Posisinya di tribun VIP memberikan Mia pandangan yang sempurna ke lapangan.
Di sana, Max bermain dengan ketangkasan yang memikat. Max menguasai bola dengan keahlian yang membuat suporter terpana.
Gelandang bernomor punggung 23 itu memimpin serangan tim dengan visi yang tajam, mengirimkan umpan-umpan yang akurat.
"Omaygat. Karin, pacarmu keren," ujar Michella dengan nada menggoda.
“Baru tahu? Kasihan.” Karin memutar bola mata sambil tertawa riang.
“Hmm ya, pacarmu terlihat hebat di lapangan, kurasa staminanya di ranjang sudah tidak perlu diragukan lagi, bukan?” balas Michella.
“Ciumannya saja luar biasa, asal kau tahu,” sahut Karin, tersenyum bangga.
Mia mengabaikan obrolan nakal antara Michella dan Karin di sebelahnya. Dia tak bisa mengalihkan pandangannya dari Max. Dia selalu tahu bahwa Max berbakat.
Setiap kali Max menguasai bola, Mia seakan menahan napas, menantikan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Sementara di sebelahnya, Karin dan Michella terus saja bergosip.
Max menggiring bola melewati pemain lawan dengan keterampilan yang mengagumkan. Jantung Mia mencelos saat lawan tiba-tiba saja melakukan tekel keras terhadapnya, tapi Max segera bangkit dan berusaha merebut bola kembali.
Suasana di stadion semakin intens, sorakan dan teriakan suporter kian menggema, menciptakan gelombang suara yang menggetarkan.
Sebuah momen krusial akhirnya terjadi. Max menerima umpan dari rekan setimnya dan dengan satu sentuhan, dia melepaskan tendangan keras ke arah gawang.
Bola melesat seperti peluru, mengarah tepat ke sudut atas gawang.
Kiper lawan melompat, tetapi usahanya sia-sia. Bola memantul di dalam jaring, dan seluruh stadion meledak dalam sorakan kemenangan.
“Gol…!”
Mia berdiri bersama ribuan suporter lainnya, tubuhnya bergetar oleh adrenalin. Dia berteriak bersama mereka, meluapkan emosinya yang campur aduk.
Mia melihat Max berlari ke arah tribun, merayakan golnya dengan penuh kebanggaan. Mia merasa dadanya sesak oleh perasaan yang tak terungkapkan.
Dan di tengah keramaian itu, mata mereka pun bertemu.
Max tampak terkejut melihat Mia di sana, namun senyumnya tetap mengembang. Ada sesuatu dalam tatapan Max yang membuat Mia merasa lemah. Seolah-olah, hanya dengan melihatnya, dia bisa merasakan setiap emosi yang dirasakan Max.
Ada kebahagiaan, semangat, bahkan kepedihan yang terselubung di balik senyumnya.
Dan itu membuat dada Mia berdebar.
Tiba-tiba, Max membentuk "love sign" dengan tangannya, tatapannya masih terarah padanya. Riuh seisi tribun semakin menggema dengan teriakan para penggemarnya.
“Max is so sweet!” Michella berteriak histeris. “Dia menunjukkannya padamu di depan puluhan ribu orang ini, Karin!” serunya sambil bertepuk tangan keras.
Mia ikut bertepuk tangan, menyembunyikan perasaan yang berkecamuk di hatinya. 'Itu buat Karin, bukan buatku,' pikirnya sambil menoleh kepada Karin.
Namun, ada sesuatu yang membuatnya tetap berharap.
Permainan Max selanjutnya terlihat lebih agresif. Setiap tendangan dan operan bola dari Max tampak akurat, sayang rekan-rekannya belum mampu mengeksekusi umpan-umpannya dengan sempurna.
“Yo… ayo… Ayo Indonesia…! Kuingin… kita harus menang…!” Nyanyian Ultras Garuda dan La Grande Indonesia kembali membakar semangat.
Mia ikut bernyanyi hingga peluit panjang akhirnya ditiup oleh wasit. Mia tetap puas meskipun timnas Indonesia kalah satu angka dari Jepang.
Pertandingan telah selesai. Tapi bagi Mia, pertempuran batinnya masih jauh dari selesai.
Setelah meninggalkan stadion nanti, dia harus kembali pada realitas yang menantinya.
***
Max menjadi pemain terakhir yang memasuki bus timnas yang telah menunggu. Dia tertahan cukup lama oleh penggemar yang minta foto bersama dan tanda tangan.
