Mia memasuki sebuah kafe dan mencari-cari wajah yang akrab di antara keramaian. Ketika matanya akhirnya menemukan Dokter Joshua, kerutan kecil di kening langsung melintas di wajahnya. Dia melihat si dokter itu duduk dengan santainya, jauh dari bayang-bayang jas putih dan kesan profesional yang biasanya melekat padanya di rumah sakit.Dokter Joshua mengenakan kaos oblong hitam yang pas di tubuhnya, menonjolkan otot bisepnya yang memukau dan garis tubuhnya yang atletis. Kaos itu terlihat begitu serasi dengan celana jeans dengan sobekan kecil di bagian dengkulnya, memberikan kesan kasual namun tetap menarik. Itu membuatnya terlihat lebih seperti mahasiswa yang sedang santai menikmati waktu luangnya di kafe favorit mereka daripada seorang dokter yang sedang menunggu pasiennya. Mia berhenti sejenak, tertegun melihat transformasi si dokter yang tak terduga ini.“Dokter Joshua?” sapa Mia saat berdiri di dekat mejanya.Dokter Joshua yang sedang membaca sesuatu di tabletnya segera mengangkat
Mia tahu, proses perceraiannya bakal berlangsung alot. Dia tidak kaget ketika Nathan tetap gigih menghubunginya. “Aku mencintaimu, Mia. Aku tidak akan membiarkan kita bercerai,” ujarnya dengan nada mengintimidasi lewat telepon.Mia berusaha mengendalikan emosi yang berkecamuk di dalam dirinya. Setidaknya Nathan hanya menghubunginya lewat telepon. Pengacaranya, Victor Sitompul, agaknya berhasil menekannya sehingga pria yang masih berstatus sebagai suaminya itu tidak berusaha menemuinya secara langsung.Tanpa bantuan pengacara, Mia yakin Nathan tak bakal segan-segan menemuinya bahkan mungkin akan menyeretnya pulang kembali ke rumah."Silakan tinggal di luar rumah kita untuk sementara ini, Mia. Mungkin kamu perlu waktu untuk menyendiri dan menenangkan pikiranmu. Tapi ingatlah, aku selalu menunggumu pulang," ujar Nathan dengan nada yang kukuh, seolah-olah tak ada yang bisa mengubah pendiriannya untuk tetap mempertahankan rumah tangga mereka.Mia menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab.
Pandangan Mia menerawang jauh. "Mas Nathan sengaja ingin melumpuhkan aku lewat dominasi keuangannya. Ya, tentu saja dia akan melakukannya," pikirnya sambil meremas ponselnya dengan geram.Akhirnya dia memutuskan untuk membayar tiket pesawat via transfer. Mia segera membuka aplikasi banknya. Jari-jarinya masih sedikit gemetar, namun ia berusaha untuk tetap tenang. Ia menekan tombol "Bayar" dengan penuh harapan.“Pembayaran Anda gagal.” Jantungnya berdegup kencang membaca tulisan di layar ponselnya itu. Ia mencoba mengakses aplikasi banknya untuk memeriksa isi rekeningnya, dan alangkah terkejutnya dia ketika isinya betul-betul nol! Padahal seharusnya ada ratusan juta rupiah di sana.Nathan! Dia yakin ini ulah Nathan. “Tidak.” Rasa panik mulai menjalari tubuhnya, “Jangan bilang kalau Mas Nathan juga—” Mia tercekat, tak sanggup melanjutkan ucapannya yang berisi dugaan buruk. Amarah bercampur ketakutan membakar dalam dirinya. Nathan selalu memiliki kendali besar terhadap setiap aspek ke
“Pakai ini. PIN-nya adalah tanggal di hari aku melamarmu tujuh tahun lalu. Semoga kamu masih ingat, Mia.”Mia terkesiap, terkejut dengan tindakan tiba-tiba Max yang langsung memberinya dua kartu sekaligus, satu kartu kredit dan satu kartu debit. Dia kaget karena tak memerhatikan kapan Max merogoh isi tasnya, karena sejak tadi Mia menunduk. “Max—” Suara Mia yang ingin mengucapkan terima kasih tercekat di tenggorokan. Perasaannya campur aduk, antara lega sekaligus malu, tapi juga merasa… terharu. Mia tak tahu di mana letak rasa harunya. Apakah semata-mata karena Max telah bersedia membantunya? Atau, karena Max mengatakan tentang tanggal saat dia melamarnya tujuh tahun lalu? Tapi sepertinya, karena keduanya.Dia memandangi punggung Max yang langsung bergegas pergi meninggalkannya, menyusul rombongan timnas lainnya yang satu per satu hilang ke dalam bis yang akan membawa mereka ke lokasi latihan. Mia menelan ludah dan memandang lagi dua kartu milik Max yang ada di tangannya. Dia kemudi
Meskipun hatinya penuh dengan kekhawatiran, Mia berusaha tampil seolah tidak ada masalah besar yang tengah dihadapinya. Dia melangkah masuk ke kantor Michella dengan senyum baik-baik saja yang mengembang cantik di wajahnya. Kantor Michella, yang merupakan sebuah perusahaan maklon skincare, dipenuhi dengan rak-rak yang menampilkan berbagai produk perawatan kulit, dari krim wajah hingga serum dan masker. Semua produk tersebut dirancang khusus untuk memenuhi kebutuhan perempuan akan perawatan kulit yang berkualitas tinggi.Michella rupanya sudah menunggunya. Michella adalah wanita berpenampilan menarik dengan gaya yang selalu chic. Rambut panjang Michella tergerai rapi, dan dia mengenakan blus elegan yang menunjukkan selera fashionnya yang tinggi. Dia segera menyambut Mia dengan pelukan erat."Mia, senang sekali melihatmu. Bagaimana kabarmu? Kenapa lama sekali kamu absen main tenis? Aku merindukan bola-bola smashmu,” ujar Michella dengan bibir cemberut seperti anak kecil yang merajuk.
