Dukung novel ini dengan vote kamu ya... Terima kasih :)
Max menjentikkan jarinya seolah baru teringat sesuatu yang penting. “Ah, iya. Aku hampir lupa, Bram!”Brama yang sedang memeriksa catatan pekerjaannya di tablet menoleh, menunggu penjelasan lebih lanjut. Max melangkah ke ruangan lain dengan langkah cepat, meninggalkan Brama yang menatapnya dengan penasaran.“Aku sudah janji pada Rival,” kata Max ketika kembali, membawa sebuah bola yang terlihat spesial. “Mau memberinya bola yang sudah ditandatangani David Beckham.”Max melempar bola itu kepada Brama, yang dengan gesit menangkapnya bak kiper profesional, refleks yang sempurna.“Tolong, segera kirimkan ke alamat yang akan kuberikan padamu ini,” lanjut Max sambil mengetik sesuatu di ponselnya. Beberapa detik kemudian, Brama merasakan getaran di sakunya saat menerima pesan dengan alamat yang dimaksud.“Rivaldo? Siapa dia?” Brama bertanya dengan nada ingin tahu, matanya tertuju pada bola yang kini dipegangnya lalu beralih pada Max.“Salah satu murid sekolah sepakbola kemarin, yang katamu
“Bapak ada tamu, Bik?” tanya Mia pada si bibik yang langsung menyeduh dua cangkir teh sekembalinya dari dipanggil oleh Nathan.“Iya, Nyonya.” Mia yang baru saja selesai membuat cinnamon roll mengerutkan keningnya, tumben sekali suaminya itu tidak memanggilnya saat kedatangan tamu. Padahal biasanya Nathan selalu memperkenalkan Mia sebagai istrinya pada setiap tamu yang datang ke rumah mereka. “Bik, tunggu…, ini sekalian disuguhkan.” Mia berkata sambil menyajikan roti gulung kayu manis itu di sebuah piring. “Tamunya sendirian?” Si bibik mengangguk. “Iya, Nyonya, sendirian.” Lalu, mengambil piring kue dan meletakkannya di nampan.“Bik, habis ini dapurnya langsung dibereskan ya. Saya sudah selesai bikin rotinya.”“Baik, Nyonya.” Mia mengikuti langkah si bibik yang sedang menuju ruang tamu.Melihat kemunculannya, si tamu yang merupakan seorang perempuan berambut panjang mengangguk sambil tersenyum padanya. Mia balas tersenyum.“Halo, saya Mia,” ujarnya memperkenalkan diri, sambil meng
Angin pagi yang sejuk membawa aroma rumput yang baru saja dipotong di sekitar arena latihan. Max berdiri di tengah lapangan, mengenakan seragam latihan berwarna biru gelap dengan nomor 5 yang terlihat jelas di punggungnya. Lebam di sekitar mata kanannya sulit untuk diabaikan. Tatapan teman-temannya mencerminkan rasa khawatir sekaligus penasaran."Hei, Max, itu luka oleh-oleh dari bar ya? Berantem sambil mabuk?” canda Dave, salah satu striker andalan tim mereka. Keluwesannya dalam melemparkan ejekan dengan kata-kata tajam sama seperti kelihaiannya menggocek bola dan menggiringnya ke gawang lawan.“Lain kali ajak-ajak aku, Max! Biar kutunjukkan cara yang efektif untuk balas meninju wajah musuhmu,” sahut Danny, gelandang enerjik yang selalu penuh tawa, sambil melemparkan bola ke arah Max.Max menerima bola dengan mudah, menggiringnya beberapa kali sebelum mengembalikannya dengan tendangan ringan. "Sangat lucu! Kalian tahu aku tidak pernah minum sampai mabuk. Ini hasil dari tabrakan deng
Di hotel tempat para pemain klub menginap, terdengar dengkuran halus Pablo di ranjang sebelah Max, teman sekamarnya. Rasa lelah sepertinya telah membawa rekannya itu bermimpi hingga ke Pluto. Sedangkan Max, belum juga bisa memejamkan matanya. Max duduk bersandar di ranjangnya, menggenggam sebuah liontin berbentuk hati yang tergantung di rantai tipis. Di dalam liontin itu terdapat foto Max semasa remaja sedang mengangkat trophy, saat timnya memenangkan kejuaraan liga U-16 di Rotterdam.Max ingat bagaimana Mia memberinya liontin ini, pada hari terakhir Mia liburan di Amsterdam sekitar 14 tahun yang lalu. Mereka duduk di sebuah taman yang asri di tepi kanal, dikelilingi bunga-bunga tulip yang bermekaran dan pepohonan hijau yang mulai mengeluarkan daun-daun mudanya. Taman itu dipenuhi dengan suara tawa anak-anak yang bermain dan deru sepeda yang melintasi jalan setapak. Angin musim semi yang sepoi-sepoi meniup lembut rambut Mia yang panjang dan hitam, membuatnya begitu memukau seperti
