Setelah menempuh waktu penerbangan selama hampir 16 jam, akhirnya pesawat mendarat di landasan pacu Bandara Soekarno-Hatta dengan mulus pada pagi itu. Suara gemuruh mesin pesawat perlahan mereda, digantikan oleh bisikan lembut dari para penumpang yang bersiap-siap untuk turun.Max, dengan postur tubuhnya yang tinggi dan atletis, bangkit dari tempat duduknya dan dengan sigap membuka kompartemen kabin di atas tempat duduk mereka. Dengan hati-hati, dia menarik keluar koper milik Mia. Dia menurunkan koper Louis Vuitton itu dengan sangat mudah.“Ini saja barangmu, Mia?” tanyanya, suaranya lembut dan penuh perhatian.Mia, yang sudah berdiri di sampingnya, mengangguk ringan. “Iya, terima kasih, Max.”Mereka melangkah keluar dari lambung pesawat dengan tertib, mengikuti aliran penumpang lain yang bergerak menuju pintu keluar yang langsung terhubung dengan garbarata.Ketika mereka mencapai ujung garbarata, suasana bandara yang ramai menyambut mereka. Orang-orang berlalu-lalang dengan koper-kop
Mia telah sampai di depan rumah megahnya, memandang pintu besar yang tampak angkuh dan dingin. Meski telah mempersiapkan diri dengan matang, hatinya tetap berdebar keras saat dia melangkah masuk. Langkah-langkahnya terasa berat, setiap jejak membawa beban emosional yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Dia terpaksa kembali ke rumah ini setelah berdiskusi dengan Robert. Menurut pengacaranya itu, dia perlu bicara empat mata dengan Nathan. Mia menghargai bagaimana Robert memberikan masukannya sebagai pengacaranya. Mereka kemarin berdiskusi lewat aplikasi pesan saat dia masih berada di Bandara Heathrow London.Robert: [Saya rasa, Pak Nathan keberatan dengan perceraian ini karena beliau ingin mempertahankan rumah tangganya dengan Anda. Saya harap masih terbuka ruang untuk menyelesaikan masalah rumah tangga kalian tanpa perlu bercerai.]Mia: [Saya kira sebagai pengacara, Pak Robert akan membantu saya untuk memuluskan jalan yang sudah saya pilih.] Robert: [Saya akan membantu jika piliha
Dalam tidur lelapnya, Mia seperti terseret ke dalam pusaran waktu yang melemparnya kembali ke masa lalu. Dia melihat Max yang masih begitu muda, begitupun dirinya, di mimpi itu. Mereka berada di sebuah kamar hotel yang berada di tepi pantai. Ini seperti masa di mana berita tentang Max yang akan dinaturalisasi oleh timnas sepakbola Indonesia telah berhembus kencang di berbagai media massa."Aku terbang dari Inggris ke sini hanya untuk menemuimu, Mia. Tak ada hubungannya dengan jadwal latihanku dengan timnas.” Mia mendongak dan tersenyum lebar ketika matanya bertemu tatap dengan sepasang “hunter eyes” milik Max, bentuk mata yang kuat, tajam, dan menonjol dengan alis yang hitam dan tegas.Mia berjinjit saat Max menunduk untuk mencium bibirnya. Tubuh Max yang atletis dengan tinggi 189 cm membuat Mia, yang tingginya hanya 160 cm, merasa seperti kurcaci.“Max, apa kamu serius dengan keputusanmu menjadi WNI demi memperkuat timnas Indonesia?” tanyanya sambil mengalungkan tangannya di leher
