Halo, manteman... pembaca tersayang. Mohon maaf apabila konten ceritanya tidak nyaman bagi pembaca ya. Terima kasih tetap mengikutinya sampai di titik ini. "Kita sanggup melewatinya." Setiap luka, kecewa, sakit... memang tidak ada yang enak. Tapi kita pasti bisa melaluinya, memang sulit... tapi bukan berarti tidak bisa. Bear hug :)
Dokter Setiawan menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri dari guncangan emosional yang dialaminya. Dia tahu, sebagai seorang profesional, dia harus tetap objektif dan bijaksana dalam menghadapi situasi ini. Namun, sulit baginya untuk mengabaikan ikatan emosional yang ada antara dirinya dengan keluarga Wijaya, terutama dengan Nathan yang sudah dianggapnya seperti anak sendiri.Dengan hati yang berat, Dokter Setiawan memutuskan untuk menghadapi kenyataan ini dengan kepala dingin. Dia harus mencari tahu yang sebenarnya, memahami apa yang telah terjadi, dan membantu menyelesaikan masalah ini dengan cara yang paling bijaksana, meskipun hatinya hancur mengetahui sisi gelap dari seseorang yang ia anggap telah dikenalnya dengan begitu baik.“Nath,” panggil dokter Setiawan dengan sorot prihatin. Dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam diri Nathan. Meskipun dia tahu bahwa dalam setiap detik yang berjalan bisa membawa potensi perubahan dalam hidup seseorang, namun Dokter Setia
Nathan menatap bangunan mewah kantor hukum “Victor Sitompul & Associates” dengan perasaan cemas dan juga tegang. Sebagai anggota keluarga Wijaya yang sering memegang kendali dalam banyak hal, dia tidak terbiasa berada di posisi sebagai penerima tuntutan. Sial. Mia telah memilih pengacara ternama untuk mengurus perceraian mereka. Victor Sitompul adalah figur yang sudah terkenal di bidang hukum, khususnya dalam menangani kasus-kasus perceraian yang kompleks di kalangan selebriti dan orang-orang kaya. Nathan tahu betul reputasi dan keberhasilan yang sering melekat pada nama Victor Sitompul. Sekarang, dia malah harus berhadapan dengannya. Saat Nathan melangkahkan kakinya masuk ke dalam lobby yang elegan, suasana ruangan terasa tenang namun terasa berat. Meja resepsionis yang terbuat dari kaca, berkilau oleh pantulan lampu, di atasnya terpajang nama besar "Victor Sitompul & Associates". Setelah beberapa saat menunggu, seorang sekretaris mendekatinya dengan senyuman profesional. "Selama
"Jika bukan karena kebijaksanaan dan belas kasih Ibu Mia, sekarang Anda mungkin sudah berurusan dengan polisi, Pak Nathan" tambah Victor, tatapannya masih tajam dan tidak kenal ampun. Nathan merasa frustrasi dan ketidaknyamanan yang mendalam karena sikap sinis dan menantang dari Victor. Namun, dia tahu bahwa dia tidak berada dalam posisi untuk membantah. Victor melanjutkan dengan nada yang lebih dingin, matanya menatap langsung ke dalam mata Nathan, seolah mencoba menelanjangi jiwa pria itu."Jangan salah sangka, Pak Nathan. Klien kami tidak melakukan ini demi Anda. Dia melakukannya demi putranya, Rival. Klien kami tidak ingin putranya tumbuh dalam bayang-bayang skandal yang bisa membebaninya secara psikologis kelak.”Nathan merasakan hatinya semakin berat dengan setiap kata yang keluar dari mulut Victor. Ia tahu bahwa meskipun Mia berusaha menjaga reputasinya, hal itu bukan karena dia masih mencintainya, melainkan demi melindungi apa yang tersisa dari kehidupan mereka yang hancur."
