Nathan duduk di dalam ruang kerjanya. Cahaya lampu mejanya yang redup memberikan kesan tenang namun serius di ruangan itu. Nathan tampak sangat fokus, matanya menyusuri setiap baris laporan yang masuk dengan teliti. Dia membaca ulang setiap kontrak dengan seksama, memastikan tak ada detail yang terlewatkan.Sesekali, dia menyesap kopi hitam yang sudah mulai dingin, namun tetap memaksanya tetap terjaga. Suara detak jam dinding terdengar samar, menandakan waktu yang terus berlalu. Namun, Nathan tampak tak terpengaruh. Pandangannya tetap tertuju pada layar laptop dan tumpukan dokumen di hadapannya.Seiring berjalannya malam, kelelahan mulai menghampiri. Matanya terasa berat, namun dia terus memaksa dirinya untuk tetap fokus. Setiap laporan harus diperiksa, setiap angka harus akurat. Tangannya terus bergerak, menandatangani beberapa dokumen, mencoret beberapa catatan, membuat koreksi di sana-sini.Jam menunjukkan pukul dua pagi, dan kantuk mulai tak tertahankan. Nathan menggeliatkan tubuh
Vena memutar tubuhnya sedikit, melihat bagaimana gaunnya mengikuti setiap gerakan dengan lembut. Dia merasa bangga dan percaya diri, siap menghadapi malam dengan penuh pesona.Vena tersenyum puas melihat bayangannya di lemari kaca ruang tengah. Setiap detail dari penampilannya begitu sempurna, mencerminkan citra dirinya yang anggun dan berkelas. Gaun mewah karya desainer ternama membalut tubuhnya dengan sempurna, menonjolkan lekuk tubuhnya dengan elegan. Gaun itu berwarna merah marun, dengan aksen payet berkilauan yang memantulkan cahaya setiap kali ia bergerak. Setiap langkahnya membuat payet-payet itu berkilau, menambah kesan glamor yang tak terbantahkan. Bahannya yang lembut dan jatuh membuatnya tampak seperti seorang ratu di malam itu, seorang wanita yang tahu betul bagaimana memanfaatkan pesonanya.Di sampingnya, Nathan sudah siap dengan tuxedo hitam yang pas membalut tubuh atletisnya. Tuxedo itu dirancang dengan sempurna, menonjolkan postur tegap dan maskulinnya. Kemeja putih y
Sepanjang jalan, Mia memeluk Alyra erat-erat. Badan anak ini menggigil, padahal Mia sudah memberinya obat. Mia berusaha tenang, meskipun pikirannya kalut. “Pak, tolong sedikit lebih cepat,” perintahnya pada si sopir.Dalam perjalanan itu, Max kembali menelepon untuk menanyakan kondisi Alyra, dan meski percakapan mereka singkat, suara Max cukup memberikan ketenangan pada Mia.“Mia, bagaimana kondisinya sekarang?”“Demamnya masih tinggi, Max. Aku sudah hampir sampai di rumah sakit.”“Oke, tetap tenang. Aku juga sebentar lagi sampai.”Mobil Mia terus melaju dengan kecepatan yang aman namun cepat. Sesampainya di lobi rumah sakit, Mia segera membawa Alyra keluar dengan hati-hati. Max rupanya sudah tiba lebih dulu dan menunggunya. Begitu melihat Mia muncul menggendong Alyra, dia segera berlari mendekat. “Mia, serahkan padaku,” katanya dengan suara penuh keyakinan.Max menggendong Alyra dengan hati-hati, namun gerakannya sigap dan cepat. Tubuh atletisnya, hasil dari latihan fisik yang intens
‘Max mencintainya. Perasaan mantan kekasihnya padanya belum berubah.’Mia mencerna kata-kata Max dalam kediaman panjangnya. Namun, dalam pikirannya, ia bergumul dengan berbagai perasaan dan kenangan yang berputar-putar. “Mas Nathan dulu juga bilang dia sangat mencintaiku. Katanya aku adalah wanita yang sudah begitu lama disukainya, bahkan sebelum aku mengenal Max,” gumamnya dalam hati.“Tetapi, setelah tujuh tahun pernikahan kami, Mas Nathan menjadi sosok yang berbeda. Ada hal-hal yang aku tidak tahu... telah membuatnya berubah 180 derajat. Dia yang semula meratukanku, kini membuatku seperti babu. Dia yang dulu tampak mencintaiku, sekarang membenciku.” Kedua tangan Mia memeluk dirinya sendiri, seolah hanya dirinya sendirilah yang paling bisa melindunginya saat ini.Dalam hati Mia seolah sedang memberinya peringatan keras agar tidak lagi mudah percaya pada kata-kata cinta. Apalagi Max, pria yang cintanya pernah ia khianati. “Bila Mas Nathan yang sedekat itu denganku sejak kecil saja b
