Terima kasih atas vote kalian :)
Brama dibuat kerepotan mengurus Max yang wajahnya kini penuh lebam dan memar yang mencolok. Dia jadi pusing, jadwal Max yang penuh dengan berbagai kegiatan terkait wajahnya kini terancam berantakan.Di sudut ruangan, dokter pribadi Max yang bernama Joshua sedang menyiapkan peralatan medisnya, siap untuk memeriksa kondisi Max yang terluka.“Apakah tulang hidungnya retak, Dok?” tanya Brama Kumbara dengan nada cemas, pandangannya terpaku pada wajah Max yang babak belur.“Untuk memastikan, perlu dilakukan rontgen nasal,” jawab dokter Joshua sambil memeriksa luka-luka di wajah Max. “Tapi kau harus ke rumah sakit untuk melakukannya, Max.”“What the fuck.” Max memaki dalam hatinya. “Besok pagi-pagi sekali aku harus ke bandara. Aku tak mungkin sempat, Dok.” Max meringis, menahan rasa sakit. “Dengan wajah seperti ini, kau akan menarik perhatian orang-orang, Max. Spekulasi di media akan bermunculan,” keluh Brama, memikirkan dampak lebih lanjut.“So?” Max mengedikkan bahu, memasrahkan hal ini
Mia terkejut sekaligus lega ketika pada malam harinya Nathan telah kembali pulang. Suaminya itu tersenyum kepadanya, seolah tak ada yang terjadi. Mia menelan kebingungannya dengan balas tersenyum.“Aku tadi pagi tiba-tiba harus pergi. Ada urusan bisnis yang mendesak,” jelas Nathan sambil mengecup keningnya, seolah suaminya itu bisa membaca tanda tanya yang menggantung di matanya. “Ooh—” Untuk sejenak, Mia kehilangan kata-kata. Padahal, dia sudah overthinking seharian, berpikir bahwa kepergian Nathan dengan membawa koper tadi pagi ada hubungannya dengan pesan-pesan Max yang sudah terbaca.“Kamu masak apa untuk makan malam kita hari ini, Sayang?” Suara Nathan memecah lamunan Mia.“A-aku… maaf, aku belum masak. Kupikir Mas Nathan tidak pulang. Bibik bilang Mas Nathan pergi bawa koper. Mas juga tidak bisa kutelepon seharian tadi, Pak Budi juga. Kupikir—”“Koper itu punya Alyra,” potong Nathan sebelum Mia selesai bicara, “berisi boneka-bonekanya. Dia minta dibawakan ke rumah sakit buat
Nathan menatap Mia dengan sorot mata yang menusuk, seakan ingin menembus pertahanannya yang rapuh. "Aku selalu peduli pada Rival, Mia. Tapi, pernahkah kamu peduli pada Alyra? Pernahkah kamu menjenguknya sekali saja saat dia dirawat di rumah sakit?" suara Nathan mengandung kekecewaan yang seolah sudah lama terpendam, sindiran tajam yang penuh intimidasi.Mia terdiam, seolah lidahnya dibungkam oleh tekanan yang perlahan merayap ke seluruh tubuhnya. "Aku tahu, kamu membenci Vena. Tapi, sadarkah kamu… bahwa dia juga terpaksa numpang tinggal di sini demi Alyra?” Nathan memandangnya lekat-lekat. “Demi Alyra bisa selalu dekat denganku, ayah kandungnya," tegasnya.Mia tercengang. Selurus itukah penilaian Nathan tentang Vena? Wanita itu… “terpaksa" numpang tinggal di sini, dia bilang?Mia menggeleng. Tidak. Nathan salah menilainya. Jelas-jelas Vena memiliki kepentingan terselubung dengan memanfaatkan kondisi Alyra. Mia bisa melihatnya dengan jelas!Cih! Wanita itu sungguh licik. Bisa-bisany
Max menjentikkan jarinya seolah baru teringat sesuatu yang penting. “Ah, iya. Aku hampir lupa, Bram!”Brama yang sedang memeriksa catatan pekerjaannya di tablet menoleh, menunggu penjelasan lebih lanjut. Max melangkah ke ruangan lain dengan langkah cepat, meninggalkan Brama yang menatapnya dengan penasaran.“Aku sudah janji pada Rival,” kata Max ketika kembali, membawa sebuah bola yang terlihat spesial. “Mau memberinya bola yang sudah ditandatangani David Beckham.”Max melempar bola itu kepada Brama, yang dengan gesit menangkapnya bak kiper profesional, refleks yang sempurna.“Tolong, segera kirimkan ke alamat yang akan kuberikan padamu ini,” lanjut Max sambil mengetik sesuatu di ponselnya. Beberapa detik kemudian, Brama merasakan getaran di sakunya saat menerima pesan dengan alamat yang dimaksud.“Rivaldo? Siapa dia?” Brama bertanya dengan nada ingin tahu, matanya tertuju pada bola yang kini dipegangnya lalu beralih pada Max.“Salah satu murid sekolah sepakbola kemarin, yang katamu
