Setelah menonton pertandingan sepakbola di London, Mia memutuskan untuk menjelajahi kota-kota lain yang menawarkan pengalaman unik dan menenangkan. Salah satu kota yang menjadi favoritnya adalah Bath. Terletak jauh dari hiruk pikuk London, Bath menyambutnya dengan udara sejuk dan pemandangan yang memanjakan mata. Jalan-jalan berliku dipenuhi dengan bangunan bersejarah yang megah, dan taman-taman yang rimbun dengan pepohonan hijau memberikan kesan damai dan tenang. Sungai Avon mengalir tenang, menciptakan suasana yang begitu menyejukkan hati Mia.Mia berjalan santai di sepanjang jalan batu yang teratur, menghirup udara segar yang beraroma wangi bunga. Setiap langkah membawanya semakin larut dalam pesona kota ini. Bangunan-bangunan bergaya Georgian berbaris rapi, dengan balkon-balkon yang dipenuhi bunga beraneka warna. Di kejauhan, Pulteney Bridge tampak indah dengan deretan toko-toko yang memikat di sepanjangnya.Karena hanya membawa sedikit baju, Mia memutuskan untuk mengunjungi bu
Nathan duduk di ruang kerjanya, dengan perasaan marah yang membara. Kertas dan gelas bertebaran di lantai, menjadi saksi bisu ledakan emosinya yang baru saja terjadi. Ia meremas rambutnya, menahan diri untuk tidak mengamuk lagi. Terdengar ketukan di pintu. “Masuk!” titah Nathan dengan nada tinggi, masih terbawa emosi.“M-maaf, Tuan…,” ujar si bibik saat memasuki ruangannya, pembantunya itu terlihat takut kepadanya. “Ada tamu mencari Tuan, katanya penting.”“Kamu tidak tanya namanya, asalnya, urusannya apa?” sahut Nathan dengan dingin.“Katanya beliau pengacara, dari firma hukum—” si bibik terdiam, keningnya mengerut, tampak berusaha mengingat-ingat. “M-maaf, saya lupa namanya, Tuan,” katanya sambil menggigit bibir, lalu menunduk ketakutan.Nathan mendengus pelan dan akhirnya mengangguk ringan.Si bibik pamit keluar dan tergesa-gesa menuju dapur. Sesampainya di dapur, dia mengelus-elus dadanya. “Apes… apes, kenapa pula aku yang kalah hompimpah sama kalian sih!” Sejak Nathan mengamuk
Mia menyeret kopernya di dalam Bandara Heathrow, London. Suara gemuruh dari pengumuman keberangkatan dan kedatangan menggema di sekitar, bercampur dengan obrolan dalam berbagai bahasa dari para pelancong yang sedang menunggu penerbangan mereka. Di layar besar yang tergantung di langit-langit, jadwal penerbangan terus berubah, menampilkan destinasi dari berbagai penjuru dunia. Lampu-lampu neon menerangi setiap sudut bandara, menciptakan kontras dengan langit menjelang senja yang lembut di luar. Warna-warna cerah dari toko-toko duty-free dan kafe yang berjajar di sepanjang koridor menambah keriuhan visual di tempat itu.Setelah berada selama dua minggu di Inggris, menikmati kebebasan yang jarang ia rasakan selama tujuh tahun pernikahannya, Mia kini merasa lebih siap untuk menghadapi Nathan. Dia telah memanfaatkan waktu ini untuk refleksi diri, memahami apa yang benar-benar ia inginkan dalam hidupnya.Mia merapatkan sweater rajutnya, merasakan angin sejuk yang berhembus setiap kali pin
