Novel ini terdaftar dalam kontes menulis dengan tema: "Haruskah Aku Menjadi yang Kedua". Yuk, dukung novel ini dengan klik vote sebanyak-banyaknya ya.... Terima kasih :)
Max tertawa. “Doakan ya, semoga saya bisa punya anak setampan ini juga di masa depan.” Dia terlihat santai menanggapinya, tapi ada sesuatu yang lebih dalam di matanya.“Memangnya anak siapa ini, Max?” tanya salah seorang dari penggemarnya, rasa penasaran terlihat jelas.Max menunjuk Mia dengan lirikan matanya. “Anaknya teman saya.”Para penggemarnya segera menoleh kepada Mia. Max memperhatikan, Mia mengangguk kecil pada orang-orang yang memandangnya dengan sorot penasaran yang menari-nari di mata mereka. Meskipun terlihat gugup, namun mantan kekasihnya itu berhasil tersenyum dengan baik, senyum yang menawan.“Teman yang cantik, Max,” celetuk salah seorang dari mereka, yang direspons anggukan setuju oleh yang lainnya.“Betul,” Max ikut mengangguk. “Suaminya beruntung sekali mendapatkan teman saya yang cantik ini, bukan?” imbuhnya, berusaha menjaga agar tidak ada gosip yang berkembang tentang kebersamaannya dengan Mia saat ini.“Ooh, sudah menikah?” Ekspresi kelegaan terlihat di wajah
“Tidak. Tidak.” Mia menggeleng keras. “Aku tidak percaya padamu.” Dia menolak tegas saat Max menawarkan diri untuk menggantikannya mengemudi.Max memutar bola mata, tidak mengira Mia bakal menyatakan ketidakpercayaannya secara terang-terangan.“Kamu mungkin hebat di lapangan.” Mia menyalakan mesin mobilnya. “Tapi belum tentu saat menghadapi kondisi jalanan di Jakarta, Max.” Max terkekeh sambil memasang seatbelt. “Baiklah, kamu benar,” dia mengedikkan bahunya, “Membawa mobil di kota ini tidak mudah. Emak-emak di sini memang berbahaya, sein ke kanan tapi beloknya ke kiri.”Tawa mereka meledak, tapi keduanya segera sadar bahwa ada Rival yang tertidur. Max menoleh ke kursi belakang, tersenyum melihat Rival yang masih terlelap. Sementara itu, Mia hanya melirik putranya melalui kaca spion sebab dia harus fokus menyetir.“Apa Rivaldo biasa seperti itu? Tak terganggu keributan kalau sudah ngantuk berat?” tanyanya sedikit heran. Hal itu mengingatkan Max pada dirinya sendiri semasa kecil. Dia
Di ruang perawatan VIP khusus anak, Nathan tampak sibuk menerima telepon sambil memperhatikan layar laptop di hadapannya. Biarpun sambil menunggu Alyra yang sedang sakit, tapi dia tetap fokus mengurus pekerjaan yang saat itu juga membutuhkan perhatiannya, menunjukkan profesionalismenya yang tak pernah surut. Sebagai Presiden Direktur dari Astralux Transportation, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa transportasi, Nathan selalu ingin memastikan bisnisnya tetap terkendali baik, tak peduli apapun situasinya saat ini.Astralux Transportation dikenal sebagai salah satu perusahaan terkemuka yang menyediakan jasa sewa kendaraan, baik darat, laut, maupun udara. Perusahaan ini memiliki armada yang lengkap, mulai dari mobil mewah dan bus untuk transportasi darat, kapal pesiar dan yacht untuk transportasi laut, hingga jet pribadi dan helikopter untuk transportasi udara.Nathan sedang dalam panggilan telepon dengan salah satu investor utama, membahas kesepakatan besar yang akan memperl
“Saya pulang sekarang. Jaga Alyra baik-baik.”Setelah mengecup lembut kening Alyra, Nathan berkata pada Vena, “Jangan suruh-suruh saya cepat datang ke sini seenak kamu, kecuali situasi Alyra betul-betul gawat darurat antara hidup dan mati. Mengerti?”Vena mengangguk. Tak ada lagi kata-kata yang bisa keluar dari bibirnya untuk mencegah Nathan pergi malam ini.***“Langsung pulang ke rumah, Pak.” Nathan memberi perintah sebelum sopir pribadinya sempat bertanya.Nathan duduk bersandar di jok kursi mobil mewahnya, memejamkan mata sepanjang perjalanan dari rumah sakit menuju rumahnya, mencoba istirahat. Namun, pikirannya sibuk memikirkan banyak hal.Sejak Vena dengan lancang membongkar tentang Alyra kepada Mia tepat di hari ulang tahunnya, sikap Mia praktis berubah total. Tak ada lagi kelembutan dan kehangatannya untuk Nathan. Padahal, butuh perjuangan keras bagi Nathan untuk bisa membuat Mia memperlakukan dirinya sebagai seorang pria, sebagai suaminya, bukan lagi sebagai seorang kakak.
