Sabrina, sang pemilik bisnis, tersenyum hangat saat melihat Mia masuk. “Selamat datang, Mia. Silakan duduk,” ujarnya sambil menunjuk ke sebuah kursi empuk yang terletak di depan meja kerjanya.Mia mengamati sejenak ruangan itu sambil duduk di tempat yang ditunjuk oleh Sabrina. Sebuah lukisan abstrak yang tergantung di dinding belakang meja, menambah sentuhan artistik pada ruangan berukuran empat kali empat meter tersebut. Meja kerja Sabrina dipenuhi dengan beberapa berkas, laptop, dan hiasan meja seperti vas dengan bunga lili putih segar. Setelah berkenalan dan berbasa-basi sebentar, Sabrina memandang layar MacBook miliknya, yang menampilkan CV milik Mia. Sabrina lalu memandang Mia, lebih tepat mengamatinya.Wanita bernama Mia itu duduk dengan tenang di kursi di hadapannya. Penampilannya sederhana, dengan rambut panjang yang dibiarkan terurai dan riasan minimalis yang hanya memperkuat kecantikan alaminya. Dia mengenakan blus putih dan celana panjang cokelat model high-waisted yang
Mia merasa lega dan senang setelah diterima bekerja di LuxRent Prestige. Meskipun gaji UMR yang mungkin sekitar lima juta rupiah terasa sangat rendah baginya, yang terbiasa mendapatkan jatah puluhan juta dari Nathan setiap bulan, tapi setidaknya uang ini adalah hasil jerih payahnya sendiri. Uang dari Nathan sudah lenyap, dan Mia bertekad untuk memulai hidup baru.Dia segera menghubungi Dokter Joshua untuk menyampaikan kabar baik itu. "Dokter, saya sudah diterima bekerja," katanya dengan suara gembira."Bagus sekali, Mia. Bagaimana kalau saya mentraktirmu makan malam untuk merayakan kabar baik ini?" jawab Dokter Joshua dengan nada hangat.Mia tertawa kecil. "Loh, kok kebalik? Bukannya harusnya saya yang traktir dokter ya?""Nanti saja kamu traktir saya kalau sudah ada uangnya," balas Dokter Joshua sambil tertawa. "Sekarang biar saya yang mentraktirmu.""Anda pengertian sekali, Dok. Maaf saya merepotkan.""Saya juga pernah ada di posisimu, Mia. Saya tahu rasanya. Terima saja uluran tang
Mia keluar dari lift dengan langkah tergesa menuju lobi, di mana Dokter Joshua tadi bilang di telepon, bahwa dia sudah sampai dan menunggunya di sana. Tiba di lobi, Mia berpapasan dengan rombongan atlet timnas yang rupanya baru berdatangan. Matanya otomatis mencari-cari sosok Max yang mungkin ada di antara mereka, sampai kemudian dia mendengar namanya dipanggil oleh seseorang dengan cukup keras, “Mia!”Mia menoleh dan melihat sosok pria dengan ketampanan khas oriental yang sedang mengangkat tangan. Mia tersenyum setelah mengenalinya, itu adalah Dokter Joshua. Ia segera balas mengangkat tangan, tanda bahwa dia juga sudah melihat si dokter.Dokter Joshua menghentikan percakapannya dengan dua atlet timnas di hadapannya dan segera menghampiri Mia. Saat itulah jantung Mia berdegup kencang—bukan karena ketampanan Dokter Joshua, melainkan karena menyadari bahwa atlet yang sedang berbicara dengan si dokter tadi adalah Max.Mereka, Mia dan Max, saling memandang dari kejauhan, mata mereka terh
