Dalam temaramnya bioskop, Mia merasakan tatapan panas Max yang tak henti-hentinya mendarat pada dirinya. Membuat Mia tak bisa memusatkan perhatiannya pada film Doraemon yang sedang tayang.Dia tahu, Max tak tertarik pada film animasi itu, Max lebih menyukai gemerlap dunia film live action yang penuh aksi dan adrenalin. Mia menghela napas, dia memutuskan untuk membuka nomor kontak Max yang selama tujuh tahun ini diblokirnya. Setelah memeriksa bahwa nomor itu rupanya masih tetap digunakan oleh Max, iapun segera mengirim pesan.Mia: [Max, kita di ruang publik. Kamu atlet populer, orang-orang memperhatikanmu. Berhentilah memandangku. Jangan memicu spekulasi orang-orang.]Namun, pesan itu bagaikan batu yang dilemparkan ke kolam sunyi. Max bergeming, tampak asyik dengan dunianya sendiri: menonton film, berbisik-bisik dengan Rival, dan kembali memandangnya, tak sadar tatapannya yang intens itu telah menusuk Mia dengan ketidaknyamanan.Tak tahan lagi, Mia memberi isyarat agar Max memeriksa
Mia menghela napas, memandang Rival yang tertidur. “Nah, kan. Dia selalu saja begini, ketiduran di akhir-akhir film.”“Biar saja.” Max menahan tangan Mia yang sedang menepuk-nepuk pelan pipi Rival, bermaksud membangunkannya. “Dia kelelahan,” ujar Max sambil tersenyum, memandang Rival. “Tadi dia bersemangat sekali di lapangan.” Max teringat bagaimana Rival berupaya keras menunjukkan aksi-aksinya yang memukau saat sesi latihan bersamanya tadi. Membuat Max diam-diam mengagumi bakatnya. Mia memandang sekeliling bioskop yang kini kosong. “Max,” panggilnya pelan. “Orang-orang sudah keluar semua, tinggal kita.”“Tidak apa-apa," Max mengerling penuh keisengan padanya, "paling kita cuma diusir…”“Max!” Mia sewot, tapi Max malah tertawa ringan.Mia berdiri, Max juga ikut berdiri dan segera menggendong Rival dengan begitu mudah. Bobot tubuh Rival yang bagi Mia berat, terlihat ringan dalam gendongan Max.Max menuruni undakan demi undakan lantai bioskop dengan gerakan atletis yang mengagumkan,
Max tertawa. “Doakan ya, semoga saya bisa punya anak setampan ini juga di masa depan.” Dia terlihat santai menanggapinya, tapi ada sesuatu yang lebih dalam di matanya.“Memangnya anak siapa ini, Max?” tanya salah seorang dari penggemarnya, rasa penasaran terlihat jelas.Max menunjuk Mia dengan lirikan matanya. “Anaknya teman saya.”Para penggemarnya segera menoleh kepada Mia. Max memperhatikan, Mia mengangguk kecil pada orang-orang yang memandangnya dengan sorot penasaran yang menari-nari di mata mereka. Meskipun terlihat gugup, namun mantan kekasihnya itu berhasil tersenyum dengan baik, senyum yang menawan.“Teman yang cantik, Max,” celetuk salah seorang dari mereka, yang direspons anggukan setuju oleh yang lainnya.“Betul,” Max ikut mengangguk. “Suaminya beruntung sekali mendapatkan teman saya yang cantik ini, bukan?” imbuhnya, berusaha menjaga agar tidak ada gosip yang berkembang tentang kebersamaannya dengan Mia saat ini.“Ooh, sudah menikah?” Ekspresi kelegaan terlihat di wajah
“Tidak. Tidak.” Mia menggeleng keras. “Aku tidak percaya padamu.” Dia menolak tegas saat Max menawarkan diri untuk menggantikannya mengemudi.Max memutar bola mata, tidak mengira Mia bakal menyatakan ketidakpercayaannya secara terang-terangan.“Kamu mungkin hebat di lapangan.” Mia menyalakan mesin mobilnya. “Tapi belum tentu saat menghadapi kondisi jalanan di Jakarta, Max.” Max terkekeh sambil memasang seatbelt. “Baiklah, kamu benar,” dia mengedikkan bahunya, “Membawa mobil di kota ini tidak mudah. Emak-emak di sini memang berbahaya, sein ke kanan tapi beloknya ke kiri.”Tawa mereka meledak, tapi keduanya segera sadar bahwa ada Rival yang tertidur. Max menoleh ke kursi belakang, tersenyum melihat Rival yang masih terlelap. Sementara itu, Mia hanya melirik putranya melalui kaca spion sebab dia harus fokus menyetir.“Apa Rivaldo biasa seperti itu? Tak terganggu keributan kalau sudah ngantuk berat?” tanyanya sedikit heran. Hal itu mengingatkan Max pada dirinya sendiri semasa kecil. Dia
