Di lapangan latihan, Max dan rekan-rekannya berlatih dengan santai tapi serius. Lapangan hijau membentang luas di bawah terik matahari yang terasa hangat. Teriakan pelatih yang memberikan instruksi dan sorak-sorai rekan satu tim yang menyemangati satu sama lain mewarnai sesi latihan itu.Max terlihat lebih semangat dan ceria hari itu, sedikit berbeda dari Max yang biasanya. Biasanya, Max berlatih dengan fokus dan ketenangan yang hampir mendekati keseriusan, tapi hari ini ada sesuatu yang berbeda dalam cara dia bergerak. Senyum tidak pernah lepas dari wajahnya, dan langkah kakinya terasa lebih ringan. Bahkan saat berlari mengitari lapangan, ada kegembiraan yang terpancar dari setiap gerakannya.Rekan-rekannya pun menyadari perubahan ini. Mereka saling bertukar pandang, saling memberikan isyarat dan senyuman, mencoba menebak apa yang membuat Max begitu ceria. Argo, salah satu rekan terdekat Max, akhirnya tidak bisa menahan diri lagi. Saat mereka sedang beristirahat di pinggir lapangan,
Sepulangnya dari kantor Michella, Mia langsung menuju kantor yang alamatnya tertera dalam kartu nama yang diberikan oleh Dokter Joshua. Ia turun dari taksi dan mengarahkan pandangannya ke gedung perkantoran yang megah di kawasan bisnis yang ada di Senayan, Jakarta Selatan. Dengan langkah ringan, Mia memasuki lobi gedung yang marmernya berkilau di bawah sinar lampu. Suara langkah kakinya bergema ringan di lobi yang luas dan tenang, seakan mengiringi perjalanan barunya.Ia segera naik lift menuju lantai tiga. Begitu keluar dari lift dan mencari sebentar, Mia akhirnya menemukan pintu kaca kantor "LuxRent Prestige" dengan logo perusahaan yang terpampang elegan. Mia memencet bel. Setelah terdengar bunyi klik, tanda kunci pintu sudah terbuka, iapun segera mendorong pintu kaca dan melangkah masuk ke dalam ruangan yang ternyata lebih kecil dari yang dibayangkannya, namun begitu elegan.Desain interior kantor LuxRent Prestige memancarkan kemewahan dan keanggunan. Didominasi warna putih dan
Sabrina, sang pemilik bisnis, tersenyum hangat saat melihat Mia masuk. “Selamat datang, Mia. Silakan duduk,” ujarnya sambil menunjuk ke sebuah kursi empuk yang terletak di depan meja kerjanya.Mia mengamati sejenak ruangan itu sambil duduk di tempat yang ditunjuk oleh Sabrina. Sebuah lukisan abstrak yang tergantung di dinding belakang meja, menambah sentuhan artistik pada ruangan berukuran empat kali empat meter tersebut. Meja kerja Sabrina dipenuhi dengan beberapa berkas, laptop, dan hiasan meja seperti vas dengan bunga lili putih segar. Setelah berkenalan dan berbasa-basi sebentar, Sabrina memandang layar MacBook miliknya, yang menampilkan CV milik Mia. Sabrina lalu memandang Mia, lebih tepat mengamatinya.Wanita bernama Mia itu duduk dengan tenang di kursi di hadapannya. Penampilannya sederhana, dengan rambut panjang yang dibiarkan terurai dan riasan minimalis yang hanya memperkuat kecantikan alaminya. Dia mengenakan blus putih dan celana panjang cokelat model high-waisted yang
Mia merasa lega dan senang setelah diterima bekerja di LuxRent Prestige. Meskipun gaji UMR yang mungkin sekitar lima juta rupiah terasa sangat rendah baginya, yang terbiasa mendapatkan jatah puluhan juta dari Nathan setiap bulan, tapi setidaknya uang ini adalah hasil jerih payahnya sendiri. Uang dari Nathan sudah lenyap, dan Mia bertekad untuk memulai hidup baru.Dia segera menghubungi Dokter Joshua untuk menyampaikan kabar baik itu. "Dokter, saya sudah diterima bekerja," katanya dengan suara gembira."Bagus sekali, Mia. Bagaimana kalau saya mentraktirmu makan malam untuk merayakan kabar baik ini?" jawab Dokter Joshua dengan nada hangat.Mia tertawa kecil. "Loh, kok kebalik? Bukannya harusnya saya yang traktir dokter ya?""Nanti saja kamu traktir saya kalau sudah ada uangnya," balas Dokter Joshua sambil tertawa. "Sekarang biar saya yang mentraktirmu.""Anda pengertian sekali, Dok. Maaf saya merepotkan.""Saya juga pernah ada di posisimu, Mia. Saya tahu rasanya. Terima saja uluran tang
