bukankah asyik kalau kita bisa akur dan saling membantu begini? Bersama-sama mengurus anak-anak dan suami kita.”Mia mendengus pelan. "Suami kita?" balasnya, seakan-akan jijik dengan pilihan kata yang dipakai Vena. "Jangan membual."Ia mengambil alih kotak makan siang dari tangan Vena. "Iyuh..., menjijikkan." Dia mencuci kotak bekal itu sambil meringis.Mia menyabun dan membilasnya hingga tiga kali, bahkan mensterilkannya dengan air panas.Vena mengepalkan tangan. “Kau–” Dia menahan geram melihat cara Mia memperlakukan benda itu, seolah-olah baru saja bersentuhan dengan sesuatu yang najis. Mia sengaja membawa Rival berangkat lebih awal, menghindari momen sarapan bersama Nathan, Alyra, dan juga Vena. Melihat kebersamaan mereka membuat Mia mual.Mia beralasan, “Jam latihan sepakbola Rival dimajukan lebih pagi. Kami berangkat sekarang, Mas.” Setibanya di la
Dalam temaramnya bioskop, Mia merasakan tatapan panas Max yang tak henti-hentinya mendarat pada dirinya. Membuat Mia tak bisa memusatkan perhatiannya pada film Doraemon yang sedang tayang.Dia tahu, Max tak tertarik pada film animasi itu, Max lebih menyukai gemerlap dunia film live action yang penuh aksi dan adrenalin. Mia menghela napas, dia memutuskan untuk membuka nomor kontak Max yang selama tujuh tahun ini diblokirnya. Setelah memeriksa bahwa nomor itu rupanya masih tetap digunakan oleh Max, iapun segera mengirim pesan.Mia: [Max, kita di ruang publik. Kamu atlet populer, orang-orang memperhatikanmu. Berhentilah memandangku. Jangan memicu spekulasi orang-orang.]Namun, pesan itu bagaikan batu yang dilemparkan ke kolam sunyi. Max bergeming, tampak asyik dengan dunianya sendiri: menonton film, berbisik-bisik dengan Rival, dan kembali memandangnya, tak sadar tatapannya yang intens itu telah menusuk Mia dengan ketidaknyamanan.Tak tahan lagi, Mia memberi isyarat agar Max memeriksa
Mia menghela napas, memandang Rival yang tertidur. “Nah, kan. Dia selalu saja begini, ketiduran di akhir-akhir film.”“Biar saja.” Max menahan tangan Mia yang sedang menepuk-nepuk pelan pipi Rival, bermaksud membangunkannya. “Dia kelelahan,” ujar Max sambil tersenyum, memandang Rival. “Tadi dia bersemangat sekali di lapangan.” Max teringat bagaimana Rival berupaya keras menunjukkan aksi-aksinya yang memukau saat sesi latihan bersamanya tadi. Membuat Max diam-diam mengagumi bakatnya. Mia memandang sekeliling bioskop yang kini kosong. “Max,” panggilnya pelan. “Orang-orang sudah keluar semua, tinggal kita.”“Tidak apa-apa," Max mengerling penuh keisengan padanya, "paling kita cuma diusir…”“Max!” Mia sewot, tapi Max malah tertawa ringan.Mia berdiri, Max juga ikut berdiri dan segera menggendong Rival dengan begitu mudah. Bobot tubuh Rival yang bagi Mia berat, terlihat ringan dalam gendongan Max.Max menuruni undakan demi undakan lantai bioskop dengan gerakan atletis yang mengagumkan,
Max tertawa. “Doakan ya, semoga saya bisa punya anak setampan ini juga di masa depan.” Dia terlihat santai menanggapinya, tapi ada sesuatu yang lebih dalam di matanya.“Memangnya anak siapa ini, Max?” tanya salah seorang dari penggemarnya, rasa penasaran terlihat jelas.Max menunjuk Mia dengan lirikan matanya. “Anaknya teman saya.”Para penggemarnya segera menoleh kepada Mia. Max memperhatikan, Mia mengangguk kecil pada orang-orang yang memandangnya dengan sorot penasaran yang menari-nari di mata mereka. Meskipun terlihat gugup, namun mantan kekasihnya itu berhasil tersenyum dengan baik, senyum yang menawan.“Teman yang cantik, Max,” celetuk salah seorang dari mereka, yang direspons anggukan setuju oleh yang lainnya.“Betul,” Max ikut mengangguk. “Suaminya beruntung sekali mendapatkan teman saya yang cantik ini, bukan?” imbuhnya, berusaha menjaga agar tidak ada gosip yang berkembang tentang kebersamaannya dengan Mia saat ini.“Ooh, sudah menikah?” Ekspresi kelegaan terlihat di wajah
