Ah, kondisi Mia sangat kacau. Bisa-bisanya–
Tiba-tiba, Max masuk ke dalam lift dan memanggul tubuh Mia begitu saja di salah satu pundaknya yang tegap.
“Max, apa-apaan kamu?” pekik Mia.
Mengabaikan kebingungan Mia, Max melangkah mantap menuju sebuah kamar yang tadi ia tinggalkan.
“Kita perlu bicara banyak, Mia.” Suara Max terdengar dalam, membuat tubuh Mia gemetar. “Ke mana saja kamu menghilang selama tujuh tahun ini? Aku mencari-carimu seperti orang gila!”
Tubuh Mia dilemparkan begitu saja ke atas ranjang.
Ya, Mia tahu. Ia bersalah pada lelaki ini.
Max berkacak pinggang, berdiri di tepi ranjang. Tatapannya mengurung Mia dengan rasa ingin tahu yang tak terelakkan.
“Jelaskan apa yang terjadi selama tujuh tahun ini, Mia.” Max bergerak mendekat dan duduk di tepi ranjang. “Kenapa kamu tiba-tiba menghilang, Mia? Meninggalkanku tanpa kabar sama sekali.”
Mia beringsut mundur, menjauhi Max dengan tatapan takut-takut, seolah ada rahasia besar yang selama ini dia sembunyikan dari mantan kekasihnya ini.
Mantan? Kenyataannya, mereka tidak pernah mengucapkan kata “putus.” Bagi Max, Mia masih kekasihnya.
“Mia. Jawab aku.” Max kembali mendesak.
Mia menutup wajahnya dengan tangan dan tiba-tiba menangis tersedu-sedu. Dia bingung, dari mana mulai menjawab pertanyaan tersebut.
Mereka menjalin hubungan cukup lama. Pertemuan pertama mereka terjadi saat Mia masih SMP, dia sedang berlibur di rumah teman ayahnya di Amsterdam, Belanda. Pada waktu itu, sebagai anak tetangga, Max mengajaknya berkenalan lalu dengan ramah menawarkan diri untuk menemani Mia jalan-jalan naik sepeda.
Komunikasi mereka tetap berlanjut setelah Mia kembali ke Indonesia. Max rajin bertukar kabar dengan Mia, bahkan di tengah kesibukannya sebagai atlet sepakbola. Hubungan pertemanan itu pun berkembang menjadi hubungan asmara yang manis, sekalipun jarak jauh karena Max sedang menekuni kariernya sebagai pesepakbola junior di Inggris.
Sampai akhirnya, pria itu melamarnya setelah resmi pindah kewarganegaraan dan bergabung dengan tim nasional sepakbola Indonesia.
Mia ingat, saat Max melamarnya waktu itu, ia begitu bahagia. Tanpa pikir panjang, ia langsung menerima pinangan kekasihnya tersebut.
Baru kemudian, ia menyesali keputusannya.
Bagaimana Mia bisa menjelaskan masa lalu dan perasaannya yang begitu kompleks pada pria yang telah ia tinggalkan tanpa penjelasan ini?
Sementara Mia sibuk dengan pikirannya, melihat Mia menangis, Max menghela napas dalam-dalam.
Perlahan, pria itu merengkuh tubuh Mia dan mendekapnya. Saat Mia berusaha menolak, Max justru semakin mempererat pelukannya.
“Mia, kamu bisa menjelaskannya pelan-pelan. Aku akan mendengar apa pun yang kamu sampaikan.” Max berkata, kali ini dengan nada lebih lembut. “Aku merindukanmu, Mia. Tidakkah kamu merasakan hal yang sama?”
Max menatap wanita dalam pelukannya itu dan mengecup lembut kening Mia, lalu memandanginya lekat-lekat.
Mia terlihat semakin cantik, lebih berisi daripada terakhir kali Max melihatnya, namun tetap memikat.
“I love you, Mia. I miss you so much.” Max berbisik lembut.
Mia menggigit bibir, kata-kata cinta Max menusuk-nusuk hatinya dengan rasa bersalah dan penyesalan. Tubuh Mia membeku saat Max kembali memeluknya, tidak mampu menolak.
