Vena memandang jari manisnya, di mana cincin pernikahan sirinya dengan Nathan melingkar cantik. Matanya menyorot sendu, mengingat lagi momen pernikahan dadakan yang ia lakukan bersama Nathan di depan penghulu. Ya. Nathan Romeo Wijaya akhirnya menikahinya. Nathan adalah suaminya sekarang dan ia adalah istri Nathan. Tetapi, pria itu sama sekali tak pernah memperlakukan dirinya layaknya istri. Nathan memang kerap membawanya pergi ke pesta-pesta besar semacam gala dinner perusahaan, tetapi Vena tetap diperlakukan oleh Nathan sebagai asisten pribadi. Tak ada yang tahu bahwa dia adalah istri kedua Nathan. Bahkan Winda, sekretaris Nathan, mendapatkan perlakuan yang lebih istimewa darinya. Vena sering melihat Nathan berbicara dengan Winda dengan lebih akrab dan hangat, sesuatu yang sangat diidamkannya. Senyum dan perhatian yang diberikan Nathan kepada Winda membuat hatinya teriris. Setiap kali melihat kedekatan itu, rasa cemburu dan kesepian semakin menyiksa dirinya.“Kamu milikku, aku tak
“Kuingatkan padamu! Jangan-pernah-menyentuh-milik-Mia-lagi,” desis Nathan penuh ancaman di telinga Vena. “Mengerti?” bisiknya dengan nada yang menakutkan dan penuh ancaman.Nathan telah lama menyadari apa yang diam-diam dilakukan Vena di kamar ini. Dia mengamati dan menilai wanita ini, mengetahui betapa dia ingin menguasai apa yang menjadi milik Mia. Dia juga tahu betapa seringnya Vena berusaha menindas Mia di belakangnya.Selama ini, Nathan diam, bukan karena dia tak ingin menolong Mia. Dia ingin tahu sejauh mana dan bagaimana Mia bisa melindungi dirinya sendiri dan juga melindungi apa yang menjadi miliknya—suaminya. Nathan diam-diam merasa puas setiap kali Mia marah dan kesal melihat Vena berusaha menarik perhatiannya. Setiap kali wajah Mia memerah karena marah, setiap kali bibirnya mengerucut karena kesal, Nathan merasakan kenikmatan tersendiri. Ada sesuatu yang memuaskan setiap melihat wanita yang dicintainya itu bereaksi dengan begitu intens terhadap upaya Vena.Nathan menikmati
Mia berdiri dalam kekaguman saat tiba di apartemen Dokter Joshua. Terletak di salah satu gedung eksklusif pusat kota Jakarta, apartemen ini menawarkan pemandangan malam yang memukau dari cakrawala yang berkilauan. Begitu memasuki apartemen, Mia disambut oleh ruang tamu yang luas dengan langit-langit tinggi dan dinding kaca yang memberikan kesan terbuka dan lapang.Lantai marmer putih yang mengkilap dihiasi dengan karpet Persia mewah, menciptakan perpaduan sempurna antara kemewahan dan kenyamanan. Perabotan modern namun elegan tersebar di sekitar ruangan: sofa besar yang nyaman, meja kopi dari kayu mahoni, dan kursi berlengan yang mengundang.Lukisan-lukisan kontemporer menghiasi dinding, menambah keindahan seni, sementara lampu kristal yang menggantung dari langit-langit memberikan cahaya hangat dan menenangkan. Di salah satu sudut, terdapat rak buku besar yang dipenuhi dengan berbagai buku dan majalah, menunjukkan selera intelektual pemiliknya.Dapur terbuka yang dilengkapi dengan pe
Wajah Dokter Joshua menunjukkan betapa ia benar-benar peduli, tidak hanya sebagai seorang dokter, tetapi juga sebagai seorang teman yang ingin melihat Mia menemukan kebahagiaannya sendiri. Dia menatap Mia, seolah-olah berharap bahwa pertanyaannya akan menjadi kunci untuk membuka jalan bagi Mia untuk menemukan impian yang mungkin telah lama terkubur.Mia menunduk, air matanya mulai menetes. “Impianku yang mana, Dok? Aku tidak punya impian, sejak kecil… hidup dan impianku sudah diatur orangtuaku. Dan saat menjadi istri seseorang, hidupku diatur Mas Nathan.”Dokter Joshua mendekat, mengangkat dagu Mia dengan lembut, memaksanya untuk menatap matanya yang penuh kasih. “Setiap orang pasti punya mimpi, Mia. Termasuk kamu. Hanya karena kamu hidup di bawah tekanan dan kendali orang lain, bukan berarti kamu tak punya impian sama sekali, kan?”Mia menghela napas, menahan air matanya. “Mungkin… mungkin Dokter benar. Tapi sekarang yang terpenting adalah memastikan Rival dan juga Max mendapatkan y
