Angin pagi yang sejuk membawa aroma rumput yang baru saja dipotong di sekitar arena latihan. Max berdiri di tengah lapangan, mengenakan seragam latihan berwarna biru gelap dengan nomor 5 yang terlihat jelas di punggungnya. Lebam di sekitar mata kanannya sulit untuk diabaikan. Tatapan teman-temannya mencerminkan rasa khawatir sekaligus penasaran."Hei, Max, itu luka oleh-oleh dari bar ya? Berantem sambil mabuk?” canda Dave, salah satu striker andalan tim mereka. Keluwesannya dalam melemparkan ejekan dengan kata-kata tajam sama seperti kelihaiannya menggocek bola dan menggiringnya ke gawang lawan.“Lain kali ajak-ajak aku, Max! Biar kutunjukkan cara yang efektif untuk balas meninju wajah musuhmu,” sahut Danny, gelandang enerjik yang selalu penuh tawa, sambil melemparkan bola ke arah Max.Max menerima bola dengan mudah, menggiringnya beberapa kali sebelum mengembalikannya dengan tendangan ringan. "Sangat lucu! Kalian tahu aku tidak pernah minum sampai mabuk. Ini hasil dari tabrakan deng
Di hotel tempat para pemain klub menginap, terdengar dengkuran halus Pablo di ranjang sebelah Max, teman sekamarnya. Rasa lelah sepertinya telah membawa rekannya itu bermimpi hingga ke Pluto. Sedangkan Max, belum juga bisa memejamkan matanya. Max duduk bersandar di ranjangnya, menggenggam sebuah liontin berbentuk hati yang tergantung di rantai tipis. Di dalam liontin itu terdapat foto Max semasa remaja sedang mengangkat trophy, saat timnya memenangkan kejuaraan liga U-16 di Rotterdam.Max ingat bagaimana Mia memberinya liontin ini, pada hari terakhir Mia liburan di Amsterdam sekitar 14 tahun yang lalu. Mereka duduk di sebuah taman yang asri di tepi kanal, dikelilingi bunga-bunga tulip yang bermekaran dan pepohonan hijau yang mulai mengeluarkan daun-daun mudanya. Taman itu dipenuhi dengan suara tawa anak-anak yang bermain dan deru sepeda yang melintasi jalan setapak. Angin musim semi yang sepoi-sepoi meniup lembut rambut Mia yang panjang dan hitam, membuatnya begitu memukau seperti
“Mas Nathan! Kita harus bicara, sekarang!” Nathan yang ketiduran sambil memeluk Alyra, menoleh cepat dan meletakkan telunjuknya di bibir. “Pelankan suaramu, Mia. Alyra sedang tidur,” ujarnya sambil berbisik. Ada kekesalan dalam sorot mata suaminya itu, karena dirinya menerobos masuk tanpa permisi dan langsung berteriak di dalam kamar Alyra selarut malam ini.Mia mendengus sewot. Apalagi dilihatnya Vena juga tidur di ranjang yang sama, di sebelah Alyra. Ranjang besar itu pas sekali menampung mereka bertiga. Kepala Mia rasanya mau meledak! Tubuhnya gemetar menahan amarah. Suaminya semakin betah saja tidur di kamar Alyra. Apa karena— Ah, Mia tak sanggup membayangkan Nathan menghabiskan malamnya bersama Vena!“Cepat balik ke kamar kita, Mas!”Nathan segera turun dari ranjang. “Jangan berisik!” omelnya, menarik Mia keluar dari kamar Alyra.“Mas Nathan, pelan-pelan… tanganku sakit…,” rengek Mia sambil meringis karena Nathan mencengkeram lengannya dengan kencang, seolah Mia bakal kabur k
Sejak pertengkaran itu, Mia dan Nathan sama-sama bersikap dingin. Hanya suara langkah kaki yang terdengar saat mereka berlalu lalang, dan percakapan yang terjalin pun hanya sebatas kebutuhan. Setiap pagi, Mia tetap membuatkan suaminya kopi dan pisang goreng atau makanan pendamping kesukaannya. Tapi Nathan menikmatinya dengan pandangan kosong, kemudian berangkat kerja tanpa mengucapkan selamat tinggal. Mia hanya bisa menatap punggungnya yang menjauh. Saat makan bersama, hanya suara dentingan sendok dan garpu yang memecah keheningan ruangan.Keadaan semakin buruk dengan keberadaan Vena yang pandai memanfaatkan situasi. Dengan kondisi Alyra yang sedang sakit, Vena berhasil menarik perhatian Nathan, membuatnya lebih sering berada di sisi putrinya. Setiap kali Nathan pulang, Vena sudah siap dengan laporan perkembangan kesehatan Alyra, membuat Nathan tak bisa menolak untuk menghabiskan waktu lebih banyak bersama mereka.Sementara itu, Rival turut merasakan dampak pertengkaran kedua orang