“Bapak ada tamu, Bik?” tanya Mia pada si bibik yang langsung menyeduh dua cangkir teh sekembalinya dari dipanggil oleh Nathan.“Iya, Nyonya.” Mia yang baru saja selesai membuat cinnamon roll mengerutkan keningnya, tumben sekali suaminya itu tidak memanggilnya saat kedatangan tamu. Padahal biasanya Nathan selalu memperkenalkan Mia sebagai istrinya pada setiap tamu yang datang ke rumah mereka. “Bik, tunggu…, ini sekalian disuguhkan.” Mia berkata sambil menyajikan roti gulung kayu manis itu di sebuah piring. “Tamunya sendirian?” Si bibik mengangguk. “Iya, Nyonya, sendirian.” Lalu, mengambil piring kue dan meletakkannya di nampan.“Bik, habis ini dapurnya langsung dibereskan ya. Saya sudah selesai bikin rotinya.”“Baik, Nyonya.” Mia mengikuti langkah si bibik yang sedang menuju ruang tamu.Melihat kemunculannya, si tamu yang merupakan seorang perempuan berambut panjang mengangguk sambil tersenyum padanya. Mia balas tersenyum.“Halo, saya Mia,” ujarnya memperkenalkan diri, sambil meng
Angin pagi yang sejuk membawa aroma rumput yang baru saja dipotong di sekitar arena latihan. Max berdiri di tengah lapangan, mengenakan seragam latihan berwarna biru gelap dengan nomor 5 yang terlihat jelas di punggungnya. Lebam di sekitar mata kanannya sulit untuk diabaikan. Tatapan teman-temannya mencerminkan rasa khawatir sekaligus penasaran."Hei, Max, itu luka oleh-oleh dari bar ya? Berantem sambil mabuk?” canda Dave, salah satu striker andalan tim mereka. Keluwesannya dalam melemparkan ejekan dengan kata-kata tajam sama seperti kelihaiannya menggocek bola dan menggiringnya ke gawang lawan.“Lain kali ajak-ajak aku, Max! Biar kutunjukkan cara yang efektif untuk balas meninju wajah musuhmu,” sahut Danny, gelandang enerjik yang selalu penuh tawa, sambil melemparkan bola ke arah Max.Max menerima bola dengan mudah, menggiringnya beberapa kali sebelum mengembalikannya dengan tendangan ringan. "Sangat lucu! Kalian tahu aku tidak pernah minum sampai mabuk. Ini hasil dari tabrakan deng
Di hotel tempat para pemain klub menginap, terdengar dengkuran halus Pablo di ranjang sebelah Max, teman sekamarnya. Rasa lelah sepertinya telah membawa rekannya itu bermimpi hingga ke Pluto. Sedangkan Max, belum juga bisa memejamkan matanya. Max duduk bersandar di ranjangnya, menggenggam sebuah liontin berbentuk hati yang tergantung di rantai tipis. Di dalam liontin itu terdapat foto Max semasa remaja sedang mengangkat trophy, saat timnya memenangkan kejuaraan liga U-16 di Rotterdam.Max ingat bagaimana Mia memberinya liontin ini, pada hari terakhir Mia liburan di Amsterdam sekitar 14 tahun yang lalu. Mereka duduk di sebuah taman yang asri di tepi kanal, dikelilingi bunga-bunga tulip yang bermekaran dan pepohonan hijau yang mulai mengeluarkan daun-daun mudanya. Taman itu dipenuhi dengan suara tawa anak-anak yang bermain dan deru sepeda yang melintasi jalan setapak. Angin musim semi yang sepoi-sepoi meniup lembut rambut Mia yang panjang dan hitam, membuatnya begitu memukau seperti
“Mas Nathan! Kita harus bicara, sekarang!” Nathan yang ketiduran sambil memeluk Alyra, menoleh cepat dan meletakkan telunjuknya di bibir. “Pelankan suaramu, Mia. Alyra sedang tidur,” ujarnya sambil berbisik. Ada kekesalan dalam sorot mata suaminya itu, karena dirinya menerobos masuk tanpa permisi dan langsung berteriak di dalam kamar Alyra selarut malam ini.Mia mendengus sewot. Apalagi dilihatnya Vena juga tidur di ranjang yang sama, di sebelah Alyra. Ranjang besar itu pas sekali menampung mereka bertiga. Kepala Mia rasanya mau meledak! Tubuhnya gemetar menahan amarah. Suaminya semakin betah saja tidur di kamar Alyra. Apa karena— Ah, Mia tak sanggup membayangkan Nathan menghabiskan malamnya bersama Vena!“Cepat balik ke kamar kita, Mas!”Nathan segera turun dari ranjang. “Jangan berisik!” omelnya, menarik Mia keluar dari kamar Alyra.“Mas Nathan, pelan-pelan… tanganku sakit…,” rengek Mia sambil meringis karena Nathan mencengkeram lengannya dengan kencang, seolah Mia bakal kabur k