Pagi-pagi sekali, diam-diam Nathan memasuki kamar Alyra. Ia memandang Mia yang sedang tertidur pulas sambil memeluk putri kecilnya. Senyum terukir di bibirnya melihat pemandangan yang membuat hatinya diam-diam merasa damai itu. Mia terlihat lebih telaten mengurusi Alyra ketimbang Vena. Dia melihat sendiri bagaimana Mia mengurus putrinya itu. Alyra juga tampak nyaman bersama Mia. Dia jarang rewel seperti sedang saat dalam pengurusan Vena dulu.Dia bahkan terkejut saat baru pulang dari undangan gala dinner semalam, Mia juga ternyata baru pulang dari rumah sakit. Iapun memarahi Mia karena tidak meneleponnya saat Alyra mimisan dan demam tinggi, malah mengurusnya seorang diri.Dia tahu sekali Mia takut melihat darah. Wajah istrinya itu selalu pucat setiap kali melihat Alyra mimisan. Tapi, bagaimana Mia tiba-tiba bisa mengurusnya?“Mia sepertinya lelah setelah semalaman menjaga Alyra yang sedang demam,” gumamnya seraya duduk di tepi ranjang, meletakkan tangannya di atas kening Alyra yang
Vena bangun tidur dengan perasaan jengkel, mengerutkan kening ketika menyadari bahwa lagi-lagi Nathan tidak ada di sisinya. Kekesalannya menggelayut di benaknya saat ia bangkit dari ranjang. Dengan langkah berat, ia menuju kamar mandi, membasahi diri di bawah pancuran air hangat yang mengalir deras.Setelah mandi, Vena berganti pakaian dengan malas, memilih gaun satin yang membuatnya tampak anggun meski dalam suasana hati yang buruk. Ia duduk di depan meja rias yang penuh dengan produk kecantikan. "Ah, hari ini jadwalku memasak ya? Duh, padahal lagi malas banget ke dapur. Kenapa nggak Mia aja sih yang masak?" keluhnya sambil menatap cermin, melihat bayangannya sendiri dengan rasa tidak puas.“Biasanya aku aman dari tuntutan pekerjaan rumah tangga karena tugasku hanya mengurus Alyra. Aku jadi bebas rebahan sambil nonton film di kamar Alyra seharian,” keluhnya sambil mengoleskan pelembab di wajahnya. “Tapi sekarang, jadwal Mia yang mengurus Alyra.” Vena mendengus pelan. “Pasti dia la
“Sekali lagi kuingatkan, jangan macam-macam denganku, Mia. Jangan pernah berpikir untuk melawanku lagi. Tetaplah patuh dan hormat pada suamimu,” ujar Nathan setelah puas menuntaskan hasratnya. Nada suaranya penuh otoritas, setiap kata yang keluar dari mulutnya seperti belati yang mengiris hati Mia.Nathan berjongkok, memandang Mia yang terdiam dan menangis tanpa suara. Ia mengulurkan tangan, membelai wajah Mia yang sembab dengan kasar. Sentuhannya yang semula lembut terasa mengancam. Dengan ibu jarinya, Nathan mengusap darah dari sudut bibir Mia yang terluka akibat tamparan kerasnya tadi. Bekas tamparan itu terlihat merah dan bengkak, menambah deretan luka yang menggores fisik dan hatinya.“Aku tidak pernah bermaksud mengasarimu, Mia. Tapi kamu sendiri yang memaksaku mengambil sikap tegas seperti ini,” kata Nathan, suaranya seperti racun yang menyusup ke dalam setiap serat keberanian Mia. “Setelah ini, belajarlah lagi untuk lebih menghormati suamimu sendiri.” Dia menyentak dagu Mia
"Tolong, selamatkan istri saya! Suhu tubuhnya sangat dingin." Nathan berseru panik saat mencapai ruang IGD. Perawat yang berjaga bergerak cepat menolong, membawa brankar untuk meletakkan tubuh pasien. Mereka segera membawa Mia ke dalam ruang perawatan intensif. Nathan mengikuti mereka, tetapi seorang perawat menghalangi jalannya. "Pak, mohon tunggu di luar."Nathan terpaku dengan tubuh gemetar dan napas memburu. Matanya tak lepas memandangi pintu ruang perawatan yang tertutup rapat. Dalam hatinya terus-terusan berdoa agar Mia selamat.Di dalam ruang perawatan, para perawat dan dokter bekerja cepat. Mereka memasangkan selimut termal di atas tubuh Mia yang pucat, berusaha menghangatkannya. Dokter segera memasang infus dan monitor untuk memantau tanda-tanda vitalnya."Suhu tubuhnya sangat rendah, kita harus cepat," kata dokter dengan suara tegas.Para perawat dengan cekatan memasangkan alat bantu pernapasan pada Mia, memastikan oksigen masuk ke tubuhnya dengan baik. Mereka juga mempers