Terima kasih sudah vote :)
Di hotel tempat para pemain klub menginap, terdengar dengkuran halus Pablo di ranjang sebelah Max, teman sekamarnya. Rasa lelah sepertinya telah membawa rekannya itu bermimpi hingga ke Pluto. Sedangkan Max, belum juga bisa memejamkan matanya. Max duduk bersandar di ranjangnya, menggenggam sebuah liontin berbentuk hati yang tergantung di rantai tipis. Di dalam liontin itu terdapat foto Max semasa remaja sedang mengangkat trophy, saat timnya memenangkan kejuaraan liga U-16 di Rotterdam.Max ingat bagaimana Mia memberinya liontin ini, pada hari terakhir Mia liburan di Amsterdam sekitar 14 tahun yang lalu. Mereka duduk di sebuah taman yang asri di tepi kanal, dikelilingi bunga-bunga tulip yang bermekaran dan pepohonan hijau yang mulai mengeluarkan daun-daun mudanya. Taman itu dipenuhi dengan suara tawa anak-anak yang bermain dan deru sepeda yang melintasi jalan setapak. Angin musim semi yang sepoi-sepoi meniup lembut rambut Mia yang panjang dan hitam, membuatnya begitu memukau seperti
“Mas Nathan! Kita harus bicara, sekarang!” Nathan yang ketiduran sambil memeluk Alyra, menoleh cepat dan meletakkan telunjuknya di bibir. “Pelankan suaramu, Mia. Alyra sedang tidur,” ujarnya sambil berbisik. Ada kekesalan dalam sorot mata suaminya itu, karena dirinya menerobos masuk tanpa permisi dan langsung berteriak di dalam kamar Alyra selarut malam ini.Mia mendengus sewot. Apalagi dilihatnya Vena juga tidur di ranjang yang sama, di sebelah Alyra. Ranjang besar itu pas sekali menampung mereka bertiga. Kepala Mia rasanya mau meledak! Tubuhnya gemetar menahan amarah. Suaminya semakin betah saja tidur di kamar Alyra. Apa karena— Ah, Mia tak sanggup membayangkan Nathan menghabiskan malamnya bersama Vena!“Cepat balik ke kamar kita, Mas!”Nathan segera turun dari ranjang. “Jangan berisik!” omelnya, menarik Mia keluar dari kamar Alyra.“Mas Nathan, pelan-pelan… tanganku sakit…,” rengek Mia sambil meringis karena Nathan mencengkeram lengannya dengan kencang, seolah Mia bakal kabur k
Sejak pertengkaran itu, Mia dan Nathan sama-sama bersikap dingin. Hanya suara langkah kaki yang terdengar saat mereka berlalu lalang, dan percakapan yang terjalin pun hanya sebatas kebutuhan. Setiap pagi, Mia tetap membuatkan suaminya kopi dan pisang goreng atau makanan pendamping kesukaannya. Tapi Nathan menikmatinya dengan pandangan kosong, kemudian berangkat kerja tanpa mengucapkan selamat tinggal. Mia hanya bisa menatap punggungnya yang menjauh. Saat makan bersama, hanya suara dentingan sendok dan garpu yang memecah keheningan ruangan.Keadaan semakin buruk dengan keberadaan Vena yang pandai memanfaatkan situasi. Dengan kondisi Alyra yang sedang sakit, Vena berhasil menarik perhatian Nathan, membuatnya lebih sering berada di sisi putrinya. Setiap kali Nathan pulang, Vena sudah siap dengan laporan perkembangan kesehatan Alyra, membuat Nathan tak bisa menolak untuk menghabiskan waktu lebih banyak bersama mereka.Sementara itu, Rival turut merasakan dampak pertengkaran kedua orang
