Mia telah sampai di depan rumah megahnya, memandang pintu besar yang tampak angkuh dan dingin. Meski telah mempersiapkan diri dengan matang, hatinya tetap berdebar keras saat dia melangkah masuk. Langkah-langkahnya terasa berat, setiap jejak membawa beban emosional yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Dia terpaksa kembali ke rumah ini setelah berdiskusi dengan Robert. Menurut pengacaranya itu, dia perlu bicara empat mata dengan Nathan. Mia menghargai bagaimana Robert memberikan masukannya sebagai pengacaranya. Mereka kemarin berdiskusi lewat aplikasi pesan saat dia masih berada di Bandara Heathrow London.Robert: [Saya rasa, Pak Nathan keberatan dengan perceraian ini karena beliau ingin mempertahankan rumah tangganya dengan Anda. Saya harap masih terbuka ruang untuk menyelesaikan masalah rumah tangga kalian tanpa perlu bercerai.]Mia: [Saya kira sebagai pengacara, Pak Robert akan membantu saya untuk memuluskan jalan yang sudah saya pilih.] Robert: [Saya akan membantu jika piliha
Dalam tidur lelapnya, Mia seperti terseret ke dalam pusaran waktu yang melemparnya kembali ke masa lalu. Dia melihat Max yang masih begitu muda, begitupun dirinya, di mimpi itu. Mereka berada di sebuah kamar hotel yang berada di tepi pantai. Ini seperti masa di mana berita tentang Max yang akan dinaturalisasi oleh timnas sepakbola Indonesia telah berhembus kencang di berbagai media massa."Aku terbang dari Inggris ke sini hanya untuk menemuimu, Mia. Tak ada hubungannya dengan jadwal latihanku dengan timnas.” Mia mendongak dan tersenyum lebar ketika matanya bertemu tatap dengan sepasang “hunter eyes” milik Max, bentuk mata yang kuat, tajam, dan menonjol dengan alis yang hitam dan tegas.Mia berjinjit saat Max menunduk untuk mencium bibirnya. Tubuh Max yang atletis dengan tinggi 189 cm membuat Mia, yang tingginya hanya 160 cm, merasa seperti kurcaci.“Max, apa kamu serius dengan keputusanmu menjadi WNI demi memperkuat timnas Indonesia?” tanyanya sambil mengalungkan tangannya di leher
Nathan berhenti bergerak, seolah-olah waktu membeku di sekitar mereka. Napasnya yang semula berat karena gairah, kini menjadi terengah-engah oleh rasa sakit yang tiba-tiba menghantam hatinya. Dia menatap wajah Mia yang masih setengah tertidur, desahan nama “Max” yang lembut namun menghancurkan baru saja terucap dari bibirnya. Amarah terasa membara di dalam dirinya. Bagaimana mungkin, di momen yang seharusnya menjadi milik mereka berdua, Mia justru memikirkan pria lain? ‘I love you, Max’, Mia bilang?Rasa sakit dan pengkhianatan mengoyak hatinya, membuat tubuhnya menegang. Ia mengepalkan tangan, berusaha menahan diri untuk tidak meledak."Kenapa, Mia?" gumamnya pelan, nyaris tak terdengar. "Kenapa kamu harus mengingatnya saat kita bersama?" desisnya dengan wajah merah padam.Namun, di balik amarah dan rasa sakit itu, ada sesuatu yang lain: keinginan mendalam dan rindu yang tak tertahankan untuk memiliki Mia. Ia mencintai wanita ini lebih dari apapun, dan tak bisa menerima kenyataan
Mia berpikir, Nathan akan berhenti hanya sampai di situ. Namun, hari itu, Nathan seperti seorang maniak yang tak mengenal kata henti. Selama sisa hari, Nathan terus-menerus menggarap tubuh Mia dengan nafsu yang tak terkendali, menjadikannya sebagai objek pelampiasan birahinya.Setiap kali Mia berusaha menolak atau memohon agar Nathan berhenti, pria itu hanya tertawa sinis, meremehkan rasa sakit dan ketakutannya. “Kamu pikir aku bisa berhenti, Mia? Setelah apa yang kamu lakukan? Meninggalkan aku tanpa pamit selama 2 minggu lebih? Dua minggu lebih, Mia! Kamu berutang banyak padaku!” Nathan mendesis dengan tatapan penuh kemarahan seraya mempercepat gerakan pinggulnya dengan kasar.Mia hanya bisa menangis dan menahan rasa sakit, berharap Nathan akan segera berhenti. Tapi seolah-olah Nathan ingin menagih semua gairahnya yang tertahan selama ini secara kontan, meluapkannya tanpa ampun meskipun dia telah melakukannya berkali-kali.“Kumohon, Mas Nathan… aku sudah tidak kuat lagi,” rintih Mia
