“Mia, kamu baik-baik saja?” Dokter Joshua bertanya untuk kesekian kalinya setelah mereka berada di dalam mobil. Suaranya penuh perhatian, alisnya sedikit berkerut karena khawatir melihat wajah Mia yang tegang.Mia menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. “Saya sedikit cemas, Dok. Cara Max yang berubah posesif, ingin tahu urusan saya dan bertanya dengan nada mendesak… tiba-tiba mengingatkan saya pada Mas Nathan,” aku Mia dengan jujur. Dia mempercayai Dokter Joshua, merasa nyaman untuk mengungkapkan perasaannya yang paling dalam.“Sejak kecil, Mas Nathan selalu memperlakukan saya seperti itu. Saya pikir itu hanyalah bentuk kepeduliannya sebagai seorang kakak, dan sebagai suami yang perhatian setelah kami menikah,” lanjut Mia, suaranya sedikit gemetar. “Tapi lama-lama… sikap posesifnya itu semakin over dan mencekik kebebasan saya sebagai individu,” desahnya, kepalanya bersandar pada jok mobil yang empuk.Dokter Joshua diam, mendengarkan dengan saksama. Dia tahu ini bukan saatnya membe
“Kenapa berhenti, Dok?” tanya Mia dengan raut bingung saat Dokter Joshua tiba-tiba menepikan mobilnya.“Puaskan dirimu menangis, Mia. Tak perlu kamu tahan-tahan,” jawab Dokter Joshua sambil menoleh dan tatapan penuh pengertian. “Kita sebenarnya sudah sampai di restoran yang kita tuju, itu di depan, tapi… lebih baik kamu puas-puaskan menangis saja dulu, karena saat di sana nanti aku ingin melihatmu tersenyum saat menyantap makananmu,” lanjut si dokter dengan nada ringan.Tapi Mia malah tertawa lirih dan menghapus air matanya dengan tisu. “Oh, sudah hampir sampai ya. Sepertinya saya perlu memperbaiki riasan saya sebentar,” jawabnya sambil membuka tas dan meminta izin untuk menyalakan lampu di dalam mobil.Dokter Joshua terkekeh pelan. “Memakai riasan atau tidak, kamu terlihat cantik, Mia.”“Bukan masalah cantik atau tidak, Dok. Tapi perlu Dokter ketahui, bahwa wanita menjaga penampilannya itu bukan untuk dilihat cantik oleh lelaki, tapi karena tak mau terlihat lebih buruk dibanding wan
“Mia, orang yang obsesif itu biasanya sangat manipulatif. Aku tak ingin kamu berakhir seperti ibuku, yang berpikir bahwa suatu hari nanti suaminya pasti berubah, sehingga ia pilih bertahan dengannya.” Ada senyum getir di sudut bibir sang dokter saat mengatakannya.“Tapi Mia…, tak semudah itu mengubah perilaku obsesif seseorang. Ibuku akhirnya tewas di tangan ayahku, dia dipukuli sampai mati oleh pria yang katanya sangat mencintainya itu.”Dokter Joshua menunduk dan mengusap wajahnya, berusaha mengendalikan getaran-getaran emosional yang merayapi perasaannya setiap kali membuka kisah kelam itu."Aku turut prihatin, Dok. Itu pasti sangat menyakitkan bagimu.” Mia menjulurkan tangannya, meraih tangan Dokter Joshua, berusaha menyampaikan rasa ikut berduka dan menunjukkan empatinya. Dokter Joshua mengangguk pelan, berterima kasih atas kepedulian Mia. Lalu ia kembali melanjutkan. "Mia, Nathan seperti ayahku. Cintanya padamu berubah menjadi obsesi yang bisa mengancam keselamatan jiwamu."Mia
Cahaya lampu lembut dari lentera di atas meja masih menciptakan atmosfer hangat di sekeliling mereka saat Mia dan Dokter Joshua bersiap-siap untuk kembali pulang.“Terima kasih, Bapak dan Ibu, sampai jumpa kembali,” kata seorang pelayan saat mereka melangkah keluar dari ruang privat. Bersamaan dengan itu, pintu ruang makan privat di depan mereka juga terbuka, dan Mia tersentak begitu melihat sosok wajah yang teramat ia kenali. “Mia…?” Nyonya Ambar, ibu mertuanya, memandang tajam ke arahnya, mata itu berkilat curiga kepadanya. Wajahnya yang biasanya dihiasi senyum ramah kini terlihat kaku dan dingin. Setiap kerutan di wajah Nyonya Ambar seolah mempertegas kemarahan yang sedang ia rasakan. Lalu, pandangannya beralih pada Dokter Joshua. Matanya menyipit, seperti sedang menganalisa pria yang berdiri di sebelah Mia. Setiap detail dari penampilan Dokter Joshua, mulai dari pakaian kasualnya yang rapi hingga sikap tenangnya, tidak luput dari pengamatan tajam Nyonya Ambar.Tuan Sapta Wijay
