Sejak Nathan menampar dan menjadikannya objek seks hari itu, hati Mia seolah mati rasa terhadap suaminya sendiri. Setiap detik di rumah ini terasa hampa dan dingin, jauh dari kehangatan yang pernah ada. Mia tidak lagi bergairah menjalani hari-harinya. Apalagi, dengan Rival yang tidak ada di sini, hidupnya semakin terasa nelangsa.Mia sering mengurung diri di kamar Rival, menatap foto-foto putranya yang tertempel di dinding, merindukan tawa cerianya dan kehangatan pelukannya. "Rival, kenapa kamu harus jauh dari mama?" desahnya pelan, air mata menetes tanpa disadarinya.Namun, Mia selalu berusaha tampil ceria setiap kali dia menelepon atau video call dengan Rival. Dia tersenyum sepanjang Rival menceritakan tentang kegembiraannya bersekolah sepakbola di Inverness."Rival, mama kangen sekali," kata Mia dengan suara lembut namun penuh semangat. Wajahnya cerah, menyembunyikan mendung gelap di hatinya di depan sang putra."Iya, Ma, Rival juga kangen sama Mama," jawab Rival dengan mata berbin
Vena sedang memeluk Alyra yang tidur pulas, merasakan kehangatan tubuh mungil itu dalam dekapannya. Malam yang tenang dan damai di kamar itu tiba-tiba terganggu ketika Nathan membuka pintu dengan kasar. Pria itu memandang Vena dengan sorot mata yang sulit diartikan, ada sesuatu yang janggal dan mengintimidasi dalam tatapannya.“A-ada apa, Pak?” tanya Vena dengan suara bergetar. Jantungnya berdegup kencang. “Apa aku bikin kesalahan lagi ya?” pikirnya sambil mengingat-ingat kesalahan apa yang mungkin telah dilakukannya.“Vena, ikut saya. Sekarang!” Nathan berbicara dengan nada tegas yang seolah tidak memberi ruang untuk penolakan.“Tapi… Alyra, siapa yang menjaga, Pak?” Vena bingung, matanya melirik Alyra yang masih terlelap dalam pelukannya.“Mia!” panggil Nathan dengan suara keras, memecah keheningan malam.Vena terkejut melihat Mia muncul di belakang Nathan. Wajahnya datar, tanpa ekspresi, seolah-olah dia telah kehilangan semua emosi yang pernah dimilikinya.“Dia yang akan menjaga Al
Mia menjaga Alyra semalaman. Sementara Nathan membawa Vena pergi entah ke mana, dia tak peduli. Ketidakberadaan Rival membuat Mia menjadi lebih perhatian kepada Alyra. Mia bahkan membacakan dongeng untuknya, sambil memeluknya lembut hingga bocah itu tertidur. Mia juga telaten meminumkan obat untuk Alyra, anehnya bocah itu juga begitu menurut padanya. Alyra menatap Mia dengan mata besar yang penuh kepercayaan, tanpa rasa takut atau cemas. “Padahal kata Vena, selama ini Alyra tidak mau minum obat kalau bukan sama papanya,” batinnya sambil tersenyum getir. “Dasar rubah betina,” gumamnya dalam hati. Ia menghela napas panjang, merasa ada kekosongan yang diam-diam mulai terisi dengan kehadiran Alyra.Ketika pagi mulai menyingsing, Alyra perlahan membuka mata, tersenyum lemah saat melihat Mia di sisinya. “Tante Mia, aku haus,” bisiknya.Mia terkejut, dan melirik jam dinding. “Loh, sudah jam tujuh pagi ya?” gumamnya pada diri sendiri. Ah, dia kesingan. Mia segera bangkit dan mengambil se
“Mia!” panggil Vena sambil mengetuk pintu kamar Rival. Dia membukanya karena ternyata tidak dikunci, terlihat Mia sedang bermain PlayStation dengan tenang.“Suami kita memanggil, ayo kita makan malam bersama,” ajaknya sambil tersenyum sok ramah.Kalau Vena mengira Mia bakal menolak dan mengatakan ‘Tidak, aku tidak lapar. Kalian saja makanlah dulu.’ Maka Vena salah besar! Mia justru meletakkan stik PlayStation dan bangkit dari duduknya seraya berkata, “Baiklah! Kebetulan… aku juga sudah lapar.”Vena mengerutkan kening, sedikit tak menyangka atas reaksi Mia yang terlihat begitu santai belakangan ini. Apakah wanita itu sudah di ambang frustrasi? “Semoga saja sebentar lagi dia gila!” sinis Vena dalam hatinya. “Kita lihat, sampai kapan sih kamu bakal sok tegar, Mia?” pikirnya, tak sabar melihat wanita itu hengkang dari rumah ini. Vena ingin memiliki Nathan untuk dirinya sendiri.Mia berjalan dengan tenang menuju ruang makan, dengan Vena mengikuti di belakangnya. Ketika mereka sampai di m
