Sepanjang jalan, Mia memeluk Alyra erat-erat. Badan anak ini menggigil, padahal Mia sudah memberinya obat. Mia berusaha tenang, meskipun pikirannya kalut. “Pak, tolong sedikit lebih cepat,” perintahnya pada si sopir.Dalam perjalanan itu, Max kembali menelepon untuk menanyakan kondisi Alyra, dan meski percakapan mereka singkat, suara Max cukup memberikan ketenangan pada Mia.“Mia, bagaimana kondisinya sekarang?”“Demamnya masih tinggi, Max. Aku sudah hampir sampai di rumah sakit.”“Oke, tetap tenang. Aku juga sebentar lagi sampai.”Mobil Mia terus melaju dengan kecepatan yang aman namun cepat. Sesampainya di lobi rumah sakit, Mia segera membawa Alyra keluar dengan hati-hati. Max rupanya sudah tiba lebih dulu dan menunggunya. Begitu melihat Mia muncul menggendong Alyra, dia segera berlari mendekat. “Mia, serahkan padaku,” katanya dengan suara penuh keyakinan.Max menggendong Alyra dengan hati-hati, namun gerakannya sigap dan cepat. Tubuh atletisnya, hasil dari latihan fisik yang intens
‘Max mencintainya. Perasaan mantan kekasihnya padanya belum berubah.’Mia mencerna kata-kata Max dalam kediaman panjangnya. Namun, dalam pikirannya, ia bergumul dengan berbagai perasaan dan kenangan yang berputar-putar. “Mas Nathan dulu juga bilang dia sangat mencintaiku. Katanya aku adalah wanita yang sudah begitu lama disukainya, bahkan sebelum aku mengenal Max,” gumamnya dalam hati.“Tetapi, setelah tujuh tahun pernikahan kami, Mas Nathan menjadi sosok yang berbeda. Ada hal-hal yang aku tidak tahu... telah membuatnya berubah 180 derajat. Dia yang semula meratukanku, kini membuatku seperti babu. Dia yang dulu tampak mencintaiku, sekarang membenciku.” Kedua tangan Mia memeluk dirinya sendiri, seolah hanya dirinya sendirilah yang paling bisa melindunginya saat ini.Dalam hati Mia seolah sedang memberinya peringatan keras agar tidak lagi mudah percaya pada kata-kata cinta. Apalagi Max, pria yang cintanya pernah ia khianati. “Bila Mas Nathan yang sedekat itu denganku sejak kecil saja b
Pagi-pagi sekali, diam-diam Nathan memasuki kamar Alyra. Ia memandang Mia yang sedang tertidur pulas sambil memeluk putri kecilnya. Senyum terukir di bibirnya melihat pemandangan yang membuat hatinya diam-diam merasa damai itu. Mia terlihat lebih telaten mengurusi Alyra ketimbang Vena. Dia melihat sendiri bagaimana Mia mengurus putrinya itu. Alyra juga tampak nyaman bersama Mia. Dia jarang rewel seperti sedang saat dalam pengurusan Vena dulu.Dia bahkan terkejut saat baru pulang dari undangan gala dinner semalam, Mia juga ternyata baru pulang dari rumah sakit. Iapun memarahi Mia karena tidak meneleponnya saat Alyra mimisan dan demam tinggi, malah mengurusnya seorang diri.Dia tahu sekali Mia takut melihat darah. Wajah istrinya itu selalu pucat setiap kali melihat Alyra mimisan. Tapi, bagaimana Mia tiba-tiba bisa mengurusnya?“Mia sepertinya lelah setelah semalaman menjaga Alyra yang sedang demam,” gumamnya seraya duduk di tepi ranjang, meletakkan tangannya di atas kening Alyra yang
