"Jika bukan karena kebijaksanaan dan belas kasih Ibu Mia, sekarang Anda mungkin sudah berurusan dengan polisi, Pak Nathan" tambah Victor, tatapannya masih tajam dan tidak kenal ampun. Nathan merasa frustrasi dan ketidaknyamanan yang mendalam karena sikap sinis dan menantang dari Victor. Namun, dia tahu bahwa dia tidak berada dalam posisi untuk membantah. Victor melanjutkan dengan nada yang lebih dingin, matanya menatap langsung ke dalam mata Nathan, seolah mencoba menelanjangi jiwa pria itu."Jangan salah sangka, Pak Nathan. Klien kami tidak melakukan ini demi Anda. Dia melakukannya demi putranya, Rival. Klien kami tidak ingin putranya tumbuh dalam bayang-bayang skandal yang bisa membebaninya secara psikologis kelak.”Nathan merasakan hatinya semakin berat dengan setiap kata yang keluar dari mulut Victor. Ia tahu bahwa meskipun Mia berusaha menjaga reputasinya, hal itu bukan karena dia masih mencintainya, melainkan demi melindungi apa yang tersisa dari kehidupan mereka yang hancur."
Mia terbangun di kamar hotel dengan kepala berdenyut dan tubuh terasa berat. Entah berapa lama ia tertidur, merasakan dampak dari kesedihan semalaman karena berkali-kali gagal menghubungi ibunya, padahal dia ingin sekali bicara dengan Rival. Kerinduan pada Rival membuatnya terbaring tak berdaya dalam kelelahan yang panjang.Dia mengelus perutnya yang keroncongan, meringis ketika menyadari betapa laparnya ia. Dia terlalu banyak tidur dan belum sempat makan. Proses perceraiannya yang rumit dengan Nathan, telah menyita banyak waktu dan perhatiannya.Dengan langkah lemah, Mia menyeret dirinya ke kamar mandi, berharap air dingin bisa menyegarkan pikiran dan tubuhnya. Setelah mandi, dia memilih pakaian yang modis tapi sopan, dia akan bertemu dengan dokter Joshua hari ini. Dokter itu bilang punya kenalan yang mungkin bisa menerima Mia bekerja.Mia bersyukur, dalam kesulitannya ternyata Tuhan menyertainya dengan kemudahan. Tanpa diduga, dia mendapatkan banyak bantuan lewat Dokter Joshua. Si d
Mia memasuki sebuah kafe dan mencari-cari wajah yang akrab di antara keramaian. Ketika matanya akhirnya menemukan Dokter Joshua, kerutan kecil di kening langsung melintas di wajahnya. Dia melihat si dokter itu duduk dengan santainya, jauh dari bayang-bayang jas putih dan kesan profesional yang biasanya melekat padanya di rumah sakit.Dokter Joshua mengenakan kaos oblong hitam yang pas di tubuhnya, menonjolkan otot bisepnya yang memukau dan garis tubuhnya yang atletis. Kaos itu terlihat begitu serasi dengan celana jeans dengan sobekan kecil di bagian dengkulnya, memberikan kesan kasual namun tetap menarik. Itu membuatnya terlihat lebih seperti mahasiswa yang sedang santai menikmati waktu luangnya di kafe favorit mereka daripada seorang dokter yang sedang menunggu pasiennya. Mia berhenti sejenak, tertegun melihat transformasi si dokter yang tak terduga ini.“Dokter Joshua?” sapa Mia saat berdiri di dekat mejanya.Dokter Joshua yang sedang membaca sesuatu di tabletnya segera mengangkat
Mia tahu, proses perceraiannya bakal berlangsung alot. Dia tidak kaget ketika Nathan tetap gigih menghubunginya. “Aku mencintaimu, Mia. Aku tidak akan membiarkan kita bercerai,” ujarnya dengan nada mengintimidasi lewat telepon.Mia berusaha mengendalikan emosi yang berkecamuk di dalam dirinya. Setidaknya Nathan hanya menghubunginya lewat telepon. Pengacaranya, Victor Sitompul, agaknya berhasil menekannya sehingga pria yang masih berstatus sebagai suaminya itu tidak berusaha menemuinya secara langsung.Tanpa bantuan pengacara, Mia yakin Nathan tak bakal segan-segan menemuinya bahkan mungkin akan menyeretnya pulang kembali ke rumah."Silakan tinggal di luar rumah kita untuk sementara ini, Mia. Mungkin kamu perlu waktu untuk menyendiri dan menenangkan pikiranmu. Tapi ingatlah, aku selalu menunggumu pulang," ujar Nathan dengan nada yang kukuh, seolah-olah tak ada yang bisa mengubah pendiriannya untuk tetap mempertahankan rumah tangga mereka.Mia menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab.