Mia terbangun di kamar hotel dengan kepala berdenyut dan tubuh terasa berat. Entah berapa lama ia tertidur, merasakan dampak dari kesedihan semalaman karena berkali-kali gagal menghubungi ibunya, padahal dia ingin sekali bicara dengan Rival. Kerinduan pada Rival membuatnya terbaring tak berdaya dalam kelelahan yang panjang.Dia mengelus perutnya yang keroncongan, meringis ketika menyadari betapa laparnya ia. Dia terlalu banyak tidur dan belum sempat makan. Proses perceraiannya yang rumit dengan Nathan, telah menyita banyak waktu dan perhatiannya.Dengan langkah lemah, Mia menyeret dirinya ke kamar mandi, berharap air dingin bisa menyegarkan pikiran dan tubuhnya. Setelah mandi, dia memilih pakaian yang modis tapi sopan, dia akan bertemu dengan dokter Joshua hari ini. Dokter itu bilang punya kenalan yang mungkin bisa menerima Mia bekerja.Mia bersyukur, dalam kesulitannya ternyata Tuhan menyertainya dengan kemudahan. Tanpa diduga, dia mendapatkan banyak bantuan lewat Dokter Joshua. Si d
Mia memasuki sebuah kafe dan mencari-cari wajah yang akrab di antara keramaian. Ketika matanya akhirnya menemukan Dokter Joshua, kerutan kecil di kening langsung melintas di wajahnya. Dia melihat si dokter itu duduk dengan santainya, jauh dari bayang-bayang jas putih dan kesan profesional yang biasanya melekat padanya di rumah sakit.Dokter Joshua mengenakan kaos oblong hitam yang pas di tubuhnya, menonjolkan otot bisepnya yang memukau dan garis tubuhnya yang atletis. Kaos itu terlihat begitu serasi dengan celana jeans dengan sobekan kecil di bagian dengkulnya, memberikan kesan kasual namun tetap menarik. Itu membuatnya terlihat lebih seperti mahasiswa yang sedang santai menikmati waktu luangnya di kafe favorit mereka daripada seorang dokter yang sedang menunggu pasiennya. Mia berhenti sejenak, tertegun melihat transformasi si dokter yang tak terduga ini.“Dokter Joshua?” sapa Mia saat berdiri di dekat mejanya.Dokter Joshua yang sedang membaca sesuatu di tabletnya segera mengangkat
Mia tahu, proses perceraiannya bakal berlangsung alot. Dia tidak kaget ketika Nathan tetap gigih menghubunginya. “Aku mencintaimu, Mia. Aku tidak akan membiarkan kita bercerai,” ujarnya dengan nada mengintimidasi lewat telepon.Mia berusaha mengendalikan emosi yang berkecamuk di dalam dirinya. Setidaknya Nathan hanya menghubunginya lewat telepon. Pengacaranya, Victor Sitompul, agaknya berhasil menekannya sehingga pria yang masih berstatus sebagai suaminya itu tidak berusaha menemuinya secara langsung.Tanpa bantuan pengacara, Mia yakin Nathan tak bakal segan-segan menemuinya bahkan mungkin akan menyeretnya pulang kembali ke rumah."Silakan tinggal di luar rumah kita untuk sementara ini, Mia. Mungkin kamu perlu waktu untuk menyendiri dan menenangkan pikiranmu. Tapi ingatlah, aku selalu menunggumu pulang," ujar Nathan dengan nada yang kukuh, seolah-olah tak ada yang bisa mengubah pendiriannya untuk tetap mempertahankan rumah tangga mereka.Mia menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab.
Pandangan Mia menerawang jauh. "Mas Nathan sengaja ingin melumpuhkan aku lewat dominasi keuangannya. Ya, tentu saja dia akan melakukannya," pikirnya sambil meremas ponselnya dengan geram.Akhirnya dia memutuskan untuk membayar tiket pesawat via transfer. Mia segera membuka aplikasi banknya. Jari-jarinya masih sedikit gemetar, namun ia berusaha untuk tetap tenang. Ia menekan tombol "Bayar" dengan penuh harapan.“Pembayaran Anda gagal.” Jantungnya berdegup kencang membaca tulisan di layar ponselnya itu. Ia mencoba mengakses aplikasi banknya untuk memeriksa isi rekeningnya, dan alangkah terkejutnya dia ketika isinya betul-betul nol! Padahal seharusnya ada ratusan juta rupiah di sana.Nathan! Dia yakin ini ulah Nathan. “Tidak.” Rasa panik mulai menjalari tubuhnya, “Jangan bilang kalau Mas Nathan juga—” Mia tercekat, tak sanggup melanjutkan ucapannya yang berisi dugaan buruk. Amarah bercampur ketakutan membakar dalam dirinya. Nathan selalu memiliki kendali besar terhadap setiap aspek ke
“Pakai ini. PIN-nya adalah tanggal di hari aku melamarmu tujuh tahun lalu. Semoga kamu masih ingat, Mia.”Mia terkesiap, terkejut dengan tindakan tiba-tiba Max yang langsung memberinya dua kartu sekaligus, satu kartu kredit dan satu kartu debit. Dia kaget karena tak memerhatikan kapan Max merogoh isi tasnya, karena sejak tadi Mia menunduk. “Max—” Suara Mia yang ingin mengucapkan terima kasih tercekat di tenggorokan. Perasaannya campur aduk, antara lega sekaligus malu, tapi juga merasa… terharu. Mia tak tahu di mana letak rasa harunya. Apakah semata-mata karena Max telah bersedia membantunya? Atau, karena Max mengatakan tentang tanggal saat dia melamarnya tujuh tahun lalu? Tapi sepertinya, karena keduanya.Dia memandangi punggung Max yang langsung bergegas pergi meninggalkannya, menyusul rombongan timnas lainnya yang satu per satu hilang ke dalam bis yang akan membawa mereka ke lokasi latihan. Mia menelan ludah dan memandang lagi dua kartu milik Max yang ada di tangannya. Dia kemudi