“Tidak. Tidak.” Mia menggeleng keras. “Aku tidak percaya padamu.” Dia menolak tegas saat Max menawarkan diri untuk menggantikannya mengemudi.Max memutar bola mata, tidak mengira Mia bakal menyatakan ketidakpercayaannya secara terang-terangan.“Kamu mungkin hebat di lapangan.” Mia menyalakan mesin mobilnya. “Tapi belum tentu saat menghadapi kondisi jalanan di Jakarta, Max.” Max terkekeh sambil memasang seatbelt. “Baiklah, kamu benar,” dia mengedikkan bahunya, “Membawa mobil di kota ini tidak mudah. Emak-emak di sini memang berbahaya, sein ke kanan tapi beloknya ke kiri.”Tawa mereka meledak, tapi keduanya segera sadar bahwa ada Rival yang tertidur. Max menoleh ke kursi belakang, tersenyum melihat Rival yang masih terlelap. Sementara itu, Mia hanya melirik putranya melalui kaca spion sebab dia harus fokus menyetir.“Apa Rivaldo biasa seperti itu? Tak terganggu keributan kalau sudah ngantuk berat?” tanyanya sedikit heran. Hal itu mengingatkan Max pada dirinya sendiri semasa kecil. Dia
Di ruang perawatan VIP khusus anak, Nathan tampak sibuk menerima telepon sambil memperhatikan layar laptop di hadapannya. Biarpun sambil menunggu Alyra yang sedang sakit, tapi dia tetap fokus mengurus pekerjaan yang saat itu juga membutuhkan perhatiannya, menunjukkan profesionalismenya yang tak pernah surut. Sebagai Presiden Direktur dari Astralux Transportation, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa transportasi, Nathan selalu ingin memastikan bisnisnya tetap terkendali baik, tak peduli apapun situasinya saat ini.Astralux Transportation dikenal sebagai salah satu perusahaan terkemuka yang menyediakan jasa sewa kendaraan, baik darat, laut, maupun udara. Perusahaan ini memiliki armada yang lengkap, mulai dari mobil mewah dan bus untuk transportasi darat, kapal pesiar dan yacht untuk transportasi laut, hingga jet pribadi dan helikopter untuk transportasi udara.Nathan sedang dalam panggilan telepon dengan salah satu investor utama, membahas kesepakatan besar yang akan memperl
Di lobi gedung rumah sakit elit di jantung kota Jakarta, sebuah sedan Rolls Royce hitam berhenti dengan anggun, memancarkan aura kemewahan yang nyata di antara deretan mobil mewah lainnya yang sedang memasuki halaman rumah sakit tersebut.Pintu mobil sedan mewah itu terbuka, menampilkan seorang pria tampan berwajah oriental yang melangkah keluar dengan aura kecerdasan dan percaya diri. Berbalut sepatu kulit hitam mengkilap, kaki pria itu menapak lantai lobi dengan ketegasan seorang pemimpin sejati. Setelan jas hitam yang dikenakannya begitu pas membingkai tubuhnya yang tinggi dan atletis, menambah kesan elegan dan berwibawa yang kini melekat erat pada diri pria berusia 40 tahun itu.“Silakan, Tuan Valen,” sapa asistennya sambil membukakan pintu mobil, memberikan anggukan hormat pada CEO “Bintang Hospital Group” yang baru saja tiba.Aura Dokter Joshua Valen kini begitu berbeda, mencerminkan transformasi yang telah ia lalui dalam beberapa tahun ini. Sejak ditinggalkan oleh Mia, Valen me
Max dan Mia memulai babak baru dalam kehidupan mereka di Lake District, Inggris, sebuah tempat yang menawarkan ketenangan dan keindahan alam yang kontras dengan kehidupan kota yang sibuk. Keputusan mereka untuk menetap di kawasan ini adalah bagian dari keinginan mereka untuk menemukan kedamaian dan kebahagiaan dalam kehidupan baru mereka bersama.Rumah mereka, sebuah cottage yang terletak di tepi danau, dikelilingi oleh hutan hijau dan pegunungan yang menjulang, memberikan latar belakang yang sempurna untuk melanjutkan kehidupan mereka. Setiap pagi, mereka disambut oleh pemandangan matahari terbit yang memukau dan suara lembut angin yang berdesir di antara pepohonan. Ini adalah tempat di mana Mia dan Max dapat menghindar dari hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari dan benar-benar fokus pada kebersamaan mereka.Max, sebagai pemain sepak bola profesional, berhasil menjalani karier yang cemerlang di Inggris bersama Lakeside City, klub sepak bola yang kini terdaftar dalam EPL (English Premi
