“Mas Nathan! Kita harus bicara, sekarang!” Nathan yang ketiduran sambil memeluk Alyra, menoleh cepat dan meletakkan telunjuknya di bibir. “Pelankan suaramu, Mia. Alyra sedang tidur,” ujarnya sambil berbisik. Ada kekesalan dalam sorot mata suaminya itu, karena dirinya menerobos masuk tanpa permisi dan langsung berteriak di dalam kamar Alyra selarut malam ini.Mia mendengus sewot. Apalagi dilihatnya Vena juga tidur di ranjang yang sama, di sebelah Alyra. Ranjang besar itu pas sekali menampung mereka bertiga. Kepala Mia rasanya mau meledak! Tubuhnya gemetar menahan amarah. Suaminya semakin betah saja tidur di kamar Alyra. Apa karena— Ah, Mia tak sanggup membayangkan Nathan menghabiskan malamnya bersama Vena!“Cepat balik ke kamar kita, Mas!”Nathan segera turun dari ranjang. “Jangan berisik!” omelnya, menarik Mia keluar dari kamar Alyra.“Mas Nathan, pelan-pelan… tanganku sakit…,” rengek Mia sambil meringis karena Nathan mencengkeram lengannya dengan kencang, seolah Mia bakal kabur k
Sejak pertengkaran itu, Mia dan Nathan sama-sama bersikap dingin. Hanya suara langkah kaki yang terdengar saat mereka berlalu lalang, dan percakapan yang terjalin pun hanya sebatas kebutuhan. Setiap pagi, Mia tetap membuatkan suaminya kopi dan pisang goreng atau makanan pendamping kesukaannya. Tapi Nathan menikmatinya dengan pandangan kosong, kemudian berangkat kerja tanpa mengucapkan selamat tinggal. Mia hanya bisa menatap punggungnya yang menjauh. Saat makan bersama, hanya suara dentingan sendok dan garpu yang memecah keheningan ruangan.Keadaan semakin buruk dengan keberadaan Vena yang pandai memanfaatkan situasi. Dengan kondisi Alyra yang sedang sakit, Vena berhasil menarik perhatian Nathan, membuatnya lebih sering berada di sisi putrinya. Setiap kali Nathan pulang, Vena sudah siap dengan laporan perkembangan kesehatan Alyra, membuat Nathan tak bisa menolak untuk menghabiskan waktu lebih banyak bersama mereka.Sementara itu, Rival turut merasakan dampak pertengkaran kedua orang
"No…, please…! Jangan, Papa…!" Tangis Rival meledak keras. Bocah itu berguling-guling di lantai, tubuhnya bergetar hebat oleh histeria yang mendalam. Bola kesayangannya, yang memiliki dua tanda tangan pemain hebat kebanggaannya, David Beckham dan Max Julian, kini teronggok rusak di depan matanya. Rival terus berguling-guling di lantai, tangisannya semakin histeris. “Max…! Tolong, Max…! Bolaku, Max…!” Suaranya serak dan penuh keputusasaan. Ia memeluk bolanya, seolah dengan begitu, ia bisa mengembalikan keutuhannya yang telah hancur."Max…! Lihat bolaku, Max…! Tolong, Max…!" ratap Rival, suaranya pecah oleh kepedihan. Air matanya mengalir deras, wajahnya memerah oleh tangis yang tak terbendung.Nathan tertegun mendengar nama itu keluar dari mulut putranya. "Max…," pikirnya dengan geram. Nama yang paling ia benci, kini justru dipanggil-dipanggil oleh anaknya sendiri, seolah pria itu adalah pahlawan yang akan datang menyelamatkan.Meskipun di sudut hatinya yang terdalam, melihat Rival
Nathan membuang pandangannya ke luar jendela mobil yang sedang membawanya menuju rumah sakit. Tangisan Rival yang memanggil-manggil nama “Max” sambil memeluk bola yang dihancurkannya tadi, terus terngiang dalam kepalanya, meremas hatinya dengan rasa sakit.Ada sesal yang mengalir dalam dadanya. Demi Tuhan, dia sama sekali tak bermaksud menyakiti Rival, anak yang sudah dianggapnya seperti anak kandung sendiri. Tapi, saat melihat bola yang ditendang Rival tadi melesat dan menghantam tepat di wajah Alyra, membuat emosinya tiba-tiba saja menjadi tak terkendali. Terlebih Alyra menangis keras dan darah seketika menetes-netes dari hidungnya. Ditambah jeritan panik Vena yang melihat putrinya terluka tepat di depan matanya.Kejadian itu berlangsung dengan cepat, bahkan dirinya sendiri tak sadar sudah memukul Rival sambil membentaknya. Dan kemarahannya seolah kian menjadi begitu melihat bola yang menyakiti putrinya tadi bertuliskan nama “Max Julian”, pria yang dibencinya.Nathan memijat kening
