Nathan merasa gelisah, sudah hampir seminggu dia menunggu, namun istrinya itu tak kunjung pulang ke rumah. Dia urung bertanya pada tantenya tentang kemungkinan apakah Mia kembali ke Skotlandia. “Iya kalau Mia di sana, kalau tidak? Aku tak mau tante Wina ikut cemas memikirkan masalah kami. Biar saja dia fokus mengurus Rival,” pikirnya.Namun, kegelisahnya kian memuncak, mendorongnya untuk mencari tahu keberadaan Mia tanpa harus terlihat mencolok. Langkah pertamanya adalah mengunjungi teman-teman Mia yang ia kenal.Hari itu, Nathan memutuskan bermain tenis di tempat Mia biasa bermain. Udara segar pagi itu seolah tidak mampu meredakan kegelisahan yang menghantui pikirannya. Dengan raket di tangan, ia memasuki lapangan tenis, ditemani asisten pribadinya. Setelah melakukan pemanasan yang cukup, mereka mulai bermain di satu lapangan yang sudah disewa oleh Jay, asisten pribadi Nathan. Nathan berusaha melepas kepenatan melalui pukulan demi pukulan. Dia memperlihatkan keahliannya yang luar bi
Setelah menonton pertandingan sepakbola di London, Mia memutuskan untuk menjelajahi kota-kota lain yang menawarkan pengalaman unik dan menenangkan. Salah satu kota yang menjadi favoritnya adalah Bath. Terletak jauh dari hiruk pikuk London, Bath menyambutnya dengan udara sejuk dan pemandangan yang memanjakan mata. Jalan-jalan berliku dipenuhi dengan bangunan bersejarah yang megah, dan taman-taman yang rimbun dengan pepohonan hijau memberikan kesan damai dan tenang. Sungai Avon mengalir tenang, menciptakan suasana yang begitu menyejukkan hati Mia.Mia berjalan santai di sepanjang jalan batu yang teratur, menghirup udara segar yang beraroma wangi bunga. Setiap langkah membawanya semakin larut dalam pesona kota ini. Bangunan-bangunan bergaya Georgian berbaris rapi, dengan balkon-balkon yang dipenuhi bunga beraneka warna. Di kejauhan, Pulteney Bridge tampak indah dengan deretan toko-toko yang memikat di sepanjangnya.Karena hanya membawa sedikit baju, Mia memutuskan untuk mengunjungi bu
Nathan duduk di ruang kerjanya, dengan perasaan marah yang membara. Kertas dan gelas bertebaran di lantai, menjadi saksi bisu ledakan emosinya yang baru saja terjadi. Ia meremas rambutnya, menahan diri untuk tidak mengamuk lagi. Terdengar ketukan di pintu. “Masuk!” titah Nathan dengan nada tinggi, masih terbawa emosi.“M-maaf, Tuan…,” ujar si bibik saat memasuki ruangannya, pembantunya itu terlihat takut kepadanya. “Ada tamu mencari Tuan, katanya penting.”“Kamu tidak tanya namanya, asalnya, urusannya apa?” sahut Nathan dengan dingin.“Katanya beliau pengacara, dari firma hukum—” si bibik terdiam, keningnya mengerut, tampak berusaha mengingat-ingat. “M-maaf, saya lupa namanya, Tuan,” katanya sambil menggigit bibir, lalu menunduk ketakutan.Nathan mendengus pelan dan akhirnya mengangguk ringan.Si bibik pamit keluar dan tergesa-gesa menuju dapur. Sesampainya di dapur, dia mengelus-elus dadanya. “Apes… apes, kenapa pula aku yang kalah hompimpah sama kalian sih!” Sejak Nathan mengamuk
Mia menyeret kopernya di dalam Bandara Heathrow, London. Suara gemuruh dari pengumuman keberangkatan dan kedatangan menggema di sekitar, bercampur dengan obrolan dalam berbagai bahasa dari para pelancong yang sedang menunggu penerbangan mereka. Di layar besar yang tergantung di langit-langit, jadwal penerbangan terus berubah, menampilkan destinasi dari berbagai penjuru dunia. Lampu-lampu neon menerangi setiap sudut bandara, menciptakan kontras dengan langit menjelang senja yang lembut di luar. Warna-warna cerah dari toko-toko duty-free dan kafe yang berjajar di sepanjang koridor menambah keriuhan visual di tempat itu.Setelah berada selama dua minggu di Inggris, menikmati kebebasan yang jarang ia rasakan selama tujuh tahun pernikahannya, Mia kini merasa lebih siap untuk menghadapi Nathan. Dia telah memanfaatkan waktu ini untuk refleksi diri, memahami apa yang benar-benar ia inginkan dalam hidupnya.Mia merapatkan sweater rajutnya, merasakan angin sejuk yang berhembus setiap kali pin