Di sebuah rumah sakit, Valen duduk di ruang tunggu keluarga pasien, menantikan Mia yang sedang menjalani operasi darurat dan harus dikuret karena mengalami keguguran. Valen masih mengenakan kemejanya yang bersimbah darah—darah Mia. Asistennya mencoba membujuknya untuk mengganti pakaian. Namun, Valen menggelengkan kepala, menolak tawaran itu. Gelengan itu membuat asistennya mundur, memberikan ruang bagi Valen yang masih terlihat kalut dan terpukul oleh peristiwa tragis yang menimpa Mia.Di depannya, Max yang juga sedang tegang menantikan Mia, ia mengamati semua gerak-gerik Dokter Joshua yang semakin jelas di matanya. “Kamu jatuh cinta pada Mia kan, Dok?”Tanpa ragu, Valen mengangguk. “Aku jatuh cinta padanya sejak pertama kali kami bertemu, di ruang IGD itu. Kupikir saat itu aku hanya merasa iba kepadanya, tapi ternyata tidak… itu bukan hanya rasa iba ataupun sekadar simpati. Aku selalu ingin bersamanya sejak saat itu. Ingin melindunginya, ingin memastikan bahwa dia selalu baik-baik
Gavin menginjak gas mobilnya lebih dalam, melesat keluar dari basement dengan kecepatan yang mencerminkan kepanikan dalam dirinya. Jantungnya berpacu, diliputi oleh ketakutan dan penyesalan yang menghantui setiap pikiran.“Maafkan aku, Valen. Maafkan aku…!” suaranya nyaris tak terdengar, tercekik oleh emosi yang bergolak. Bibirnya gemetar, dan air mata mulai membanjiri pandangannya.Tangis Gavin pecah, mengalir deras seperti sungai yang tak terbendung. Hatinya terasa remuk, diremas oleh kepedihan yang tak tertahankan saat bayangan Valen melintas di benaknya. Bagaimana kondisi pria yang dicintainya itu sekarang?Pikiran itu mencabik-cabik ketenangannya. Ketakutan menyeruak, menggerogoti setiap sudut batinnya. Bagaimana jika Valen… mati? Atau lebih buruk, bagaimana jika Valen cacat permanen akibat keputusan impulsif yang baru saja ia buat?“Tidak…! Tidak!” Gavin memukul-mukul setir mobil dengan frustrasi.Penyesalannya datang terlambat, menghempaskan Gavin ke dalam jurang keputusasaan.
Di dalam basement, area parkir sebuah apartemen, tatapan Gavin tak lepas dari mobil yang terletak beberapa meter di depannya. Mobil itu seolah menjadi simbol dari seseorang yang diam-diam telah menjadi pusat dunianya—Dokter Joshua Valen. Hati Gavin bergejolak dengan perasaan yang tak pernah ia ungkapkan kepada siapa pun, kecuali kepada pemilik mobil itu sendiri.Joshua Valen, sang dokter yang tampan dan baik hati, adalah sosok yang telah membuat Gavin merasakan ketenangan yang tak pernah ia dapati dari orang lain. Setiap kali berada di dekat Valen, Gavin merasa damai, seolah semua beban hidupnya menghilang dalam sekejap. Kekaguman Gavin terhadap Valen melampaui batas-batas yang wajar, melebihi rasa kagum seorang pasien biasa kepada dokternya. Gavin telah jatuh cinta—perasaan yang ia tahu salah, namun tak bisa ia kendalikan.Gavin masih mengingat dengan jelas hari ketika ia akhirnya memberanikan diri mengungkapkan perasaannya kepada Valen. Detik-detik itu penuh ketegangan baginya, n
