Mereka berbincang hingga dua jam. Ada kebahagiaan yang tak bisa disangkal mengetahui Max masih sehangat itu terhadapnya. Bahkan, Max juga terlihat dengan begitu mudahnya terhubung dengan Rival sejak perjumpaan mereka yang pertama. Mia bisa merasakan betapa antusiasnya Max setiap sedang membicarakan Rival. Namun, di balik kebahagiaannya itu, terselip rasa gelisah yang tak bisa ia abaikan. Kekhawatiran itu menggigit hatinya, menimbulkan rasa tak nyaman yang semakin kuat. Bagaimana jika Max tahu siapa Rivaldo Wijaya sesungguhnya?Mia menghela napas panjang. Rasa takut dan cemas bergumul dalam dirinya. Ia senang melihat Max terhubung dengan Rival, tapi ia juga takut jika ikatan itu bisa membawa mereka ke jalan yang lebih rumit. Bagaimanapun, Max sudah menjadi masa lalunya. Mereka sudah tutup buku. Sebaik apapun Max terhadapnya, dia tetaplah mantan. Mia ingin tetap setia kepada Nathan, meskipun saat ini rumah tangga mereka sedang tidak baik-baik saja. Tapi untuk sejenak, dalam ke
Dua jam lamanya Mia dan Max berbicara di telepon. Waktu yang cukup lama, tapi entah kenapa terasa begitu singkat. Jam sudah menunjukkan pukul satu pagi, tapi Mia belum mengantuk. Iapun membuka-buka I*******m sampai akhirnya tertidur. Mia tersentak saat terbangun dan merasakan lengan Nathan memeluknya. Dia terkejut Nathan ternyata pulang malam ini. Bukankah dia tadi bilang akan menginap di rumah sakit, menemani Alyra yang mendadak dirawat?Jantungnya berdegup kencang. Mia mencari ponselnya, dan benda pipih itu telah berada di atas nakas, mungkin tadi Nathan yang memindahkannya.“Mia?” panggil Nathan dengan berbisik, suaminya itu juga rupanya terbangun. “Sayangku,” pelukan Nathan terasa semakin erat.Sudah lama Nathan tak memeluknya sehangat ini. Ranjang mereka menjadi dingin sejak kehadiran Alyra dan Vena pada tiga bulan yang lalu. Mereka lebih banyak berdebat menjelang tidur daripada bercinta.Mia membelai lengan Nathan yang ada di atas perutnya. Jujur saja, dia merindukan kemesraan
Dengan tangan gemetar, Nathan membuka ruang percakapan Mia dengan Max. Layar ponsel Mia menyala, menampilkan jejak keterhubungan Mia dengan mantan kekasihnya itu. Catatan dalam aplikasi pesan itu menunjukkan bahwa Max tadi menelepon pada pukul 22.23 dan durasi percakapan berlangsung selama 2 jam 21 menit. “Mereka mengobrol selama itu?” Rahang Nathan mengeras, matanya menyala-nyala penuh amarah.Darahnya terasa mendidih, tak mengira bahwa di belakangnya, Mia rupanya masih menjalin hubungan dengan Max.Pesan-pesan mereka di dalam bioskop, yang belum sempat dihapus oleh Mia, kini terbuka di depan matanya. Kalimat-kalimat mereka mengguncang perasaan Nathan. Setiap kata seperti pisau yang menusuk hatinya.Nathan memejamkan mata, mencoba mengusir bayangan-bayangan menyakitkan yang terus berdatangan. Mia, istri yang dicintainya ini, menikmati flirting dengan mantan kekasihnya.Pesan-pesan dari Max yang baru bermunculan adalah foto-foto Max bersama Rival yang sedang latihan sepakbola. Juga,