Panggilan boarding telah tiba. Para penumpang segera sibuk bersiap. Mia melangkah bersama Max menuju ke dalam lambung pesawat yang akan membawa mereka ke Jakarta. “Kamu tidak mengambil kelas bisnis, Max?” “Apakah itu bisa membuatku lebih cepat sampai ke Jakarta?” Max mengangkat alisnya, lalu terkekeh pelan.Mia telah menemukan nomor kursinya, sementara Max meneruskan langkahnya menuju barisan kursi yang berada di belakang.Seorang ibu tiba-tiba berbicara dengan Mia yang baru saja duduk. "Permisi, bisakah kita bertukar tempat duduk? Saya ingin duduk dekat kedua anak saya. Mereka akan gelisah sepanjang perjalanan bila duduk terpisah dari saya. Tolonglah? Saya sudah minta izin kepada pramugari tentang pertukaran ini. Saya mohon?” katanya dengan nada memelas dan sorot mata minta pengertian.Mia bisa memahami kondisi itu. Iapun setuju dan segera berpindah tempat menuju kursi di deretan belakang, di tempat ibu itu seharusnya duduk. Dan Mia terkejut ketika melihat Max ada di sana, tepat di
Setelah menempuh waktu penerbangan selama hampir 16 jam, akhirnya pesawat mendarat di landasan pacu Bandara Soekarno-Hatta dengan mulus pada pagi itu. Suara gemuruh mesin pesawat perlahan mereda, digantikan oleh bisikan lembut dari para penumpang yang bersiap-siap untuk turun.Max, dengan postur tubuhnya yang tinggi dan atletis, bangkit dari tempat duduknya dan dengan sigap membuka kompartemen kabin di atas tempat duduk mereka. Dengan hati-hati, dia menarik keluar koper milik Mia. Dia menurunkan koper Louis Vuitton itu dengan sangat mudah.“Ini saja barangmu, Mia?” tanyanya, suaranya lembut dan penuh perhatian.Mia, yang sudah berdiri di sampingnya, mengangguk ringan. “Iya, terima kasih, Max.”Mereka melangkah keluar dari lambung pesawat dengan tertib, mengikuti aliran penumpang lain yang bergerak menuju pintu keluar yang langsung terhubung dengan garbarata.Ketika mereka mencapai ujung garbarata, suasana bandara yang ramai menyambut mereka. Orang-orang berlalu-lalang dengan koper-kop
Mia telah sampai di depan rumah megahnya, memandang pintu besar yang tampak angkuh dan dingin. Meski telah mempersiapkan diri dengan matang, hatinya tetap berdebar keras saat dia melangkah masuk. Langkah-langkahnya terasa berat, setiap jejak membawa beban emosional yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Dia terpaksa kembali ke rumah ini setelah berdiskusi dengan Robert. Menurut pengacaranya itu, dia perlu bicara empat mata dengan Nathan. Mia menghargai bagaimana Robert memberikan masukannya sebagai pengacaranya. Mereka kemarin berdiskusi lewat aplikasi pesan saat dia masih berada di Bandara Heathrow London.Robert: [Saya rasa, Pak Nathan keberatan dengan perceraian ini karena beliau ingin mempertahankan rumah tangganya dengan Anda. Saya harap masih terbuka ruang untuk menyelesaikan masalah rumah tangga kalian tanpa perlu bercerai.]Mia: [Saya kira sebagai pengacara, Pak Robert akan membantu saya untuk memuluskan jalan yang sudah saya pilih.] Robert: [Saya akan membantu jika piliha
Dalam tidur lelapnya, Mia seperti terseret ke dalam pusaran waktu yang melemparnya kembali ke masa lalu. Dia melihat Max yang masih begitu muda, begitupun dirinya, di mimpi itu. Mereka berada di sebuah kamar hotel yang berada di tepi pantai. Ini seperti masa di mana berita tentang Max yang akan dinaturalisasi oleh timnas sepakbola Indonesia telah berhembus kencang di berbagai media massa."Aku terbang dari Inggris ke sini hanya untuk menemuimu, Mia. Tak ada hubungannya dengan jadwal latihanku dengan timnas.” Mia mendongak dan tersenyum lebar ketika matanya bertemu tatap dengan sepasang “hunter eyes” milik Max, bentuk mata yang kuat, tajam, dan menonjol dengan alis yang hitam dan tegas.Mia berjinjit saat Max menunduk untuk mencium bibirnya. Tubuh Max yang atletis dengan tinggi 189 cm membuat Mia, yang tingginya hanya 160 cm, merasa seperti kurcaci.“Max, apa kamu serius dengan keputusanmu menjadi WNI demi memperkuat timnas Indonesia?” tanyanya sambil mengalungkan tangannya di leher