“Sekali lagi kuingatkan, jangan macam-macam denganku, Mia. Jangan pernah berpikir untuk melawanku lagi. Tetaplah patuh dan hormat pada suamimu,” ujar Nathan setelah puas menuntaskan hasratnya. Nada suaranya penuh otoritas, setiap kata yang keluar dari mulutnya seperti belati yang mengiris hati Mia.Nathan berjongkok, memandang Mia yang terdiam dan menangis tanpa suara. Ia mengulurkan tangan, membelai wajah Mia yang sembab dengan kasar. Sentuhannya yang semula lembut terasa mengancam. Dengan ibu jarinya, Nathan mengusap darah dari sudut bibir Mia yang terluka akibat tamparan kerasnya tadi. Bekas tamparan itu terlihat merah dan bengkak, menambah deretan luka yang menggores fisik dan hatinya.“Aku tidak pernah bermaksud mengasarimu, Mia. Tapi kamu sendiri yang memaksaku mengambil sikap tegas seperti ini,” kata Nathan, suaranya seperti racun yang menyusup ke dalam setiap serat keberanian Mia. “Setelah ini, belajarlah lagi untuk lebih menghormati suamimu sendiri.” Dia menyentak dagu Mia
"Tolong, selamatkan istri saya! Suhu tubuhnya sangat dingin." Nathan berseru panik saat mencapai ruang IGD. Perawat yang berjaga bergerak cepat menolong, membawa brankar untuk meletakkan tubuh pasien. Mereka segera membawa Mia ke dalam ruang perawatan intensif. Nathan mengikuti mereka, tetapi seorang perawat menghalangi jalannya. "Pak, mohon tunggu di luar."Nathan terpaku dengan tubuh gemetar dan napas memburu. Matanya tak lepas memandangi pintu ruang perawatan yang tertutup rapat. Dalam hatinya terus-terusan berdoa agar Mia selamat.Di dalam ruang perawatan, para perawat dan dokter bekerja cepat. Mereka memasangkan selimut termal di atas tubuh Mia yang pucat, berusaha menghangatkannya. Dokter segera memasang infus dan monitor untuk memantau tanda-tanda vitalnya."Suhu tubuhnya sangat rendah, kita harus cepat," kata dokter dengan suara tegas.Para perawat dengan cekatan memasangkan alat bantu pernapasan pada Mia, memastikan oksigen masuk ke tubuhnya dengan baik. Mereka juga mempers
Dokter Joshua memasuki ruang perawatan dengan langkahnya yang tenang, ditemani oleh seorang perawat yang membawa catatan medis. Dia menghampiri tempat tidur pasien dan memperkenalkan dirinya dengan suara yang lembut namun profesional. “Bu Mia, saya Dokter Joshua yang bertanggung jawab merawat dan melakukan pengawasan terhadap kondisi Ibu saat ini.”Mia yang terbaring lemah di ranjang perawatan menatap dokter tampan berwajah oriental itu dengan mata sayu. Bibirnya bergetar, tetapi tidak ada kata yang keluar.“Bagaimana perasaan Anda saat ini, Bu Mia?” tanya Dokter Joshua sambil memeriksa tanda-tanda vitalnya. Ia memastikan tekanan darah, denyut nadi, dan suhu tubuh Mia dalam kondisi stabil. Perawat di sebelahnya mencatat setiap informasi dengan teliti.Air mata Mia kembali mengalir di pipinya. Dokter Joshua menghela napas pelan, lalu melanjutkan dengan suara yang penuh empati. “Bu Mia, saya mengerti Ibu baru saja melalui hal berat. Tapi, saya perlu tahu apa yang terjadi sebelum Anda d
Studio sudah siap untuk proses syuting iklan jamu. Lampu-lampu besar menyala, menerangi set yang telah disiapkan dengan cermat, didesain menyerupai ruang tamu modern. Max telah siap dengan pakaian kasual sehari-hari. Wajah tampannya yang sudah dipoles dengan make-up ringan membuatnya terlihat segar dan menawan. Para kru iklan bergegas di sekitar set, memastikan setiap detail berada di tempatnya.“Baik, Max. Kita mulai dengan beberapa foto di sini. Cobalah untuk terlihat santai dan alami, oke?” kata fotografer sambil mengarahkan Max ke posisi yang telah ditentukan.“Oke.” Max mengangguk dengan senyum menawan. Ia berdiri, memandang ke arah kamera dengan ekspresi rileks.“Bagus sekali. Angkat botolnya... ya, seperti itu. Sempurna. Tahan sebentar,” kata fotografer, bunyi jepretan kamera terdengar berulang kali."Wah, tampangnya memang tidak ada matinya. Dari sudut mana saja tetap keren," sahut asisten fotografer kagum.“Memang, kita beruntung sekali punya Max, meskipun cuma diberi sediki