Nathan duduk di dalam ruang kerjanya. Cahaya lampu mejanya yang redup memberikan kesan tenang namun serius di ruangan itu. Nathan tampak sangat fokus, matanya menyusuri setiap baris laporan yang masuk dengan teliti. Dia membaca ulang setiap kontrak dengan seksama, memastikan tak ada detail yang terlewatkan.Sesekali, dia menyesap kopi hitam yang sudah mulai dingin, namun tetap memaksanya tetap terjaga. Suara detak jam dinding terdengar samar, menandakan waktu yang terus berlalu. Namun, Nathan tampak tak terpengaruh. Pandangannya tetap tertuju pada layar laptop dan tumpukan dokumen di hadapannya.Seiring berjalannya malam, kelelahan mulai menghampiri. Matanya terasa berat, namun dia terus memaksa dirinya untuk tetap fokus. Setiap laporan harus diperiksa, setiap angka harus akurat. Tangannya terus bergerak, menandatangani beberapa dokumen, mencoret beberapa catatan, membuat koreksi di sana-sini.Jam menunjukkan pukul dua pagi, dan kantuk mulai tak tertahankan. Nathan menggeliatkan tubuh
Vena memutar tubuhnya sedikit, melihat bagaimana gaunnya mengikuti setiap gerakan dengan lembut. Dia merasa bangga dan percaya diri, siap menghadapi malam dengan penuh pesona.Vena tersenyum puas melihat bayangannya di lemari kaca ruang tengah. Setiap detail dari penampilannya begitu sempurna, mencerminkan citra dirinya yang anggun dan berkelas. Gaun mewah karya desainer ternama membalut tubuhnya dengan sempurna, menonjolkan lekuk tubuhnya dengan elegan. Gaun itu berwarna merah marun, dengan aksen payet berkilauan yang memantulkan cahaya setiap kali ia bergerak. Setiap langkahnya membuat payet-payet itu berkilau, menambah kesan glamor yang tak terbantahkan. Bahannya yang lembut dan jatuh membuatnya tampak seperti seorang ratu di malam itu, seorang wanita yang tahu betul bagaimana memanfaatkan pesonanya.Di sampingnya, Nathan sudah siap dengan tuxedo hitam yang pas membalut tubuh atletisnya. Tuxedo itu dirancang dengan sempurna, menonjolkan postur tegap dan maskulinnya. Kemeja putih y
Sepanjang jalan, Mia memeluk Alyra erat-erat. Badan anak ini menggigil, padahal Mia sudah memberinya obat. Mia berusaha tenang, meskipun pikirannya kalut. “Pak, tolong sedikit lebih cepat,” perintahnya pada si sopir.Dalam perjalanan itu, Max kembali menelepon untuk menanyakan kondisi Alyra, dan meski percakapan mereka singkat, suara Max cukup memberikan ketenangan pada Mia.“Mia, bagaimana kondisinya sekarang?”“Demamnya masih tinggi, Max. Aku sudah hampir sampai di rumah sakit.”“Oke, tetap tenang. Aku juga sebentar lagi sampai.”Mobil Mia terus melaju dengan kecepatan yang aman namun cepat. Sesampainya di lobi rumah sakit, Mia segera membawa Alyra keluar dengan hati-hati. Max rupanya sudah tiba lebih dulu dan menunggunya. Begitu melihat Mia muncul menggendong Alyra, dia segera berlari mendekat. “Mia, serahkan padaku,” katanya dengan suara penuh keyakinan.Max menggendong Alyra dengan hati-hati, namun gerakannya sigap dan cepat. Tubuh atletisnya, hasil dari latihan fisik yang intens
‘Max mencintainya. Perasaan mantan kekasihnya padanya belum berubah.’Mia mencerna kata-kata Max dalam kediaman panjangnya. Namun, dalam pikirannya, ia bergumul dengan berbagai perasaan dan kenangan yang berputar-putar. “Mas Nathan dulu juga bilang dia sangat mencintaiku. Katanya aku adalah wanita yang sudah begitu lama disukainya, bahkan sebelum aku mengenal Max,” gumamnya dalam hati.“Tetapi, setelah tujuh tahun pernikahan kami, Mas Nathan menjadi sosok yang berbeda. Ada hal-hal yang aku tidak tahu... telah membuatnya berubah 180 derajat. Dia yang semula meratukanku, kini membuatku seperti babu. Dia yang dulu tampak mencintaiku, sekarang membenciku.” Kedua tangan Mia memeluk dirinya sendiri, seolah hanya dirinya sendirilah yang paling bisa melindunginya saat ini.Dalam hati Mia seolah sedang memberinya peringatan keras agar tidak lagi mudah percaya pada kata-kata cinta. Apalagi Max, pria yang cintanya pernah ia khianati. “Bila Mas Nathan yang sedekat itu denganku sejak kecil saja b