Langit di atas stadion tampak muram, seakan mencerminkan suasana hati Max. Suara gemuruh dari para penonton memenuhi udara, membakar semangat para pemain yang sudah bersiap di lapangan.Pertandingan berlangsung sengit sejak peluit pertama ditiup. Max, dengan posturnya yang tinggi-tegap dan wajah tegang, selalu waspada di garis pertahanan. Ia berusaha menjaga tembok lini belakang dari gempuran lawan yang selalu siap menerobos pertahanannya. Setiap gerakan lawan diikuti dengan seksama, setiap potensi ancaman dihadapi dengan tekad baja. Namun, ada sesuatu yang mengganggu fokusnya.Mimpinya tentang Rival semalam terasa mengganggu dan membuatnya tidak bisa tenang seperti biasa. Dalam mimpi itu, Rival memanggil namanya dengan suara serak, seolah memohon sesuatu yang tak bisa diberikan Max. Kegelisahan dari mimpi itu merembes ke dalam pikirannya, membuatnya tiba-tiba goyah di lapangan."Max! Ada apa denganmu!" omel Danny dengan nada kesal saat Max hampir saja melakukan blunder yang fatal, n
Nathan memutuskan meninggalkan rumah sakit dan menyerahkan pengawasan Alyra pada Vena, setelah memastikan bahwa kondisi Alyra tidak segawat yang Vena sampaikan sebelumnya.Setibanya di rumah, dia masuk dengan langkah berat, suasana hening menyambutnya. Biasanya, dia bisa mendengar tawa kecil Rival atau suara lembut Mia yang memanggilnya dari dapur. Namun kali ini tidak ada apa-apa selain keheningan. Rumah yang biasanya terasa hangat dan penuh kehidupan, mendadak terasa dingin.Nathan berjalan menuju kamar utama. Dia membuka pintu dengan perlahan, berharap menemukan Mia di sana. Tetapi kamar itu kosong. Tempat tidur tampak rapi.Dia pikir mungkin Mia sedang membuat kue atau roti di dapur, seperti yang sering dilakukannya saat ingin menenangkan diri. Atau mungkin Mia sedang mengurus taman anggreknya di teras belakang, yang selalu menjadi pelariannya saat ingin menyendiri.Nathan menuju kamar Rival. Dia berharap menemukan anaknya di sana, mungkin saja Rival sedang main playstation atau ti
Nyonya Wina tampak kaget melihat kedatangan putrinya yang tiba-tiba. Lebih kaget lagi setelah melihat Rival, padahal ini bukan musim liburan. Hatinya mendadak merasa tidak enak. Dia berdiri di ambang pintu, menyapu pandangannya ke arah Mia yang terlihat kusut dan lelah.“Apa yang terjadi, Mia?” tanyanya dengan nada tegas, matanya yang tajam mengamati setiap perubahan di wajah putrinya.“Oma!” Rival memotong suasana tegang dengan pelukan hangat, membuat Nyonya Wina tersenyum lebar. Dia membungkuk untuk memeluk cucunya, merasakan kehangatan dan kegembiraan yang tulus dari bocah kecil itu."Rival kangen sama Oma. Katanya Mama juga kangen sama Oma, terus Mama langsung mengajak terbang ke sini," celoteh Rival, suaranya penuh semangat.Rival menganggap perjalanan dadakan dari Indonesia menuju Skotlandia ini sangat menyenangkan, cukup menghibur duka di hati Rival atas rusaknya bola kesayangannya. Dan tentu saja, Rival tetap membawa bola itu bersama mereka. Nyonya Wina mengangguk-angguk, te
Mia menjawab pertanyaan ibunya dengan menggeleng pelan sambil menunduk, tangis merembes di pipinya. Pernikahannya dengan Nathan memang tidak mungkin disetujui oleh keluarga besar Wijaya bila saja Nathan tidak membuat pengakuan menggegerkan itu.Saat itu, Mia tidak tahu apa yang membuat Nathan tiba-tiba melakukan kenekatan itu. Kenangan itu berputar di benaknya, seolah baru terjadi kemarin.Hari itu, Nyonya Wina dan Nyonya Ambar, ibunya Nathan, baru saja memasuki ruangan perawatannya, berniat membesuknya. Wajah keduanya seketika memucat saat secara tidak sengaja mendengar percakapan Mia dengan dokter yang sedang memeriksa kandungannya. “Mia…, k-kamu hamil?” Nyonya Wina tercengang kaget. Nyonya Ambar yang berdiri di sebelahnya dengan sigap memegangi tubuh iparnya yang gemetaran itu. "Siapa yang menghamilimu, Mia? Pria itu harus bertanggung jawab! Dia harus menikahimu sebelum kandunganmu itu semakin membesar!” tuntut Nyonya Wina dengan nada penuh amarah.Mia hanya bisa terdiam, air ma