Nathan berhenti bergerak, seolah-olah waktu membeku di sekitar mereka. Napasnya yang semula berat karena gairah, kini menjadi terengah-engah oleh rasa sakit yang tiba-tiba menghantam hatinya. Dia menatap wajah Mia yang masih setengah tertidur, desahan nama “Max” yang lembut namun menghancurkan baru saja terucap dari bibirnya. Amarah terasa membara di dalam dirinya. Bagaimana mungkin, di momen yang seharusnya menjadi milik mereka berdua, Mia justru memikirkan pria lain? ‘I love you, Max’, Mia bilang?Rasa sakit dan pengkhianatan mengoyak hatinya, membuat tubuhnya menegang. Ia mengepalkan tangan, berusaha menahan diri untuk tidak meledak."Kenapa, Mia?" gumamnya pelan, nyaris tak terdengar. "Kenapa kamu harus mengingatnya saat kita bersama?" desisnya dengan wajah merah padam.Namun, di balik amarah dan rasa sakit itu, ada sesuatu yang lain: keinginan mendalam dan rindu yang tak tertahankan untuk memiliki Mia. Ia mencintai wanita ini lebih dari apapun, dan tak bisa menerima kenyataan
Mia berpikir, Nathan akan berhenti hanya sampai di situ. Namun, hari itu, Nathan seperti seorang maniak yang tak mengenal kata henti. Selama sisa hari, Nathan terus-menerus menggarap tubuh Mia dengan nafsu yang tak terkendali, menjadikannya sebagai objek pelampiasan birahinya.Setiap kali Mia berusaha menolak atau memohon agar Nathan berhenti, pria itu hanya tertawa sinis, meremehkan rasa sakit dan ketakutannya. “Kamu pikir aku bisa berhenti, Mia? Setelah apa yang kamu lakukan? Meninggalkan aku tanpa pamit selama 2 minggu lebih? Dua minggu lebih, Mia! Kamu berutang banyak padaku!” Nathan mendesis dengan tatapan penuh kemarahan seraya mempercepat gerakan pinggulnya dengan kasar.Mia hanya bisa menangis dan menahan rasa sakit, berharap Nathan akan segera berhenti. Tapi seolah-olah Nathan ingin menagih semua gairahnya yang tertahan selama ini secara kontan, meluapkannya tanpa ampun meskipun dia telah melakukannya berkali-kali.“Kumohon, Mas Nathan… aku sudah tidak kuat lagi,” rintih Mia
"Kamu hanya menginginkan perceraian? Hanya itu yang kamu mau?" desis Nathan, mengulang kata-kata Mia dengan nada penuh cemooh, seakan setiap suku kata adalah belati yang menusuk hati. Wajahnya memperlihatkan seringai menghina saat ia menekankan setiap kata.Mia menatap Nathan dengan pandangan yang semakin tajam, namun kekuatan pandangannya terasa begitu tumpul di hadapan Nathan. Pria itu tidak sedikitpun terintimidasi."Kamu sudah siap berpisah selamanya dengan Rival?" Nathan melanjutkan dengan senyum meledek, suaranya penuh ejekan yang menembus ke hati Mia, seolah mengetahui dengan pasti bahwa hal itu adalah kemustahilan. Baginya, keinginan Mia itu hanyalah bualan.Tawa Nathan semakin keras ketika dia melihat keterkejutan yang tak terduga di mata Mia saat dia menyebut nama Rival."Dengar, Mia. Aku akan memberimu perceraian, tapi dengan syarat: 1). Kamu tidak akan menerima sepeser pun uangku, 2). Kamu setuju hak asuh Rival sepenuhnya jatuh ke tanganku, dan 3). Selamanya kalian tidak b
Di dalam sebuah ruang rapat, Max duduk di seberang meja panjang dari tim eksekutif perusahaan minuman jamu lokal. Di sebelahnya, Brama Kumbara duduk dengan sikap yang tenang namun tajam dalam mengamati setiap detail pembicaraan.Yudha, seorang eksekutif senior perusahaan, duduk di ujung meja. "Max, sebelumnya kami ucapkan selamat atas keberhasilan Lakeside City naik tahta ke Liga Premier Inggris,” ujarnya sambil tersenyum hangat. Max tersenyum, menerima dengan tulus ucapan selamat itu.“Kami sangat senang bisa memiliki kesempatan untuk bekerja sama denganmu dalam proyek iklan ini,” angguk Yudha penuh harapan. “Kami yakin kolaborasi ini akan memberikan dampak positif yang besar bagi brand kami,” lanjutnya dengan pujian.Max mengangguk menghargai, "Terima kasih, Pak Yudha. Saya juga sangat antusias untuk bekerja sama dengan perusahaan yang memiliki visi dan misi kuat seperti yang Anda miliki."Sylvia, manager proyek, menambahkan, "Kami telah membuat beberapa konsep yang kami pikir akan