Panggilan boarding telah tiba. Para penumpang segera sibuk bersiap. Mia melangkah bersama Max menuju ke dalam lambung pesawat yang akan membawa mereka ke Jakarta. “Kamu tidak mengambil kelas bisnis, Max?” “Apakah itu bisa membuatku lebih cepat sampai ke Jakarta?” Max mengangkat alisnya, lalu terkekeh pelan.Mia telah menemukan nomor kursinya, sementara Max meneruskan langkahnya menuju barisan kursi yang berada di belakang.Seorang ibu tiba-tiba berbicara dengan Mia yang baru saja duduk. "Permisi, bisakah kita bertukar tempat duduk? Saya ingin duduk dekat kedua anak saya. Mereka akan gelisah sepanjang perjalanan bila duduk terpisah dari saya. Tolonglah? Saya sudah minta izin kepada pramugari tentang pertukaran ini. Saya mohon?” katanya dengan nada memelas dan sorot mata minta pengertian.Mia bisa memahami kondisi itu. Iapun setuju dan segera berpindah tempat menuju kursi di deretan belakang, di tempat ibu itu seharusnya duduk. Dan Mia terkejut ketika melihat Max ada di sana, tepat di
Setelah menempuh waktu penerbangan selama hampir 16 jam, akhirnya pesawat mendarat di landasan pacu Bandara Soekarno-Hatta dengan mulus pada pagi itu. Suara gemuruh mesin pesawat perlahan mereda, digantikan oleh bisikan lembut dari para penumpang yang bersiap-siap untuk turun.Max, dengan postur tubuhnya yang tinggi dan atletis, bangkit dari tempat duduknya dan dengan sigap membuka kompartemen kabin di atas tempat duduk mereka. Dengan hati-hati, dia menarik keluar koper milik Mia. Dia menurunkan koper Louis Vuitton itu dengan sangat mudah.“Ini saja barangmu, Mia?” tanyanya, suaranya lembut dan penuh perhatian.Mia, yang sudah berdiri di sampingnya, mengangguk ringan. “Iya, terima kasih, Max.”Mereka melangkah keluar dari lambung pesawat dengan tertib, mengikuti aliran penumpang lain yang bergerak menuju pintu keluar yang langsung terhubung dengan garbarata.Ketika mereka mencapai ujung garbarata, suasana bandara yang ramai menyambut mereka. Orang-orang berlalu-lalang dengan koper-kop
Mia telah sampai di depan rumah megahnya, memandang pintu besar yang tampak angkuh dan dingin. Meski telah mempersiapkan diri dengan matang, hatinya tetap berdebar keras saat dia melangkah masuk. Langkah-langkahnya terasa berat, setiap jejak membawa beban emosional yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Dia terpaksa kembali ke rumah ini setelah berdiskusi dengan Robert. Menurut pengacaranya itu, dia perlu bicara empat mata dengan Nathan. Mia menghargai bagaimana Robert memberikan masukannya sebagai pengacaranya. Mereka kemarin berdiskusi lewat aplikasi pesan saat dia masih berada di Bandara Heathrow London.Robert: [Saya rasa, Pak Nathan keberatan dengan perceraian ini karena beliau ingin mempertahankan rumah tangganya dengan Anda. Saya harap masih terbuka ruang untuk menyelesaikan masalah rumah tangga kalian tanpa perlu bercerai.]Mia: [Saya kira sebagai pengacara, Pak Robert akan membantu saya untuk memuluskan jalan yang sudah saya pilih.] Robert: [Saya akan membantu jika piliha
Dalam tidur lelapnya, Mia seperti terseret ke dalam pusaran waktu yang melemparnya kembali ke masa lalu. Dia melihat Max yang masih begitu muda, begitupun dirinya, di mimpi itu. Mereka berada di sebuah kamar hotel yang berada di tepi pantai. Ini seperti masa di mana berita tentang Max yang akan dinaturalisasi oleh timnas sepakbola Indonesia telah berhembus kencang di berbagai media massa."Aku terbang dari Inggris ke sini hanya untuk menemuimu, Mia. Tak ada hubungannya dengan jadwal latihanku dengan timnas.” Mia mendongak dan tersenyum lebar ketika matanya bertemu tatap dengan sepasang “hunter eyes” milik Max, bentuk mata yang kuat, tajam, dan menonjol dengan alis yang hitam dan tegas.Mia berjinjit saat Max menunduk untuk mencium bibirnya. Tubuh Max yang atletis dengan tinggi 189 cm membuat Mia, yang tingginya hanya 160 cm, merasa seperti kurcaci.“Max, apa kamu serius dengan keputusanmu menjadi WNI demi memperkuat timnas Indonesia?” tanyanya sambil mengalungkan tangannya di leher