“Mia, kamu baik-baik saja?” Dokter Joshua bertanya untuk kesekian kalinya setelah mereka berada di dalam mobil. Suaranya penuh perhatian, alisnya sedikit berkerut karena khawatir melihat wajah Mia yang tegang.Mia menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. “Saya sedikit cemas, Dok. Cara Max yang berubah posesif, ingin tahu urusan saya dan bertanya dengan nada mendesak… tiba-tiba mengingatkan saya pada Mas Nathan,” aku Mia dengan jujur. Dia mempercayai Dokter Joshua, merasa nyaman untuk mengungkapkan perasaannya yang paling dalam.“Sejak kecil, Mas Nathan selalu memperlakukan saya seperti itu. Saya pikir itu hanyalah bentuk kepeduliannya sebagai seorang kakak, dan sebagai suami yang perhatian setelah kami menikah,” lanjut Mia, suaranya sedikit gemetar. “Tapi lama-lama… sikap posesifnya itu semakin over dan mencekik kebebasan saya sebagai individu,” desahnya, kepalanya bersandar pada jok mobil yang empuk.Dokter Joshua diam, mendengarkan dengan saksama. Dia tahu ini bukan saatnya membe
“Kenapa berhenti, Dok?” tanya Mia dengan raut bingung saat Dokter Joshua tiba-tiba menepikan mobilnya.“Puaskan dirimu menangis, Mia. Tak perlu kamu tahan-tahan,” jawab Dokter Joshua sambil menoleh dan tatapan penuh pengertian. “Kita sebenarnya sudah sampai di restoran yang kita tuju, itu di depan, tapi… lebih baik kamu puas-puaskan menangis saja dulu, karena saat di sana nanti aku ingin melihatmu tersenyum saat menyantap makananmu,” lanjut si dokter dengan nada ringan.Tapi Mia malah tertawa lirih dan menghapus air matanya dengan tisu. “Oh, sudah hampir sampai ya. Sepertinya saya perlu memperbaiki riasan saya sebentar,” jawabnya sambil membuka tas dan meminta izin untuk menyalakan lampu di dalam mobil.Dokter Joshua terkekeh pelan. “Memakai riasan atau tidak, kamu terlihat cantik, Mia.”“Bukan masalah cantik atau tidak, Dok. Tapi perlu Dokter ketahui, bahwa wanita menjaga penampilannya itu bukan untuk dilihat cantik oleh lelaki, tapi karena tak mau terlihat lebih buruk dibanding wan
“Mia, orang yang obsesif itu biasanya sangat manipulatif. Aku tak ingin kamu berakhir seperti ibuku, yang berpikir bahwa suatu hari nanti suaminya pasti berubah, sehingga ia pilih bertahan dengannya.” Ada senyum getir di sudut bibir sang dokter saat mengatakannya.“Tapi Mia…, tak semudah itu mengubah perilaku obsesif seseorang. Ibuku akhirnya tewas di tangan ayahku, dia dipukuli sampai mati oleh pria yang katanya sangat mencintainya itu.”Dokter Joshua menunduk dan mengusap wajahnya, berusaha mengendalikan getaran-getaran emosional yang merayapi perasaannya setiap kali membuka kisah kelam itu."Aku turut prihatin, Dok. Itu pasti sangat menyakitkan bagimu.” Mia menjulurkan tangannya, meraih tangan Dokter Joshua, berusaha menyampaikan rasa ikut berduka dan menunjukkan empatinya. Dokter Joshua mengangguk pelan, berterima kasih atas kepedulian Mia. Lalu ia kembali melanjutkan. "Mia, Nathan seperti ayahku. Cintanya padamu berubah menjadi obsesi yang bisa mengancam keselamatan jiwamu."Mia
Cahaya lampu lembut dari lentera di atas meja masih menciptakan atmosfer hangat di sekeliling mereka saat Mia dan Dokter Joshua bersiap-siap untuk kembali pulang.“Terima kasih, Bapak dan Ibu, sampai jumpa kembali,” kata seorang pelayan saat mereka melangkah keluar dari ruang privat. Bersamaan dengan itu, pintu ruang makan privat di depan mereka juga terbuka, dan Mia tersentak begitu melihat sosok wajah yang teramat ia kenali. “Mia…?” Nyonya Ambar, ibu mertuanya, memandang tajam ke arahnya, mata itu berkilat curiga kepadanya. Wajahnya yang biasanya dihiasi senyum ramah kini terlihat kaku dan dingin. Setiap kerutan di wajah Nyonya Ambar seolah mempertegas kemarahan yang sedang ia rasakan. Lalu, pandangannya beralih pada Dokter Joshua. Matanya menyipit, seperti sedang menganalisa pria yang berdiri di sebelah Mia. Setiap detail dari penampilan Dokter Joshua, mulai dari pakaian kasualnya yang rapi hingga sikap tenangnya, tidak luput dari pengamatan tajam Nyonya Ambar.Tuan Sapta Wijay