Di tengah pembicaraannya dengan Pak Yudha, ponsel Nathan berdering. Nathan melirik Max sejenak, lalu tersenyum pada Yudha. “Maaf. Saya ada telepon penting,” ujarnya sambil bersiap menerima telepon. “Iya, Mia?” suaranya lembut ketika menyebut nama itu.Mendengarnya, tiba-tiba saja darah Max berdesir panas. Meskipun ia tahu bahwa Nathan adalah suami dari mantan kekasihnya itu, tapi mendengar nama Mia disebut semesra itu oleh Nathan terasa menggores hatinya.“Aku sedang di luar kantor. Kenapa? Kamu merindukanku?” Nathan tertawa lirih. “Aku juga,” bisiknya mesra. Mendengar percakapan intim itu, rahang Max seketika mengeras, pandangannya berubah dingin. Nathan melirik ke arah Max, senyum licik terbentuk di sudut bibirnya. Dia senang melihat kilatan cemburu yang membara di mata Max. “Bagus, biar kau tahu rasanya,” pikirnya puas. Dia senang berhasil membakar perasaan mantan kekasih istrinya itu.Sementara itu, si bibik yang sedang menelepon majikannya dari rumah mengerutkan kening mendeng
Di lobi gedung rumah sakit elit di jantung kota Jakarta, sebuah sedan Rolls Royce hitam berhenti dengan anggun, memancarkan aura kemewahan yang nyata di antara deretan mobil mewah lainnya yang sedang memasuki halaman rumah sakit tersebut.Pintu mobil sedan mewah itu terbuka, menampilkan seorang pria tampan berwajah oriental yang melangkah keluar dengan aura kecerdasan dan percaya diri. Berbalut sepatu kulit hitam mengkilap, kaki pria itu menapak lantai lobi dengan ketegasan seorang pemimpin sejati. Setelan jas hitam yang dikenakannya begitu pas membingkai tubuhnya yang tinggi dan atletis, menambah kesan elegan dan berwibawa yang kini melekat erat pada diri pria berusia 40 tahun itu.“Silakan, Tuan Valen,” sapa asistennya sambil membukakan pintu mobil, memberikan anggukan hormat pada CEO “Bintang Hospital Group” yang baru saja tiba.Aura Dokter Joshua Valen kini begitu berbeda, mencerminkan transformasi yang telah ia lalui dalam beberapa tahun ini. Sejak ditinggalkan oleh Mia, Valen me
Max dan Mia memulai babak baru dalam kehidupan mereka di Lake District, Inggris, sebuah tempat yang menawarkan ketenangan dan keindahan alam yang kontras dengan kehidupan kota yang sibuk. Keputusan mereka untuk menetap di kawasan ini adalah bagian dari keinginan mereka untuk menemukan kedamaian dan kebahagiaan dalam kehidupan baru mereka bersama.Rumah mereka, sebuah cottage yang terletak di tepi danau, dikelilingi oleh hutan hijau dan pegunungan yang menjulang, memberikan latar belakang yang sempurna untuk melanjutkan kehidupan mereka. Setiap pagi, mereka disambut oleh pemandangan matahari terbit yang memukau dan suara lembut angin yang berdesir di antara pepohonan. Ini adalah tempat di mana Mia dan Max dapat menghindar dari hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari dan benar-benar fokus pada kebersamaan mereka.Max, sebagai pemain sepak bola profesional, berhasil menjalani karier yang cemerlang di Inggris bersama Lakeside City, klub sepak bola yang kini terdaftar dalam EPL (English Premi