Dia bisa saja menolak mereka, namun ada rasa tidak tega. Max tahu, para penggemar itu pasti telah mengeluarkan upaya lebih demi bisa memiliki pengalaman sedekat itu dengannya.
“Kamu sepertinya panen hadiah lagi, Max!” goda rekan-rekannya yang sudah duduk manis di dalam bus yang siap membawa mereka menuju hotel.
Tanpa ragu, Max membagikan hadiah-hadiah yang diterimanya dari para penggemar kepada teman-temannya. Dia sudah menerima terlalu banyak dan ingin berbagi dengan yang lainnya.
“Max, headphone cakep nih!” kata seorang teman yang langsung membuka hadiahnya.
“It’s yours.” Max tak akan mengambil apa yang telah ia berikan. Dia kemudian duduk di kursi paling belakang dan mendengarkan musik dengan santai.
Setibanya di hotel, Max segera turun dari bus dan berjalan cepat menuju kamarnya.
Di lobi, dia berpapasan dengan seorang pria yang menggendong anak lelaki yang tertidur di pundaknya.
"Udah nggak mimisan, kan?" Pria itu mengulurkan tangan, membelai kepala bocah yang berada dalam gendongan wanita di sebelahnya. Suaranya terdengar penuh perhatian.
Tampaknya mereka juga tamu di hotel ini, seperti sebuah keluarga pada umumnya.
Max hampir saja melewatkan mereka tanpa berpikir dua kali, namun tiba-tiba matanya terbuka lebar ketika menyadari bahwa pria yang sedang menggendong anak itu adalah... Nathan.
Max tercengang.
"Bukankah Nathan sudah menikah dengan Mia? Tapi kenapa dia bersama wanita lain?" gumamnya heran.
Wajah Max dipenuhi tanda tanya.
Ingatan tentang pertemuan mereka tiga bulan lalu di sebuah hotel kembali melintas di benaknya.
Waktu itu, Max juga sempat melihat Nathan bersama wanita selain Mia, yang dikiranya sebagai istri Nathan.
Max menyipitkan mata, mengamati gerak-gerik mereka.
"Apakah… Nathan selingkuh?” Kening Max berkerut dan kedua alisnya yang tebal saling bertaut. “Tapi saat itu Mia juga melihat mereka sedang bersama, tapi kenapa Mia tak terlihat marah?”
Tiba-tiba, ada yang terasa sakit di hatinya.
Esoknya, Max menelepon Karin yang terdengar antusias menerima telepon darinya.
Max tahu Karin menyukainya, gara-gara permainan “truth or dare” sialan yang berujung dia harus mencium Karin, dan membuat wanita itu terbaper-baper padanya.
Ditambah “love sign” yang dia berikan semalam ke arah tribun VIP untuk Mia. Karin malah mengira itu untuknya dan segera membalasnya dengan “love sign” juga.
“Kamu punya nomornya Mia?” tanya Max tanpa basa-basi.
“Mia?”
Max menahan kesal mendengar nada bicara Karin yang seolah tak mengenal temannya sendiri, padahal jelas-jelas Max melihat mereka mengobrol di tribun dan foto bersama.
“Oh, maksudmu… temannya Michella itu?”
Max tak tahu siapa itu Michella, tapi dia mengiyakan saja.
“Kok kamu kenal Mia?” Nada suara Karin terdengar seperti merajuk. “Sejak kapan?”
“Bisa kirim nomornya sekarang, tolong?” Max segera menyela, tak ingin memberi Karin kesempatan bertanya lebih jauh.