"No…, please…! Jangan, Papa…!" Tangis Rival meledak keras. Bocah itu berguling-guling di lantai, tubuhnya bergetar hebat oleh histeria yang mendalam. Bola kesayangannya, yang memiliki dua tanda tangan pemain hebat kebanggaannya, David Beckham dan Max Julian, kini teronggok rusak di depan matanya. Rival terus berguling-guling di lantai, tangisannya semakin histeris. “Max…! Tolong, Max…! Bolaku, Max…!” Suaranya serak dan penuh keputusasaan. Ia memeluk bolanya, seolah dengan begitu, ia bisa mengembalikan keutuhannya yang telah hancur."Max…! Lihat bolaku, Max…! Tolong, Max…!" ratap Rival, suaranya pecah oleh kepedihan. Air matanya mengalir deras, wajahnya memerah oleh tangis yang tak terbendung.Nathan tertegun mendengar nama itu keluar dari mulut putranya. "Max…," pikirnya dengan geram. Nama yang paling ia benci, kini justru dipanggil-dipanggil oleh anaknya sendiri, seolah pria itu adalah pahlawan yang akan datang menyelamatkan.Meskipun di sudut hatinya yang terdalam, melihat Rival
Nathan membuang pandangannya ke luar jendela mobil yang sedang membawanya menuju rumah sakit. Tangisan Rival yang memanggil-manggil nama “Max” sambil memeluk bola yang dihancurkannya tadi, terus terngiang dalam kepalanya, meremas hatinya dengan rasa sakit.Ada sesal yang mengalir dalam dadanya. Demi Tuhan, dia sama sekali tak bermaksud menyakiti Rival, anak yang sudah dianggapnya seperti anak kandung sendiri. Tapi, saat melihat bola yang ditendang Rival tadi melesat dan menghantam tepat di wajah Alyra, membuat emosinya tiba-tiba saja menjadi tak terkendali. Terlebih Alyra menangis keras dan darah seketika menetes-netes dari hidungnya. Ditambah jeritan panik Vena yang melihat putrinya terluka tepat di depan matanya.Kejadian itu berlangsung dengan cepat, bahkan dirinya sendiri tak sadar sudah memukul Rival sambil membentaknya. Dan kemarahannya seolah kian menjadi begitu melihat bola yang menyakiti putrinya tadi bertuliskan nama “Max Julian”, pria yang dibencinya.Nathan memijat kening
Langit di atas stadion tampak muram, seakan mencerminkan suasana hati Max. Suara gemuruh dari para penonton memenuhi udara, membakar semangat para pemain yang sudah bersiap di lapangan.Pertandingan berlangsung sengit sejak peluit pertama ditiup. Max, dengan posturnya yang tinggi-tegap dan wajah tegang, selalu waspada di garis pertahanan. Ia berusaha menjaga tembok lini belakang dari gempuran lawan yang selalu siap menerobos pertahanannya. Setiap gerakan lawan diikuti dengan seksama, setiap potensi ancaman dihadapi dengan tekad baja. Namun, ada sesuatu yang mengganggu fokusnya.Mimpinya tentang Rival semalam terasa mengganggu dan membuatnya tidak bisa tenang seperti biasa. Dalam mimpi itu, Rival memanggil namanya dengan suara serak, seolah memohon sesuatu yang tak bisa diberikan Max. Kegelisahan dari mimpi itu merembes ke dalam pikirannya, membuatnya tiba-tiba goyah di lapangan."Max! Ada apa denganmu!" omel Danny dengan nada kesal saat Max hampir saja melakukan blunder yang fatal, n
Nathan memutuskan meninggalkan rumah sakit dan menyerahkan pengawasan Alyra pada Vena, setelah memastikan bahwa kondisi Alyra tidak segawat yang Vena sampaikan sebelumnya.Setibanya di rumah, dia masuk dengan langkah berat, suasana hening menyambutnya. Biasanya, dia bisa mendengar tawa kecil Rival atau suara lembut Mia yang memanggilnya dari dapur. Namun kali ini tidak ada apa-apa selain keheningan. Rumah yang biasanya terasa hangat dan penuh kehidupan, mendadak terasa dingin.Nathan berjalan menuju kamar utama. Dia membuka pintu dengan perlahan, berharap menemukan Mia di sana. Tetapi kamar itu kosong. Tempat tidur tampak rapi.Dia pikir mungkin Mia sedang membuat kue atau roti di dapur, seperti yang sering dilakukannya saat ingin menenangkan diri. Atau mungkin Mia sedang mengurus taman anggreknya di teras belakang, yang selalu menjadi pelariannya saat ingin menyendiri.Nathan menuju kamar Rival. Dia berharap menemukan anaknya di sana, mungkin saja Rival sedang main playstation atau ti
