"No…, please…! Jangan, Papa…!" Tangis Rival meledak keras. Bocah itu berguling-guling di lantai, tubuhnya bergetar hebat oleh histeria yang mendalam. Bola kesayangannya, yang memiliki dua tanda tangan pemain hebat kebanggaannya, David Beckham dan Max Julian, kini teronggok rusak di depan matanya. Rival terus berguling-guling di lantai, tangisannya semakin histeris. “Max…! Tolong, Max…! Bolaku, Max…!” Suaranya serak dan penuh keputusasaan. Ia memeluk bolanya, seolah dengan begitu, ia bisa mengembalikan keutuhannya yang telah hancur."Max…! Lihat bolaku, Max…! Tolong, Max…!" ratap Rival, suaranya pecah oleh kepedihan. Air matanya mengalir deras, wajahnya memerah oleh tangis yang tak terbendung.Nathan tertegun mendengar nama itu keluar dari mulut putranya. "Max…," pikirnya dengan geram. Nama yang paling ia benci, kini justru dipanggil-dipanggil oleh anaknya sendiri, seolah pria itu adalah pahlawan yang akan datang menyelamatkan.Meskipun di sudut hatinya yang terdalam, melihat Rival
Nathan membuang pandangannya ke luar jendela mobil yang sedang membawanya menuju rumah sakit. Tangisan Rival yang memanggil-manggil nama “Max” sambil memeluk bola yang dihancurkannya tadi, terus terngiang dalam kepalanya, meremas hatinya dengan rasa sakit.Ada sesal yang mengalir dalam dadanya. Demi Tuhan, dia sama sekali tak bermaksud menyakiti Rival, anak yang sudah dianggapnya seperti anak kandung sendiri. Tapi, saat melihat bola yang ditendang Rival tadi melesat dan menghantam tepat di wajah Alyra, membuat emosinya tiba-tiba saja menjadi tak terkendali. Terlebih Alyra menangis keras dan darah seketika menetes-netes dari hidungnya. Ditambah jeritan panik Vena yang melihat putrinya terluka tepat di depan matanya.Kejadian itu berlangsung dengan cepat, bahkan dirinya sendiri tak sadar sudah memukul Rival sambil membentaknya. Dan kemarahannya seolah kian menjadi begitu melihat bola yang menyakiti putrinya tadi bertuliskan nama “Max Julian”, pria yang dibencinya.Nathan memijat kening
Langit di atas stadion tampak muram, seakan mencerminkan suasana hati Max. Suara gemuruh dari para penonton memenuhi udara, membakar semangat para pemain yang sudah bersiap di lapangan.Pertandingan berlangsung sengit sejak peluit pertama ditiup. Max, dengan posturnya yang tinggi-tegap dan wajah tegang, selalu waspada di garis pertahanan. Ia berusaha menjaga tembok lini belakang dari gempuran lawan yang selalu siap menerobos pertahanannya. Setiap gerakan lawan diikuti dengan seksama, setiap potensi ancaman dihadapi dengan tekad baja. Namun, ada sesuatu yang mengganggu fokusnya.Mimpinya tentang Rival semalam terasa mengganggu dan membuatnya tidak bisa tenang seperti biasa. Dalam mimpi itu, Rival memanggil namanya dengan suara serak, seolah memohon sesuatu yang tak bisa diberikan Max. Kegelisahan dari mimpi itu merembes ke dalam pikirannya, membuatnya tiba-tiba goyah di lapangan."Max! Ada apa denganmu!" omel Danny dengan nada kesal saat Max hampir saja melakukan blunder yang fatal, n
Nathan memutuskan meninggalkan rumah sakit dan menyerahkan pengawasan Alyra pada Vena, setelah memastikan bahwa kondisi Alyra tidak segawat yang Vena sampaikan sebelumnya.Setibanya di rumah, dia masuk dengan langkah berat, suasana hening menyambutnya. Biasanya, dia bisa mendengar tawa kecil Rival atau suara lembut Mia yang memanggilnya dari dapur. Namun kali ini tidak ada apa-apa selain keheningan. Rumah yang biasanya terasa hangat dan penuh kehidupan, mendadak terasa dingin.Nathan berjalan menuju kamar utama. Dia membuka pintu dengan perlahan, berharap menemukan Mia di sana. Tetapi kamar itu kosong. Tempat tidur tampak rapi.Dia pikir mungkin Mia sedang membuat kue atau roti di dapur, seperti yang sering dilakukannya saat ingin menenangkan diri. Atau mungkin Mia sedang mengurus taman anggreknya di teras belakang, yang selalu menjadi pelariannya saat ingin menyendiri.Nathan menuju kamar Rival. Dia berharap menemukan anaknya di sana, mungkin saja Rival sedang main playstation atau ti