Brama Kumbara berdiri di samping meja kerja yang dipenuhi dokumen, memandang Max dengan cermat. Apartemen Max yang mewah di jantung kota Jakarta kini berubah menjadi pusat komando kecil untuk keberangkatan Max ke Inggris. Sebagai manajer pribadi, Brama memastikan segala sesuatunya sudah dipersiapkan dengan sempurna."Max. Tiket pesawat sudah aku konfirmasi ulang. Kamu berangkat besok pagi dengan penerbangan pukul 08.00," ujar Brama sambil melihat daftar yang ada di tangannya.Max mengangguk, merapikan tumpukan pakaian di kopernya. "Terima kasih, Bram. Apa ada urusan lain yang perlu diselesaikan sebelum aku berangkat?"Brama membuka map biru yang penuh dengan kontrak kerja. "Kita perlu membahas beberapa kontrak terakhir yang harus kamu tandatangani sebelum pergi. Ada beberapa perjanjian dengan sponsor yang membutuhkan tanda tanganmu."Max mendekati meja dan memeriksa dokumen-dokumen yang disodorkan Brama. "Apa ini sudah dicek semua? Aku tak mau ada masalah nanti."Brama tersenyum yakin
Brama dibuat kerepotan mengurus Max yang wajahnya kini penuh lebam dan memar yang mencolok. Dia jadi pusing, jadwal Max yang penuh dengan berbagai kegiatan terkait wajahnya kini terancam berantakan.Di sudut ruangan, dokter pribadi Max yang bernama Joshua sedang menyiapkan peralatan medisnya, siap untuk memeriksa kondisi Max yang terluka.“Apakah tulang hidungnya retak, Dok?” tanya Brama Kumbara dengan nada cemas, pandangannya terpaku pada wajah Max yang babak belur.“Untuk memastikan, perlu dilakukan rontgen nasal,” jawab dokter Joshua sambil memeriksa luka-luka di wajah Max. “Tapi kau harus ke rumah sakit untuk melakukannya, Max.”“What the fuck.” Max memaki dalam hatinya. “Besok pagi-pagi sekali aku harus ke bandara. Aku tak mungkin sempat, Dok.” Max meringis, menahan rasa sakit. “Dengan wajah seperti ini, kau akan menarik perhatian orang-orang, Max. Spekulasi di media akan bermunculan,” keluh Brama, memikirkan dampak lebih lanjut.“So?” Max mengedikkan bahu, memasrahkan hal ini
Mia terkejut sekaligus lega ketika pada malam harinya Nathan telah kembali pulang. Suaminya itu tersenyum kepadanya, seolah tak ada yang terjadi. Mia menelan kebingungannya dengan balas tersenyum.“Aku tadi pagi tiba-tiba harus pergi. Ada urusan bisnis yang mendesak,” jelas Nathan sambil mengecup keningnya, seolah suaminya itu bisa membaca tanda tanya yang menggantung di matanya. “Ooh—” Untuk sejenak, Mia kehilangan kata-kata. Padahal, dia sudah overthinking seharian, berpikir bahwa kepergian Nathan dengan membawa koper tadi pagi ada hubungannya dengan pesan-pesan Max yang sudah terbaca.“Kamu masak apa untuk makan malam kita hari ini, Sayang?” Suara Nathan memecah lamunan Mia.“A-aku… maaf, aku belum masak. Kupikir Mas Nathan tidak pulang. Bibik bilang Mas Nathan pergi bawa koper. Mas juga tidak bisa kutelepon seharian tadi, Pak Budi juga. Kupikir—”“Koper itu punya Alyra,” potong Nathan sebelum Mia selesai bicara, “berisi boneka-bonekanya. Dia minta dibawakan ke rumah sakit buat
Nathan menatap Mia dengan sorot mata yang menusuk, seakan ingin menembus pertahanannya yang rapuh. "Aku selalu peduli pada Rival, Mia. Tapi, pernahkah kamu peduli pada Alyra? Pernahkah kamu menjenguknya sekali saja saat dia dirawat di rumah sakit?" suara Nathan mengandung kekecewaan yang seolah sudah lama terpendam, sindiran tajam yang penuh intimidasi.Mia terdiam, seolah lidahnya dibungkam oleh tekanan yang perlahan merayap ke seluruh tubuhnya. "Aku tahu, kamu membenci Vena. Tapi, sadarkah kamu… bahwa dia juga terpaksa numpang tinggal di sini demi Alyra?” Nathan memandangnya lekat-lekat. “Demi Alyra bisa selalu dekat denganku, ayah kandungnya," tegasnya.Mia tercengang. Selurus itukah penilaian Nathan tentang Vena? Wanita itu… “terpaksa" numpang tinggal di sini, dia bilang?Mia menggeleng. Tidak. Nathan salah menilainya. Jelas-jelas Vena memiliki kepentingan terselubung dengan memanfaatkan kondisi Alyra. Mia bisa melihatnya dengan jelas!Cih! Wanita itu sungguh licik. Bisa-bisany
