Nathan duduk di ruang kerjanya, dengan perasaan marah yang membara. Kertas dan gelas bertebaran di lantai, menjadi saksi bisu ledakan emosinya yang baru saja terjadi. Ia meremas rambutnya, menahan diri untuk tidak mengamuk lagi. Terdengar ketukan di pintu. “Masuk!” titah Nathan dengan nada tinggi, masih terbawa emosi.“M-maaf, Tuan…,” ujar si bibik saat memasuki ruangannya, pembantunya itu terlihat takut kepadanya. “Ada tamu mencari Tuan, katanya penting.”“Kamu tidak tanya namanya, asalnya, urusannya apa?” sahut Nathan dengan dingin.“Katanya beliau pengacara, dari firma hukum—” si bibik terdiam, keningnya mengerut, tampak berusaha mengingat-ingat. “M-maaf, saya lupa namanya, Tuan,” katanya sambil menggigit bibir, lalu menunduk ketakutan.Nathan mendengus pelan dan akhirnya mengangguk ringan.Si bibik pamit keluar dan tergesa-gesa menuju dapur. Sesampainya di dapur, dia mengelus-elus dadanya. “Apes… apes, kenapa pula aku yang kalah hompimpah sama kalian sih!” Sejak Nathan mengamuk
Mia menyeret kopernya di dalam Bandara Heathrow, London. Suara gemuruh dari pengumuman keberangkatan dan kedatangan menggema di sekitar, bercampur dengan obrolan dalam berbagai bahasa dari para pelancong yang sedang menunggu penerbangan mereka. Di layar besar yang tergantung di langit-langit, jadwal penerbangan terus berubah, menampilkan destinasi dari berbagai penjuru dunia. Lampu-lampu neon menerangi setiap sudut bandara, menciptakan kontras dengan langit menjelang senja yang lembut di luar. Warna-warna cerah dari toko-toko duty-free dan kafe yang berjajar di sepanjang koridor menambah keriuhan visual di tempat itu.Setelah berada selama dua minggu di Inggris, menikmati kebebasan yang jarang ia rasakan selama tujuh tahun pernikahannya, Mia kini merasa lebih siap untuk menghadapi Nathan. Dia telah memanfaatkan waktu ini untuk refleksi diri, memahami apa yang benar-benar ia inginkan dalam hidupnya.Mia merapatkan sweater rajutnya, merasakan angin sejuk yang berhembus setiap kali pin
Panggilan boarding telah tiba. Para penumpang segera sibuk bersiap. Mia melangkah bersama Max menuju ke dalam lambung pesawat yang akan membawa mereka ke Jakarta. “Kamu tidak mengambil kelas bisnis, Max?” “Apakah itu bisa membuatku lebih cepat sampai ke Jakarta?” Max mengangkat alisnya, lalu terkekeh pelan.Mia telah menemukan nomor kursinya, sementara Max meneruskan langkahnya menuju barisan kursi yang berada di belakang.Seorang ibu tiba-tiba berbicara dengan Mia yang baru saja duduk. "Permisi, bisakah kita bertukar tempat duduk? Saya ingin duduk dekat kedua anak saya. Mereka akan gelisah sepanjang perjalanan bila duduk terpisah dari saya. Tolonglah? Saya sudah minta izin kepada pramugari tentang pertukaran ini. Saya mohon?” katanya dengan nada memelas dan sorot mata minta pengertian.Mia bisa memahami kondisi itu. Iapun setuju dan segera berpindah tempat menuju kursi di deretan belakang, di tempat ibu itu seharusnya duduk. Dan Mia terkejut ketika melihat Max ada di sana, tepat di
Setelah menempuh waktu penerbangan selama hampir 16 jam, akhirnya pesawat mendarat di landasan pacu Bandara Soekarno-Hatta dengan mulus pada pagi itu. Suara gemuruh mesin pesawat perlahan mereda, digantikan oleh bisikan lembut dari para penumpang yang bersiap-siap untuk turun.Max, dengan postur tubuhnya yang tinggi dan atletis, bangkit dari tempat duduknya dan dengan sigap membuka kompartemen kabin di atas tempat duduk mereka. Dengan hati-hati, dia menarik keluar koper milik Mia. Dia menurunkan koper Louis Vuitton itu dengan sangat mudah.“Ini saja barangmu, Mia?” tanyanya, suaranya lembut dan penuh perhatian.Mia, yang sudah berdiri di sampingnya, mengangguk ringan. “Iya, terima kasih, Max.”Mereka melangkah keluar dari lambung pesawat dengan tertib, mengikuti aliran penumpang lain yang bergerak menuju pintu keluar yang langsung terhubung dengan garbarata.Ketika mereka mencapai ujung garbarata, suasana bandara yang ramai menyambut mereka. Orang-orang berlalu-lalang dengan koper-kop