“Mia,” panggil Max seraya memindahkan tubuh Mia begitu saja, seolah tubuh Mia seringan kapas bagi pria bertubuh atletis dengan tinggi badan 189 cm itu. Kini Mia terduduk di pangkuan Max. “Aku menunggu penjelasanmu, tolong … bicaralah.”
Mata Mia terpaku pada wajah Max yang tampan dan semakin matang di usia 28 tahun. Max yang berdarah Jawa-Belanda-Inggris memiliki kulit yang tak terlalu pucat. Bibirnya yang penuh memiliki senyum memikat dan rambutnya hitam menawan. Dan matanya, ah, sepasang “hunter eyes” yang sungguh luar biasa; abu-abu yang dalam, mengandung kehangatan dan misteri sekaligus.
“Max, maafkan aku.” Akhirnya Mia mulai berkata. “Aku—” Mia menelan ludah, menunduk saat pandangannya bertemu dengan sepasang mata abu-abu indah itu, yang menatapnya penuh harap.
“Aku sudah menikah, Max. Aku menghilang dari hidupmu selama tujuh tahun ini karena aku sudah menikah, aku bahkan sudah punya anak.” Mia berkata sambil beranjak dari pangkuan Max yang seketika menegang mendengarnya.
Mia bisa melihat wajah Max yang seketika tampak pucat, terpukul oleh ucapan “kekasihnya”.
Perlahan, Mia beringsut pergi. Ia tidak boleh ada di–
Tiba-tiba, Max mencekal erat tangannya.
“Kenapa kamu tega melakukan ini padaku, Mia?” sentak Max. Matanya menatap Mia nyalang, penuh kemarahan. Tapi juga berkaca-kaca. “Jelaskan padaku! Setelah menghilang tanpa penjelasan, setelah membuatku mencari dan menunggumu selama tujuh tahun–Tujuh tahun, Mia!”
Mia tertegun, tak mengira kejujurannya sanggup mengguncang emosi pria itu.
“Kamu … menungguku?” Mata Mia memanas. Segala perasaan campur aduk dalam dadanya. Setelah perselingkuhan suaminya, pertemuannya dengan mantan kekasihnya kian menambah beban mentalnya. “Tapi kenapa? Kamu tampan dan terkenal, kamu bisa mendapatkan wanita lain yang lebih segala-galanya dariku!”
Otak Mia benar-benar sudah tidak bisa berpikir jernih.
Namun, kalimat Mia tersebut membuat Max mendorong tubuh Mia ke tempat tidur dengan satu gerakan kuat.
“Apa aku kurang menunjukkan bahwa aku ini mencintaimu?” sergah Max, suaranya serak dan penuh dengan kemarahan dan kesedihan mendalam. “Apa otakmu itu tidak ingat kalau hanya kamu wanita yang kuinginkan? Selama ini aku selalu memegang janji kita, sialan!”
Mia terguncang, dia tidak pernah melihat Max seperti ini. Sebelum dia bisa merespons, Max sudah menindih tubuhnya di atas ranjang, bibirnya mencium Mia dengan ganas, seolah ingin menyalurkan semua kerinduan, rasa sakit, dan kekecewaannya.
Ciuman Max begitu kasar, penuh dengan gairah yang dipicu oleh amarah. Mia berusaha melawan, tetapi tubuhnya terasa lemah di bawah kekuatan Max.
“Max, berhenti! Kumohon!” Mia mencoba berteriak, namun suaranya tertahan oleh ciuman Max yang semakin dalam.
“Max, jangan!” seru Mia saat Max malah mencabik pakaiannya.
