Cahaya lampu lembut dari lentera di atas meja masih menciptakan atmosfer hangat di sekeliling mereka saat Mia dan Dokter Joshua bersiap-siap untuk kembali pulang.“Terima kasih, Bapak dan Ibu, sampai jumpa kembali,” kata seorang pelayan saat mereka melangkah keluar dari ruang privat. Bersamaan dengan itu, pintu ruang makan privat di depan mereka juga terbuka, dan Mia tersentak begitu melihat sosok wajah yang teramat ia kenali. “Mia…?” Nyonya Ambar, ibu mertuanya, memandang tajam ke arahnya, mata itu berkilat curiga kepadanya. Wajahnya yang biasanya dihiasi senyum ramah kini terlihat kaku dan dingin. Setiap kerutan di wajah Nyonya Ambar seolah mempertegas kemarahan yang sedang ia rasakan. Lalu, pandangannya beralih pada Dokter Joshua. Matanya menyipit, seperti sedang menganalisa pria yang berdiri di sebelah Mia. Setiap detail dari penampilan Dokter Joshua, mulai dari pakaian kasualnya yang rapi hingga sikap tenangnya, tidak luput dari pengamatan tajam Nyonya Ambar.Tuan Sapta Wijay
“Mas Nathan… apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Mia dengan suara yang bergetar, mencoba tetap tenang meskipun hatinya penuh kecemasan.Nathan melangkah mendekat, tatapannya tidak pernah lepas dari wajah Mia. “Kamu pikir apa lagi? Tentu saja karena aku merindukanmu, Mia. Aku…,” Nathan menggigit bibirnya dan menggeleng pelan, “tidak bisa tanpamu,” ucapnya dengan suara pelan namun terdengar jelas oleh Mia.Mata Nathan yang biasanya penuh kemarahan kini tampak lebih lembut, memancarkan keinginan untuk mendamaikan hubungan mereka. “Mia, aku lelah dengan semua ini. Tak bisakah kita berdamai saja dan memperbaiki segalanya agar semua kembali pada tempatnya seperti semula?” ucapnya sambil melangkah maju, namun Mia melangkah mundur setiap kali Nathan memajukan langkahnya.Setiap kata yang keluar dari mulut Nathan terdengar begitu meyakinkan. Wajahnya menunjukkan penyesalan mendalam, seolah-olah ia benar-benar ingin mengubah segalanya menjadi lebih baik. Bibirnya yang bergetar dan mata yang
“Lepaskan dia…!” Suara itu begitu keras dan menggema di lobi hotel, memecah ketegangan yang menggantung di udara. Semua mata tertuju pada sumber suara tersebut, termasuk Nathan yang terhenti sejenak, tampak kaget oleh interupsi yang tak terduga ini.Mia menoleh dengan cepat, matanya yang berair bertemu dengan sosok pria yang familiar. Hati Mia melonjak dalam harapan, melihat bahwa bantuan akhirnya datang di saat-saat yang paling ia butuhkan.“Max…,” desah Mia, ia tak pernah merasa selega ini seumur hidupnya.“K-kamu?” Mata Nathan membesar melihat sosok Max, mantan kekasih Mia yang selama ini ia curigai masih berhubungan dengan Mia di balik punggungnya. Nathan menoleh pada Mia dengan wajah merah padam, tanpa mengendurkan cekalannya di lengan Mia sedikit pun. Matanya menyala dengan kemarahan. “Oh, bagus… jadi ternyata inilah dirimu yang sejati, Mia?” gumamnya, mendekatkan wajahnya kepada Mia hingga napasnya yang panas terasa di wajahnya. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terdenga
Seharusnya Max sudah tidur sejak beberapa jam yang lalu, sebagai atlet ia telah melatih dirinya untuk disiplin mengenai waktu tidur. Namun, pikirannya yang terus menerus memikirkan Mia dan Dokter Joshua, membuatnya gelisah. Akhirnya, ia tadi memutuskan untuk menelepon dokter itu, ingin mengetahui hubungan mereka. Namun karena teleponnya tak diangkat, Max berbicara dengannya lewat aplikasi pesan. Max: [Apa hubunganmu dengan Mia, Dok?]Ia bertanya tanpa basa-basi, terdorong rasa penasarannya yang membumbung tinggi. Jo: [Mia pasienku. Kami sedang menjalani sesi konsultasi sebagai pasien dan dokter, sambil makan malam. Kenapa kamu tanya-tanya? Cemburu?] Dokter Joshua menambahkan emotikon mengedip. Jo: [Dia masih istri orang, Max. Sabarlah sampai dia resmi bercerai dari suaminya.] Ditambah dengan emotikon tertawa.Berita tentang Mia yang akan bercerai dari Nathan menghantam Max seperti gelombang kebahagiaan yang nyaris membuatnya menangis. Matanya berkaca-kaca, dadanya terasa sesak ole