“Mas Nathan! Kita harus bicara, sekarang!” Nathan yang ketiduran sambil memeluk Alyra, menoleh cepat dan meletakkan telunjuknya di bibir. “Pelankan suaramu, Mia. Alyra sedang tidur,” ujarnya sambil berbisik. Ada kekesalan dalam sorot mata suaminya itu, karena dirinya menerobos masuk tanpa permisi dan langsung berteriak di dalam kamar Alyra selarut malam ini.Mia mendengus sewot. Apalagi dilihatnya Vena juga tidur di ranjang yang sama, di sebelah Alyra. Ranjang besar itu pas sekali menampung mereka bertiga. Kepala Mia rasanya mau meledak! Tubuhnya gemetar menahan amarah. Suaminya semakin betah saja tidur di kamar Alyra. Apa karena— Ah, Mia tak sanggup membayangkan Nathan menghabiskan malamnya bersama Vena!“Cepat balik ke kamar kita, Mas!”Nathan segera turun dari ranjang. “Jangan berisik!” omelnya, menarik Mia keluar dari kamar Alyra.“Mas Nathan, pelan-pelan… tanganku sakit…,” rengek Mia sambil meringis karena Nathan mencengkeram lengannya dengan kencang, seolah Mia bakal kabur k
Sejak pertengkaran itu, Mia dan Nathan sama-sama bersikap dingin. Hanya suara langkah kaki yang terdengar saat mereka berlalu lalang, dan percakapan yang terjalin pun hanya sebatas kebutuhan. Setiap pagi, Mia tetap membuatkan suaminya kopi dan pisang goreng atau makanan pendamping kesukaannya. Tapi Nathan menikmatinya dengan pandangan kosong, kemudian berangkat kerja tanpa mengucapkan selamat tinggal. Mia hanya bisa menatap punggungnya yang menjauh. Saat makan bersama, hanya suara dentingan sendok dan garpu yang memecah keheningan ruangan.Keadaan semakin buruk dengan keberadaan Vena yang pandai memanfaatkan situasi. Dengan kondisi Alyra yang sedang sakit, Vena berhasil menarik perhatian Nathan, membuatnya lebih sering berada di sisi putrinya. Setiap kali Nathan pulang, Vena sudah siap dengan laporan perkembangan kesehatan Alyra, membuat Nathan tak bisa menolak untuk menghabiskan waktu lebih banyak bersama mereka.Sementara itu, Rival turut merasakan dampak pertengkaran kedua orang
"No…, please…! Jangan, Papa…!" Tangis Rival meledak keras. Bocah itu berguling-guling di lantai, tubuhnya bergetar hebat oleh histeria yang mendalam. Bola kesayangannya, yang memiliki dua tanda tangan pemain hebat kebanggaannya, David Beckham dan Max Julian, kini teronggok rusak di depan matanya. Rival terus berguling-guling di lantai, tangisannya semakin histeris. “Max…! Tolong, Max…! Bolaku, Max…!” Suaranya serak dan penuh keputusasaan. Ia memeluk bolanya, seolah dengan begitu, ia bisa mengembalikan keutuhannya yang telah hancur."Max…! Lihat bolaku, Max…! Tolong, Max…!" ratap Rival, suaranya pecah oleh kepedihan. Air matanya mengalir deras, wajahnya memerah oleh tangis yang tak terbendung.Nathan tertegun mendengar nama itu keluar dari mulut putranya. "Max…," pikirnya dengan geram. Nama yang paling ia benci, kini justru dipanggil-dipanggil oleh anaknya sendiri, seolah pria itu adalah pahlawan yang akan datang menyelamatkan.Meskipun di sudut hatinya yang terdalam, melihat Rival
Nathan membuang pandangannya ke luar jendela mobil yang sedang membawanya menuju rumah sakit. Tangisan Rival yang memanggil-manggil nama “Max” sambil memeluk bola yang dihancurkannya tadi, terus terngiang dalam kepalanya, meremas hatinya dengan rasa sakit.Ada sesal yang mengalir dalam dadanya. Demi Tuhan, dia sama sekali tak bermaksud menyakiti Rival, anak yang sudah dianggapnya seperti anak kandung sendiri. Tapi, saat melihat bola yang ditendang Rival tadi melesat dan menghantam tepat di wajah Alyra, membuat emosinya tiba-tiba saja menjadi tak terkendali. Terlebih Alyra menangis keras dan darah seketika menetes-netes dari hidungnya. Ditambah jeritan panik Vena yang melihat putrinya terluka tepat di depan matanya.Kejadian itu berlangsung dengan cepat, bahkan dirinya sendiri tak sadar sudah memukul Rival sambil membentaknya. Dan kemarahannya seolah kian menjadi begitu melihat bola yang menyakiti putrinya tadi bertuliskan nama “Max Julian”, pria yang dibencinya.Nathan memijat kening