Pandangan Mia menerawang jauh. "Mas Nathan sengaja ingin melumpuhkan aku lewat dominasi keuangannya. Ya, tentu saja dia akan melakukannya," pikirnya sambil meremas ponselnya dengan geram.Akhirnya dia memutuskan untuk membayar tiket pesawat via transfer. Mia segera membuka aplikasi banknya. Jari-jarinya masih sedikit gemetar, namun ia berusaha untuk tetap tenang. Ia menekan tombol "Bayar" dengan penuh harapan.“Pembayaran Anda gagal.” Jantungnya berdegup kencang membaca tulisan di layar ponselnya itu. Ia mencoba mengakses aplikasi banknya untuk memeriksa isi rekeningnya, dan alangkah terkejutnya dia ketika isinya betul-betul nol! Padahal seharusnya ada ratusan juta rupiah di sana.Nathan! Dia yakin ini ulah Nathan. “Tidak.” Rasa panik mulai menjalari tubuhnya, “Jangan bilang kalau Mas Nathan juga—” Mia tercekat, tak sanggup melanjutkan ucapannya yang berisi dugaan buruk. Amarah bercampur ketakutan membakar dalam dirinya. Nathan selalu memiliki kendali besar terhadap setiap aspek ke
“Pakai ini. PIN-nya adalah tanggal di hari aku melamarmu tujuh tahun lalu. Semoga kamu masih ingat, Mia.”Mia terkesiap, terkejut dengan tindakan tiba-tiba Max yang langsung memberinya dua kartu sekaligus, satu kartu kredit dan satu kartu debit. Dia kaget karena tak memerhatikan kapan Max merogoh isi tasnya, karena sejak tadi Mia menunduk. “Max—” Suara Mia yang ingin mengucapkan terima kasih tercekat di tenggorokan. Perasaannya campur aduk, antara lega sekaligus malu, tapi juga merasa… terharu. Mia tak tahu di mana letak rasa harunya. Apakah semata-mata karena Max telah bersedia membantunya? Atau, karena Max mengatakan tentang tanggal saat dia melamarnya tujuh tahun lalu? Tapi sepertinya, karena keduanya.Dia memandangi punggung Max yang langsung bergegas pergi meninggalkannya, menyusul rombongan timnas lainnya yang satu per satu hilang ke dalam bis yang akan membawa mereka ke lokasi latihan. Mia menelan ludah dan memandang lagi dua kartu milik Max yang ada di tangannya. Dia kemudi
Meskipun hatinya penuh dengan kekhawatiran, Mia berusaha tampil seolah tidak ada masalah besar yang tengah dihadapinya. Dia melangkah masuk ke kantor Michella dengan senyum baik-baik saja yang mengembang cantik di wajahnya. Kantor Michella, yang merupakan sebuah perusahaan maklon skincare, dipenuhi dengan rak-rak yang menampilkan berbagai produk perawatan kulit, dari krim wajah hingga serum dan masker. Semua produk tersebut dirancang khusus untuk memenuhi kebutuhan perempuan akan perawatan kulit yang berkualitas tinggi.Michella rupanya sudah menunggunya. Michella adalah wanita berpenampilan menarik dengan gaya yang selalu chic. Rambut panjang Michella tergerai rapi, dan dia mengenakan blus elegan yang menunjukkan selera fashionnya yang tinggi. Dia segera menyambut Mia dengan pelukan erat."Mia, senang sekali melihatmu. Bagaimana kabarmu? Kenapa lama sekali kamu absen main tenis? Aku merindukan bola-bola smashmu,” ujar Michella dengan bibir cemberut seperti anak kecil yang merajuk.
