Mia menghembuskan napas panjang, menatap pemandangan kota Inverness dari jendela kamar. Inverness, dengan segala pesonanya, memancarkan keindahan yang mampu menenangkan jiwa yang gelisah. Kota kecil di dataran tinggi Skotlandia ini penuh dengan pesona alam dan sejarah yang terasa nyata di setiap sudutnya.Di kejauhan, pegunungan yang menjulang tinggi tampak seperti penjaga kota yang setia, melingkupi Inverness dengan keagungan alaminya. Puncak-puncak yang tertutup salju putih berkilauan di bawah sinar matahari, menciptakan pemandangan yang memukau. Sungai Ness yang mengalir tenang melintasi kota menambah kesan damai, dengan airnya yang jernih berkilauan seperti kristal di bawah sinar matahari.Mia mencoba menenangkan diri di tengah keindahan yang kini terasa kontras dengan kekacauan hatinya. Dia ingin merasakan ketenangan di tempat ini, setidaknya dalam situasinya sekarang. Sayangnya, Nyonya Wina hanya memberinya izin tinggal di sini untuk beberapa hari saja.“Padahal aku masih ingi
"Mia jadi berangkat ke Jakarta hari ini, Tante?" tanya Nathan penuh kegelisahan saat menelepon Tante Wina, mencoba mencari tahu keputusan Mia.Saat kepergian Mia pada beberapa hari lalu, ia langsung mengecek paspor dan visa milik Mia dan Rival di brankas dokumen pribadi mereka. Begitu tak menemukannya, dia tahu bahwa Mia sedang menuju rumah ibunya di Skotlandia. Pada detik itu juga ia segera menelepon si tante, memberikan penjelasan tentang situasi rumah tangga mereka saat itu. “Aku memang salah, Tan. Aku tidak sengaja meniduri asisten pribadiku, saat itu aku betul-betul sedang mabuk. Aku tidak sadar kalau itu bukan Mia. Demi Tuhan, aku hanya mencintai Mia,” sumpahnya.Nathan lalu menjelaskan semuanya.“Apa? Kau membawa perempuan itu ke rumahmu, Nath? Kau gila!” omel Tante Wina dengan nada tinggi. Nathan memahami kemarahan Tante Wina dan mendengarkan tanpa interupsi saat tantenya mengomel dan memarahinya.“Tan, aku terpaksa melakukannya. Alyra menderita leukimia, umurnya mungkin tid
Jalanan penuh dengan para pendukung yang berpakaian seragam tim kesayangan mereka, menciptakan lautan warna yang meriah. Mia berjalan di antara mereka, merasakan kegembiraan yang menular. Setibanya di stadion, Mia kagum melihat megahnya arena pertandingan. Banner besar dengan logo klub yang menjulang tinggi, aroma hot dog dan popcorn yang memenuhi udara, serta suara terompet dan drum yang bergemuruh menambah semarak suasana. Mia bergabung dengan arus penonton yang mengalir menuju tribun utama stadion yang megah. Udara sejuk musim semi menyegarkan wajahnya saat ia melangkah dengan hati yang berdebar-debar. Di sekitarnya, suara sorak-sorai dan percakapan riuh penonton memenuhi udara, menciptakan atmosfer yang energik sebelum pertandingan dimulai.Tribun penuh dengan kerumunan berbagai usia, mulai dari anak-anak kecil hingga orang dewasa, pria dan wanita. Warna-warni seragam dan bendera klub Lakeside City berkibar-kibar di udara, menambah semarak suasana sekitar. Mia menemukan tempat
Sorak-sorai penonton menggema di seluruh stadion ketika peluit pertandingan berbunyi. Sorotan lampu yang terang benderang menyinari lapangan hijau, menciptakan bayang-bayang panjang dari para pemain yang bergerak cepat. Di tengah lapangan, Max bertindak penuh waspada sebagai bek andalan Lakeside City, matanya tajam mengamati setiap pergerakan lawan yang memasuki area pertahanannya. Max adalah gambaran sempurna dari dedikasi dan determinasi. Keringat mengalir di dahinya, ia pantang menyerah, siap melindungi area pertahanan dengan segala kemampuan yang dimilikinya. Gerakan gesitnya mencerminkan latihan keras dan disiplin yang diterapkannya selama ini.Serangan demi serangan dari Northbridge United datang seperti badai. Bola bergerak cepat, hampir tak terlihat saat ditendang dari satu pemain ke pemain lain. Melihatnya, Mia menahan napas. Ketegangan terasa melingkupi stadion. Serangan itu begitu cepat dan terkoordinasi, menyusup melalui lini tengah Lakeside City. Max bergerak cepat, m