“Mas Nathan… apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Mia dengan suara yang bergetar, mencoba tetap tenang meskipun hatinya penuh kecemasan.Nathan melangkah mendekat, tatapannya tidak pernah lepas dari wajah Mia. “Kamu pikir apa lagi? Tentu saja karena aku merindukanmu, Mia. Aku…,” Nathan menggigit bibirnya dan menggeleng pelan, “tidak bisa tanpamu,” ucapnya dengan suara pelan namun terdengar jelas oleh Mia.Mata Nathan yang biasanya penuh kemarahan kini tampak lebih lembut, memancarkan keinginan untuk mendamaikan hubungan mereka. “Mia, aku lelah dengan semua ini. Tak bisakah kita berdamai saja dan memperbaiki segalanya agar semua kembali pada tempatnya seperti semula?” ucapnya sambil melangkah maju, namun Mia melangkah mundur setiap kali Nathan memajukan langkahnya.Setiap kata yang keluar dari mulut Nathan terdengar begitu meyakinkan. Wajahnya menunjukkan penyesalan mendalam, seolah-olah ia benar-benar ingin mengubah segalanya menjadi lebih baik. Bibirnya yang bergetar dan mata yang
Di lobi gedung rumah sakit elit di jantung kota Jakarta, sebuah sedan Rolls Royce hitam berhenti dengan anggun, memancarkan aura kemewahan yang nyata di antara deretan mobil mewah lainnya yang sedang memasuki halaman rumah sakit tersebut.Pintu mobil sedan mewah itu terbuka, menampilkan seorang pria tampan berwajah oriental yang melangkah keluar dengan aura kecerdasan dan percaya diri. Berbalut sepatu kulit hitam mengkilap, kaki pria itu menapak lantai lobi dengan ketegasan seorang pemimpin sejati. Setelan jas hitam yang dikenakannya begitu pas membingkai tubuhnya yang tinggi dan atletis, menambah kesan elegan dan berwibawa yang kini melekat erat pada diri pria berusia 40 tahun itu.“Silakan, Tuan Valen,” sapa asistennya sambil membukakan pintu mobil, memberikan anggukan hormat pada CEO “Bintang Hospital Group” yang baru saja tiba.Aura Dokter Joshua Valen kini begitu berbeda, mencerminkan transformasi yang telah ia lalui dalam beberapa tahun ini. Sejak ditinggalkan oleh Mia, Valen me
Max dan Mia memulai babak baru dalam kehidupan mereka di Lake District, Inggris, sebuah tempat yang menawarkan ketenangan dan keindahan alam yang kontras dengan kehidupan kota yang sibuk. Keputusan mereka untuk menetap di kawasan ini adalah bagian dari keinginan mereka untuk menemukan kedamaian dan kebahagiaan dalam kehidupan baru mereka bersama.Rumah mereka, sebuah cottage yang terletak di tepi danau, dikelilingi oleh hutan hijau dan pegunungan yang menjulang, memberikan latar belakang yang sempurna untuk melanjutkan kehidupan mereka. Setiap pagi, mereka disambut oleh pemandangan matahari terbit yang memukau dan suara lembut angin yang berdesir di antara pepohonan. Ini adalah tempat di mana Mia dan Max dapat menghindar dari hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari dan benar-benar fokus pada kebersamaan mereka.Max, sebagai pemain sepak bola profesional, berhasil menjalani karier yang cemerlang di Inggris bersama Lakeside City, klub sepak bola yang kini terdaftar dalam EPL (English Premi