Di dalam apartemennya, Max terlihat santai sekali malam ini. Ruangannya yang modern dan minimalis dipenuhi dengan pencahayaan lembut, menciptakan suasana yang tenang dan nyaman. Sambil menyelonjorkan kakinya di kursi malas, Max menelepon Brama Kumbara, manajernya. “Bram, tolong kirimkan video dan foto-fotoku saat latihan bersama anak-anak di sekolah sepakbola tadi.”“Aku baru saja akan mengirimnya. Kamu harus segera mengunggahnya di Instagram, selama tiga hari berturut-turut sesuai perjanjian. Jangan lupa tag nama sekolah sepakbola itu, Max.”“Sendiko dawuh, Pendekar,” goda Max sambil cekikikan. “Sialan kau, Max!” omel Brama Kumbara yang gemas karena si bule satu ini semakin fasih saja menggodanya, hasil ajaran rekan sesama timnas asal daerah yang suka usil.Tak lama kemudian, terdengar notifikasi pesan yang berbunyi berkali-kali. Brama telah mengirimkan video dan foto-foto yang diminta.Max tersenyum, membuka file tersebut satu per satu.Dalam sebuah video, Max melihat dirinya ber
Mereka berbincang hingga dua jam. Ada kebahagiaan yang tak bisa disangkal mengetahui Max masih sehangat itu terhadapnya. Bahkan, Max juga terlihat dengan begitu mudahnya terhubung dengan Rival sejak perjumpaan mereka yang pertama. Mia bisa merasakan betapa antusiasnya Max setiap sedang membicarakan Rival. Namun, di balik kebahagiaannya itu, terselip rasa gelisah yang tak bisa ia abaikan. Kekhawatiran itu menggigit hatinya, menimbulkan rasa tak nyaman yang semakin kuat. Bagaimana jika Max tahu siapa Rivaldo Wijaya sesungguhnya?Mia menghela napas panjang. Rasa takut dan cemas bergumul dalam dirinya. Ia senang melihat Max terhubung dengan Rival, tapi ia juga takut jika ikatan itu bisa membawa mereka ke jalan yang lebih rumit. Bagaimanapun, Max sudah menjadi masa lalunya. Mereka sudah tutup buku. Sebaik apapun Max terhadapnya, dia tetaplah mantan. Mia ingin tetap setia kepada Nathan, meskipun saat ini rumah tangga mereka sedang tidak baik-baik saja. Tapi untuk sejenak, dalam ke
Dua jam lamanya Mia dan Max berbicara di telepon. Waktu yang cukup lama, tapi entah kenapa terasa begitu singkat. Jam sudah menunjukkan pukul satu pagi, tapi Mia belum mengantuk. Iapun membuka-buka I*******m sampai akhirnya tertidur. Mia tersentak saat terbangun dan merasakan lengan Nathan memeluknya. Dia terkejut Nathan ternyata pulang malam ini. Bukankah dia tadi bilang akan menginap di rumah sakit, menemani Alyra yang mendadak dirawat?Jantungnya berdegup kencang. Mia mencari ponselnya, dan benda pipih itu telah berada di atas nakas, mungkin tadi Nathan yang memindahkannya.“Mia?” panggil Nathan dengan berbisik, suaminya itu juga rupanya terbangun. “Sayangku,” pelukan Nathan terasa semakin erat.Sudah lama Nathan tak memeluknya sehangat ini. Ranjang mereka menjadi dingin sejak kehadiran Alyra dan Vena pada tiga bulan yang lalu. Mereka lebih banyak berdebat menjelang tidur daripada bercinta.Mia membelai lengan Nathan yang ada di atas perutnya. Jujur saja, dia merindukan kemesraan
Dengan tangan gemetar, Nathan membuka ruang percakapan Mia dengan Max. Layar ponsel Mia menyala, menampilkan jejak keterhubungan Mia dengan mantan kekasihnya itu. Catatan dalam aplikasi pesan itu menunjukkan bahwa Max tadi menelepon pada pukul 22.23 dan durasi percakapan berlangsung selama 2 jam 21 menit. “Mereka mengobrol selama itu?” Rahang Nathan mengeras, matanya menyala-nyala penuh amarah.Darahnya terasa mendidih, tak mengira bahwa di belakangnya, Mia rupanya masih menjalin hubungan dengan Max.Pesan-pesan mereka di dalam bioskop, yang belum sempat dihapus oleh Mia, kini terbuka di depan matanya. Kalimat-kalimat mereka mengguncang perasaan Nathan. Setiap kata seperti pisau yang menusuk hatinya.Nathan memejamkan mata, mencoba mengusir bayangan-bayangan menyakitkan yang terus berdatangan. Mia, istri yang dicintainya ini, menikmati flirting dengan mantan kekasihnya.Pesan-pesan dari Max yang baru bermunculan adalah foto-foto Max bersama Rival yang sedang latihan sepakbola. Juga,