Nathan berhenti bergerak, seolah-olah waktu membeku di sekitar mereka. Napasnya yang semula berat karena gairah, kini menjadi terengah-engah oleh rasa sakit yang tiba-tiba menghantam hatinya. Dia menatap wajah Mia yang masih setengah tertidur, desahan nama “Max” yang lembut namun menghancurkan baru saja terucap dari bibirnya. Amarah terasa membara di dalam dirinya. Bagaimana mungkin, di momen yang seharusnya menjadi milik mereka berdua, Mia justru memikirkan pria lain? ‘I love you, Max’, Mia bilang?Rasa sakit dan pengkhianatan mengoyak hatinya, membuat tubuhnya menegang. Ia mengepalkan tangan, berusaha menahan diri untuk tidak meledak."Kenapa, Mia?" gumamnya pelan, nyaris tak terdengar. "Kenapa kamu harus mengingatnya saat kita bersama?" desisnya dengan wajah merah padam.Namun, di balik amarah dan rasa sakit itu, ada sesuatu yang lain: keinginan mendalam dan rindu yang tak tertahankan untuk memiliki Mia. Ia mencintai wanita ini lebih dari apapun, dan tak bisa menerima kenyataan
Di lobi gedung rumah sakit elit di jantung kota Jakarta, sebuah sedan Rolls Royce hitam berhenti dengan anggun, memancarkan aura kemewahan yang nyata di antara deretan mobil mewah lainnya yang sedang memasuki halaman rumah sakit tersebut.Pintu mobil sedan mewah itu terbuka, menampilkan seorang pria tampan berwajah oriental yang melangkah keluar dengan aura kecerdasan dan percaya diri. Berbalut sepatu kulit hitam mengkilap, kaki pria itu menapak lantai lobi dengan ketegasan seorang pemimpin sejati. Setelan jas hitam yang dikenakannya begitu pas membingkai tubuhnya yang tinggi dan atletis, menambah kesan elegan dan berwibawa yang kini melekat erat pada diri pria berusia 40 tahun itu.“Silakan, Tuan Valen,” sapa asistennya sambil membukakan pintu mobil, memberikan anggukan hormat pada CEO “Bintang Hospital Group” yang baru saja tiba.Aura Dokter Joshua Valen kini begitu berbeda, mencerminkan transformasi yang telah ia lalui dalam beberapa tahun ini. Sejak ditinggalkan oleh Mia, Valen me
Max dan Mia memulai babak baru dalam kehidupan mereka di Lake District, Inggris, sebuah tempat yang menawarkan ketenangan dan keindahan alam yang kontras dengan kehidupan kota yang sibuk. Keputusan mereka untuk menetap di kawasan ini adalah bagian dari keinginan mereka untuk menemukan kedamaian dan kebahagiaan dalam kehidupan baru mereka bersama.Rumah mereka, sebuah cottage yang terletak di tepi danau, dikelilingi oleh hutan hijau dan pegunungan yang menjulang, memberikan latar belakang yang sempurna untuk melanjutkan kehidupan mereka. Setiap pagi, mereka disambut oleh pemandangan matahari terbit yang memukau dan suara lembut angin yang berdesir di antara pepohonan. Ini adalah tempat di mana Mia dan Max dapat menghindar dari hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari dan benar-benar fokus pada kebersamaan mereka.Max, sebagai pemain sepak bola profesional, berhasil menjalani karier yang cemerlang di Inggris bersama Lakeside City, klub sepak bola yang kini terdaftar dalam EPL (English Premi