***
“Kamu memang harus lebih menerimaku, Mia," ucap Vena. Ia menyerobot Mia di dapur dan mengambil alih persiapan bekal makan Rival. "Bukankah asyik kalau kita bisa akur dan saling membantu begini? Bersama-sama mengurus anak-anak dan suami kita.”Mia mendengus pelan. "Suami kita?" balasnya, seakan-akan jijik dengan pilihan kata yang dipakai Vena. "Jangan membual."Ia mengambil alih kotak makan siang dari tangan Vena. "Iyuh..., menjijikkan." Dia mencuci kotak bekal itu sambil meringis.Mia menyabun dan membilasnya hingga tiga kali, bahkan mensterilkannya dengan air panas.Vena mengepalkan tangan. “Kau–” Dia menahan geram melihat cara Mia memperlakukan benda itu, seolah-olah baru saja bersentuhan dengan sesuatu yang najis. Mia sengaja membawa Rival berangkat lebih awal, menghindari momen sarapan bersama Nathan, Alyra, dan juga Vena. Melihat kebersamaan mereka membuat Mia mual.Mia beralasan, “Jam latihan sepakbola Rival dimajukan lebih pagi. Kami berangkat sekarang, Mas.” Setibanya di la
Dalam temaramnya bioskop, Mia merasakan tatapan panas Max yang tak henti-hentinya mendarat pada dirinya. Membuat Mia tak bisa memusatkan perhatiannya pada film Doraemon yang sedang tayang.Dia tahu, Max tak tertarik pada film animasi itu, Max lebih menyukai gemerlap dunia film live action yang penuh aksi dan adrenalin. Mia menghela napas, dia memutuskan untuk membuka nomor kontak Max yang selama tujuh tahun ini diblokirnya. Setelah memeriksa bahwa nomor itu rupanya masih tetap digunakan oleh Max, iapun segera mengirim pesan.Mia: [Max, kita di ruang publik. Kamu atlet populer, orang-orang memperhatikanmu. Berhentilah memandangku. Jangan memicu spekulasi orang-orang.]Namun, pesan itu bagaikan batu yang dilemparkan ke kolam sunyi. Max bergeming, tampak asyik dengan dunianya sendiri: menonton film, berbisik-bisik dengan Rival, dan kembali memandangnya, tak sadar tatapannya yang intens itu telah menusuk Mia dengan ketidaknyamanan.Tak tahan lagi, Mia memberi isyarat agar Max memeriksa
Mia menghela napas, memandang Rival yang tertidur. “Nah, kan. Dia selalu saja begini, ketiduran di akhir-akhir film.”“Biar saja.” Max menahan tangan Mia yang sedang menepuk-nepuk pelan pipi Rival, bermaksud membangunkannya. “Dia kelelahan,” ujar Max sambil tersenyum, memandang Rival. “Tadi dia bersemangat sekali di lapangan.” Max teringat bagaimana Rival berupaya keras menunjukkan aksi-aksinya yang memukau saat sesi latihan bersamanya tadi. Membuat Max diam-diam mengagumi bakatnya. Mia memandang sekeliling bioskop yang kini kosong. “Max,” panggilnya pelan. “Orang-orang sudah keluar semua, tinggal kita.”“Tidak apa-apa," Max mengerling penuh keisengan padanya, "paling kita cuma diusir…”“Max!” Mia sewot, tapi Max malah tertawa ringan.Mia berdiri, Max juga ikut berdiri dan segera menggendong Rival dengan begitu mudah. Bobot tubuh Rival yang bagi Mia berat, terlihat ringan dalam gendongan Max.Max menuruni undakan demi undakan lantai bioskop dengan gerakan atletis yang mengagumkan,
Max tertawa. “Doakan ya, semoga saya bisa punya anak setampan ini juga di masa depan.” Dia terlihat santai menanggapinya, tapi ada sesuatu yang lebih dalam di matanya.“Memangnya anak siapa ini, Max?” tanya salah seorang dari penggemarnya, rasa penasaran terlihat jelas.Max menunjuk Mia dengan lirikan matanya. “Anaknya teman saya.”Para penggemarnya segera menoleh kepada Mia. Max memperhatikan, Mia mengangguk kecil pada orang-orang yang memandangnya dengan sorot penasaran yang menari-nari di mata mereka. Meskipun terlihat gugup, namun mantan kekasihnya itu berhasil tersenyum dengan baik, senyum yang menawan.“Teman yang cantik, Max,” celetuk salah seorang dari mereka, yang direspons anggukan setuju oleh yang lainnya.“Betul,” Max ikut mengangguk. “Suaminya beruntung sekali mendapatkan teman saya yang cantik ini, bukan?” imbuhnya, berusaha menjaga agar tidak ada gosip yang berkembang tentang kebersamaannya dengan Mia saat ini.“Ooh, sudah menikah?” Ekspresi kelegaan terlihat di wajah
