Di dalam apartemennya, Max terlihat santai sekali malam ini. Ruangannya yang modern dan minimalis dipenuhi dengan pencahayaan lembut, menciptakan suasana yang tenang dan nyaman. Sambil menyelonjorkan kakinya di kursi malas, Max menelepon Brama Kumbara, manajernya. “Bram, tolong kirimkan video dan foto-fotoku saat latihan bersama anak-anak di sekolah sepakbola tadi.”“Aku baru saja akan mengirimnya. Kamu harus segera mengunggahnya di Instagram, selama tiga hari berturut-turut sesuai perjanjian. Jangan lupa tag nama sekolah sepakbola itu, Max.”“Sendiko dawuh, Pendekar,” goda Max sambil cekikikan. “Sialan kau, Max!” omel Brama Kumbara yang gemas karena si bule satu ini semakin fasih saja menggodanya, hasil ajaran rekan sesama timnas asal daerah yang suka usil.Tak lama kemudian, terdengar notifikasi pesan yang berbunyi berkali-kali. Brama telah mengirimkan video dan foto-foto yang diminta.Max tersenyum, membuka file tersebut satu per satu.Dalam sebuah video, Max melihat dirinya ber
Mereka berbincang hingga dua jam. Ada kebahagiaan yang tak bisa disangkal mengetahui Max masih sehangat itu terhadapnya. Bahkan, Max juga terlihat dengan begitu mudahnya terhubung dengan Rival sejak perjumpaan mereka yang pertama. Mia bisa merasakan betapa antusiasnya Max setiap sedang membicarakan Rival. Namun, di balik kebahagiaannya itu, terselip rasa gelisah yang tak bisa ia abaikan. Kekhawatiran itu menggigit hatinya, menimbulkan rasa tak nyaman yang semakin kuat. Bagaimana jika Max tahu siapa Rivaldo Wijaya sesungguhnya?Mia menghela napas panjang. Rasa takut dan cemas bergumul dalam dirinya. Ia senang melihat Max terhubung dengan Rival, tapi ia juga takut jika ikatan itu bisa membawa mereka ke jalan yang lebih rumit. Bagaimanapun, Max sudah menjadi masa lalunya. Mereka sudah tutup buku. Sebaik apapun Max terhadapnya, dia tetaplah mantan. Mia ingin tetap setia kepada Nathan, meskipun saat ini rumah tangga mereka sedang tidak baik-baik saja. Tapi untuk sejenak, dalam ke
Dua jam lamanya Mia dan Max berbicara di telepon. Waktu yang cukup lama, tapi entah kenapa terasa begitu singkat. Jam sudah menunjukkan pukul satu pagi, tapi Mia belum mengantuk. Iapun membuka-buka I*******m sampai akhirnya tertidur. Mia tersentak saat terbangun dan merasakan lengan Nathan memeluknya. Dia terkejut Nathan ternyata pulang malam ini. Bukankah dia tadi bilang akan menginap di rumah sakit, menemani Alyra yang mendadak dirawat?Jantungnya berdegup kencang. Mia mencari ponselnya, dan benda pipih itu telah berada di atas nakas, mungkin tadi Nathan yang memindahkannya.“Mia?” panggil Nathan dengan berbisik, suaminya itu juga rupanya terbangun. “Sayangku,” pelukan Nathan terasa semakin erat.Sudah lama Nathan tak memeluknya sehangat ini. Ranjang mereka menjadi dingin sejak kehadiran Alyra dan Vena pada tiga bulan yang lalu. Mereka lebih banyak berdebat menjelang tidur daripada bercinta.Mia membelai lengan Nathan yang ada di atas perutnya. Jujur saja, dia merindukan kemesraan
Dengan tangan gemetar, Nathan membuka ruang percakapan Mia dengan Max. Layar ponsel Mia menyala, menampilkan jejak keterhubungan Mia dengan mantan kekasihnya itu. Catatan dalam aplikasi pesan itu menunjukkan bahwa Max tadi menelepon pada pukul 22.23 dan durasi percakapan berlangsung selama 2 jam 21 menit. “Mereka mengobrol selama itu?” Rahang Nathan mengeras, matanya menyala-nyala penuh amarah.Darahnya terasa mendidih, tak mengira bahwa di belakangnya, Mia rupanya masih menjalin hubungan dengan Max.Pesan-pesan mereka di dalam bioskop, yang belum sempat dihapus oleh Mia, kini terbuka di depan matanya. Kalimat-kalimat mereka mengguncang perasaan Nathan. Setiap kata seperti pisau yang menusuk hatinya.Nathan memejamkan mata, mencoba mengusir bayangan-bayangan menyakitkan yang terus berdatangan. Mia, istri yang dicintainya ini, menikmati flirting dengan mantan kekasihnya.Pesan-pesan dari Max yang baru bermunculan adalah foto-foto Max bersama Rival yang sedang latihan sepakbola. Juga,