Nyonya Wina tampak kaget melihat kedatangan putrinya yang tiba-tiba. Lebih kaget lagi setelah melihat Rival, padahal ini bukan musim liburan. Hatinya mendadak merasa tidak enak. Dia berdiri di ambang pintu, menyapu pandangannya ke arah Mia yang terlihat kusut dan lelah.“Apa yang terjadi, Mia?” tanyanya dengan nada tegas, matanya yang tajam mengamati setiap perubahan di wajah putrinya.“Oma!” Rival memotong suasana tegang dengan pelukan hangat, membuat Nyonya Wina tersenyum lebar. Dia membungkuk untuk memeluk cucunya, merasakan kehangatan dan kegembiraan yang tulus dari bocah kecil itu."Rival kangen sama Oma. Katanya Mama juga kangen sama Oma, terus Mama langsung mengajak terbang ke sini," celoteh Rival, suaranya penuh semangat.Rival menganggap perjalanan dadakan dari Indonesia menuju Skotlandia ini sangat menyenangkan, cukup menghibur duka di hati Rival atas rusaknya bola kesayangannya. Dan tentu saja, Rival tetap membawa bola itu bersama mereka. Nyonya Wina mengangguk-angguk, te
Mia menjawab pertanyaan ibunya dengan menggeleng pelan sambil menunduk, tangis merembes di pipinya. Pernikahannya dengan Nathan memang tidak mungkin disetujui oleh keluarga besar Wijaya bila saja Nathan tidak membuat pengakuan menggegerkan itu.Saat itu, Mia tidak tahu apa yang membuat Nathan tiba-tiba melakukan kenekatan itu. Kenangan itu berputar di benaknya, seolah baru terjadi kemarin.Hari itu, Nyonya Wina dan Nyonya Ambar, ibunya Nathan, baru saja memasuki ruangan perawatannya, berniat membesuknya. Wajah keduanya seketika memucat saat secara tidak sengaja mendengar percakapan Mia dengan dokter yang sedang memeriksa kandungannya. “Mia…, k-kamu hamil?” Nyonya Wina tercengang kaget. Nyonya Ambar yang berdiri di sebelahnya dengan sigap memegangi tubuh iparnya yang gemetaran itu. "Siapa yang menghamilimu, Mia? Pria itu harus bertanggung jawab! Dia harus menikahimu sebelum kandunganmu itu semakin membesar!” tuntut Nyonya Wina dengan nada penuh amarah.Mia hanya bisa terdiam, air ma
Mia menghembuskan napas panjang, menatap pemandangan kota Inverness dari jendela kamar. Inverness, dengan segala pesonanya, memancarkan keindahan yang mampu menenangkan jiwa yang gelisah. Kota kecil di dataran tinggi Skotlandia ini penuh dengan pesona alam dan sejarah yang terasa nyata di setiap sudutnya.Di kejauhan, pegunungan yang menjulang tinggi tampak seperti penjaga kota yang setia, melingkupi Inverness dengan keagungan alaminya. Puncak-puncak yang tertutup salju putih berkilauan di bawah sinar matahari, menciptakan pemandangan yang memukau. Sungai Ness yang mengalir tenang melintasi kota menambah kesan damai, dengan airnya yang jernih berkilauan seperti kristal di bawah sinar matahari.Mia mencoba menenangkan diri di tengah keindahan yang kini terasa kontras dengan kekacauan hatinya. Dia ingin merasakan ketenangan di tempat ini, setidaknya dalam situasinya sekarang. Sayangnya, Nyonya Wina hanya memberinya izin tinggal di sini untuk beberapa hari saja.“Padahal aku masih ingi
"Mia jadi berangkat ke Jakarta hari ini, Tante?" tanya Nathan penuh kegelisahan saat menelepon Tante Wina, mencoba mencari tahu keputusan Mia.Saat kepergian Mia pada beberapa hari lalu, ia langsung mengecek paspor dan visa milik Mia dan Rival di brankas dokumen pribadi mereka. Begitu tak menemukannya, dia tahu bahwa Mia sedang menuju rumah ibunya di Skotlandia. Pada detik itu juga ia segera menelepon si tante, memberikan penjelasan tentang situasi rumah tangga mereka saat itu. “Aku memang salah, Tan. Aku tidak sengaja meniduri asisten pribadiku, saat itu aku betul-betul sedang mabuk. Aku tidak sadar kalau itu bukan Mia. Demi Tuhan, aku hanya mencintai Mia,” sumpahnya.Nathan lalu menjelaskan semuanya.“Apa? Kau membawa perempuan itu ke rumahmu, Nath? Kau gila!” omel Tante Wina dengan nada tinggi. Nathan memahami kemarahan Tante Wina dan mendengarkan tanpa interupsi saat tantenya mengomel dan memarahinya.“Tan, aku terpaksa melakukannya. Alyra menderita leukimia, umurnya mungkin tid