Di lapangan latihan, Max dan rekan-rekannya berlatih dengan santai tapi serius. Lapangan hijau membentang luas di bawah terik matahari yang terasa hangat. Teriakan pelatih yang memberikan instruksi dan sorak-sorai rekan satu tim yang menyemangati satu sama lain mewarnai sesi latihan itu.Max terlihat lebih semangat dan ceria hari itu, sedikit berbeda dari Max yang biasanya. Biasanya, Max berlatih dengan fokus dan ketenangan yang hampir mendekati keseriusan, tapi hari ini ada sesuatu yang berbeda dalam cara dia bergerak. Senyum tidak pernah lepas dari wajahnya, dan langkah kakinya terasa lebih ringan. Bahkan saat berlari mengitari lapangan, ada kegembiraan yang terpancar dari setiap gerakannya.Rekan-rekannya pun menyadari perubahan ini. Mereka saling bertukar pandang, saling memberikan isyarat dan senyuman, mencoba menebak apa yang membuat Max begitu ceria. Argo, salah satu rekan terdekat Max, akhirnya tidak bisa menahan diri lagi. Saat mereka sedang beristirahat di pinggir lapangan,
Di lobi gedung rumah sakit elit di jantung kota Jakarta, sebuah sedan Rolls Royce hitam berhenti dengan anggun, memancarkan aura kemewahan yang nyata di antara deretan mobil mewah lainnya yang sedang memasuki halaman rumah sakit tersebut.Pintu mobil sedan mewah itu terbuka, menampilkan seorang pria tampan berwajah oriental yang melangkah keluar dengan aura kecerdasan dan percaya diri. Berbalut sepatu kulit hitam mengkilap, kaki pria itu menapak lantai lobi dengan ketegasan seorang pemimpin sejati. Setelan jas hitam yang dikenakannya begitu pas membingkai tubuhnya yang tinggi dan atletis, menambah kesan elegan dan berwibawa yang kini melekat erat pada diri pria berusia 40 tahun itu.“Silakan, Tuan Valen,” sapa asistennya sambil membukakan pintu mobil, memberikan anggukan hormat pada CEO “Bintang Hospital Group” yang baru saja tiba.Aura Dokter Joshua Valen kini begitu berbeda, mencerminkan transformasi yang telah ia lalui dalam beberapa tahun ini. Sejak ditinggalkan oleh Mia, Valen me
Max dan Mia memulai babak baru dalam kehidupan mereka di Lake District, Inggris, sebuah tempat yang menawarkan ketenangan dan keindahan alam yang kontras dengan kehidupan kota yang sibuk. Keputusan mereka untuk menetap di kawasan ini adalah bagian dari keinginan mereka untuk menemukan kedamaian dan kebahagiaan dalam kehidupan baru mereka bersama.Rumah mereka, sebuah cottage yang terletak di tepi danau, dikelilingi oleh hutan hijau dan pegunungan yang menjulang, memberikan latar belakang yang sempurna untuk melanjutkan kehidupan mereka. Setiap pagi, mereka disambut oleh pemandangan matahari terbit yang memukau dan suara lembut angin yang berdesir di antara pepohonan. Ini adalah tempat di mana Mia dan Max dapat menghindar dari hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari dan benar-benar fokus pada kebersamaan mereka.Max, sebagai pemain sepak bola profesional, berhasil menjalani karier yang cemerlang di Inggris bersama Lakeside City, klub sepak bola yang kini terdaftar dalam EPL (English Premi