Nyonya Wina tampak kaget melihat kedatangan putrinya yang tiba-tiba. Lebih kaget lagi setelah melihat Rival, padahal ini bukan musim liburan. Hatinya mendadak merasa tidak enak. Dia berdiri di ambang pintu, menyapu pandangannya ke arah Mia yang terlihat kusut dan lelah.“Apa yang terjadi, Mia?” tanyanya dengan nada tegas, matanya yang tajam mengamati setiap perubahan di wajah putrinya.“Oma!” Rival memotong suasana tegang dengan pelukan hangat, membuat Nyonya Wina tersenyum lebar. Dia membungkuk untuk memeluk cucunya, merasakan kehangatan dan kegembiraan yang tulus dari bocah kecil itu."Rival kangen sama Oma. Katanya Mama juga kangen sama Oma, terus Mama langsung mengajak terbang ke sini," celoteh Rival, suaranya penuh semangat.Rival menganggap perjalanan dadakan dari Indonesia menuju Skotlandia ini sangat menyenangkan, cukup menghibur duka di hati Rival atas rusaknya bola kesayangannya. Dan tentu saja, Rival tetap membawa bola itu bersama mereka. Nyonya Wina mengangguk-angguk, te
Di lobi gedung rumah sakit elit di jantung kota Jakarta, sebuah sedan Rolls Royce hitam berhenti dengan anggun, memancarkan aura kemewahan yang nyata di antara deretan mobil mewah lainnya yang sedang memasuki halaman rumah sakit tersebut.Pintu mobil sedan mewah itu terbuka, menampilkan seorang pria tampan berwajah oriental yang melangkah keluar dengan aura kecerdasan dan percaya diri. Berbalut sepatu kulit hitam mengkilap, kaki pria itu menapak lantai lobi dengan ketegasan seorang pemimpin sejati. Setelan jas hitam yang dikenakannya begitu pas membingkai tubuhnya yang tinggi dan atletis, menambah kesan elegan dan berwibawa yang kini melekat erat pada diri pria berusia 40 tahun itu.“Silakan, Tuan Valen,” sapa asistennya sambil membukakan pintu mobil, memberikan anggukan hormat pada CEO “Bintang Hospital Group” yang baru saja tiba.Aura Dokter Joshua Valen kini begitu berbeda, mencerminkan transformasi yang telah ia lalui dalam beberapa tahun ini. Sejak ditinggalkan oleh Mia, Valen me
Max dan Mia memulai babak baru dalam kehidupan mereka di Lake District, Inggris, sebuah tempat yang menawarkan ketenangan dan keindahan alam yang kontras dengan kehidupan kota yang sibuk. Keputusan mereka untuk menetap di kawasan ini adalah bagian dari keinginan mereka untuk menemukan kedamaian dan kebahagiaan dalam kehidupan baru mereka bersama.Rumah mereka, sebuah cottage yang terletak di tepi danau, dikelilingi oleh hutan hijau dan pegunungan yang menjulang, memberikan latar belakang yang sempurna untuk melanjutkan kehidupan mereka. Setiap pagi, mereka disambut oleh pemandangan matahari terbit yang memukau dan suara lembut angin yang berdesir di antara pepohonan. Ini adalah tempat di mana Mia dan Max dapat menghindar dari hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari dan benar-benar fokus pada kebersamaan mereka.Max, sebagai pemain sepak bola profesional, berhasil menjalani karier yang cemerlang di Inggris bersama Lakeside City, klub sepak bola yang kini terdaftar dalam EPL (English Premi