Max, dengan langkah cepat namun tenang, mengikuti arahan para official timnas. Tatapannya lurus ke depan, mengabaikan sorot lampu kilat kamera dan pertanyaan-pertanyaan yang terus dilemparkan ke arahnya. Sedangkan para official terus menjaga barikade hingga Max berhasil mencapai bus timnas.Di dalam bus, rekan-rekan timnas telah menunggu Max dengan sorot cemas. Wajah mereka terlihat lega melihat Max akhirnya berhasil masuk ke dalam bus tanpa keterlambatan yang lebih lama lagi."Antusiasme publik di sini terhadap atlet timnas memang luar biasa," gumam Hugo—pemain timnas yang baru saja dinaturalisasi—dengan suara pelan, mencoba memahami betapa besarnya euforia para penggemar sepak bola di Indonesia terhadap pemain timnas mereka. Saat bermain di liga-liga Eropa, fokus utamanya adalah pada performa di lapangan tanpa harus terlalu dipusingkan dengan sorotan media yang terlalu berlebihan. Namun, di sini, segalanya terasa begitu berbeda. "Kurasa, ini bukan hanya tentang sepak bola. Ini ten
Max menutup telepon dengan senyum yang masih terukir di wajahnya, merasakan kehangatan dari percakapan dengan Mia.Hatinya yang tadinya resah kini terasa lebih ringan, seolah-olah setiap kata yang Mia ucapkan adalah suntikan semangat yang mampu menangkis segala tekanan dan gosip yang menghampirinya. Dia memandang keluar jendela bus yang terus melaju, melihat pemandangan yang berkelebat, tapi pikirannya masih terpusat pada Mia. Senyum tak memudar dari bibirnya sepanjang ingatannya terpatri pada seraut wajah wanita yang dicintainya itu.Selama perjalanan ke tempat latihan, Max merasakan dorongan semangat yang luar biasa. Setiap kali mengingat tawa Mia dan candaan ringan mereka, dia merasa kuat dan seolah siap menghadapi tantangan apapun. Di dalam bus, meskipun ia tahu bahwa rekan-rekannya masih berbisik-bisik tentang gosipnya yang beredar, namun Max memilih untuk fokus pada kenangan percakapannya dengan Mia. Wajahnya yang tadinya tegang kini lebih santai, dengan senyum yang sesekali
Brama Kumbara mondar-mandir gelisah di ruangan kerjanya. Sejak pagi hingga senja menjelang, telepon demi telepon masuk, semua bertanya-tanya tentang rumor yang beredar luas di luar sana: "Apakah Max terlibat cinta dengan wanita yang masih berstatus istri orang?"Pertanyaan itu terasa seperti belati yang menusuk hatinya, menciptakan kegelisahan yang tak terbendung. Setiap panggilan telepon membuatnya semakin cemas, merenungkan kemungkinan skandal besar yang akan meledak jika tidak ditangani dengan cepat dan bijaksana. Dia berjalan mondar-mandir di sekitar ruangan pribadinya, pikirannya melayang-layang di antara strategi yang harus segera dilakukan untuk meredakan situasi ini sebelum semuanya terlambat. Pikirannya dipenuhi bayangan tentang dampak buruk yang mungkin terjadi, bukan hanya pada Max, tetapi juga pada tim dan organisasi bisnisnya yang telah ia bangun dengan susah payah.“Astaga… Max, kamu betul-betul sinting! Kenapa kamu harus terlibat hubungan dengan istri orang? Istrinya
Brama Kumbara sedang membuat laporan bisnis ketika tiba-tiba dering telepon memecah keheningan ruangan. Ia meraih ponselnya dan melihat nama Nyonya Esmee, ibu Max, tertera di layar.Brama segera menjawab panggilan itu. “Halo, Tante Esmee?”Tanpa basa-basi lagi, Nyonya Esmee langsung menyerbunya dengan pertanyaan. “Aku baru saja membaca berita yang tak enak tentang Max. Tapi itu tidak benar, kan? Masa iya Max menyukai istri orang? Aku tidak keberatan dia menjalin hubungan dengan wanita manapun, tetapi istri orang? Tidak, aku tidak akan pernah setuju. Bram, tolong jelaskan sesuatu padaku, apa yang sebenarnya terjadi?” suaranya terdengar khawatir di seberang sana.Brama menghela napas panjang, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menenangkan hati ibu Max. “Tante, ini cuma gosip yang beredar di media. Kita semua tahu, Max selalu menjaga sikapnya, dia bukan tipe orang yang akan melakukan hal seperti itu.”Nyonya Esmee menghela napas panjang. “Bram, kamu adalah orang terdekatnya di In