“Michella, kamu sekarang bisa mencairkan nilai pokok investasi milik Mia, lakukan segera.” Nathan menyampaikan instruksi itu lewat telepon. Michella terkejut mendengar permintaan Nathan. Padahal sebelumnya, Nathan kerap memberinya ancaman yang mengerikan bila ia sampai memberikan bantuan keuangan pada Mia, apalagi sampai mengembalikan nilai pokok investasi yang sudah sering diminta oleh Mia.Namun, tanpa banyak tanya lagi—khawatir Nathan berubah pikiran, Michella segera mentransfer uang itu pada Mia. Membuat Mia menangis lega saat ia menyampaikan kabar baik itu.“Maaf, aku baru bisa mengembalikan uang investasimu sekarang, Mia.” Michella berkata dengan hati yang diliputi rasa bersalah.“Tidak apa-apa, Michella…, yang penting sekarang bisnismu sudah stabil, kan?” ucap Mia begitu tulus.Michella diam-diam merasa bersalah dalam hatinya karena sebenarnya bisnisnya baik-baik saja selama ini. Tetapi ia tak berkutik dan tunduk pada perintah Nathan karena ancaman-ancamannya terhadap bisnis M
“Bisa-bisanya kamu menciptakan kiamat untuk kariermu sendiri, Max!” Brama mengomel dengan nada yang semakin meninggi saat menemuinya di hotel usai pertandingan malam itu, nadanya penuh dengan kekhawatiran. Dia membayangkan dampak dari tindakan Max yang sembrono ini—reputasi yang hancur, skandal yang meledak, efek domino yang bisa berakibat fatal bagi kariernya. Brama sangat memahami bagaimana dunia olahraga bisa kejam; satu langkah salah bisa menghancurkan segalanya dalam sekejap.Brama menatap Max sambil geleng-geleng kepala, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan gelisah. Kepalanya yang botak berkilau di bawah cahaya lampu. Sementara itu, Max duduk dengan tenang di hadapannya, menyandarkan punggung ke kursi dengan senyum tipis yang tampak santai. Matanya memancarkan keteguhan yang sulit digoyahkan, seolah semua kata-kata Brama hanya angin lalu.Senyuman Max mencerminkan keyakinan dan ketidakpeduliannya terhadap apa kata dunia atas tindakannya. “Mia sudah bercerai dari Nathan, itu
Jeritan cinta yang begitu menggema dari Max seolah merobek kebisingan di stadion, menimbulkan kekagetan di pikiran begitu banyak orang, khususnya Mia. Dia tak pernah membayangkan bahwa Max akan melakukan sesuatu yang begitu nekat, begitu terbuka, di depan puluhan ribu pasang mata.Mia membeku, tubuhnya kaku seperti patung di tengah lautan manusia yang seakan tidak berhenti bergejolak dengan sorak sorai dan tepukan tangan. Dalam diri Mia, perasaan malu, terkejut, dan kebingungan bergulat satu sama lain, membuat tubuhnya gemetar. Jantungnya berdetak cepat, seolah tak bisa mengimbangi kekacauan yang terjadi di dalam pikirannya. Dia tidak terbiasa menjadi pusat perhatian seperti ini.Tatapan Mia yang biasanya lembut kini terpaku lurus ke depan, mencoba menghindari pandangan orang-orang yang kini tertuju padanya. Setiap mata di stadion ini seolah sedang memperhatikannya, menilai, dan mungkin bahkan menghakiminya. Tangannya yang dingin berusaha mencari pegangan, dan tanpa sadar, ia mengge
Max bersama para pemain lainnya berjalan menuju tepi lapangan, wajahnya berseri-seri dengan senyum hangat menghiasi bibirnya. Tangannya terangkat, melambai ke arah suporter yang memenuhi tribun, seolah ia ingin menyapa setiap orang yang telah memberikan dukungan penuh selama pertandingan. Setiap langkah yang ia ambil terasa penuh dengan kebanggaan, mencerminkan kemenangan yang baru saja mereka raih.Sesampainya di tepi lapangan, Max sedikit membungkukkan badannya sebagai penghormatan tulus kepada para suporter. “Terima kasih!” teriaknya kemudian, sambil kembali melambaikan tangannya.Aksinya diikuti oleh rekan-rekan timnas yang lain. Seketika sikap rendah hati para pemain itu memicu gelombang tepuk tangan yang riuh dari tribun. Sorak-sorai membahana, mengapresiasi sikap hormat yang ditunjukkan oleh Max dan para pemain timnas.Langkah Max dan timnya terhenti tepat di depan tribun Selatan. Di sana, lautan suporter dengan kostum hitam—warna khas Ultras Garuda, mendominasi pemandangan. N