Vena bangun tidur dengan perasaan jengkel, mengerutkan kening ketika menyadari bahwa lagi-lagi Nathan tidak ada di sisinya. Kekesalannya menggelayut di benaknya saat ia bangkit dari ranjang. Dengan langkah berat, ia menuju kamar mandi, membasahi diri di bawah pancuran air hangat yang mengalir deras.Setelah mandi, Vena berganti pakaian dengan malas, memilih gaun satin yang membuatnya tampak anggun meski dalam suasana hati yang buruk. Ia duduk di depan meja rias yang penuh dengan produk kecantikan. "Ah, hari ini jadwalku memasak ya? Duh, padahal lagi malas banget ke dapur. Kenapa nggak Mia aja sih yang masak?" keluhnya sambil menatap cermin, melihat bayangannya sendiri dengan rasa tidak puas.“Biasanya aku aman dari tuntutan pekerjaan rumah tangga karena tugasku hanya mengurus Alyra. Aku jadi bebas rebahan sambil nonton film di kamar Alyra seharian,” keluhnya sambil mengoleskan pelembab di wajahnya. “Tapi sekarang, jadwal Mia yang mengurus Alyra.” Vena mendengus pelan. “Pasti dia la
“Sekali lagi kuingatkan, jangan macam-macam denganku, Mia. Jangan pernah berpikir untuk melawanku lagi. Tetaplah patuh dan hormat pada suamimu,” ujar Nathan setelah puas menuntaskan hasratnya. Nada suaranya penuh otoritas, setiap kata yang keluar dari mulutnya seperti belati yang mengiris hati Mia.Nathan berjongkok, memandang Mia yang terdiam dan menangis tanpa suara. Ia mengulurkan tangan, membelai wajah Mia yang sembab dengan kasar. Sentuhannya yang semula lembut terasa mengancam. Dengan ibu jarinya, Nathan mengusap darah dari sudut bibir Mia yang terluka akibat tamparan kerasnya tadi. Bekas tamparan itu terlihat merah dan bengkak, menambah deretan luka yang menggores fisik dan hatinya.“Aku tidak pernah bermaksud mengasarimu, Mia. Tapi kamu sendiri yang memaksaku mengambil sikap tegas seperti ini,” kata Nathan, suaranya seperti racun yang menyusup ke dalam setiap serat keberanian Mia. “Setelah ini, belajarlah lagi untuk lebih menghormati suamimu sendiri.” Dia menyentak dagu Mia
"Tolong, selamatkan istri saya! Suhu tubuhnya sangat dingin." Nathan berseru panik saat mencapai ruang IGD. Perawat yang berjaga bergerak cepat menolong, membawa brankar untuk meletakkan tubuh pasien. Mereka segera membawa Mia ke dalam ruang perawatan intensif. Nathan mengikuti mereka, tetapi seorang perawat menghalangi jalannya. "Pak, mohon tunggu di luar."Nathan terpaku dengan tubuh gemetar dan napas memburu. Matanya tak lepas memandangi pintu ruang perawatan yang tertutup rapat. Dalam hatinya terus-terusan berdoa agar Mia selamat.Di dalam ruang perawatan, para perawat dan dokter bekerja cepat. Mereka memasangkan selimut termal di atas tubuh Mia yang pucat, berusaha menghangatkannya. Dokter segera memasang infus dan monitor untuk memantau tanda-tanda vitalnya."Suhu tubuhnya sangat rendah, kita harus cepat," kata dokter dengan suara tegas.Para perawat dengan cekatan memasangkan alat bantu pernapasan pada Mia, memastikan oksigen masuk ke tubuhnya dengan baik. Mereka juga mempers
Dokter Joshua memasuki ruang perawatan dengan langkahnya yang tenang, ditemani oleh seorang perawat yang membawa catatan medis. Dia menghampiri tempat tidur pasien dan memperkenalkan dirinya dengan suara yang lembut namun profesional. “Bu Mia, saya Dokter Joshua yang bertanggung jawab merawat dan melakukan pengawasan terhadap kondisi Ibu saat ini.”Mia yang terbaring lemah di ranjang perawatan menatap dokter tampan berwajah oriental itu dengan mata sayu. Bibirnya bergetar, tetapi tidak ada kata yang keluar.“Bagaimana perasaan Anda saat ini, Bu Mia?” tanya Dokter Joshua sambil memeriksa tanda-tanda vitalnya. Ia memastikan tekanan darah, denyut nadi, dan suhu tubuh Mia dalam kondisi stabil. Perawat di sebelahnya mencatat setiap informasi dengan teliti.Air mata Mia kembali mengalir di pipinya. Dokter Joshua menghela napas pelan, lalu melanjutkan dengan suara yang penuh empati. “Bu Mia, saya mengerti Ibu baru saja melalui hal berat. Tapi, saya perlu tahu apa yang terjadi sebelum Anda d