Di sebuah rumah sakit, Valen duduk di ruang tunggu keluarga pasien, menantikan Mia yang sedang menjalani operasi darurat dan harus dikuret karena mengalami keguguran. Valen masih mengenakan kemejanya yang bersimbah darah—darah Mia. Asistennya mencoba membujuknya untuk mengganti pakaian. Namun, Valen menggelengkan kepala, menolak tawaran itu. Gelengan itu membuat asistennya mundur, memberikan ruang bagi Valen yang masih terlihat kalut dan terpukul oleh peristiwa tragis yang menimpa Mia.Di depannya, Max yang juga sedang tegang menantikan Mia, ia mengamati semua gerak-gerik Dokter Joshua yang semakin jelas di matanya. “Kamu jatuh cinta pada Mia kan, Dok?”Tanpa ragu, Valen mengangguk. “Aku jatuh cinta padanya sejak pertama kali kami bertemu, di ruang IGD itu. Kupikir saat itu aku hanya merasa iba kepadanya, tapi ternyata tidak… itu bukan hanya rasa iba ataupun sekadar simpati. Aku selalu ingin bersamanya sejak saat itu. Ingin melindunginya, ingin memastikan bahwa dia selalu baik-baik
Gavin menginjak gas mobilnya lebih dalam, melesat keluar dari basement dengan kecepatan yang mencerminkan kepanikan dalam dirinya. Jantungnya berpacu, diliputi oleh ketakutan dan penyesalan yang menghantui setiap pikiran.“Maafkan aku, Valen. Maafkan aku…!” suaranya nyaris tak terdengar, tercekik oleh emosi yang bergolak. Bibirnya gemetar, dan air mata mulai membanjiri pandangannya.Tangis Gavin pecah, mengalir deras seperti sungai yang tak terbendung. Hatinya terasa remuk, diremas oleh kepedihan yang tak tertahankan saat bayangan Valen melintas di benaknya. Bagaimana kondisi pria yang dicintainya itu sekarang?Pikiran itu mencabik-cabik ketenangannya. Ketakutan menyeruak, menggerogoti setiap sudut batinnya. Bagaimana jika Valen… mati? Atau lebih buruk, bagaimana jika Valen cacat permanen akibat keputusan impulsif yang baru saja ia buat?“Tidak…! Tidak!” Gavin memukul-mukul setir mobil dengan frustrasi.Penyesalannya datang terlambat, menghempaskan Gavin ke dalam jurang keputusasaan.
Di dalam basement, area parkir sebuah apartemen, tatapan Gavin tak lepas dari mobil yang terletak beberapa meter di depannya. Mobil itu seolah menjadi simbol dari seseorang yang diam-diam telah menjadi pusat dunianya—Dokter Joshua Valen. Hati Gavin bergejolak dengan perasaan yang tak pernah ia ungkapkan kepada siapa pun, kecuali kepada pemilik mobil itu sendiri.Joshua Valen, sang dokter yang tampan dan baik hati, adalah sosok yang telah membuat Gavin merasakan ketenangan yang tak pernah ia dapati dari orang lain. Setiap kali berada di dekat Valen, Gavin merasa damai, seolah semua beban hidupnya menghilang dalam sekejap. Kekaguman Gavin terhadap Valen melampaui batas-batas yang wajar, melebihi rasa kagum seorang pasien biasa kepada dokternya. Gavin telah jatuh cinta—perasaan yang ia tahu salah, namun tak bisa ia kendalikan.Gavin masih mengingat dengan jelas hari ketika ia akhirnya memberanikan diri mengungkapkan perasaannya kepada Valen. Detik-detik itu penuh ketegangan baginya, n
“Michella, kamu sekarang bisa mencairkan nilai pokok investasi milik Mia, lakukan segera.” Nathan menyampaikan instruksi itu lewat telepon. Michella terkejut mendengar permintaan Nathan. Padahal sebelumnya, Nathan kerap memberinya ancaman yang mengerikan bila ia sampai memberikan bantuan keuangan pada Mia, apalagi sampai mengembalikan nilai pokok investasi yang sudah sering diminta oleh Mia.Namun, tanpa banyak tanya lagi—khawatir Nathan berubah pikiran, Michella segera mentransfer uang itu pada Mia. Membuat Mia menangis lega saat ia menyampaikan kabar baik itu.“Maaf, aku baru bisa mengembalikan uang investasimu sekarang, Mia.” Michella berkata dengan hati yang diliputi rasa bersalah.“Tidak apa-apa, Michella…, yang penting sekarang bisnismu sudah stabil, kan?” ucap Mia begitu tulus.Michella diam-diam merasa bersalah dalam hatinya karena sebenarnya bisnisnya baik-baik saja selama ini. Tetapi ia tak berkutik dan tunduk pada perintah Nathan karena ancaman-ancamannya terhadap bisnis M