Air mata Mia mengalir deras, tangisannya menggema di ruangan. Tapi Max justru menciumnya dengan makin kasar. Ini bukan Max yang dia kenal, bukan pria yang selama ini ia percayai dan cintai. Mia mendorong dada Max, berusaha melepaskan diri dari cengkeramannya. Namun, kekuatannya tidak sebanding dengan kekuatan pria ini. “Max, STOP!” Mia menggeliat, menendang, dan memukul, tapi Max seolah terbutakan oleh amarah dan keputusasaan.Mia teringat saat-saat indah mereka bersama, senyum hangat Max, tatapan lembutnya. Bayangan itu membuatnya bertekad ingin mengembalikan Max. “Max, lihat aku!” Mia berteriak, matanya mencari-cari mata Max, ditahannya kedua sisi wajah Max yang sejak tadi menciumnya dengan liar.Tatapan mereka bertemu, dan di saat itu, ada sesuatu yang berubah. Mata Max yang tadinya dipenuhi amarah kini memancarkan keraguan. Mia tidak berhenti. “Ini bukan kamu, Max. Kamu bukan orang yang seperti ini,” serunya.Max tertegun. Cengkeramannya melemah. Dalam hatinya, ia merasa ada se
Vena cepat-cepat mengambil alih Alyra yang kaget dan ketakutan mendengar teriakan Nathan yang menggelegar. Bocah itu menangis. Vena buru-buru menenangkannya sambil berjalan menuju sebuah Toyota Vellfire hitam yang telah menunggu mereka di lobi.Sementara itu Nathan, dengan sorot matanya yang menyala-nyala, segera menuju ke arah Mia yang sedang saling berpegangan tangan dengan Max. “Rupanya kamu masih di sini?” katanya sambil menarik tangan Mia. Dengan sekali sentak, Mia terlepas dari Max. “Kalian bersama semalam?” cecar Nathan pada Mia, lalu pria itu menoleh kepada Max. Bila tatapan Nathan bisa membunuh, mungkin Max sudah menggelepar di lantai sekarang.Max mengenali sosok pria di depannya. Nathan adalah sepupu Mia, sudah seperti kakak kandung bagi Mia. Pria itu memang dikenalnya over protektif terhadap Mia sejak dulu. “Nathan? Apa kabar?” Max mengulurkan tangan, ingin bersalaman. Namun tangannya hanya menggantung di udara, tak menerima sambutan dari Nathan.Max menarik kembali tan
“Mas, kita perlu bicara.” Mia buka suara begitu Nathan memasuki kamar pada esok paginya. Semalam, Nathan tak kembali ke kamar mereka. Mia mendengar balita itu terus saja menangis dan dia tahu Nathan pasti ada di kamar itu untuk menenangkan putrinya.Oh, Tuhan. Fakta bahwa Nathan memiliki seorang putri bersama wanita lain telah membuat hati Mia remuk. Ditambah sekarang, mereka juga ada di sini, di rumahnya! Perasaan marah dan kecewa bercampur aduk dalam dadanya.“Bicaralah.” Nathan duduk di tepi kasur, dengan nada lelah dan sorot mata redup seperti masih mengantuk. Namun, seberat apapun kondisinya, dia ingin memberi kesempatan istrinya berbicara.“Vena…," suara Mia sedikit bergetar, "dia tidak seharusnya ada di sini." Nathan menghela napas panjang, mengusap wajahnya dengan tangan. “Aku tahu, Mia. Aku tahu." Pria itu mengangguk-angguk pelan. "Tapi kita tak boleh mengusirnya. Dia harus tetap di sini.” Nathan memandang Mia lurus-lurus.Pernyataan Nathan barusan seperti belati yang menusuk
Mia meringis kesakitan sebab Nathan mencengkeram pergelangan tangannya dengan kekuatan yang terlalu berlebihan. Matanya berkaca-kaca. Ada rasa sakit yang tersorot di dalamnya. Suaminya justru melindungi perempuan yang menghina dirinya. Sementara itu senyum tipis menghiasi wajah Vena, memancarkan aura kemenangan yang membuat darah Mia mendidih."Lepaskan tanganku, Mas!” Tangisan Alyra pun pecah, wajah bocah itu bingung dan ketakutan melihat Mia yang tampak bernafsu ingin menyakiti ibu yang disayanginya. "Sudah, Mia! Kamu bikin Alyra ketakutan." Nathan membentak, nada suaranya yang tegas dan penuh perintah memotong udara seperti pisau tajam. Mata kelamnya menyala, penuh peringatan saat melihat Mia masih berusaha melampiaskan amarahnya. Pria itu berdiri tegak, tubuh gagahnya menjadi benteng yang melindungi Vena dari amukan Mia. Sementara itu, Vena meringkuk di balik punggung Nathan, menggunakan pria itu sebagai tameng, senyum tipis lagi-lagi bermain di bibirnya.Mia, dengan mata yang