Di lapangan latihan, Max dan rekan-rekannya berlatih dengan santai tapi serius. Lapangan hijau membentang luas di bawah terik matahari yang terasa hangat. Teriakan pelatih yang memberikan instruksi dan sorak-sorai rekan satu tim yang menyemangati satu sama lain mewarnai sesi latihan itu.Max terlihat lebih semangat dan ceria hari itu, sedikit berbeda dari Max yang biasanya. Biasanya, Max berlatih dengan fokus dan ketenangan yang hampir mendekati keseriusan, tapi hari ini ada sesuatu yang berbeda dalam cara dia bergerak. Senyum tidak pernah lepas dari wajahnya, dan langkah kakinya terasa lebih ringan. Bahkan saat berlari mengitari lapangan, ada kegembiraan yang terpancar dari setiap gerakannya.Rekan-rekannya pun menyadari perubahan ini. Mereka saling bertukar pandang, saling memberikan isyarat dan senyuman, mencoba menebak apa yang membuat Max begitu ceria. Argo, salah satu rekan terdekat Max, akhirnya tidak bisa menahan diri lagi. Saat mereka sedang beristirahat di pinggir lapangan,
Sepulangnya dari kantor Michella, Mia langsung menuju kantor yang alamatnya tertera dalam kartu nama yang diberikan oleh Dokter Joshua. Ia turun dari taksi dan mengarahkan pandangannya ke gedung perkantoran yang megah di kawasan bisnis yang ada di Senayan, Jakarta Selatan. Dengan langkah ringan, Mia memasuki lobi gedung yang marmernya berkilau di bawah sinar lampu. Suara langkah kakinya bergema ringan di lobi yang luas dan tenang, seakan mengiringi perjalanan barunya.Ia segera naik lift menuju lantai tiga. Begitu keluar dari lift dan mencari sebentar, Mia akhirnya menemukan pintu kaca kantor "LuxRent Prestige" dengan logo perusahaan yang terpampang elegan. Mia memencet bel. Setelah terdengar bunyi klik, tanda kunci pintu sudah terbuka, iapun segera mendorong pintu kaca dan melangkah masuk ke dalam ruangan yang ternyata lebih kecil dari yang dibayangkannya, namun begitu elegan.Desain interior kantor LuxRent Prestige memancarkan kemewahan dan keanggunan. Didominasi warna putih dan
Sabrina, sang pemilik bisnis, tersenyum hangat saat melihat Mia masuk. “Selamat datang, Mia. Silakan duduk,” ujarnya sambil menunjuk ke sebuah kursi empuk yang terletak di depan meja kerjanya.Mia mengamati sejenak ruangan itu sambil duduk di tempat yang ditunjuk oleh Sabrina. Sebuah lukisan abstrak yang tergantung di dinding belakang meja, menambah sentuhan artistik pada ruangan berukuran empat kali empat meter tersebut. Meja kerja Sabrina dipenuhi dengan beberapa berkas, laptop, dan hiasan meja seperti vas dengan bunga lili putih segar. Setelah berkenalan dan berbasa-basi sebentar, Sabrina memandang layar MacBook miliknya, yang menampilkan CV milik Mia. Sabrina lalu memandang Mia, lebih tepat mengamatinya.Wanita bernama Mia itu duduk dengan tenang di kursi di hadapannya. Penampilannya sederhana, dengan rambut panjang yang dibiarkan terurai dan riasan minimalis yang hanya memperkuat kecantikan alaminya. Dia mengenakan blus putih dan celana panjang cokelat model high-waisted yang