"Kamu hanya menginginkan perceraian? Hanya itu yang kamu mau?" desis Nathan, mengulang kata-kata Mia dengan nada penuh cemooh, seakan setiap suku kata adalah belati yang menusuk hati. Wajahnya memperlihatkan seringai menghina saat ia menekankan setiap kata.Mia menatap Nathan dengan pandangan yang semakin tajam, namun kekuatan pandangannya terasa begitu tumpul di hadapan Nathan. Pria itu tidak sedikitpun terintimidasi."Kamu sudah siap berpisah selamanya dengan Rival?" Nathan melanjutkan dengan senyum meledek, suaranya penuh ejekan yang menembus ke hati Mia, seolah mengetahui dengan pasti bahwa hal itu adalah kemustahilan. Baginya, keinginan Mia itu hanyalah bualan.Tawa Nathan semakin keras ketika dia melihat keterkejutan yang tak terduga di mata Mia saat dia menyebut nama Rival."Dengar, Mia. Aku akan memberimu perceraian, tapi dengan syarat: 1). Kamu tidak akan menerima sepeser pun uangku, 2). Kamu setuju hak asuh Rival sepenuhnya jatuh ke tanganku, dan 3). Selamanya kalian tidak b
Di dalam sebuah ruang rapat, Max duduk di seberang meja panjang dari tim eksekutif perusahaan minuman jamu lokal. Di sebelahnya, Brama Kumbara duduk dengan sikap yang tenang namun tajam dalam mengamati setiap detail pembicaraan.Yudha, seorang eksekutif senior perusahaan, duduk di ujung meja. "Max, sebelumnya kami ucapkan selamat atas keberhasilan Lakeside City naik tahta ke Liga Premier Inggris,” ujarnya sambil tersenyum hangat. Max tersenyum, menerima dengan tulus ucapan selamat itu.“Kami sangat senang bisa memiliki kesempatan untuk bekerja sama denganmu dalam proyek iklan ini,” angguk Yudha penuh harapan. “Kami yakin kolaborasi ini akan memberikan dampak positif yang besar bagi brand kami,” lanjutnya dengan pujian.Max mengangguk menghargai, "Terima kasih, Pak Yudha. Saya juga sangat antusias untuk bekerja sama dengan perusahaan yang memiliki visi dan misi kuat seperti yang Anda miliki."Sylvia, manager proyek, menambahkan, "Kami telah membuat beberapa konsep yang kami pikir akan
Di tengah pembicaraannya dengan Pak Yudha, ponsel Nathan berdering. Nathan melirik Max sejenak, lalu tersenyum pada Yudha. “Maaf. Saya ada telepon penting,” ujarnya sambil bersiap menerima telepon. “Iya, Mia?” suaranya lembut ketika menyebut nama itu.Mendengarnya, tiba-tiba saja darah Max berdesir panas. Meskipun ia tahu bahwa Nathan adalah suami dari mantan kekasihnya itu, tapi mendengar nama Mia disebut semesra itu oleh Nathan terasa menggores hatinya.“Aku sedang di luar kantor. Kenapa? Kamu merindukanku?” Nathan tertawa lirih. “Aku juga,” bisiknya mesra. Mendengar percakapan intim itu, rahang Max seketika mengeras, pandangannya berubah dingin. Nathan melirik ke arah Max, senyum licik terbentuk di sudut bibirnya. Dia senang melihat kilatan cemburu yang membara di mata Max. “Bagus, biar kau tahu rasanya,” pikirnya puas. Dia senang berhasil membakar perasaan mantan kekasih istrinya itu.Sementara itu, si bibik yang sedang menelepon majikannya dari rumah mengerutkan kening mendeng
Noel tersenyum melihat keraguan di mata Max. “Ayolah, Max! Kau tampan, sukses, kaya. Tapi tak memiliki wanita?” bibirnya mencebik, “Bisa-bisa kau nanti dikira gay!” ujarnya sambil tertawa keras.Max mendengus pelan. “Apakah Bram yang menyuruhmu ke sini?” tembaknya tanpa basa-basi lagi. Ketidaksukaan terpancar di matanya, sebab kata-kata sepupunya barusan sama persis dengan apa yang tadi dikatakan oleh Nathan kepadanya tadi siang. Sial. Apa saja yang sudah dikatakan Brama pada sepupunya ini? Tapi, Max kembali mengingat karakter Brama. Tidak mungkin Brama seperti itu. Dia tahu bagaimana selama ini manajernya itu selalu bertindak profesional.Ah, sepertinya dia sedang sensitif hari ini. Sampai-sampai mencurigai Brama Kumbara yang selalu menjaga kepercayaan dan membantu urusannya dengan baik selama enam tahun ini. “Bram? Menyuruhku ke sini?” Kening Noel mengerut, tampak sedang mencerna pertanyaan Max yang membuatnya bingung. “Si botak itu bahkan tidak tahu kalau aku sedang ada di Indo