“Tidak. Tidak.” Mia menggeleng keras. “Aku tidak percaya padamu.” Dia menolak tegas saat Max menawarkan diri untuk menggantikannya mengemudi.Max memutar bola mata, tidak mengira Mia bakal menyatakan ketidakpercayaannya secara terang-terangan.“Kamu mungkin hebat di lapangan.” Mia menyalakan mesin mobilnya. “Tapi belum tentu saat menghadapi kondisi jalanan di Jakarta, Max.” Max terkekeh sambil memasang seatbelt. “Baiklah, kamu benar,” dia mengedikkan bahunya, “Membawa mobil di kota ini tidak mudah. Emak-emak di sini memang berbahaya, sein ke kanan tapi beloknya ke kiri.”Tawa mereka meledak, tapi keduanya segera sadar bahwa ada Rival yang tertidur. Max menoleh ke kursi belakang, tersenyum melihat Rival yang masih terlelap. Sementara itu, Mia hanya melirik putranya melalui kaca spion sebab dia harus fokus menyetir.“Apa Rivaldo biasa seperti itu? Tak terganggu keributan kalau sudah ngantuk berat?” tanyanya sedikit heran. Hal itu mengingatkan Max pada dirinya sendiri semasa kecil. Dia
Di ruang perawatan VIP khusus anak, Nathan tampak sibuk menerima telepon sambil memperhatikan layar laptop di hadapannya. Biarpun sambil menunggu Alyra yang sedang sakit, tapi dia tetap fokus mengurus pekerjaan yang saat itu juga membutuhkan perhatiannya, menunjukkan profesionalismenya yang tak pernah surut. Sebagai Presiden Direktur dari Astralux Transportation, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa transportasi, Nathan selalu ingin memastikan bisnisnya tetap terkendali baik, tak peduli apapun situasinya saat ini.Astralux Transportation dikenal sebagai salah satu perusahaan terkemuka yang menyediakan jasa sewa kendaraan, baik darat, laut, maupun udara. Perusahaan ini memiliki armada yang lengkap, mulai dari mobil mewah dan bus untuk transportasi darat, kapal pesiar dan yacht untuk transportasi laut, hingga jet pribadi dan helikopter untuk transportasi udara.Nathan sedang dalam panggilan telepon dengan salah satu investor utama, membahas kesepakatan besar yang akan memperl
“Saya pulang sekarang. Jaga Alyra baik-baik.”Setelah mengecup lembut kening Alyra, Nathan berkata pada Vena, “Jangan suruh-suruh saya cepat datang ke sini seenak kamu, kecuali situasi Alyra betul-betul gawat darurat antara hidup dan mati. Mengerti?”Vena mengangguk. Tak ada lagi kata-kata yang bisa keluar dari bibirnya untuk mencegah Nathan pergi malam ini.***“Langsung pulang ke rumah, Pak.” Nathan memberi perintah sebelum sopir pribadinya sempat bertanya.Nathan duduk bersandar di jok kursi mobil mewahnya, memejamkan mata sepanjang perjalanan dari rumah sakit menuju rumahnya, mencoba istirahat. Namun, pikirannya sibuk memikirkan banyak hal.Sejak Vena dengan lancang membongkar tentang Alyra kepada Mia tepat di hari ulang tahunnya, sikap Mia praktis berubah total. Tak ada lagi kelembutan dan kehangatannya untuk Nathan. Padahal, butuh perjuangan keras bagi Nathan untuk bisa membuat Mia memperlakukan dirinya sebagai seorang pria, sebagai suaminya, bukan lagi sebagai seorang kakak.
Di dalam apartemennya, Max terlihat santai sekali malam ini. Ruangannya yang modern dan minimalis dipenuhi dengan pencahayaan lembut, menciptakan suasana yang tenang dan nyaman. Sambil menyelonjorkan kakinya di kursi malas, Max menelepon Brama Kumbara, manajernya. “Bram, tolong kirimkan video dan foto-fotoku saat latihan bersama anak-anak di sekolah sepakbola tadi.”“Aku baru saja akan mengirimnya. Kamu harus segera mengunggahnya di Instagram, selama tiga hari berturut-turut sesuai perjanjian. Jangan lupa tag nama sekolah sepakbola itu, Max.”“Sendiko dawuh, Pendekar,” goda Max sambil cekikikan. “Sialan kau, Max!” omel Brama Kumbara yang gemas karena si bule satu ini semakin fasih saja menggodanya, hasil ajaran rekan sesama timnas asal daerah yang suka usil.Tak lama kemudian, terdengar notifikasi pesan yang berbunyi berkali-kali. Brama telah mengirimkan video dan foto-foto yang diminta.Max tersenyum, membuka file tersebut satu per satu.Dalam sebuah video, Max melihat dirinya ber