“Mia, orang yang obsesif itu biasanya sangat manipulatif. Aku tak ingin kamu berakhir seperti ibuku, yang berpikir bahwa suatu hari nanti suaminya pasti berubah, sehingga ia pilih bertahan dengannya.” Ada senyum getir di sudut bibir sang dokter saat mengatakannya.“Tapi Mia…, tak semudah itu mengubah perilaku obsesif seseorang. Ibuku akhirnya tewas di tangan ayahku, dia dipukuli sampai mati oleh pria yang katanya sangat mencintainya itu.”Dokter Joshua menunduk dan mengusap wajahnya, berusaha mengendalikan getaran-getaran emosional yang merayapi perasaannya setiap kali membuka kisah kelam itu."Aku turut prihatin, Dok. Itu pasti sangat menyakitkan bagimu.” Mia menjulurkan tangannya, meraih tangan Dokter Joshua, berusaha menyampaikan rasa ikut berduka dan menunjukkan empatinya. Dokter Joshua mengangguk pelan, berterima kasih atas kepedulian Mia. Lalu ia kembali melanjutkan. "Mia, Nathan seperti ayahku. Cintanya padamu berubah menjadi obsesi yang bisa mengancam keselamatan jiwamu."Mia
Cahaya lampu lembut dari lentera di atas meja masih menciptakan atmosfer hangat di sekeliling mereka saat Mia dan Dokter Joshua bersiap-siap untuk kembali pulang.“Terima kasih, Bapak dan Ibu, sampai jumpa kembali,” kata seorang pelayan saat mereka melangkah keluar dari ruang privat. Bersamaan dengan itu, pintu ruang makan privat di depan mereka juga terbuka, dan Mia tersentak begitu melihat sosok wajah yang teramat ia kenali. “Mia…?” Nyonya Ambar, ibu mertuanya, memandang tajam ke arahnya, mata itu berkilat curiga kepadanya. Wajahnya yang biasanya dihiasi senyum ramah kini terlihat kaku dan dingin. Setiap kerutan di wajah Nyonya Ambar seolah mempertegas kemarahan yang sedang ia rasakan. Lalu, pandangannya beralih pada Dokter Joshua. Matanya menyipit, seperti sedang menganalisa pria yang berdiri di sebelah Mia. Setiap detail dari penampilan Dokter Joshua, mulai dari pakaian kasualnya yang rapi hingga sikap tenangnya, tidak luput dari pengamatan tajam Nyonya Ambar.Tuan Sapta Wijay
“Mas Nathan… apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Mia dengan suara yang bergetar, mencoba tetap tenang meskipun hatinya penuh kecemasan.Nathan melangkah mendekat, tatapannya tidak pernah lepas dari wajah Mia. “Kamu pikir apa lagi? Tentu saja karena aku merindukanmu, Mia. Aku…,” Nathan menggigit bibirnya dan menggeleng pelan, “tidak bisa tanpamu,” ucapnya dengan suara pelan namun terdengar jelas oleh Mia.Mata Nathan yang biasanya penuh kemarahan kini tampak lebih lembut, memancarkan keinginan untuk mendamaikan hubungan mereka. “Mia, aku lelah dengan semua ini. Tak bisakah kita berdamai saja dan memperbaiki segalanya agar semua kembali pada tempatnya seperti semula?” ucapnya sambil melangkah maju, namun Mia melangkah mundur setiap kali Nathan memajukan langkahnya.Setiap kata yang keluar dari mulut Nathan terdengar begitu meyakinkan. Wajahnya menunjukkan penyesalan mendalam, seolah-olah ia benar-benar ingin mengubah segalanya menjadi lebih baik. Bibirnya yang bergetar dan mata yang