"No…, please…! Jangan, Papa…!" Tangis Rival meledak keras. Bocah itu berguling-guling di lantai, tubuhnya bergetar hebat oleh histeria yang mendalam. Bola kesayangannya, yang memiliki dua tanda tangan pemain hebat kebanggaannya, David Beckham dan Max Julian, kini teronggok rusak di depan matanya. Rival terus berguling-guling di lantai, tangisannya semakin histeris. “Max…! Tolong, Max…! Bolaku, Max…!” Suaranya serak dan penuh keputusasaan. Ia memeluk bolanya, seolah dengan begitu, ia bisa mengembalikan keutuhannya yang telah hancur."Max…! Lihat bolaku, Max…! Tolong, Max…!" ratap Rival, suaranya pecah oleh kepedihan. Air matanya mengalir deras, wajahnya memerah oleh tangis yang tak terbendung.Nathan tertegun mendengar nama itu keluar dari mulut putranya. "Max…," pikirnya dengan geram. Nama yang paling ia benci, kini justru dipanggil-dipanggil oleh anaknya sendiri, seolah pria itu adalah pahlawan yang akan datang menyelamatkan.Meskipun di sudut hatinya yang terdalam, melihat Rival
Nathan membuang pandangannya ke luar jendela mobil yang sedang membawanya menuju rumah sakit. Tangisan Rival yang memanggil-manggil nama “Max” sambil memeluk bola yang dihancurkannya tadi, terus terngiang dalam kepalanya, meremas hatinya dengan rasa sakit.Ada sesal yang mengalir dalam dadanya. Demi Tuhan, dia sama sekali tak bermaksud menyakiti Rival, anak yang sudah dianggapnya seperti anak kandung sendiri. Tapi, saat melihat bola yang ditendang Rival tadi melesat dan menghantam tepat di wajah Alyra, membuat emosinya tiba-tiba saja menjadi tak terkendali. Terlebih Alyra menangis keras dan darah seketika menetes-netes dari hidungnya. Ditambah jeritan panik Vena yang melihat putrinya terluka tepat di depan matanya.Kejadian itu berlangsung dengan cepat, bahkan dirinya sendiri tak sadar sudah memukul Rival sambil membentaknya. Dan kemarahannya seolah kian menjadi begitu melihat bola yang menyakiti putrinya tadi bertuliskan nama “Max Julian”, pria yang dibencinya.Nathan memijat kening
Langit di atas stadion tampak muram, seakan mencerminkan suasana hati Max. Suara gemuruh dari para penonton memenuhi udara, membakar semangat para pemain yang sudah bersiap di lapangan.Pertandingan berlangsung sengit sejak peluit pertama ditiup. Max, dengan posturnya yang tinggi-tegap dan wajah tegang, selalu waspada di garis pertahanan. Ia berusaha menjaga tembok lini belakang dari gempuran lawan yang selalu siap menerobos pertahanannya. Setiap gerakan lawan diikuti dengan seksama, setiap potensi ancaman dihadapi dengan tekad baja. Namun, ada sesuatu yang mengganggu fokusnya.Mimpinya tentang Rival semalam terasa mengganggu dan membuatnya tidak bisa tenang seperti biasa. Dalam mimpi itu, Rival memanggil namanya dengan suara serak, seolah memohon sesuatu yang tak bisa diberikan Max. Kegelisahan dari mimpi itu merembes ke dalam pikirannya, membuatnya tiba-tiba goyah di lapangan."Max! Ada apa denganmu!" omel Danny dengan nada kesal saat Max hampir saja melakukan blunder yang fatal, n
Nathan memutuskan meninggalkan rumah sakit dan menyerahkan pengawasan Alyra pada Vena, setelah memastikan bahwa kondisi Alyra tidak segawat yang Vena sampaikan sebelumnya.Setibanya di rumah, dia masuk dengan langkah berat, suasana hening menyambutnya. Biasanya, dia bisa mendengar tawa kecil Rival atau suara lembut Mia yang memanggilnya dari dapur. Namun kali ini tidak ada apa-apa selain keheningan. Rumah yang biasanya terasa hangat dan penuh kehidupan, mendadak terasa dingin.Nathan berjalan menuju kamar utama. Dia membuka pintu dengan perlahan, berharap menemukan Mia di sana. Tetapi kamar itu kosong. Tempat tidur tampak rapi.Dia pikir mungkin Mia sedang membuat kue atau roti di dapur, seperti yang sering dilakukannya saat ingin menenangkan diri. Atau mungkin Mia sedang mengurus taman anggreknya di teras belakang, yang selalu menjadi pelariannya saat ingin menyendiri.Nathan menuju kamar Rival. Dia berharap menemukan anaknya di sana, mungkin saja Rival sedang main playstation atau ti