Di ruang perawatan VIP khusus anak, Nathan tampak sibuk menerima telepon sambil memperhatikan layar laptop di hadapannya. Biarpun sambil menunggu Alyra yang sedang sakit, tapi dia tetap fokus mengurus pekerjaan yang saat itu juga membutuhkan perhatiannya, menunjukkan profesionalismenya yang tak pernah surut. Sebagai Presiden Direktur dari Astralux Transportation, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa transportasi, Nathan selalu ingin memastikan bisnisnya tetap terkendali baik, tak peduli apapun situasinya saat ini.Astralux Transportation dikenal sebagai salah satu perusahaan terkemuka yang menyediakan jasa sewa kendaraan, baik darat, laut, maupun udara. Perusahaan ini memiliki armada yang lengkap, mulai dari mobil mewah dan bus untuk transportasi darat, kapal pesiar dan yacht untuk transportasi laut, hingga jet pribadi dan helikopter untuk transportasi udara.Nathan sedang dalam panggilan telepon dengan salah satu investor utama, membahas kesepakatan besar yang akan memperl
“Saya pulang sekarang. Jaga Alyra baik-baik.”Setelah mengecup lembut kening Alyra, Nathan berkata pada Vena, “Jangan suruh-suruh saya cepat datang ke sini seenak kamu, kecuali situasi Alyra betul-betul gawat darurat antara hidup dan mati. Mengerti?”Vena mengangguk. Tak ada lagi kata-kata yang bisa keluar dari bibirnya untuk mencegah Nathan pergi malam ini.***“Langsung pulang ke rumah, Pak.” Nathan memberi perintah sebelum sopir pribadinya sempat bertanya.Nathan duduk bersandar di jok kursi mobil mewahnya, memejamkan mata sepanjang perjalanan dari rumah sakit menuju rumahnya, mencoba istirahat. Namun, pikirannya sibuk memikirkan banyak hal.Sejak Vena dengan lancang membongkar tentang Alyra kepada Mia tepat di hari ulang tahunnya, sikap Mia praktis berubah total. Tak ada lagi kelembutan dan kehangatannya untuk Nathan. Padahal, butuh perjuangan keras bagi Nathan untuk bisa membuat Mia memperlakukan dirinya sebagai seorang pria, sebagai suaminya, bukan lagi sebagai seorang kakak.
Di dalam apartemennya, Max terlihat santai sekali malam ini. Ruangannya yang modern dan minimalis dipenuhi dengan pencahayaan lembut, menciptakan suasana yang tenang dan nyaman. Sambil menyelonjorkan kakinya di kursi malas, Max menelepon Brama Kumbara, manajernya. “Bram, tolong kirimkan video dan foto-fotoku saat latihan bersama anak-anak di sekolah sepakbola tadi.”“Aku baru saja akan mengirimnya. Kamu harus segera mengunggahnya di Instagram, selama tiga hari berturut-turut sesuai perjanjian. Jangan lupa tag nama sekolah sepakbola itu, Max.”“Sendiko dawuh, Pendekar,” goda Max sambil cekikikan. “Sialan kau, Max!” omel Brama Kumbara yang gemas karena si bule satu ini semakin fasih saja menggodanya, hasil ajaran rekan sesama timnas asal daerah yang suka usil.Tak lama kemudian, terdengar notifikasi pesan yang berbunyi berkali-kali. Brama telah mengirimkan video dan foto-foto yang diminta.Max tersenyum, membuka file tersebut satu per satu.Dalam sebuah video, Max melihat dirinya ber
Mereka berbincang hingga dua jam. Ada kebahagiaan yang tak bisa disangkal mengetahui Max masih sehangat itu terhadapnya. Bahkan, Max juga terlihat dengan begitu mudahnya terhubung dengan Rival sejak perjumpaan mereka yang pertama. Mia bisa merasakan betapa antusiasnya Max setiap sedang membicarakan Rival. Namun, di balik kebahagiaannya itu, terselip rasa gelisah yang tak bisa ia abaikan. Kekhawatiran itu menggigit hatinya, menimbulkan rasa tak nyaman yang semakin kuat. Bagaimana jika Max tahu siapa Rivaldo Wijaya sesungguhnya?Mia menghela napas panjang. Rasa takut dan cemas bergumul dalam dirinya. Ia senang melihat Max terhubung dengan Rival, tapi ia juga takut jika ikatan itu bisa membawa mereka ke jalan yang lebih rumit. Bagaimanapun, Max sudah menjadi masa lalunya. Mereka sudah tutup buku. Sebaik apapun Max terhadapnya, dia tetaplah mantan. Mia ingin tetap setia kepada Nathan, meskipun saat ini rumah tangga mereka sedang tidak baik-baik saja. Tapi untuk sejenak, dalam ke