“Lepaskan dia…!” Suara itu begitu keras dan menggema di lobi hotel, memecah ketegangan yang menggantung di udara. Semua mata tertuju pada sumber suara tersebut, termasuk Nathan yang terhenti sejenak, tampak kaget oleh interupsi yang tak terduga ini.Mia menoleh dengan cepat, matanya yang berair bertemu dengan sosok pria yang familiar. Hati Mia melonjak dalam harapan, melihat bahwa bantuan akhirnya datang di saat-saat yang paling ia butuhkan.“Max…,” desah Mia, ia tak pernah merasa selega ini seumur hidupnya.“K-kamu?” Mata Nathan membesar melihat sosok Max, mantan kekasih Mia yang selama ini ia curigai masih berhubungan dengan Mia di balik punggungnya. Nathan menoleh pada Mia dengan wajah merah padam, tanpa mengendurkan cekalannya di lengan Mia sedikit pun. Matanya menyala dengan kemarahan. “Oh, bagus… jadi ternyata inilah dirimu yang sejati, Mia?” gumamnya, mendekatkan wajahnya kepada Mia hingga napasnya yang panas terasa di wajahnya. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terdenga
Seharusnya Max sudah tidur sejak beberapa jam yang lalu, sebagai atlet ia telah melatih dirinya untuk disiplin mengenai waktu tidur. Namun, pikirannya yang terus menerus memikirkan Mia dan Dokter Joshua, membuatnya gelisah. Akhirnya, ia tadi memutuskan untuk menelepon dokter itu, ingin mengetahui hubungan mereka. Namun karena teleponnya tak diangkat, Max berbicara dengannya lewat aplikasi pesan. Max: [Apa hubunganmu dengan Mia, Dok?]Ia bertanya tanpa basa-basi, terdorong rasa penasarannya yang membumbung tinggi. Jo: [Mia pasienku. Kami sedang menjalani sesi konsultasi sebagai pasien dan dokter, sambil makan malam. Kenapa kamu tanya-tanya? Cemburu?] Dokter Joshua menambahkan emotikon mengedip. Jo: [Dia masih istri orang, Max. Sabarlah sampai dia resmi bercerai dari suaminya.] Ditambah dengan emotikon tertawa.Berita tentang Mia yang akan bercerai dari Nathan menghantam Max seperti gelombang kebahagiaan yang nyaris membuatnya menangis. Matanya berkaca-kaca, dadanya terasa sesak ole
Untuk pertama kalinya—setelah sejak terakhir kali ia memutuskan untuk meninggalkan Max dan memilih menikah dengan Nathan, Mia tak lagi ingin menolak Max dalam hidupnya. Iapun menerima ciuman Max dengan segenap kerinduan yang sama besarnya dengan pria itu.Dalam detik-detik itu, dunia di sekitar Mia seakan-akan berhenti berputar. Max, sosok yang masih menempati ruang terdalam di hatinya, seolah kini dihadirkan kembali dalam kehangatan ciuman mereka yang mendalam. Bibir-bibir mereka saling melumat dengan lembut, Mia dan Max sama-sama merasakan getaran emosi yang bertautan antara cinta yang terluka dan kerinduan yang tak terungkapkan.Sekarang, dalam senyuman yang terbentuk di antara desir kerinduannya yang terpendam selama tujuh tahun ini, Max akhirnya mendapatkan Mia lagi di dalam pelukannya, merasakan ciuman mereka yang kembali terjalin dengan kelembutan yang tak tertandingi. Mia mengangkat wajahnya, membiarkan pandangan mereka saling bertemu dalam keintiman yang tak terucapkan namun
Vena memandang jari manisnya, di mana cincin pernikahan sirinya dengan Nathan melingkar cantik. Matanya menyorot sendu, mengingat lagi momen pernikahan dadakan yang ia lakukan bersama Nathan di depan penghulu. Ya. Nathan Romeo Wijaya akhirnya menikahinya. Nathan adalah suaminya sekarang dan ia adalah istri Nathan. Tetapi, pria itu sama sekali tak pernah memperlakukan dirinya layaknya istri. Nathan memang kerap membawanya pergi ke pesta-pesta besar semacam gala dinner perusahaan, tetapi Vena tetap diperlakukan oleh Nathan sebagai asisten pribadi. Tak ada yang tahu bahwa dia adalah istri kedua Nathan. Bahkan Winda, sekretaris Nathan, mendapatkan perlakuan yang lebih istimewa darinya. Vena sering melihat Nathan berbicara dengan Winda dengan lebih akrab dan hangat, sesuatu yang sangat diidamkannya. Senyum dan perhatian yang diberikan Nathan kepada Winda membuat hatinya teriris. Setiap kali melihat kedekatan itu, rasa cemburu dan kesepian semakin menyiksa dirinya.“Kamu milikku, aku tak
