Studio sudah siap untuk proses syuting iklan jamu. Lampu-lampu besar menyala, menerangi set yang telah disiapkan dengan cermat, didesain menyerupai ruang tamu modern. Max telah siap dengan pakaian kasual sehari-hari. Wajah tampannya yang sudah dipoles dengan make-up ringan membuatnya terlihat segar dan menawan. Para kru iklan bergegas di sekitar set, memastikan setiap detail berada di tempatnya.“Baik, Max. Kita mulai dengan beberapa foto di sini. Cobalah untuk terlihat santai dan alami, oke?” kata fotografer sambil mengarahkan Max ke posisi yang telah ditentukan.“Oke.” Max mengangguk dengan senyum menawan. Ia berdiri, memandang ke arah kamera dengan ekspresi rileks.“Bagus sekali. Angkat botolnya... ya, seperti itu. Sempurna. Tahan sebentar,” kata fotografer, bunyi jepretan kamera terdengar berulang kali."Wah, tampangnya memang tidak ada matinya. Dari sudut mana saja tetap keren," sahut asisten fotografer kagum.“Memang, kita beruntung sekali punya Max, meskipun cuma diberi sediki
Dessy tertawa melihat mata Max memerah dan berair karena tak tahan pedas usai menyantap beberapa sendok nasi padang yang ia bawakan. "Dessy, astaga… ini pedas sekali!" Dessy dengan cepat mengambilkan sebotol air dingin untuknya. "Ini, minum dulu." Ia tampak begitu perhatian."Terima kasih, Dessy. Padahal enak sekali rasanya, tapi lidahku kalah dengan rasa pedasnya."Dessy tertawa, “Padahal kau sudah hampir delapan tahun menjadi WNI, Max! Tapi lidahmu masih sok bule saja?” godanya sambil memotret Max yang sedang meneguk air dingin dengan kamera ponselnya. Di mata Dessy, pemandangan ini sangat lucu. Max yang gagah di lapangan, kini dibuat menangis oleh nasi padang. “Kenikmatan nasi padang memang tiada tara ya, sampai-sampai membuat seorang Max Julian menangis,” godanya sambil menunjukkan hasil foto itu kepada Max.Max terkekeh pelan melihat ekspresinya sendiri di foto itu.“Kupikir hanya gol bunuh diri yang bisa membuatmu menangis, Max!” ledek Dessy sambil menjulurkan lidahnya. “Ah,
Malam itu, setelah mandi dan bersantai di kamarnya, Max mencari tahu lebih lanjut melalui media sosial, tentang rumor yang ia dengar dari para penggemarnya tadi. “Aku penasaran ada apa sebenarnya,” gumamnya.Biasanya, kesibukan membuatnya jarang melihat-lihat media sosial. Max bukan jenis orang yang selalu update di media sosial dan biasanya hanya membukanya bila merasa perlu saja.Max menerapkan kebiasaan untuk libur bermain media sosial terutama menjelang pertandingan hingga ketika musim pertandingan benar-benar telah selesai, karena ia tidak ingin komentar para netizen mempengaruhi pikiran dan merusak konsentrasinya di lapangan. Namun kali ini, Max sudah dalam kondisi santai sehingga dia merasa tidak apa-apa berselancar di media sosial.Saat membuka Instagram, Max langsung disambut dengan banyak notifikasi. Rasa penasarannya memuncak. Ia mulai melihat-lihat dan terkejut melihat kenyataan yang ada. Rupanya rumor tentang dirinya dengan Dessy sedang ramai diperbincangkan. Foto-foto
"Maaf, Pak Nathan, kami tidak bisa memberi izin Bapak masuk. Ini atas permintaan pasien sendiri, beliau tidak ingin ditemui oleh Bapak.”Kilat kemarahan seketika menyambar-nyambar di mata Nathan. Matanya menghunus tajam pada si satpam yang berdiri tenang di hadapannya. "Kamu tidak tahu siapa saya?" Ia melangkah maju, wajahnya merah padam. Satpam itu seorang pria dengan postur tegap, ia tetap berdiri kokoh di tempatnya. "Maaf, Pak. Saya hanya menjalankan tugas,” ucapnya sambil mengangguk sopan.Ia tidak tahu bahwa Nathan adalah pemilik saham di rumah sakit tempatnya bekerja. Namun, ia tahu bahwa pastinya Nathan bukanlah orang biasa. Tak ada orang biasa-biasa saja yang keluarganya dirawat di ruang VIP di rumah sakit dengan kualitas pelayanan premium ini.Rahang Nathan tampak mengeras, tangannya mengepal. "Saya suaminya! Pasien yang akan saya temui ini adalah istri saya sendiri. Saya berhak menemui istri saya kapan pun saya mau!" Namun satpam itu tetap tak bergeming, tetap menghalangi j