Di sebuah rumah sakit, Valen duduk di ruang tunggu keluarga pasien, menantikan Mia yang sedang menjalani operasi darurat dan harus dikuret karena mengalami keguguran. Valen masih mengenakan kemejanya yang bersimbah darah—darah Mia. Asistennya mencoba membujuknya untuk mengganti pakaian. Namun, Valen menggelengkan kepala, menolak tawaran itu. Gelengan itu membuat asistennya mundur, memberikan ruang bagi Valen yang masih terlihat kalut dan terpukul oleh peristiwa tragis yang menimpa Mia.Di depannya, Max yang juga sedang tegang menantikan Mia, ia mengamati semua gerak-gerik Dokter Joshua yang semakin jelas di matanya. “Kamu jatuh cinta pada Mia kan, Dok?”Tanpa ragu, Valen mengangguk. “Aku jatuh cinta padanya sejak pertama kali kami bertemu, di ruang IGD itu. Kupikir saat itu aku hanya merasa iba kepadanya, tapi ternyata tidak… itu bukan hanya rasa iba ataupun sekadar simpati. Aku selalu ingin bersamanya sejak saat itu. Ingin melindunginya, ingin memastikan bahwa dia selalu baik-baik
Gavin menginjak gas mobilnya lebih dalam, melesat keluar dari basement dengan kecepatan yang mencerminkan kepanikan dalam dirinya. Jantungnya berpacu, diliputi oleh ketakutan dan penyesalan yang menghantui setiap pikiran.“Maafkan aku, Valen. Maafkan aku…!” suaranya nyaris tak terdengar, tercekik oleh emosi yang bergolak. Bibirnya gemetar, dan air mata mulai membanjiri pandangannya.Tangis Gavin pecah, mengalir deras seperti sungai yang tak terbendung. Hatinya terasa remuk, diremas oleh kepedihan yang tak tertahankan saat bayangan Valen melintas di benaknya. Bagaimana kondisi pria yang dicintainya itu sekarang?Pikiran itu mencabik-cabik ketenangannya. Ketakutan menyeruak, menggerogoti setiap sudut batinnya. Bagaimana jika Valen… mati? Atau lebih buruk, bagaimana jika Valen cacat permanen akibat keputusan impulsif yang baru saja ia buat?“Tidak…! Tidak!” Gavin memukul-mukul setir mobil dengan frustrasi.Penyesalannya datang terlambat, menghempaskan Gavin ke dalam jurang keputusasaan.
Di dalam basement, area parkir sebuah apartemen, tatapan Gavin tak lepas dari mobil yang terletak beberapa meter di depannya. Mobil itu seolah menjadi simbol dari seseorang yang diam-diam telah menjadi pusat dunianya—Dokter Joshua Valen. Hati Gavin bergejolak dengan perasaan yang tak pernah ia ungkapkan kepada siapa pun, kecuali kepada pemilik mobil itu sendiri.Joshua Valen, sang dokter yang tampan dan baik hati, adalah sosok yang telah membuat Gavin merasakan ketenangan yang tak pernah ia dapati dari orang lain. Setiap kali berada di dekat Valen, Gavin merasa damai, seolah semua beban hidupnya menghilang dalam sekejap. Kekaguman Gavin terhadap Valen melampaui batas-batas yang wajar, melebihi rasa kagum seorang pasien biasa kepada dokternya. Gavin telah jatuh cinta—perasaan yang ia tahu salah, namun tak bisa ia kendalikan.Gavin masih mengingat dengan jelas hari ketika ia akhirnya memberanikan diri mengungkapkan perasaannya kepada Valen. Detik-detik itu penuh ketegangan baginya, n
“Michella, kamu sekarang bisa mencairkan nilai pokok investasi milik Mia, lakukan segera.” Nathan menyampaikan instruksi itu lewat telepon. Michella terkejut mendengar permintaan Nathan. Padahal sebelumnya, Nathan kerap memberinya ancaman yang mengerikan bila ia sampai memberikan bantuan keuangan pada Mia, apalagi sampai mengembalikan nilai pokok investasi yang sudah sering diminta oleh Mia.Namun, tanpa banyak tanya lagi—khawatir Nathan berubah pikiran, Michella segera mentransfer uang itu pada Mia. Membuat Mia menangis lega saat ia menyampaikan kabar baik itu.“Maaf, aku baru bisa mengembalikan uang investasimu sekarang, Mia.” Michella berkata dengan hati yang diliputi rasa bersalah.“Tidak apa-apa, Michella…, yang penting sekarang bisnismu sudah stabil, kan?” ucap Mia begitu tulus.Michella diam-diam merasa bersalah dalam hatinya karena sebenarnya bisnisnya baik-baik saja selama ini. Tetapi ia tak berkutik dan tunduk pada perintah Nathan karena ancaman-ancamannya terhadap bisnis M