Di sebuah rumah sakit, Valen duduk di ruang tunggu keluarga pasien, menantikan Mia yang sedang menjalani operasi darurat dan harus dikuret karena mengalami keguguran. Valen masih mengenakan kemejanya yang bersimbah darah—darah Mia. Asistennya mencoba membujuknya untuk mengganti pakaian. Namun, Valen menggelengkan kepala, menolak tawaran itu. Gelengan itu membuat asistennya mundur, memberikan ruang bagi Valen yang masih terlihat kalut dan terpukul oleh peristiwa tragis yang menimpa Mia.Di depannya, Max yang juga sedang tegang menantikan Mia, ia mengamati semua gerak-gerik Dokter Joshua yang semakin jelas di matanya. “Kamu jatuh cinta pada Mia kan, Dok?”Tanpa ragu, Valen mengangguk. “Aku jatuh cinta padanya sejak pertama kali kami bertemu, di ruang IGD itu. Kupikir saat itu aku hanya merasa iba kepadanya, tapi ternyata tidak… itu bukan hanya rasa iba ataupun sekadar simpati. Aku selalu ingin bersamanya sejak saat itu. Ingin melindunginya, ingin memastikan bahwa dia selalu baik-baik
Gavin menginjak gas mobilnya lebih dalam, melesat keluar dari basement dengan kecepatan yang mencerminkan kepanikan dalam dirinya. Jantungnya berpacu, diliputi oleh ketakutan dan penyesalan yang menghantui setiap pikiran.“Maafkan aku, Valen. Maafkan aku…!” suaranya nyaris tak terdengar, tercekik oleh emosi yang bergolak. Bibirnya gemetar, dan air mata mulai membanjiri pandangannya.Tangis Gavin pecah, mengalir deras seperti sungai yang tak terbendung. Hatinya terasa remuk, diremas oleh kepedihan yang tak tertahankan saat bayangan Valen melintas di benaknya. Bagaimana kondisi pria yang dicintainya itu sekarang?Pikiran itu mencabik-cabik ketenangannya. Ketakutan menyeruak, menggerogoti setiap sudut batinnya. Bagaimana jika Valen… mati? Atau lebih buruk, bagaimana jika Valen cacat permanen akibat keputusan impulsif yang baru saja ia buat?“Tidak…! Tidak!” Gavin memukul-mukul setir mobil dengan frustrasi.Penyesalannya datang terlambat, menghempaskan Gavin ke dalam jurang keputusasaan.
Di dalam basement, area parkir sebuah apartemen, tatapan Gavin tak lepas dari mobil yang terletak beberapa meter di depannya. Mobil itu seolah menjadi simbol dari seseorang yang diam-diam telah menjadi pusat dunianya—Dokter Joshua Valen. Hati Gavin bergejolak dengan perasaan yang tak pernah ia ungkapkan kepada siapa pun, kecuali kepada pemilik mobil itu sendiri.Joshua Valen, sang dokter yang tampan dan baik hati, adalah sosok yang telah membuat Gavin merasakan ketenangan yang tak pernah ia dapati dari orang lain. Setiap kali berada di dekat Valen, Gavin merasa damai, seolah semua beban hidupnya menghilang dalam sekejap. Kekaguman Gavin terhadap Valen melampaui batas-batas yang wajar, melebihi rasa kagum seorang pasien biasa kepada dokternya. Gavin telah jatuh cinta—perasaan yang ia tahu salah, namun tak bisa ia kendalikan.Gavin masih mengingat dengan jelas hari ketika ia akhirnya memberanikan diri mengungkapkan perasaannya kepada Valen. Detik-detik itu penuh ketegangan baginya, n
“Michella, kamu sekarang bisa mencairkan nilai pokok investasi milik Mia, lakukan segera.” Nathan menyampaikan instruksi itu lewat telepon. Michella terkejut mendengar permintaan Nathan. Padahal sebelumnya, Nathan kerap memberinya ancaman yang mengerikan bila ia sampai memberikan bantuan keuangan pada Mia, apalagi sampai mengembalikan nilai pokok investasi yang sudah sering diminta oleh Mia.Namun, tanpa banyak tanya lagi—khawatir Nathan berubah pikiran, Michella segera mentransfer uang itu pada Mia. Membuat Mia menangis lega saat ia menyampaikan kabar baik itu.“Maaf, aku baru bisa mengembalikan uang investasimu sekarang, Mia.” Michella berkata dengan hati yang diliputi rasa bersalah.“Tidak apa-apa, Michella…, yang penting sekarang bisnismu sudah stabil, kan?” ucap Mia begitu tulus.Michella diam-diam merasa bersalah dalam hatinya karena sebenarnya bisnisnya baik-baik saja selama ini. Tetapi ia tak berkutik dan tunduk pada perintah Nathan karena ancaman-ancamannya terhadap bisnis M