Nathan merasa gelisah, sudah hampir seminggu dia menunggu, namun istrinya itu tak kunjung pulang ke rumah. Dia urung bertanya pada tantenya tentang kemungkinan apakah Mia kembali ke Skotlandia. “Iya kalau Mia di sana, kalau tidak? Aku tak mau tante Wina ikut cemas memikirkan masalah kami. Biar saja dia fokus mengurus Rival,” pikirnya.Namun, kegelisahnya kian memuncak, mendorongnya untuk mencari tahu keberadaan Mia tanpa harus terlihat mencolok. Langkah pertamanya adalah mengunjungi teman-teman Mia yang ia kenal.Hari itu, Nathan memutuskan bermain tenis di tempat Mia biasa bermain. Udara segar pagi itu seolah tidak mampu meredakan kegelisahan yang menghantui pikirannya. Dengan raket di tangan, ia memasuki lapangan tenis, ditemani asisten pribadinya. Setelah melakukan pemanasan yang cukup, mereka mulai bermain di satu lapangan yang sudah disewa oleh Jay, asisten pribadi Nathan. Nathan berusaha melepas kepenatan melalui pukulan demi pukulan. Dia memperlihatkan keahliannya yang luar bi
Setelah menonton pertandingan sepakbola di London, Mia memutuskan untuk menjelajahi kota-kota lain yang menawarkan pengalaman unik dan menenangkan. Salah satu kota yang menjadi favoritnya adalah Bath. Terletak jauh dari hiruk pikuk London, Bath menyambutnya dengan udara sejuk dan pemandangan yang memanjakan mata. Jalan-jalan berliku dipenuhi dengan bangunan bersejarah yang megah, dan taman-taman yang rimbun dengan pepohonan hijau memberikan kesan damai dan tenang. Sungai Avon mengalir tenang, menciptakan suasana yang begitu menyejukkan hati Mia.Mia berjalan santai di sepanjang jalan batu yang teratur, menghirup udara segar yang beraroma wangi bunga. Setiap langkah membawanya semakin larut dalam pesona kota ini. Bangunan-bangunan bergaya Georgian berbaris rapi, dengan balkon-balkon yang dipenuhi bunga beraneka warna. Di kejauhan, Pulteney Bridge tampak indah dengan deretan toko-toko yang memikat di sepanjangnya.Karena hanya membawa sedikit baju, Mia memutuskan untuk mengunjungi bu
Nathan duduk di ruang kerjanya, dengan perasaan marah yang membara. Kertas dan gelas bertebaran di lantai, menjadi saksi bisu ledakan emosinya yang baru saja terjadi. Ia meremas rambutnya, menahan diri untuk tidak mengamuk lagi. Terdengar ketukan di pintu. “Masuk!” titah Nathan dengan nada tinggi, masih terbawa emosi.“M-maaf, Tuan…,” ujar si bibik saat memasuki ruangannya, pembantunya itu terlihat takut kepadanya. “Ada tamu mencari Tuan, katanya penting.”“Kamu tidak tanya namanya, asalnya, urusannya apa?” sahut Nathan dengan dingin.“Katanya beliau pengacara, dari firma hukum—” si bibik terdiam, keningnya mengerut, tampak berusaha mengingat-ingat. “M-maaf, saya lupa namanya, Tuan,” katanya sambil menggigit bibir, lalu menunduk ketakutan.Nathan mendengus pelan dan akhirnya mengangguk ringan.Si bibik pamit keluar dan tergesa-gesa menuju dapur. Sesampainya di dapur, dia mengelus-elus dadanya. “Apes… apes, kenapa pula aku yang kalah hompimpah sama kalian sih!” Sejak Nathan mengamuk
Mia menyeret kopernya di dalam Bandara Heathrow, London. Suara gemuruh dari pengumuman keberangkatan dan kedatangan menggema di sekitar, bercampur dengan obrolan dalam berbagai bahasa dari para pelancong yang sedang menunggu penerbangan mereka. Di layar besar yang tergantung di langit-langit, jadwal penerbangan terus berubah, menampilkan destinasi dari berbagai penjuru dunia. Lampu-lampu neon menerangi setiap sudut bandara, menciptakan kontras dengan langit menjelang senja yang lembut di luar. Warna-warna cerah dari toko-toko duty-free dan kafe yang berjajar di sepanjang koridor menambah keriuhan visual di tempat itu.Setelah berada selama dua minggu di Inggris, menikmati kebebasan yang jarang ia rasakan selama tujuh tahun pernikahannya, Mia kini merasa lebih siap untuk menghadapi Nathan. Dia telah memanfaatkan waktu ini untuk refleksi diri, memahami apa yang benar-benar ia inginkan dalam hidupnya.Mia merapatkan sweater rajutnya, merasakan angin sejuk yang berhembus setiap kali pin