Max menjentikkan jarinya seolah baru teringat sesuatu yang penting. “Ah, iya. Aku hampir lupa, Bram!”Brama yang sedang memeriksa catatan pekerjaannya di tablet menoleh, menunggu penjelasan lebih lanjut. Max melangkah ke ruangan lain dengan langkah cepat, meninggalkan Brama yang menatapnya dengan penasaran.“Aku sudah janji pada Rival,” kata Max ketika kembali, membawa sebuah bola yang terlihat spesial. “Mau memberinya bola yang sudah ditandatangani David Beckham.”Max melempar bola itu kepada Brama, yang dengan gesit menangkapnya bak kiper profesional, refleks yang sempurna.“Tolong, segera kirimkan ke alamat yang akan kuberikan padamu ini,” lanjut Max sambil mengetik sesuatu di ponselnya. Beberapa detik kemudian, Brama merasakan getaran di sakunya saat menerima pesan dengan alamat yang dimaksud.“Rivaldo? Siapa dia?” Brama bertanya dengan nada ingin tahu, matanya tertuju pada bola yang kini dipegangnya lalu beralih pada Max.“Salah satu murid sekolah sepakbola kemarin, yang katamu
Di lobi gedung rumah sakit elit di jantung kota Jakarta, sebuah sedan Rolls Royce hitam berhenti dengan anggun, memancarkan aura kemewahan yang nyata di antara deretan mobil mewah lainnya yang sedang memasuki halaman rumah sakit tersebut.Pintu mobil sedan mewah itu terbuka, menampilkan seorang pria tampan berwajah oriental yang melangkah keluar dengan aura kecerdasan dan percaya diri. Berbalut sepatu kulit hitam mengkilap, kaki pria itu menapak lantai lobi dengan ketegasan seorang pemimpin sejati. Setelan jas hitam yang dikenakannya begitu pas membingkai tubuhnya yang tinggi dan atletis, menambah kesan elegan dan berwibawa yang kini melekat erat pada diri pria berusia 40 tahun itu.“Silakan, Tuan Valen,” sapa asistennya sambil membukakan pintu mobil, memberikan anggukan hormat pada CEO “Bintang Hospital Group” yang baru saja tiba.Aura Dokter Joshua Valen kini begitu berbeda, mencerminkan transformasi yang telah ia lalui dalam beberapa tahun ini. Sejak ditinggalkan oleh Mia, Valen me
Max dan Mia memulai babak baru dalam kehidupan mereka di Lake District, Inggris, sebuah tempat yang menawarkan ketenangan dan keindahan alam yang kontras dengan kehidupan kota yang sibuk. Keputusan mereka untuk menetap di kawasan ini adalah bagian dari keinginan mereka untuk menemukan kedamaian dan kebahagiaan dalam kehidupan baru mereka bersama.Rumah mereka, sebuah cottage yang terletak di tepi danau, dikelilingi oleh hutan hijau dan pegunungan yang menjulang, memberikan latar belakang yang sempurna untuk melanjutkan kehidupan mereka. Setiap pagi, mereka disambut oleh pemandangan matahari terbit yang memukau dan suara lembut angin yang berdesir di antara pepohonan. Ini adalah tempat di mana Mia dan Max dapat menghindar dari hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari dan benar-benar fokus pada kebersamaan mereka.Max, sebagai pemain sepak bola profesional, berhasil menjalani karier yang cemerlang di Inggris bersama Lakeside City, klub sepak bola yang kini terdaftar dalam EPL (English Premi