Dessy tertawa melihat mata Max memerah dan berair karena tak tahan pedas usai menyantap beberapa sendok nasi padang yang ia bawakan. "Dessy, astaga… ini pedas sekali!" Dessy dengan cepat mengambilkan sebotol air dingin untuknya. "Ini, minum dulu." Ia tampak begitu perhatian."Terima kasih, Dessy. Padahal enak sekali rasanya, tapi lidahku kalah dengan rasa pedasnya."Dessy tertawa, “Padahal kau sudah hampir delapan tahun menjadi WNI, Max! Tapi lidahmu masih sok bule saja?” godanya sambil memotret Max yang sedang meneguk air dingin dengan kamera ponselnya. Di mata Dessy, pemandangan ini sangat lucu. Max yang gagah di lapangan, kini dibuat menangis oleh nasi padang. “Kenikmatan nasi padang memang tiada tara ya, sampai-sampai membuat seorang Max Julian menangis,” godanya sambil menunjukkan hasil foto itu kepada Max.Max terkekeh pelan melihat ekspresinya sendiri di foto itu.“Kupikir hanya gol bunuh diri yang bisa membuatmu menangis, Max!” ledek Dessy sambil menjulurkan lidahnya. “Ah,
Malam itu, setelah mandi dan bersantai di kamarnya, Max mencari tahu lebih lanjut melalui media sosial, tentang rumor yang ia dengar dari para penggemarnya tadi. “Aku penasaran ada apa sebenarnya,” gumamnya.Biasanya, kesibukan membuatnya jarang melihat-lihat media sosial. Max bukan jenis orang yang selalu update di media sosial dan biasanya hanya membukanya bila merasa perlu saja.Max menerapkan kebiasaan untuk libur bermain media sosial terutama menjelang pertandingan hingga ketika musim pertandingan benar-benar telah selesai, karena ia tidak ingin komentar para netizen mempengaruhi pikiran dan merusak konsentrasinya di lapangan. Namun kali ini, Max sudah dalam kondisi santai sehingga dia merasa tidak apa-apa berselancar di media sosial.Saat membuka Instagram, Max langsung disambut dengan banyak notifikasi. Rasa penasarannya memuncak. Ia mulai melihat-lihat dan terkejut melihat kenyataan yang ada. Rupanya rumor tentang dirinya dengan Dessy sedang ramai diperbincangkan. Foto-foto
"Maaf, Pak Nathan, kami tidak bisa memberi izin Bapak masuk. Ini atas permintaan pasien sendiri, beliau tidak ingin ditemui oleh Bapak.”Kilat kemarahan seketika menyambar-nyambar di mata Nathan. Matanya menghunus tajam pada si satpam yang berdiri tenang di hadapannya. "Kamu tidak tahu siapa saya?" Ia melangkah maju, wajahnya merah padam. Satpam itu seorang pria dengan postur tegap, ia tetap berdiri kokoh di tempatnya. "Maaf, Pak. Saya hanya menjalankan tugas,” ucapnya sambil mengangguk sopan.Ia tidak tahu bahwa Nathan adalah pemilik saham di rumah sakit tempatnya bekerja. Namun, ia tahu bahwa pastinya Nathan bukanlah orang biasa. Tak ada orang biasa-biasa saja yang keluarganya dirawat di ruang VIP di rumah sakit dengan kualitas pelayanan premium ini.Rahang Nathan tampak mengeras, tangannya mengepal. "Saya suaminya! Pasien yang akan saya temui ini adalah istri saya sendiri. Saya berhak menemui istri saya kapan pun saya mau!" Namun satpam itu tetap tak bergeming, tetap menghalangi j
Dokter Setiawan menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri dari guncangan emosional yang dialaminya. Dia tahu, sebagai seorang profesional, dia harus tetap objektif dan bijaksana dalam menghadapi situasi ini. Namun, sulit baginya untuk mengabaikan ikatan emosional yang ada antara dirinya dengan keluarga Wijaya, terutama dengan Nathan yang sudah dianggapnya seperti anak sendiri.Dengan hati yang berat, Dokter Setiawan memutuskan untuk menghadapi kenyataan ini dengan kepala dingin. Dia harus mencari tahu yang sebenarnya, memahami apa yang telah terjadi, dan membantu menyelesaikan masalah ini dengan cara yang paling bijaksana, meskipun hatinya hancur mengetahui sisi gelap dari seseorang yang ia anggap telah dikenalnya dengan begitu baik.“Nath,” panggil dokter Setiawan dengan sorot prihatin. Dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam diri Nathan. Meskipun dia tahu bahwa dalam setiap detik yang berjalan bisa membawa potensi perubahan dalam hidup seseorang, namun Dokter Setia