Mia telah sampai di depan rumah megahnya, memandang pintu besar yang tampak angkuh dan dingin. Meski telah mempersiapkan diri dengan matang, hatinya tetap berdebar keras saat dia melangkah masuk. Langkah-langkahnya terasa berat, setiap jejak membawa beban emosional yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Dia terpaksa kembali ke rumah ini setelah berdiskusi dengan Robert. Menurut pengacaranya itu, dia perlu bicara empat mata dengan Nathan. Mia menghargai bagaimana Robert memberikan masukannya sebagai pengacaranya. Mereka kemarin berdiskusi lewat aplikasi pesan saat dia masih berada di Bandara Heathrow London.Robert: [Saya rasa, Pak Nathan keberatan dengan perceraian ini karena beliau ingin mempertahankan rumah tangganya dengan Anda. Saya harap masih terbuka ruang untuk menyelesaikan masalah rumah tangga kalian tanpa perlu bercerai.]Mia: [Saya kira sebagai pengacara, Pak Robert akan membantu saya untuk memuluskan jalan yang sudah saya pilih.] Robert: [Saya akan membantu jika piliha
Dalam tidur lelapnya, Mia seperti terseret ke dalam pusaran waktu yang melemparnya kembali ke masa lalu. Dia melihat Max yang masih begitu muda, begitupun dirinya, di mimpi itu. Mereka berada di sebuah kamar hotel yang berada di tepi pantai. Ini seperti masa di mana berita tentang Max yang akan dinaturalisasi oleh timnas sepakbola Indonesia telah berhembus kencang di berbagai media massa."Aku terbang dari Inggris ke sini hanya untuk menemuimu, Mia. Tak ada hubungannya dengan jadwal latihanku dengan timnas.” Mia mendongak dan tersenyum lebar ketika matanya bertemu tatap dengan sepasang “hunter eyes” milik Max, bentuk mata yang kuat, tajam, dan menonjol dengan alis yang hitam dan tegas.Mia berjinjit saat Max menunduk untuk mencium bibirnya. Tubuh Max yang atletis dengan tinggi 189 cm membuat Mia, yang tingginya hanya 160 cm, merasa seperti kurcaci.“Max, apa kamu serius dengan keputusanmu menjadi WNI demi memperkuat timnas Indonesia?” tanyanya sambil mengalungkan tangannya di leher
Nathan berhenti bergerak, seolah-olah waktu membeku di sekitar mereka. Napasnya yang semula berat karena gairah, kini menjadi terengah-engah oleh rasa sakit yang tiba-tiba menghantam hatinya. Dia menatap wajah Mia yang masih setengah tertidur, desahan nama “Max” yang lembut namun menghancurkan baru saja terucap dari bibirnya. Amarah terasa membara di dalam dirinya. Bagaimana mungkin, di momen yang seharusnya menjadi milik mereka berdua, Mia justru memikirkan pria lain? ‘I love you, Max’, Mia bilang?Rasa sakit dan pengkhianatan mengoyak hatinya, membuat tubuhnya menegang. Ia mengepalkan tangan, berusaha menahan diri untuk tidak meledak."Kenapa, Mia?" gumamnya pelan, nyaris tak terdengar. "Kenapa kamu harus mengingatnya saat kita bersama?" desisnya dengan wajah merah padam.Namun, di balik amarah dan rasa sakit itu, ada sesuatu yang lain: keinginan mendalam dan rindu yang tak tertahankan untuk memiliki Mia. Ia mencintai wanita ini lebih dari apapun, dan tak bisa menerima kenyataan
Mia berpikir, Nathan akan berhenti hanya sampai di situ. Namun, hari itu, Nathan seperti seorang maniak yang tak mengenal kata henti. Selama sisa hari, Nathan terus-menerus menggarap tubuh Mia dengan nafsu yang tak terkendali, menjadikannya sebagai objek pelampiasan birahinya.Setiap kali Mia berusaha menolak atau memohon agar Nathan berhenti, pria itu hanya tertawa sinis, meremehkan rasa sakit dan ketakutannya. “Kamu pikir aku bisa berhenti, Mia? Setelah apa yang kamu lakukan? Meninggalkan aku tanpa pamit selama 2 minggu lebih? Dua minggu lebih, Mia! Kamu berutang banyak padaku!” Nathan mendesis dengan tatapan penuh kemarahan seraya mempercepat gerakan pinggulnya dengan kasar.Mia hanya bisa menangis dan menahan rasa sakit, berharap Nathan akan segera berhenti. Tapi seolah-olah Nathan ingin menagih semua gairahnya yang tertahan selama ini secara kontan, meluapkannya tanpa ampun meskipun dia telah melakukannya berkali-kali.“Kumohon, Mas Nathan… aku sudah tidak kuat lagi,” rintih Mia