Di sebuah rumah sakit, Valen duduk di ruang tunggu keluarga pasien, menantikan Mia yang sedang menjalani operasi darurat dan harus dikuret karena mengalami keguguran. Valen masih mengenakan kemejanya yang bersimbah darah—darah Mia. Asistennya mencoba membujuknya untuk mengganti pakaian. Namun, Valen menggelengkan kepala, menolak tawaran itu. Gelengan itu membuat asistennya mundur, memberikan ruang bagi Valen yang masih terlihat kalut dan terpukul oleh peristiwa tragis yang menimpa Mia.Di depannya, Max yang juga sedang tegang menantikan Mia, ia mengamati semua gerak-gerik Dokter Joshua yang semakin jelas di matanya. “Kamu jatuh cinta pada Mia kan, Dok?”Tanpa ragu, Valen mengangguk. “Aku jatuh cinta padanya sejak pertama kali kami bertemu, di ruang IGD itu. Kupikir saat itu aku hanya merasa iba kepadanya, tapi ternyata tidak… itu bukan hanya rasa iba ataupun sekadar simpati. Aku selalu ingin bersamanya sejak saat itu. Ingin melindunginya, ingin memastikan bahwa dia selalu baik-baik
Gavin menginjak gas mobilnya lebih dalam, melesat keluar dari basement dengan kecepatan yang mencerminkan kepanikan dalam dirinya. Jantungnya berpacu, diliputi oleh ketakutan dan penyesalan yang menghantui setiap pikiran.“Maafkan aku, Valen. Maafkan aku…!” suaranya nyaris tak terdengar, tercekik oleh emosi yang bergolak. Bibirnya gemetar, dan air mata mulai membanjiri pandangannya.Tangis Gavin pecah, mengalir deras seperti sungai yang tak terbendung. Hatinya terasa remuk, diremas oleh kepedihan yang tak tertahankan saat bayangan Valen melintas di benaknya. Bagaimana kondisi pria yang dicintainya itu sekarang?Pikiran itu mencabik-cabik ketenangannya. Ketakutan menyeruak, menggerogoti setiap sudut batinnya. Bagaimana jika Valen… mati? Atau lebih buruk, bagaimana jika Valen cacat permanen akibat keputusan impulsif yang baru saja ia buat?“Tidak…! Tidak!” Gavin memukul-mukul setir mobil dengan frustrasi.Penyesalannya datang terlambat, menghempaskan Gavin ke dalam jurang keputusasaan.
Di dalam basement, area parkir sebuah apartemen, tatapan Gavin tak lepas dari mobil yang terletak beberapa meter di depannya. Mobil itu seolah menjadi simbol dari seseorang yang diam-diam telah menjadi pusat dunianya—Dokter Joshua Valen. Hati Gavin bergejolak dengan perasaan yang tak pernah ia ungkapkan kepada siapa pun, kecuali kepada pemilik mobil itu sendiri.Joshua Valen, sang dokter yang tampan dan baik hati, adalah sosok yang telah membuat Gavin merasakan ketenangan yang tak pernah ia dapati dari orang lain. Setiap kali berada di dekat Valen, Gavin merasa damai, seolah semua beban hidupnya menghilang dalam sekejap. Kekaguman Gavin terhadap Valen melampaui batas-batas yang wajar, melebihi rasa kagum seorang pasien biasa kepada dokternya. Gavin telah jatuh cinta—perasaan yang ia tahu salah, namun tak bisa ia kendalikan.Gavin masih mengingat dengan jelas hari ketika ia akhirnya memberanikan diri mengungkapkan perasaannya kepada Valen. Detik-detik itu penuh ketegangan baginya, n
“Michella, kamu sekarang bisa mencairkan nilai pokok investasi milik Mia, lakukan segera.” Nathan menyampaikan instruksi itu lewat telepon. Michella terkejut mendengar permintaan Nathan. Padahal sebelumnya, Nathan kerap memberinya ancaman yang mengerikan bila ia sampai memberikan bantuan keuangan pada Mia, apalagi sampai mengembalikan nilai pokok investasi yang sudah sering diminta oleh Mia.Namun, tanpa banyak tanya lagi—khawatir Nathan berubah pikiran, Michella segera mentransfer uang itu pada Mia. Membuat Mia menangis lega saat ia menyampaikan kabar baik itu.“Maaf, aku baru bisa mengembalikan uang investasimu sekarang, Mia.” Michella berkata dengan hati yang diliputi rasa bersalah.“Tidak apa-apa, Michella…, yang penting sekarang bisnismu sudah stabil, kan?” ucap Mia begitu tulus.Michella diam-diam merasa bersalah dalam hatinya karena sebenarnya bisnisnya baik-baik saja selama ini. Tetapi ia tak berkutik dan tunduk pada perintah Nathan karena ancaman-ancamannya terhadap bisnis M