“Bisa-bisanya kamu menciptakan kiamat untuk kariermu sendiri, Max!” Brama mengomel dengan nada yang semakin meninggi saat menemuinya di hotel usai pertandingan malam itu, nadanya penuh dengan kekhawatiran. Dia membayangkan dampak dari tindakan Max yang sembrono ini—reputasi yang hancur, skandal yang meledak, efek domino yang bisa berakibat fatal bagi kariernya. Brama sangat memahami bagaimana dunia olahraga bisa kejam; satu langkah salah bisa menghancurkan segalanya dalam sekejap.Brama menatap Max sambil geleng-geleng kepala, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan gelisah. Kepalanya yang botak berkilau di bawah cahaya lampu. Sementara itu, Max duduk dengan tenang di hadapannya, menyandarkan punggung ke kursi dengan senyum tipis yang tampak santai. Matanya memancarkan keteguhan yang sulit digoyahkan, seolah semua kata-kata Brama hanya angin lalu.Senyuman Max mencerminkan keyakinan dan ketidakpeduliannya terhadap apa kata dunia atas tindakannya. “Mia sudah bercerai dari Nathan, itu
Jeritan cinta yang begitu menggema dari Max seolah merobek kebisingan di stadion, menimbulkan kekagetan di pikiran begitu banyak orang, khususnya Mia. Dia tak pernah membayangkan bahwa Max akan melakukan sesuatu yang begitu nekat, begitu terbuka, di depan puluhan ribu pasang mata.Mia membeku, tubuhnya kaku seperti patung di tengah lautan manusia yang seakan tidak berhenti bergejolak dengan sorak sorai dan tepukan tangan. Dalam diri Mia, perasaan malu, terkejut, dan kebingungan bergulat satu sama lain, membuat tubuhnya gemetar. Jantungnya berdetak cepat, seolah tak bisa mengimbangi kekacauan yang terjadi di dalam pikirannya. Dia tidak terbiasa menjadi pusat perhatian seperti ini.Tatapan Mia yang biasanya lembut kini terpaku lurus ke depan, mencoba menghindari pandangan orang-orang yang kini tertuju padanya. Setiap mata di stadion ini seolah sedang memperhatikannya, menilai, dan mungkin bahkan menghakiminya. Tangannya yang dingin berusaha mencari pegangan, dan tanpa sadar, ia mengge
Max bersama para pemain lainnya berjalan menuju tepi lapangan, wajahnya berseri-seri dengan senyum hangat menghiasi bibirnya. Tangannya terangkat, melambai ke arah suporter yang memenuhi tribun, seolah ia ingin menyapa setiap orang yang telah memberikan dukungan penuh selama pertandingan. Setiap langkah yang ia ambil terasa penuh dengan kebanggaan, mencerminkan kemenangan yang baru saja mereka raih.Sesampainya di tepi lapangan, Max sedikit membungkukkan badannya sebagai penghormatan tulus kepada para suporter. “Terima kasih!” teriaknya kemudian, sambil kembali melambaikan tangannya.Aksinya diikuti oleh rekan-rekan timnas yang lain. Seketika sikap rendah hati para pemain itu memicu gelombang tepuk tangan yang riuh dari tribun. Sorak-sorai membahana, mengapresiasi sikap hormat yang ditunjukkan oleh Max dan para pemain timnas.Langkah Max dan timnya terhenti tepat di depan tribun Selatan. Di sana, lautan suporter dengan kostum hitam—warna khas Ultras Garuda, mendominasi pemandangan. N