“Kuingatkan padamu! Jangan-pernah-menyentuh-milik-Mia-lagi,” desis Nathan penuh ancaman di telinga Vena. “Mengerti?” bisiknya dengan nada yang menakutkan dan penuh ancaman.Nathan telah lama menyadari apa yang diam-diam dilakukan Vena di kamar ini. Dia mengamati dan menilai wanita ini, mengetahui betapa dia ingin menguasai apa yang menjadi milik Mia. Dia juga tahu betapa seringnya Vena berusaha menindas Mia di belakangnya.Selama ini, Nathan diam, bukan karena dia tak ingin menolong Mia. Dia ingin tahu sejauh mana dan bagaimana Mia bisa melindungi dirinya sendiri dan juga melindungi apa yang menjadi miliknya—suaminya. Nathan diam-diam merasa puas setiap kali Mia marah dan kesal melihat Vena berusaha menarik perhatiannya. Setiap kali wajah Mia memerah karena marah, setiap kali bibirnya mengerucut karena kesal, Nathan merasakan kenikmatan tersendiri. Ada sesuatu yang memuaskan setiap melihat wanita yang dicintainya itu bereaksi dengan begitu intens terhadap upaya Vena.Nathan menikmati
Di lobi gedung rumah sakit elit di jantung kota Jakarta, sebuah sedan Rolls Royce hitam berhenti dengan anggun, memancarkan aura kemewahan yang nyata di antara deretan mobil mewah lainnya yang sedang memasuki halaman rumah sakit tersebut.Pintu mobil sedan mewah itu terbuka, menampilkan seorang pria tampan berwajah oriental yang melangkah keluar dengan aura kecerdasan dan percaya diri. Berbalut sepatu kulit hitam mengkilap, kaki pria itu menapak lantai lobi dengan ketegasan seorang pemimpin sejati. Setelan jas hitam yang dikenakannya begitu pas membingkai tubuhnya yang tinggi dan atletis, menambah kesan elegan dan berwibawa yang kini melekat erat pada diri pria berusia 40 tahun itu.“Silakan, Tuan Valen,” sapa asistennya sambil membukakan pintu mobil, memberikan anggukan hormat pada CEO “Bintang Hospital Group” yang baru saja tiba.Aura Dokter Joshua Valen kini begitu berbeda, mencerminkan transformasi yang telah ia lalui dalam beberapa tahun ini. Sejak ditinggalkan oleh Mia, Valen me
Max dan Mia memulai babak baru dalam kehidupan mereka di Lake District, Inggris, sebuah tempat yang menawarkan ketenangan dan keindahan alam yang kontras dengan kehidupan kota yang sibuk. Keputusan mereka untuk menetap di kawasan ini adalah bagian dari keinginan mereka untuk menemukan kedamaian dan kebahagiaan dalam kehidupan baru mereka bersama.Rumah mereka, sebuah cottage yang terletak di tepi danau, dikelilingi oleh hutan hijau dan pegunungan yang menjulang, memberikan latar belakang yang sempurna untuk melanjutkan kehidupan mereka. Setiap pagi, mereka disambut oleh pemandangan matahari terbit yang memukau dan suara lembut angin yang berdesir di antara pepohonan. Ini adalah tempat di mana Mia dan Max dapat menghindar dari hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari dan benar-benar fokus pada kebersamaan mereka.Max, sebagai pemain sepak bola profesional, berhasil menjalani karier yang cemerlang di Inggris bersama Lakeside City, klub sepak bola yang kini terdaftar dalam EPL (English Premi