Studio sudah siap untuk proses syuting iklan jamu. Lampu-lampu besar menyala, menerangi set yang telah disiapkan dengan cermat, didesain menyerupai ruang tamu modern. Max telah siap dengan pakaian kasual sehari-hari. Wajah tampannya yang sudah dipoles dengan make-up ringan membuatnya terlihat segar dan menawan. Para kru iklan bergegas di sekitar set, memastikan setiap detail berada di tempatnya.“Baik, Max. Kita mulai dengan beberapa foto di sini. Cobalah untuk terlihat santai dan alami, oke?” kata fotografer sambil mengarahkan Max ke posisi yang telah ditentukan.“Oke.” Max mengangguk dengan senyum menawan. Ia berdiri, memandang ke arah kamera dengan ekspresi rileks.“Bagus sekali. Angkat botolnya... ya, seperti itu. Sempurna. Tahan sebentar,” kata fotografer, bunyi jepretan kamera terdengar berulang kali."Wah, tampangnya memang tidak ada matinya. Dari sudut mana saja tetap keren," sahut asisten fotografer kagum.“Memang, kita beruntung sekali punya Max, meskipun cuma diberi sediki
Di lobi gedung rumah sakit elit di jantung kota Jakarta, sebuah sedan Rolls Royce hitam berhenti dengan anggun, memancarkan aura kemewahan yang nyata di antara deretan mobil mewah lainnya yang sedang memasuki halaman rumah sakit tersebut.Pintu mobil sedan mewah itu terbuka, menampilkan seorang pria tampan berwajah oriental yang melangkah keluar dengan aura kecerdasan dan percaya diri. Berbalut sepatu kulit hitam mengkilap, kaki pria itu menapak lantai lobi dengan ketegasan seorang pemimpin sejati. Setelan jas hitam yang dikenakannya begitu pas membingkai tubuhnya yang tinggi dan atletis, menambah kesan elegan dan berwibawa yang kini melekat erat pada diri pria berusia 40 tahun itu.“Silakan, Tuan Valen,” sapa asistennya sambil membukakan pintu mobil, memberikan anggukan hormat pada CEO “Bintang Hospital Group” yang baru saja tiba.Aura Dokter Joshua Valen kini begitu berbeda, mencerminkan transformasi yang telah ia lalui dalam beberapa tahun ini. Sejak ditinggalkan oleh Mia, Valen me
Max dan Mia memulai babak baru dalam kehidupan mereka di Lake District, Inggris, sebuah tempat yang menawarkan ketenangan dan keindahan alam yang kontras dengan kehidupan kota yang sibuk. Keputusan mereka untuk menetap di kawasan ini adalah bagian dari keinginan mereka untuk menemukan kedamaian dan kebahagiaan dalam kehidupan baru mereka bersama.Rumah mereka, sebuah cottage yang terletak di tepi danau, dikelilingi oleh hutan hijau dan pegunungan yang menjulang, memberikan latar belakang yang sempurna untuk melanjutkan kehidupan mereka. Setiap pagi, mereka disambut oleh pemandangan matahari terbit yang memukau dan suara lembut angin yang berdesir di antara pepohonan. Ini adalah tempat di mana Mia dan Max dapat menghindar dari hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari dan benar-benar fokus pada kebersamaan mereka.Max, sebagai pemain sepak bola profesional, berhasil menjalani karier yang cemerlang di Inggris bersama Lakeside City, klub sepak bola yang kini terdaftar dalam EPL (English Premi