“Bisa-bisanya kamu menciptakan kiamat untuk kariermu sendiri, Max!” Brama mengomel dengan nada yang semakin meninggi saat menemuinya di hotel usai pertandingan malam itu, nadanya penuh dengan kekhawatiran. Dia membayangkan dampak dari tindakan Max yang sembrono ini—reputasi yang hancur, skandal yang meledak, efek domino yang bisa berakibat fatal bagi kariernya. Brama sangat memahami bagaimana dunia olahraga bisa kejam; satu langkah salah bisa menghancurkan segalanya dalam sekejap.Brama menatap Max sambil geleng-geleng kepala, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan gelisah. Kepalanya yang botak berkilau di bawah cahaya lampu. Sementara itu, Max duduk dengan tenang di hadapannya, menyandarkan punggung ke kursi dengan senyum tipis yang tampak santai. Matanya memancarkan keteguhan yang sulit digoyahkan, seolah semua kata-kata Brama hanya angin lalu.Senyuman Max mencerminkan keyakinan dan ketidakpeduliannya terhadap apa kata dunia atas tindakannya. “Mia sudah bercerai dari Nathan, itu
Jeritan cinta yang begitu menggema dari Max seolah merobek kebisingan di stadion, menimbulkan kekagetan di pikiran begitu banyak orang, khususnya Mia. Dia tak pernah membayangkan bahwa Max akan melakukan sesuatu yang begitu nekat, begitu terbuka, di depan puluhan ribu pasang mata.Mia membeku, tubuhnya kaku seperti patung di tengah lautan manusia yang seakan tidak berhenti bergejolak dengan sorak sorai dan tepukan tangan. Dalam diri Mia, perasaan malu, terkejut, dan kebingungan bergulat satu sama lain, membuat tubuhnya gemetar. Jantungnya berdetak cepat, seolah tak bisa mengimbangi kekacauan yang terjadi di dalam pikirannya. Dia tidak terbiasa menjadi pusat perhatian seperti ini.Tatapan Mia yang biasanya lembut kini terpaku lurus ke depan, mencoba menghindari pandangan orang-orang yang kini tertuju padanya. Setiap mata di stadion ini seolah sedang memperhatikannya, menilai, dan mungkin bahkan menghakiminya. Tangannya yang dingin berusaha mencari pegangan, dan tanpa sadar, ia mengge
Max bersama para pemain lainnya berjalan menuju tepi lapangan, wajahnya berseri-seri dengan senyum hangat menghiasi bibirnya. Tangannya terangkat, melambai ke arah suporter yang memenuhi tribun, seolah ia ingin menyapa setiap orang yang telah memberikan dukungan penuh selama pertandingan. Setiap langkah yang ia ambil terasa penuh dengan kebanggaan, mencerminkan kemenangan yang baru saja mereka raih.Sesampainya di tepi lapangan, Max sedikit membungkukkan badannya sebagai penghormatan tulus kepada para suporter. “Terima kasih!” teriaknya kemudian, sambil kembali melambaikan tangannya.Aksinya diikuti oleh rekan-rekan timnas yang lain. Seketika sikap rendah hati para pemain itu memicu gelombang tepuk tangan yang riuh dari tribun. Sorak-sorai membahana, mengapresiasi sikap hormat yang ditunjukkan oleh Max dan para pemain timnas.Langkah Max dan timnya terhenti tepat di depan tribun Selatan. Di sana, lautan suporter dengan kostum hitam—warna khas Ultras Garuda, mendominasi pemandangan. N