Di sebuah rumah sakit, Valen duduk di ruang tunggu keluarga pasien, menantikan Mia yang sedang menjalani operasi darurat dan harus dikuret karena mengalami keguguran. Valen masih mengenakan kemejanya yang bersimbah darah—darah Mia. Asistennya mencoba membujuknya untuk mengganti pakaian. Namun, Valen menggelengkan kepala, menolak tawaran itu. Gelengan itu membuat asistennya mundur, memberikan ruang bagi Valen yang masih terlihat kalut dan terpukul oleh peristiwa tragis yang menimpa Mia.Di depannya, Max yang juga sedang tegang menantikan Mia, ia mengamati semua gerak-gerik Dokter Joshua yang semakin jelas di matanya. “Kamu jatuh cinta pada Mia kan, Dok?”Tanpa ragu, Valen mengangguk. “Aku jatuh cinta padanya sejak pertama kali kami bertemu, di ruang IGD itu. Kupikir saat itu aku hanya merasa iba kepadanya, tapi ternyata tidak… itu bukan hanya rasa iba ataupun sekadar simpati. Aku selalu ingin bersamanya sejak saat itu. Ingin melindunginya, ingin memastikan bahwa dia selalu baik-baik
Gavin menginjak gas mobilnya lebih dalam, melesat keluar dari basement dengan kecepatan yang mencerminkan kepanikan dalam dirinya. Jantungnya berpacu, diliputi oleh ketakutan dan penyesalan yang menghantui setiap pikiran.“Maafkan aku, Valen. Maafkan aku…!” suaranya nyaris tak terdengar, tercekik oleh emosi yang bergolak. Bibirnya gemetar, dan air mata mulai membanjiri pandangannya.Tangis Gavin pecah, mengalir deras seperti sungai yang tak terbendung. Hatinya terasa remuk, diremas oleh kepedihan yang tak tertahankan saat bayangan Valen melintas di benaknya. Bagaimana kondisi pria yang dicintainya itu sekarang?Pikiran itu mencabik-cabik ketenangannya. Ketakutan menyeruak, menggerogoti setiap sudut batinnya. Bagaimana jika Valen… mati? Atau lebih buruk, bagaimana jika Valen cacat permanen akibat keputusan impulsif yang baru saja ia buat?“Tidak…! Tidak!” Gavin memukul-mukul setir mobil dengan frustrasi.Penyesalannya datang terlambat, menghempaskan Gavin ke dalam jurang keputusasaan.
Di dalam basement, area parkir sebuah apartemen, tatapan Gavin tak lepas dari mobil yang terletak beberapa meter di depannya. Mobil itu seolah menjadi simbol dari seseorang yang diam-diam telah menjadi pusat dunianya—Dokter Joshua Valen. Hati Gavin bergejolak dengan perasaan yang tak pernah ia ungkapkan kepada siapa pun, kecuali kepada pemilik mobil itu sendiri.Joshua Valen, sang dokter yang tampan dan baik hati, adalah sosok yang telah membuat Gavin merasakan ketenangan yang tak pernah ia dapati dari orang lain. Setiap kali berada di dekat Valen, Gavin merasa damai, seolah semua beban hidupnya menghilang dalam sekejap. Kekaguman Gavin terhadap Valen melampaui batas-batas yang wajar, melebihi rasa kagum seorang pasien biasa kepada dokternya. Gavin telah jatuh cinta—perasaan yang ia tahu salah, namun tak bisa ia kendalikan.Gavin masih mengingat dengan jelas hari ketika ia akhirnya memberanikan diri mengungkapkan perasaannya kepada Valen. Detik-detik itu penuh ketegangan baginya, n
“Michella, kamu sekarang bisa mencairkan nilai pokok investasi milik Mia, lakukan segera.” Nathan menyampaikan instruksi itu lewat telepon. Michella terkejut mendengar permintaan Nathan. Padahal sebelumnya, Nathan kerap memberinya ancaman yang mengerikan bila ia sampai memberikan bantuan keuangan pada Mia, apalagi sampai mengembalikan nilai pokok investasi yang sudah sering diminta oleh Mia.Namun, tanpa banyak tanya lagi—khawatir Nathan berubah pikiran, Michella segera mentransfer uang itu pada Mia. Membuat Mia menangis lega saat ia menyampaikan kabar baik itu.“Maaf, aku baru bisa mengembalikan uang investasimu sekarang, Mia.” Michella berkata dengan hati yang diliputi rasa bersalah.“Tidak apa-apa, Michella…, yang penting sekarang bisnismu sudah stabil, kan?” ucap Mia begitu tulus.Michella diam-diam merasa bersalah dalam hatinya karena sebenarnya bisnisnya baik-baik saja selama ini. Tetapi ia tak berkutik dan tunduk pada perintah Nathan karena ancaman-ancamannya terhadap bisnis M