Di sebuah rumah sakit, Valen duduk di ruang tunggu keluarga pasien, menantikan Mia yang sedang menjalani operasi darurat dan harus dikuret karena mengalami keguguran. Valen masih mengenakan kemejanya yang bersimbah darah—darah Mia. Asistennya mencoba membujuknya untuk mengganti pakaian. Namun, Valen menggelengkan kepala, menolak tawaran itu. Gelengan itu membuat asistennya mundur, memberikan ruang bagi Valen yang masih terlihat kalut dan terpukul oleh peristiwa tragis yang menimpa Mia.Di depannya, Max yang juga sedang tegang menantikan Mia, ia mengamati semua gerak-gerik Dokter Joshua yang semakin jelas di matanya. “Kamu jatuh cinta pada Mia kan, Dok?”Tanpa ragu, Valen mengangguk. “Aku jatuh cinta padanya sejak pertama kali kami bertemu, di ruang IGD itu. Kupikir saat itu aku hanya merasa iba kepadanya, tapi ternyata tidak… itu bukan hanya rasa iba ataupun sekadar simpati. Aku selalu ingin bersamanya sejak saat itu. Ingin melindunginya, ingin memastikan bahwa dia selalu baik-baik
Gavin menginjak gas mobilnya lebih dalam, melesat keluar dari basement dengan kecepatan yang mencerminkan kepanikan dalam dirinya. Jantungnya berpacu, diliputi oleh ketakutan dan penyesalan yang menghantui setiap pikiran.“Maafkan aku, Valen. Maafkan aku…!” suaranya nyaris tak terdengar, tercekik oleh emosi yang bergolak. Bibirnya gemetar, dan air mata mulai membanjiri pandangannya.Tangis Gavin pecah, mengalir deras seperti sungai yang tak terbendung. Hatinya terasa remuk, diremas oleh kepedihan yang tak tertahankan saat bayangan Valen melintas di benaknya. Bagaimana kondisi pria yang dicintainya itu sekarang?Pikiran itu mencabik-cabik ketenangannya. Ketakutan menyeruak, menggerogoti setiap sudut batinnya. Bagaimana jika Valen… mati? Atau lebih buruk, bagaimana jika Valen cacat permanen akibat keputusan impulsif yang baru saja ia buat?“Tidak…! Tidak!” Gavin memukul-mukul setir mobil dengan frustrasi.Penyesalannya datang terlambat, menghempaskan Gavin ke dalam jurang keputusasaan.
Di dalam basement, area parkir sebuah apartemen, tatapan Gavin tak lepas dari mobil yang terletak beberapa meter di depannya. Mobil itu seolah menjadi simbol dari seseorang yang diam-diam telah menjadi pusat dunianya—Dokter Joshua Valen. Hati Gavin bergejolak dengan perasaan yang tak pernah ia ungkapkan kepada siapa pun, kecuali kepada pemilik mobil itu sendiri.Joshua Valen, sang dokter yang tampan dan baik hati, adalah sosok yang telah membuat Gavin merasakan ketenangan yang tak pernah ia dapati dari orang lain. Setiap kali berada di dekat Valen, Gavin merasa damai, seolah semua beban hidupnya menghilang dalam sekejap. Kekaguman Gavin terhadap Valen melampaui batas-batas yang wajar, melebihi rasa kagum seorang pasien biasa kepada dokternya. Gavin telah jatuh cinta—perasaan yang ia tahu salah, namun tak bisa ia kendalikan.Gavin masih mengingat dengan jelas hari ketika ia akhirnya memberanikan diri mengungkapkan perasaannya kepada Valen. Detik-detik itu penuh ketegangan baginya, n
“Michella, kamu sekarang bisa mencairkan nilai pokok investasi milik Mia, lakukan segera.” Nathan menyampaikan instruksi itu lewat telepon. Michella terkejut mendengar permintaan Nathan. Padahal sebelumnya, Nathan kerap memberinya ancaman yang mengerikan bila ia sampai memberikan bantuan keuangan pada Mia, apalagi sampai mengembalikan nilai pokok investasi yang sudah sering diminta oleh Mia.Namun, tanpa banyak tanya lagi—khawatir Nathan berubah pikiran, Michella segera mentransfer uang itu pada Mia. Membuat Mia menangis lega saat ia menyampaikan kabar baik itu.“Maaf, aku baru bisa mengembalikan uang investasimu sekarang, Mia.” Michella berkata dengan hati yang diliputi rasa bersalah.“Tidak apa-apa, Michella…, yang penting sekarang bisnismu sudah stabil, kan?” ucap Mia begitu tulus.Michella diam-diam merasa bersalah dalam hatinya karena sebenarnya bisnisnya baik-baik saja selama ini. Tetapi ia tak berkutik dan tunduk pada perintah Nathan karena ancaman-ancamannya terhadap bisnis M