Di sebuah rumah sakit, Valen duduk di ruang tunggu keluarga pasien, menantikan Mia yang sedang menjalani operasi darurat dan harus dikuret karena mengalami keguguran. Valen masih mengenakan kemejanya yang bersimbah darah—darah Mia. Asistennya mencoba membujuknya untuk mengganti pakaian. Namun, Valen menggelengkan kepala, menolak tawaran itu. Gelengan itu membuat asistennya mundur, memberikan ruang bagi Valen yang masih terlihat kalut dan terpukul oleh peristiwa tragis yang menimpa Mia.Di depannya, Max yang juga sedang tegang menantikan Mia, ia mengamati semua gerak-gerik Dokter Joshua yang semakin jelas di matanya. “Kamu jatuh cinta pada Mia kan, Dok?”Tanpa ragu, Valen mengangguk. “Aku jatuh cinta padanya sejak pertama kali kami bertemu, di ruang IGD itu. Kupikir saat itu aku hanya merasa iba kepadanya, tapi ternyata tidak… itu bukan hanya rasa iba ataupun sekadar simpati. Aku selalu ingin bersamanya sejak saat itu. Ingin melindunginya, ingin memastikan bahwa dia selalu baik-baik
Gavin menginjak gas mobilnya lebih dalam, melesat keluar dari basement dengan kecepatan yang mencerminkan kepanikan dalam dirinya. Jantungnya berpacu, diliputi oleh ketakutan dan penyesalan yang menghantui setiap pikiran.“Maafkan aku, Valen. Maafkan aku…!” suaranya nyaris tak terdengar, tercekik oleh emosi yang bergolak. Bibirnya gemetar, dan air mata mulai membanjiri pandangannya.Tangis Gavin pecah, mengalir deras seperti sungai yang tak terbendung. Hatinya terasa remuk, diremas oleh kepedihan yang tak tertahankan saat bayangan Valen melintas di benaknya. Bagaimana kondisi pria yang dicintainya itu sekarang?Pikiran itu mencabik-cabik ketenangannya. Ketakutan menyeruak, menggerogoti setiap sudut batinnya. Bagaimana jika Valen… mati? Atau lebih buruk, bagaimana jika Valen cacat permanen akibat keputusan impulsif yang baru saja ia buat?“Tidak…! Tidak!” Gavin memukul-mukul setir mobil dengan frustrasi.Penyesalannya datang terlambat, menghempaskan Gavin ke dalam jurang keputusasaan.
Di dalam basement, area parkir sebuah apartemen, tatapan Gavin tak lepas dari mobil yang terletak beberapa meter di depannya. Mobil itu seolah menjadi simbol dari seseorang yang diam-diam telah menjadi pusat dunianya—Dokter Joshua Valen. Hati Gavin bergejolak dengan perasaan yang tak pernah ia ungkapkan kepada siapa pun, kecuali kepada pemilik mobil itu sendiri.Joshua Valen, sang dokter yang tampan dan baik hati, adalah sosok yang telah membuat Gavin merasakan ketenangan yang tak pernah ia dapati dari orang lain. Setiap kali berada di dekat Valen, Gavin merasa damai, seolah semua beban hidupnya menghilang dalam sekejap. Kekaguman Gavin terhadap Valen melampaui batas-batas yang wajar, melebihi rasa kagum seorang pasien biasa kepada dokternya. Gavin telah jatuh cinta—perasaan yang ia tahu salah, namun tak bisa ia kendalikan.Gavin masih mengingat dengan jelas hari ketika ia akhirnya memberanikan diri mengungkapkan perasaannya kepada Valen. Detik-detik itu penuh ketegangan baginya, n
“Michella, kamu sekarang bisa mencairkan nilai pokok investasi milik Mia, lakukan segera.” Nathan menyampaikan instruksi itu lewat telepon. Michella terkejut mendengar permintaan Nathan. Padahal sebelumnya, Nathan kerap memberinya ancaman yang mengerikan bila ia sampai memberikan bantuan keuangan pada Mia, apalagi sampai mengembalikan nilai pokok investasi yang sudah sering diminta oleh Mia.Namun, tanpa banyak tanya lagi—khawatir Nathan berubah pikiran, Michella segera mentransfer uang itu pada Mia. Membuat Mia menangis lega saat ia menyampaikan kabar baik itu.“Maaf, aku baru bisa mengembalikan uang investasimu sekarang, Mia.” Michella berkata dengan hati yang diliputi rasa bersalah.“Tidak apa-apa, Michella…, yang penting sekarang bisnismu sudah stabil, kan?” ucap Mia begitu tulus.Michella diam-diam merasa bersalah dalam hatinya karena sebenarnya bisnisnya baik-baik saja selama ini. Tetapi ia tak berkutik dan tunduk pada perintah Nathan karena ancaman-ancamannya terhadap bisnis M