Di sebuah rumah sakit, Valen duduk di ruang tunggu keluarga pasien, menantikan Mia yang sedang menjalani operasi darurat dan harus dikuret karena mengalami keguguran. Valen masih mengenakan kemejanya yang bersimbah darah—darah Mia. Asistennya mencoba membujuknya untuk mengganti pakaian. Namun, Valen menggelengkan kepala, menolak tawaran itu. Gelengan itu membuat asistennya mundur, memberikan ruang bagi Valen yang masih terlihat kalut dan terpukul oleh peristiwa tragis yang menimpa Mia.Di depannya, Max yang juga sedang tegang menantikan Mia, ia mengamati semua gerak-gerik Dokter Joshua yang semakin jelas di matanya. “Kamu jatuh cinta pada Mia kan, Dok?”Tanpa ragu, Valen mengangguk. “Aku jatuh cinta padanya sejak pertama kali kami bertemu, di ruang IGD itu. Kupikir saat itu aku hanya merasa iba kepadanya, tapi ternyata tidak… itu bukan hanya rasa iba ataupun sekadar simpati. Aku selalu ingin bersamanya sejak saat itu. Ingin melindunginya, ingin memastikan bahwa dia selalu baik-baik
Gavin menginjak gas mobilnya lebih dalam, melesat keluar dari basement dengan kecepatan yang mencerminkan kepanikan dalam dirinya. Jantungnya berpacu, diliputi oleh ketakutan dan penyesalan yang menghantui setiap pikiran.“Maafkan aku, Valen. Maafkan aku…!” suaranya nyaris tak terdengar, tercekik oleh emosi yang bergolak. Bibirnya gemetar, dan air mata mulai membanjiri pandangannya.Tangis Gavin pecah, mengalir deras seperti sungai yang tak terbendung. Hatinya terasa remuk, diremas oleh kepedihan yang tak tertahankan saat bayangan Valen melintas di benaknya. Bagaimana kondisi pria yang dicintainya itu sekarang?Pikiran itu mencabik-cabik ketenangannya. Ketakutan menyeruak, menggerogoti setiap sudut batinnya. Bagaimana jika Valen… mati? Atau lebih buruk, bagaimana jika Valen cacat permanen akibat keputusan impulsif yang baru saja ia buat?“Tidak…! Tidak!” Gavin memukul-mukul setir mobil dengan frustrasi.Penyesalannya datang terlambat, menghempaskan Gavin ke dalam jurang keputusasaan.
Di dalam basement, area parkir sebuah apartemen, tatapan Gavin tak lepas dari mobil yang terletak beberapa meter di depannya. Mobil itu seolah menjadi simbol dari seseorang yang diam-diam telah menjadi pusat dunianya—Dokter Joshua Valen. Hati Gavin bergejolak dengan perasaan yang tak pernah ia ungkapkan kepada siapa pun, kecuali kepada pemilik mobil itu sendiri.Joshua Valen, sang dokter yang tampan dan baik hati, adalah sosok yang telah membuat Gavin merasakan ketenangan yang tak pernah ia dapati dari orang lain. Setiap kali berada di dekat Valen, Gavin merasa damai, seolah semua beban hidupnya menghilang dalam sekejap. Kekaguman Gavin terhadap Valen melampaui batas-batas yang wajar, melebihi rasa kagum seorang pasien biasa kepada dokternya. Gavin telah jatuh cinta—perasaan yang ia tahu salah, namun tak bisa ia kendalikan.Gavin masih mengingat dengan jelas hari ketika ia akhirnya memberanikan diri mengungkapkan perasaannya kepada Valen. Detik-detik itu penuh ketegangan baginya, n
“Michella, kamu sekarang bisa mencairkan nilai pokok investasi milik Mia, lakukan segera.” Nathan menyampaikan instruksi itu lewat telepon. Michella terkejut mendengar permintaan Nathan. Padahal sebelumnya, Nathan kerap memberinya ancaman yang mengerikan bila ia sampai memberikan bantuan keuangan pada Mia, apalagi sampai mengembalikan nilai pokok investasi yang sudah sering diminta oleh Mia.Namun, tanpa banyak tanya lagi—khawatir Nathan berubah pikiran, Michella segera mentransfer uang itu pada Mia. Membuat Mia menangis lega saat ia menyampaikan kabar baik itu.“Maaf, aku baru bisa mengembalikan uang investasimu sekarang, Mia.” Michella berkata dengan hati yang diliputi rasa bersalah.“Tidak apa-apa, Michella…, yang penting sekarang bisnismu sudah stabil, kan?” ucap Mia begitu tulus.Michella diam-diam merasa bersalah dalam hatinya karena sebenarnya bisnisnya baik-baik saja selama ini. Tetapi ia tak berkutik dan tunduk pada perintah Nathan karena ancaman-ancamannya terhadap bisnis M