Untuk pertama kalinya—setelah sejak terakhir kali ia memutuskan untuk meninggalkan Max dan memilih menikah dengan Nathan, Mia tak lagi ingin menolak Max dalam hidupnya. Iapun menerima ciuman Max dengan segenap kerinduan yang sama besarnya dengan pria itu.Dalam detik-detik itu, dunia di sekitar Mia seakan-akan berhenti berputar. Max, sosok yang masih menempati ruang terdalam di hatinya, seolah kini dihadirkan kembali dalam kehangatan ciuman mereka yang mendalam. Bibir-bibir mereka saling melumat dengan lembut, Mia dan Max sama-sama merasakan getaran emosi yang bertautan antara cinta yang terluka dan kerinduan yang tak terungkapkan.Sekarang, dalam senyuman yang terbentuk di antara desir kerinduannya yang terpendam selama tujuh tahun ini, Max akhirnya mendapatkan Mia lagi di dalam pelukannya, merasakan ciuman mereka yang kembali terjalin dengan kelembutan yang tak tertandingi. Mia mengangkat wajahnya, membiarkan pandangan mereka saling bertemu dalam keintiman yang tak terucapkan namun
Vena memandang jari manisnya, di mana cincin pernikahan sirinya dengan Nathan melingkar cantik. Matanya menyorot sendu, mengingat lagi momen pernikahan dadakan yang ia lakukan bersama Nathan di depan penghulu. Ya. Nathan Romeo Wijaya akhirnya menikahinya. Nathan adalah suaminya sekarang dan ia adalah istri Nathan. Tetapi, pria itu sama sekali tak pernah memperlakukan dirinya layaknya istri. Nathan memang kerap membawanya pergi ke pesta-pesta besar semacam gala dinner perusahaan, tetapi Vena tetap diperlakukan oleh Nathan sebagai asisten pribadi. Tak ada yang tahu bahwa dia adalah istri kedua Nathan. Bahkan Winda, sekretaris Nathan, mendapatkan perlakuan yang lebih istimewa darinya. Vena sering melihat Nathan berbicara dengan Winda dengan lebih akrab dan hangat, sesuatu yang sangat diidamkannya. Senyum dan perhatian yang diberikan Nathan kepada Winda membuat hatinya teriris. Setiap kali melihat kedekatan itu, rasa cemburu dan kesepian semakin menyiksa dirinya.“Kamu milikku, aku tak
“Kuingatkan padamu! Jangan-pernah-menyentuh-milik-Mia-lagi,” desis Nathan penuh ancaman di telinga Vena. “Mengerti?” bisiknya dengan nada yang menakutkan dan penuh ancaman.Nathan telah lama menyadari apa yang diam-diam dilakukan Vena di kamar ini. Dia mengamati dan menilai wanita ini, mengetahui betapa dia ingin menguasai apa yang menjadi milik Mia. Dia juga tahu betapa seringnya Vena berusaha menindas Mia di belakangnya.Selama ini, Nathan diam, bukan karena dia tak ingin menolong Mia. Dia ingin tahu sejauh mana dan bagaimana Mia bisa melindungi dirinya sendiri dan juga melindungi apa yang menjadi miliknya—suaminya. Nathan diam-diam merasa puas setiap kali Mia marah dan kesal melihat Vena berusaha menarik perhatiannya. Setiap kali wajah Mia memerah karena marah, setiap kali bibirnya mengerucut karena kesal, Nathan merasakan kenikmatan tersendiri. Ada sesuatu yang memuaskan setiap melihat wanita yang dicintainya itu bereaksi dengan begitu intens terhadap upaya Vena.Nathan menikmati
Mia berdiri dalam kekaguman saat tiba di apartemen Dokter Joshua. Terletak di salah satu gedung eksklusif pusat kota Jakarta, apartemen ini menawarkan pemandangan malam yang memukau dari cakrawala yang berkilauan. Begitu memasuki apartemen, Mia disambut oleh ruang tamu yang luas dengan langit-langit tinggi dan dinding kaca yang memberikan kesan terbuka dan lapang.Lantai marmer putih yang mengkilap dihiasi dengan karpet Persia mewah, menciptakan perpaduan sempurna antara kemewahan dan kenyamanan. Perabotan modern namun elegan tersebar di sekitar ruangan: sofa besar yang nyaman, meja kopi dari kayu mahoni, dan kursi berlengan yang mengundang.Lukisan-lukisan kontemporer menghiasi dinding, menambah keindahan seni, sementara lampu kristal yang menggantung dari langit-langit memberikan cahaya hangat dan menenangkan. Di salah satu sudut, terdapat rak buku besar yang dipenuhi dengan berbagai buku dan majalah, menunjukkan selera intelektual pemiliknya.Dapur terbuka yang dilengkapi dengan pe