Dokter Setiawan menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri dari guncangan emosional yang dialaminya. Dia tahu, sebagai seorang profesional, dia harus tetap objektif dan bijaksana dalam menghadapi situasi ini. Namun, sulit baginya untuk mengabaikan ikatan emosional yang ada antara dirinya dengan keluarga Wijaya, terutama dengan Nathan yang sudah dianggapnya seperti anak sendiri.Dengan hati yang berat, Dokter Setiawan memutuskan untuk menghadapi kenyataan ini dengan kepala dingin. Dia harus mencari tahu yang sebenarnya, memahami apa yang telah terjadi, dan membantu menyelesaikan masalah ini dengan cara yang paling bijaksana, meskipun hatinya hancur mengetahui sisi gelap dari seseorang yang ia anggap telah dikenalnya dengan begitu baik.“Nath,” panggil dokter Setiawan dengan sorot prihatin. Dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam diri Nathan. Meskipun dia tahu bahwa dalam setiap detik yang berjalan bisa membawa potensi perubahan dalam hidup seseorang, namun Dokter Setia
Nathan menatap bangunan mewah kantor hukum “Victor Sitompul & Associates” dengan perasaan cemas dan juga tegang. Sebagai anggota keluarga Wijaya yang sering memegang kendali dalam banyak hal, dia tidak terbiasa berada di posisi sebagai penerima tuntutan. Sial. Mia telah memilih pengacara ternama untuk mengurus perceraian mereka. Victor Sitompul adalah figur yang sudah terkenal di bidang hukum, khususnya dalam menangani kasus-kasus perceraian yang kompleks di kalangan selebriti dan orang-orang kaya. Nathan tahu betul reputasi dan keberhasilan yang sering melekat pada nama Victor Sitompul. Sekarang, dia malah harus berhadapan dengannya. Saat Nathan melangkahkan kakinya masuk ke dalam lobby yang elegan, suasana ruangan terasa tenang namun terasa berat. Meja resepsionis yang terbuat dari kaca, berkilau oleh pantulan lampu, di atasnya terpajang nama besar "Victor Sitompul & Associates". Setelah beberapa saat menunggu, seorang sekretaris mendekatinya dengan senyuman profesional. "Selama
"Jika bukan karena kebijaksanaan dan belas kasih Ibu Mia, sekarang Anda mungkin sudah berurusan dengan polisi, Pak Nathan" tambah Victor, tatapannya masih tajam dan tidak kenal ampun. Nathan merasa frustrasi dan ketidaknyamanan yang mendalam karena sikap sinis dan menantang dari Victor. Namun, dia tahu bahwa dia tidak berada dalam posisi untuk membantah. Victor melanjutkan dengan nada yang lebih dingin, matanya menatap langsung ke dalam mata Nathan, seolah mencoba menelanjangi jiwa pria itu."Jangan salah sangka, Pak Nathan. Klien kami tidak melakukan ini demi Anda. Dia melakukannya demi putranya, Rival. Klien kami tidak ingin putranya tumbuh dalam bayang-bayang skandal yang bisa membebaninya secara psikologis kelak.”Nathan merasakan hatinya semakin berat dengan setiap kata yang keluar dari mulut Victor. Ia tahu bahwa meskipun Mia berusaha menjaga reputasinya, hal itu bukan karena dia masih mencintainya, melainkan demi melindungi apa yang tersisa dari kehidupan mereka yang hancur."
Mia terbangun di kamar hotel dengan kepala berdenyut dan tubuh terasa berat. Entah berapa lama ia tertidur, merasakan dampak dari kesedihan semalaman karena berkali-kali gagal menghubungi ibunya, padahal dia ingin sekali bicara dengan Rival. Kerinduan pada Rival membuatnya terbaring tak berdaya dalam kelelahan yang panjang.Dia mengelus perutnya yang keroncongan, meringis ketika menyadari betapa laparnya ia. Dia terlalu banyak tidur dan belum sempat makan. Proses perceraiannya yang rumit dengan Nathan, telah menyita banyak waktu dan perhatiannya.Dengan langkah lemah, Mia menyeret dirinya ke kamar mandi, berharap air dingin bisa menyegarkan pikiran dan tubuhnya. Setelah mandi, dia memilih pakaian yang modis tapi sopan, dia akan bertemu dengan dokter Joshua hari ini. Dokter itu bilang punya kenalan yang mungkin bisa menerima Mia bekerja.Mia bersyukur, dalam kesulitannya ternyata Tuhan menyertainya dengan kemudahan. Tanpa diduga, dia mendapatkan banyak bantuan lewat Dokter Joshua. Si d