“Bisa-bisanya kamu menciptakan kiamat untuk kariermu sendiri, Max!” Brama mengomel dengan nada yang semakin meninggi saat menemuinya di hotel usai pertandingan malam itu, nadanya penuh dengan kekhawatiran. Dia membayangkan dampak dari tindakan Max yang sembrono ini—reputasi yang hancur, skandal yang meledak, efek domino yang bisa berakibat fatal bagi kariernya. Brama sangat memahami bagaimana dunia olahraga bisa kejam; satu langkah salah bisa menghancurkan segalanya dalam sekejap.Brama menatap Max sambil geleng-geleng kepala, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan gelisah. Kepalanya yang botak berkilau di bawah cahaya lampu. Sementara itu, Max duduk dengan tenang di hadapannya, menyandarkan punggung ke kursi dengan senyum tipis yang tampak santai. Matanya memancarkan keteguhan yang sulit digoyahkan, seolah semua kata-kata Brama hanya angin lalu.Senyuman Max mencerminkan keyakinan dan ketidakpeduliannya terhadap apa kata dunia atas tindakannya. “Mia sudah bercerai dari Nathan, itu
Jeritan cinta yang begitu menggema dari Max seolah merobek kebisingan di stadion, menimbulkan kekagetan di pikiran begitu banyak orang, khususnya Mia. Dia tak pernah membayangkan bahwa Max akan melakukan sesuatu yang begitu nekat, begitu terbuka, di depan puluhan ribu pasang mata.Mia membeku, tubuhnya kaku seperti patung di tengah lautan manusia yang seakan tidak berhenti bergejolak dengan sorak sorai dan tepukan tangan. Dalam diri Mia, perasaan malu, terkejut, dan kebingungan bergulat satu sama lain, membuat tubuhnya gemetar. Jantungnya berdetak cepat, seolah tak bisa mengimbangi kekacauan yang terjadi di dalam pikirannya. Dia tidak terbiasa menjadi pusat perhatian seperti ini.Tatapan Mia yang biasanya lembut kini terpaku lurus ke depan, mencoba menghindari pandangan orang-orang yang kini tertuju padanya. Setiap mata di stadion ini seolah sedang memperhatikannya, menilai, dan mungkin bahkan menghakiminya. Tangannya yang dingin berusaha mencari pegangan, dan tanpa sadar, ia mengge
Max bersama para pemain lainnya berjalan menuju tepi lapangan, wajahnya berseri-seri dengan senyum hangat menghiasi bibirnya. Tangannya terangkat, melambai ke arah suporter yang memenuhi tribun, seolah ia ingin menyapa setiap orang yang telah memberikan dukungan penuh selama pertandingan. Setiap langkah yang ia ambil terasa penuh dengan kebanggaan, mencerminkan kemenangan yang baru saja mereka raih.Sesampainya di tepi lapangan, Max sedikit membungkukkan badannya sebagai penghormatan tulus kepada para suporter. “Terima kasih!” teriaknya kemudian, sambil kembali melambaikan tangannya.Aksinya diikuti oleh rekan-rekan timnas yang lain. Seketika sikap rendah hati para pemain itu memicu gelombang tepuk tangan yang riuh dari tribun. Sorak-sorai membahana, mengapresiasi sikap hormat yang ditunjukkan oleh Max dan para pemain timnas.Langkah Max dan timnya terhenti tepat di depan tribun Selatan. Di sana, lautan suporter dengan kostum hitam—warna khas Ultras Garuda, mendominasi pemandangan. N