“Bisa-bisanya kamu menciptakan kiamat untuk kariermu sendiri, Max!” Brama mengomel dengan nada yang semakin meninggi saat menemuinya di hotel usai pertandingan malam itu, nadanya penuh dengan kekhawatiran. Dia membayangkan dampak dari tindakan Max yang sembrono ini—reputasi yang hancur, skandal yang meledak, efek domino yang bisa berakibat fatal bagi kariernya. Brama sangat memahami bagaimana dunia olahraga bisa kejam; satu langkah salah bisa menghancurkan segalanya dalam sekejap.Brama menatap Max sambil geleng-geleng kepala, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan gelisah. Kepalanya yang botak berkilau di bawah cahaya lampu. Sementara itu, Max duduk dengan tenang di hadapannya, menyandarkan punggung ke kursi dengan senyum tipis yang tampak santai. Matanya memancarkan keteguhan yang sulit digoyahkan, seolah semua kata-kata Brama hanya angin lalu.Senyuman Max mencerminkan keyakinan dan ketidakpeduliannya terhadap apa kata dunia atas tindakannya. “Mia sudah bercerai dari Nathan, itu
Jeritan cinta yang begitu menggema dari Max seolah merobek kebisingan di stadion, menimbulkan kekagetan di pikiran begitu banyak orang, khususnya Mia. Dia tak pernah membayangkan bahwa Max akan melakukan sesuatu yang begitu nekat, begitu terbuka, di depan puluhan ribu pasang mata.Mia membeku, tubuhnya kaku seperti patung di tengah lautan manusia yang seakan tidak berhenti bergejolak dengan sorak sorai dan tepukan tangan. Dalam diri Mia, perasaan malu, terkejut, dan kebingungan bergulat satu sama lain, membuat tubuhnya gemetar. Jantungnya berdetak cepat, seolah tak bisa mengimbangi kekacauan yang terjadi di dalam pikirannya. Dia tidak terbiasa menjadi pusat perhatian seperti ini.Tatapan Mia yang biasanya lembut kini terpaku lurus ke depan, mencoba menghindari pandangan orang-orang yang kini tertuju padanya. Setiap mata di stadion ini seolah sedang memperhatikannya, menilai, dan mungkin bahkan menghakiminya. Tangannya yang dingin berusaha mencari pegangan, dan tanpa sadar, ia mengge
Max bersama para pemain lainnya berjalan menuju tepi lapangan, wajahnya berseri-seri dengan senyum hangat menghiasi bibirnya. Tangannya terangkat, melambai ke arah suporter yang memenuhi tribun, seolah ia ingin menyapa setiap orang yang telah memberikan dukungan penuh selama pertandingan. Setiap langkah yang ia ambil terasa penuh dengan kebanggaan, mencerminkan kemenangan yang baru saja mereka raih.Sesampainya di tepi lapangan, Max sedikit membungkukkan badannya sebagai penghormatan tulus kepada para suporter. “Terima kasih!” teriaknya kemudian, sambil kembali melambaikan tangannya.Aksinya diikuti oleh rekan-rekan timnas yang lain. Seketika sikap rendah hati para pemain itu memicu gelombang tepuk tangan yang riuh dari tribun. Sorak-sorai membahana, mengapresiasi sikap hormat yang ditunjukkan oleh Max dan para pemain timnas.Langkah Max dan timnya terhenti tepat di depan tribun Selatan. Di sana, lautan suporter dengan kostum hitam—warna khas Ultras Garuda, mendominasi pemandangan. N