“Mas Nathan… apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Mia dengan suara yang bergetar, mencoba tetap tenang meskipun hatinya penuh kecemasan.Nathan melangkah mendekat, tatapannya tidak pernah lepas dari wajah Mia. “Kamu pikir apa lagi? Tentu saja karena aku merindukanmu, Mia. Aku…,” Nathan menggigit bibirnya dan menggeleng pelan, “tidak bisa tanpamu,” ucapnya dengan suara pelan namun terdengar jelas oleh Mia.Mata Nathan yang biasanya penuh kemarahan kini tampak lebih lembut, memancarkan keinginan untuk mendamaikan hubungan mereka. “Mia, aku lelah dengan semua ini. Tak bisakah kita berdamai saja dan memperbaiki segalanya agar semua kembali pada tempatnya seperti semula?” ucapnya sambil melangkah maju, namun Mia melangkah mundur setiap kali Nathan memajukan langkahnya.Setiap kata yang keluar dari mulut Nathan terdengar begitu meyakinkan. Wajahnya menunjukkan penyesalan mendalam, seolah-olah ia benar-benar ingin mengubah segalanya menjadi lebih baik. Bibirnya yang bergetar dan mata yang
“Lepaskan dia…!” Suara itu begitu keras dan menggema di lobi hotel, memecah ketegangan yang menggantung di udara. Semua mata tertuju pada sumber suara tersebut, termasuk Nathan yang terhenti sejenak, tampak kaget oleh interupsi yang tak terduga ini.Mia menoleh dengan cepat, matanya yang berair bertemu dengan sosok pria yang familiar. Hati Mia melonjak dalam harapan, melihat bahwa bantuan akhirnya datang di saat-saat yang paling ia butuhkan.“Max…,” desah Mia, ia tak pernah merasa selega ini seumur hidupnya.“K-kamu?” Mata Nathan membesar melihat sosok Max, mantan kekasih Mia yang selama ini ia curigai masih berhubungan dengan Mia di balik punggungnya. Nathan menoleh pada Mia dengan wajah merah padam, tanpa mengendurkan cekalannya di lengan Mia sedikit pun. Matanya menyala dengan kemarahan. “Oh, bagus… jadi ternyata inilah dirimu yang sejati, Mia?” gumamnya, mendekatkan wajahnya kepada Mia hingga napasnya yang panas terasa di wajahnya. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terdenga
Seharusnya Max sudah tidur sejak beberapa jam yang lalu, sebagai atlet ia telah melatih dirinya untuk disiplin mengenai waktu tidur. Namun, pikirannya yang terus menerus memikirkan Mia dan Dokter Joshua, membuatnya gelisah. Akhirnya, ia tadi memutuskan untuk menelepon dokter itu, ingin mengetahui hubungan mereka. Namun karena teleponnya tak diangkat, Max berbicara dengannya lewat aplikasi pesan. Max: [Apa hubunganmu dengan Mia, Dok?]Ia bertanya tanpa basa-basi, terdorong rasa penasarannya yang membumbung tinggi. Jo: [Mia pasienku. Kami sedang menjalani sesi konsultasi sebagai pasien dan dokter, sambil makan malam. Kenapa kamu tanya-tanya? Cemburu?] Dokter Joshua menambahkan emotikon mengedip. Jo: [Dia masih istri orang, Max. Sabarlah sampai dia resmi bercerai dari suaminya.] Ditambah dengan emotikon tertawa.Berita tentang Mia yang akan bercerai dari Nathan menghantam Max seperti gelombang kebahagiaan yang nyaris membuatnya menangis. Matanya berkaca-kaca, dadanya terasa sesak ole
Untuk pertama kalinya—setelah sejak terakhir kali ia memutuskan untuk meninggalkan Max dan memilih menikah dengan Nathan, Mia tak lagi ingin menolak Max dalam hidupnya. Iapun menerima ciuman Max dengan segenap kerinduan yang sama besarnya dengan pria itu.Dalam detik-detik itu, dunia di sekitar Mia seakan-akan berhenti berputar. Max, sosok yang masih menempati ruang terdalam di hatinya, seolah kini dihadirkan kembali dalam kehangatan ciuman mereka yang mendalam. Bibir-bibir mereka saling melumat dengan lembut, Mia dan Max sama-sama merasakan getaran emosi yang bertautan antara cinta yang terluka dan kerinduan yang tak terungkapkan.Sekarang, dalam senyuman yang terbentuk di antara desir kerinduannya yang terpendam selama tujuh tahun ini, Max akhirnya mendapatkan Mia lagi di dalam pelukannya, merasakan ciuman mereka yang kembali terjalin dengan kelembutan yang tak tertandingi. Mia mengangkat wajahnya, membiarkan pandangan mereka saling bertemu dalam keintiman yang tak terucapkan namun