“Bisa-bisanya kamu menciptakan kiamat untuk kariermu sendiri, Max!” Brama mengomel dengan nada yang semakin meninggi saat menemuinya di hotel usai pertandingan malam itu, nadanya penuh dengan kekhawatiran. Dia membayangkan dampak dari tindakan Max yang sembrono ini—reputasi yang hancur, skandal yang meledak, efek domino yang bisa berakibat fatal bagi kariernya. Brama sangat memahami bagaimana dunia olahraga bisa kejam; satu langkah salah bisa menghancurkan segalanya dalam sekejap.Brama menatap Max sambil geleng-geleng kepala, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan gelisah. Kepalanya yang botak berkilau di bawah cahaya lampu. Sementara itu, Max duduk dengan tenang di hadapannya, menyandarkan punggung ke kursi dengan senyum tipis yang tampak santai. Matanya memancarkan keteguhan yang sulit digoyahkan, seolah semua kata-kata Brama hanya angin lalu.Senyuman Max mencerminkan keyakinan dan ketidakpeduliannya terhadap apa kata dunia atas tindakannya. “Mia sudah bercerai dari Nathan, itu
Jeritan cinta yang begitu menggema dari Max seolah merobek kebisingan di stadion, menimbulkan kekagetan di pikiran begitu banyak orang, khususnya Mia. Dia tak pernah membayangkan bahwa Max akan melakukan sesuatu yang begitu nekat, begitu terbuka, di depan puluhan ribu pasang mata.Mia membeku, tubuhnya kaku seperti patung di tengah lautan manusia yang seakan tidak berhenti bergejolak dengan sorak sorai dan tepukan tangan. Dalam diri Mia, perasaan malu, terkejut, dan kebingungan bergulat satu sama lain, membuat tubuhnya gemetar. Jantungnya berdetak cepat, seolah tak bisa mengimbangi kekacauan yang terjadi di dalam pikirannya. Dia tidak terbiasa menjadi pusat perhatian seperti ini.Tatapan Mia yang biasanya lembut kini terpaku lurus ke depan, mencoba menghindari pandangan orang-orang yang kini tertuju padanya. Setiap mata di stadion ini seolah sedang memperhatikannya, menilai, dan mungkin bahkan menghakiminya. Tangannya yang dingin berusaha mencari pegangan, dan tanpa sadar, ia mengge
Max bersama para pemain lainnya berjalan menuju tepi lapangan, wajahnya berseri-seri dengan senyum hangat menghiasi bibirnya. Tangannya terangkat, melambai ke arah suporter yang memenuhi tribun, seolah ia ingin menyapa setiap orang yang telah memberikan dukungan penuh selama pertandingan. Setiap langkah yang ia ambil terasa penuh dengan kebanggaan, mencerminkan kemenangan yang baru saja mereka raih.Sesampainya di tepi lapangan, Max sedikit membungkukkan badannya sebagai penghormatan tulus kepada para suporter. “Terima kasih!” teriaknya kemudian, sambil kembali melambaikan tangannya.Aksinya diikuti oleh rekan-rekan timnas yang lain. Seketika sikap rendah hati para pemain itu memicu gelombang tepuk tangan yang riuh dari tribun. Sorak-sorai membahana, mengapresiasi sikap hormat yang ditunjukkan oleh Max dan para pemain timnas.Langkah Max dan timnya terhenti tepat di depan tribun Selatan. Di sana, lautan suporter dengan kostum hitam—warna khas Ultras Garuda, mendominasi pemandangan. N