“Bisa-bisanya kamu menciptakan kiamat untuk kariermu sendiri, Max!” Brama mengomel dengan nada yang semakin meninggi saat menemuinya di hotel usai pertandingan malam itu, nadanya penuh dengan kekhawatiran. Dia membayangkan dampak dari tindakan Max yang sembrono ini—reputasi yang hancur, skandal yang meledak, efek domino yang bisa berakibat fatal bagi kariernya. Brama sangat memahami bagaimana dunia olahraga bisa kejam; satu langkah salah bisa menghancurkan segalanya dalam sekejap.Brama menatap Max sambil geleng-geleng kepala, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan gelisah. Kepalanya yang botak berkilau di bawah cahaya lampu. Sementara itu, Max duduk dengan tenang di hadapannya, menyandarkan punggung ke kursi dengan senyum tipis yang tampak santai. Matanya memancarkan keteguhan yang sulit digoyahkan, seolah semua kata-kata Brama hanya angin lalu.Senyuman Max mencerminkan keyakinan dan ketidakpeduliannya terhadap apa kata dunia atas tindakannya. “Mia sudah bercerai dari Nathan, itu
Jeritan cinta yang begitu menggema dari Max seolah merobek kebisingan di stadion, menimbulkan kekagetan di pikiran begitu banyak orang, khususnya Mia. Dia tak pernah membayangkan bahwa Max akan melakukan sesuatu yang begitu nekat, begitu terbuka, di depan puluhan ribu pasang mata.Mia membeku, tubuhnya kaku seperti patung di tengah lautan manusia yang seakan tidak berhenti bergejolak dengan sorak sorai dan tepukan tangan. Dalam diri Mia, perasaan malu, terkejut, dan kebingungan bergulat satu sama lain, membuat tubuhnya gemetar. Jantungnya berdetak cepat, seolah tak bisa mengimbangi kekacauan yang terjadi di dalam pikirannya. Dia tidak terbiasa menjadi pusat perhatian seperti ini.Tatapan Mia yang biasanya lembut kini terpaku lurus ke depan, mencoba menghindari pandangan orang-orang yang kini tertuju padanya. Setiap mata di stadion ini seolah sedang memperhatikannya, menilai, dan mungkin bahkan menghakiminya. Tangannya yang dingin berusaha mencari pegangan, dan tanpa sadar, ia mengge
Max bersama para pemain lainnya berjalan menuju tepi lapangan, wajahnya berseri-seri dengan senyum hangat menghiasi bibirnya. Tangannya terangkat, melambai ke arah suporter yang memenuhi tribun, seolah ia ingin menyapa setiap orang yang telah memberikan dukungan penuh selama pertandingan. Setiap langkah yang ia ambil terasa penuh dengan kebanggaan, mencerminkan kemenangan yang baru saja mereka raih.Sesampainya di tepi lapangan, Max sedikit membungkukkan badannya sebagai penghormatan tulus kepada para suporter. “Terima kasih!” teriaknya kemudian, sambil kembali melambaikan tangannya.Aksinya diikuti oleh rekan-rekan timnas yang lain. Seketika sikap rendah hati para pemain itu memicu gelombang tepuk tangan yang riuh dari tribun. Sorak-sorai membahana, mengapresiasi sikap hormat yang ditunjukkan oleh Max dan para pemain timnas.Langkah Max dan timnya terhenti tepat di depan tribun Selatan. Di sana, lautan suporter dengan kostum hitam—warna khas Ultras Garuda, mendominasi pemandangan. N