“Bisa-bisanya kamu menciptakan kiamat untuk kariermu sendiri, Max!” Brama mengomel dengan nada yang semakin meninggi saat menemuinya di hotel usai pertandingan malam itu, nadanya penuh dengan kekhawatiran. Dia membayangkan dampak dari tindakan Max yang sembrono ini—reputasi yang hancur, skandal yang meledak, efek domino yang bisa berakibat fatal bagi kariernya. Brama sangat memahami bagaimana dunia olahraga bisa kejam; satu langkah salah bisa menghancurkan segalanya dalam sekejap.Brama menatap Max sambil geleng-geleng kepala, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan gelisah. Kepalanya yang botak berkilau di bawah cahaya lampu. Sementara itu, Max duduk dengan tenang di hadapannya, menyandarkan punggung ke kursi dengan senyum tipis yang tampak santai. Matanya memancarkan keteguhan yang sulit digoyahkan, seolah semua kata-kata Brama hanya angin lalu.Senyuman Max mencerminkan keyakinan dan ketidakpeduliannya terhadap apa kata dunia atas tindakannya. “Mia sudah bercerai dari Nathan, itu
Jeritan cinta yang begitu menggema dari Max seolah merobek kebisingan di stadion, menimbulkan kekagetan di pikiran begitu banyak orang, khususnya Mia. Dia tak pernah membayangkan bahwa Max akan melakukan sesuatu yang begitu nekat, begitu terbuka, di depan puluhan ribu pasang mata.Mia membeku, tubuhnya kaku seperti patung di tengah lautan manusia yang seakan tidak berhenti bergejolak dengan sorak sorai dan tepukan tangan. Dalam diri Mia, perasaan malu, terkejut, dan kebingungan bergulat satu sama lain, membuat tubuhnya gemetar. Jantungnya berdetak cepat, seolah tak bisa mengimbangi kekacauan yang terjadi di dalam pikirannya. Dia tidak terbiasa menjadi pusat perhatian seperti ini.Tatapan Mia yang biasanya lembut kini terpaku lurus ke depan, mencoba menghindari pandangan orang-orang yang kini tertuju padanya. Setiap mata di stadion ini seolah sedang memperhatikannya, menilai, dan mungkin bahkan menghakiminya. Tangannya yang dingin berusaha mencari pegangan, dan tanpa sadar, ia mengge
Max bersama para pemain lainnya berjalan menuju tepi lapangan, wajahnya berseri-seri dengan senyum hangat menghiasi bibirnya. Tangannya terangkat, melambai ke arah suporter yang memenuhi tribun, seolah ia ingin menyapa setiap orang yang telah memberikan dukungan penuh selama pertandingan. Setiap langkah yang ia ambil terasa penuh dengan kebanggaan, mencerminkan kemenangan yang baru saja mereka raih.Sesampainya di tepi lapangan, Max sedikit membungkukkan badannya sebagai penghormatan tulus kepada para suporter. “Terima kasih!” teriaknya kemudian, sambil kembali melambaikan tangannya.Aksinya diikuti oleh rekan-rekan timnas yang lain. Seketika sikap rendah hati para pemain itu memicu gelombang tepuk tangan yang riuh dari tribun. Sorak-sorai membahana, mengapresiasi sikap hormat yang ditunjukkan oleh Max dan para pemain timnas.Langkah Max dan timnya terhenti tepat di depan tribun Selatan. Di sana, lautan suporter dengan kostum hitam—warna khas Ultras Garuda, mendominasi pemandangan. N