Brama Kumbara berdiri di samping meja kerja yang dipenuhi dokumen, memandang Max dengan cermat. Apartemen Max yang mewah di jantung kota Jakarta kini berubah menjadi pusat komando kecil untuk keberangkatan Max ke Inggris. Sebagai manajer pribadi, Brama memastikan segala sesuatunya sudah dipersiapkan dengan sempurna."Max. Tiket pesawat sudah aku konfirmasi ulang. Kamu berangkat besok pagi dengan penerbangan pukul 08.00," ujar Brama sambil melihat daftar yang ada di tangannya.Max mengangguk, merapikan tumpukan pakaian di kopernya. "Terima kasih, Bram. Apa ada urusan lain yang perlu diselesaikan sebelum aku berangkat?"Brama membuka map biru yang penuh dengan kontrak kerja. "Kita perlu membahas beberapa kontrak terakhir yang harus kamu tandatangani sebelum pergi. Ada beberapa perjanjian dengan sponsor yang membutuhkan tanda tanganmu."Max mendekati meja dan memeriksa dokumen-dokumen yang disodorkan Brama. "Apa ini sudah dicek semua? Aku tak mau ada masalah nanti."Brama tersenyum yakin
Brama dibuat kerepotan mengurus Max yang wajahnya kini penuh lebam dan memar yang mencolok. Dia jadi pusing, jadwal Max yang penuh dengan berbagai kegiatan terkait wajahnya kini terancam berantakan.Di sudut ruangan, dokter pribadi Max yang bernama Joshua sedang menyiapkan peralatan medisnya, siap untuk memeriksa kondisi Max yang terluka.“Apakah tulang hidungnya retak, Dok?” tanya Brama Kumbara dengan nada cemas, pandangannya terpaku pada wajah Max yang babak belur.“Untuk memastikan, perlu dilakukan rontgen nasal,” jawab dokter Joshua sambil memeriksa luka-luka di wajah Max. “Tapi kau harus ke rumah sakit untuk melakukannya, Max.”“What the fuck.” Max memaki dalam hatinya. “Besok pagi-pagi sekali aku harus ke bandara. Aku tak mungkin sempat, Dok.” Max meringis, menahan rasa sakit. “Dengan wajah seperti ini, kau akan menarik perhatian orang-orang, Max. Spekulasi di media akan bermunculan,” keluh Brama, memikirkan dampak lebih lanjut.“So?” Max mengedikkan bahu, memasrahkan hal ini
Mia terkejut sekaligus lega ketika pada malam harinya Nathan telah kembali pulang. Suaminya itu tersenyum kepadanya, seolah tak ada yang terjadi. Mia menelan kebingungannya dengan balas tersenyum.“Aku tadi pagi tiba-tiba harus pergi. Ada urusan bisnis yang mendesak,” jelas Nathan sambil mengecup keningnya, seolah suaminya itu bisa membaca tanda tanya yang menggantung di matanya. “Ooh—” Untuk sejenak, Mia kehilangan kata-kata. Padahal, dia sudah overthinking seharian, berpikir bahwa kepergian Nathan dengan membawa koper tadi pagi ada hubungannya dengan pesan-pesan Max yang sudah terbaca.“Kamu masak apa untuk makan malam kita hari ini, Sayang?” Suara Nathan memecah lamunan Mia.“A-aku… maaf, aku belum masak. Kupikir Mas Nathan tidak pulang. Bibik bilang Mas Nathan pergi bawa koper. Mas juga tidak bisa kutelepon seharian tadi, Pak Budi juga. Kupikir—”“Koper itu punya Alyra,” potong Nathan sebelum Mia selesai bicara, “berisi boneka-bonekanya. Dia minta dibawakan ke rumah sakit buat
Nathan menatap Mia dengan sorot mata yang menusuk, seakan ingin menembus pertahanannya yang rapuh. "Aku selalu peduli pada Rival, Mia. Tapi, pernahkah kamu peduli pada Alyra? Pernahkah kamu menjenguknya sekali saja saat dia dirawat di rumah sakit?" suara Nathan mengandung kekecewaan yang seolah sudah lama terpendam, sindiran tajam yang penuh intimidasi.Mia terdiam, seolah lidahnya dibungkam oleh tekanan yang perlahan merayap ke seluruh tubuhnya. "Aku tahu, kamu membenci Vena. Tapi, sadarkah kamu… bahwa dia juga terpaksa numpang tinggal di sini demi Alyra?” Nathan memandangnya lekat-lekat. “Demi Alyra bisa selalu dekat denganku, ayah kandungnya," tegasnya.Mia tercengang. Selurus itukah penilaian Nathan tentang Vena? Wanita itu… “terpaksa" numpang tinggal di sini, dia bilang?Mia menggeleng. Tidak. Nathan salah menilainya. Jelas-jelas Vena memiliki kepentingan terselubung dengan memanfaatkan kondisi Alyra. Mia bisa melihatnya dengan jelas!Cih! Wanita itu sungguh licik. Bisa-bisany