“Bisa-bisanya kamu menciptakan kiamat untuk kariermu sendiri, Max!” Brama mengomel dengan nada yang semakin meninggi saat menemuinya di hotel usai pertandingan malam itu, nadanya penuh dengan kekhawatiran. Dia membayangkan dampak dari tindakan Max yang sembrono ini—reputasi yang hancur, skandal yang meledak, efek domino yang bisa berakibat fatal bagi kariernya. Brama sangat memahami bagaimana dunia olahraga bisa kejam; satu langkah salah bisa menghancurkan segalanya dalam sekejap.Brama menatap Max sambil geleng-geleng kepala, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan gelisah. Kepalanya yang botak berkilau di bawah cahaya lampu. Sementara itu, Max duduk dengan tenang di hadapannya, menyandarkan punggung ke kursi dengan senyum tipis yang tampak santai. Matanya memancarkan keteguhan yang sulit digoyahkan, seolah semua kata-kata Brama hanya angin lalu.Senyuman Max mencerminkan keyakinan dan ketidakpeduliannya terhadap apa kata dunia atas tindakannya. “Mia sudah bercerai dari Nathan, itu
Jeritan cinta yang begitu menggema dari Max seolah merobek kebisingan di stadion, menimbulkan kekagetan di pikiran begitu banyak orang, khususnya Mia. Dia tak pernah membayangkan bahwa Max akan melakukan sesuatu yang begitu nekat, begitu terbuka, di depan puluhan ribu pasang mata.Mia membeku, tubuhnya kaku seperti patung di tengah lautan manusia yang seakan tidak berhenti bergejolak dengan sorak sorai dan tepukan tangan. Dalam diri Mia, perasaan malu, terkejut, dan kebingungan bergulat satu sama lain, membuat tubuhnya gemetar. Jantungnya berdetak cepat, seolah tak bisa mengimbangi kekacauan yang terjadi di dalam pikirannya. Dia tidak terbiasa menjadi pusat perhatian seperti ini.Tatapan Mia yang biasanya lembut kini terpaku lurus ke depan, mencoba menghindari pandangan orang-orang yang kini tertuju padanya. Setiap mata di stadion ini seolah sedang memperhatikannya, menilai, dan mungkin bahkan menghakiminya. Tangannya yang dingin berusaha mencari pegangan, dan tanpa sadar, ia mengge
Max bersama para pemain lainnya berjalan menuju tepi lapangan, wajahnya berseri-seri dengan senyum hangat menghiasi bibirnya. Tangannya terangkat, melambai ke arah suporter yang memenuhi tribun, seolah ia ingin menyapa setiap orang yang telah memberikan dukungan penuh selama pertandingan. Setiap langkah yang ia ambil terasa penuh dengan kebanggaan, mencerminkan kemenangan yang baru saja mereka raih.Sesampainya di tepi lapangan, Max sedikit membungkukkan badannya sebagai penghormatan tulus kepada para suporter. “Terima kasih!” teriaknya kemudian, sambil kembali melambaikan tangannya.Aksinya diikuti oleh rekan-rekan timnas yang lain. Seketika sikap rendah hati para pemain itu memicu gelombang tepuk tangan yang riuh dari tribun. Sorak-sorai membahana, mengapresiasi sikap hormat yang ditunjukkan oleh Max dan para pemain timnas.Langkah Max dan timnya terhenti tepat di depan tribun Selatan. Di sana, lautan suporter dengan kostum hitam—warna khas Ultras Garuda, mendominasi pemandangan. N