Mia keluar dari lift dengan langkah tergesa menuju lobi, di mana Dokter Joshua tadi bilang di telepon, bahwa dia sudah sampai dan menunggunya di sana. Tiba di lobi, Mia berpapasan dengan rombongan atlet timnas yang rupanya baru berdatangan. Matanya otomatis mencari-cari sosok Max yang mungkin ada di antara mereka, sampai kemudian dia mendengar namanya dipanggil oleh seseorang dengan cukup keras, “Mia!”Mia menoleh dan melihat sosok pria dengan ketampanan khas oriental yang sedang mengangkat tangan. Mia tersenyum setelah mengenalinya, itu adalah Dokter Joshua. Ia segera balas mengangkat tangan, tanda bahwa dia juga sudah melihat si dokter.Dokter Joshua menghentikan percakapannya dengan dua atlet timnas di hadapannya dan segera menghampiri Mia. Saat itulah jantung Mia berdegup kencang—bukan karena ketampanan Dokter Joshua, melainkan karena menyadari bahwa atlet yang sedang berbicara dengan si dokter tadi adalah Max.Mereka, Mia dan Max, saling memandang dari kejauhan, mata mereka terh
“Mia, kamu baik-baik saja?” Dokter Joshua bertanya untuk kesekian kalinya setelah mereka berada di dalam mobil. Suaranya penuh perhatian, alisnya sedikit berkerut karena khawatir melihat wajah Mia yang tegang.Mia menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. “Saya sedikit cemas, Dok. Cara Max yang berubah posesif, ingin tahu urusan saya dan bertanya dengan nada mendesak… tiba-tiba mengingatkan saya pada Mas Nathan,” aku Mia dengan jujur. Dia mempercayai Dokter Joshua, merasa nyaman untuk mengungkapkan perasaannya yang paling dalam.“Sejak kecil, Mas Nathan selalu memperlakukan saya seperti itu. Saya pikir itu hanyalah bentuk kepeduliannya sebagai seorang kakak, dan sebagai suami yang perhatian setelah kami menikah,” lanjut Mia, suaranya sedikit gemetar. “Tapi lama-lama… sikap posesifnya itu semakin over dan mencekik kebebasan saya sebagai individu,” desahnya, kepalanya bersandar pada jok mobil yang empuk.Dokter Joshua diam, mendengarkan dengan saksama. Dia tahu ini bukan saatnya membe
“Kenapa berhenti, Dok?” tanya Mia dengan raut bingung saat Dokter Joshua tiba-tiba menepikan mobilnya.“Puaskan dirimu menangis, Mia. Tak perlu kamu tahan-tahan,” jawab Dokter Joshua sambil menoleh dan tatapan penuh pengertian. “Kita sebenarnya sudah sampai di restoran yang kita tuju, itu di depan, tapi… lebih baik kamu puas-puaskan menangis saja dulu, karena saat di sana nanti aku ingin melihatmu tersenyum saat menyantap makananmu,” lanjut si dokter dengan nada ringan.Tapi Mia malah tertawa lirih dan menghapus air matanya dengan tisu. “Oh, sudah hampir sampai ya. Sepertinya saya perlu memperbaiki riasan saya sebentar,” jawabnya sambil membuka tas dan meminta izin untuk menyalakan lampu di dalam mobil.Dokter Joshua terkekeh pelan. “Memakai riasan atau tidak, kamu terlihat cantik, Mia.”“Bukan masalah cantik atau tidak, Dok. Tapi perlu Dokter ketahui, bahwa wanita menjaga penampilannya itu bukan untuk dilihat cantik oleh lelaki, tapi karena tak mau terlihat lebih buruk dibanding wan
“Mia, orang yang obsesif itu biasanya sangat manipulatif. Aku tak ingin kamu berakhir seperti ibuku, yang berpikir bahwa suatu hari nanti suaminya pasti berubah, sehingga ia pilih bertahan dengannya.” Ada senyum getir di sudut bibir sang dokter saat mengatakannya.“Tapi Mia…, tak semudah itu mengubah perilaku obsesif seseorang. Ibuku akhirnya tewas di tangan ayahku, dia dipukuli sampai mati oleh pria yang katanya sangat mencintainya itu.”Dokter Joshua menunduk dan mengusap wajahnya, berusaha mengendalikan getaran-getaran emosional yang merayapi perasaannya setiap kali membuka kisah kelam itu."Aku turut prihatin, Dok. Itu pasti sangat menyakitkan bagimu.” Mia menjulurkan tangannya, meraih tangan Dokter Joshua, berusaha menyampaikan rasa ikut berduka dan menunjukkan empatinya. Dokter Joshua mengangguk pelan, berterima kasih atas kepedulian Mia. Lalu ia kembali melanjutkan. "Mia, Nathan seperti ayahku. Cintanya padamu berubah menjadi obsesi yang bisa mengancam keselamatan jiwamu."Mia