Mia terbangun dan memandang sisi ranjang yang kosong di sebelahnya. Kekosongan dalam hatinya kian menjadi, setiap Nathan tidak tidur di kamar mereka terasa seperti pengkhianatan. Pria itu lebih banyak menghabiskan waktunya dengan Alyra, anak kecil yang rapuh itu. Mia merasa jahat, karena cemburu pada bocah tiga tahun yang tak berdosa. Alyra berhak mendapatkan cinta dari ayahnya, Mia tahu itu. Tapi, rasa cemburu itu tetap menggerogoti hatinya, membuatnya merasa tersingkirkan dan tak berdaya.Nathan adalah suaminya, dan Mia merasa seharusnya masih memiliki hak atas dirinya. Mia menghela napas panjang, merasakan cemburu yang semakin sulit untuk diabaikan. Nathan mulai berat sebelah, dan itu tak bisa disangkal lagi. Sementara itu, Vena semakin sering mencuri ruangnya, seolah ingin mengukuhkan posisinya yang lebih istimewa daripada Mia. Setiap kali Vena ada di dekat Nathan dan Alyra, Mia merasa perannya sebagai istri Nathan semakin dipertanyakan.Mia menolak larut dalam kesedihan. Dia seg
Posisinya di tribun VIP memberikan Mia pandangan yang sempurna ke lapangan. Di sana, Max bermain dengan ketangkasan yang memikat. Max menguasai bola dengan keahlian yang membuat suporter terpana. Gelandang bernomor punggung 23 itu memimpin serangan tim dengan visi yang tajam, mengirimkan umpan-umpan yang akurat."Omaygat. Karin, pacarmu keren," ujar Michella dengan nada menggoda.“Baru tahu? Kasihan.” Karin memutar bola mata sambil tertawa riang.“Hmm ya, pacarmu terlihat hebat di lapangan, kurasa staminanya di ranjang sudah tidak perlu diragukan lagi, bukan?” balas Michella.“Ciumannya saja luar biasa, asal kau tahu,” sahut Karin, tersenyum bangga.Mia mengabaikan obrolan nakal antara Michella dan Karin di sebelahnya. Dia tak bisa mengalihkan pandangannya dari Max. Dia selalu tahu bahwa Max berbakat. Setiap kali Max menguasai bola, Mia seakan menahan napas, menantikan apa yang akan terjadi selanjutnya. Sementara di sebelahnya, Karin dan Michella terus saja bergosip.Max menggirin
“Kamu memang harus lebih menerimaku, Mia," ucap Vena. Ia menyerobot Mia di dapur dan mengambil alih persiapan bekal makan Rival. "Bukankah asyik kalau kita bisa akur dan saling membantu begini? Bersama-sama mengurus anak-anak dan suami kita.”Mia mendengus pelan. "Suami kita?" balasnya, seakan-akan jijik dengan pilihan kata yang dipakai Vena. "Jangan membual."Ia mengambil alih kotak makan siang dari tangan Vena. "Iyuh..., menjijikkan." Dia mencuci kotak bekal itu sambil meringis.Mia menyabun dan membilasnya hingga tiga kali, bahkan mensterilkannya dengan air panas.Vena mengepalkan tangan. “Kau–” Dia menahan geram melihat cara Mia memperlakukan benda itu, seolah-olah baru saja bersentuhan dengan sesuatu yang najis. Mia sengaja membawa Rival berangkat lebih awal, menghindari momen sarapan bersama Nathan, Alyra, dan juga Vena. Melihat kebersamaan mereka membuat Mia mual.Mia beralasan, “Jam latihan sepakbola Rival dimajukan lebih pagi. Kami berangkat sekarang, Mas.” Setibanya di la
Dalam temaramnya bioskop, Mia merasakan tatapan panas Max yang tak henti-hentinya mendarat pada dirinya. Membuat Mia tak bisa memusatkan perhatiannya pada film Doraemon yang sedang tayang.Dia tahu, Max tak tertarik pada film animasi itu, Max lebih menyukai gemerlap dunia film live action yang penuh aksi dan adrenalin. Mia menghela napas, dia memutuskan untuk membuka nomor kontak Max yang selama tujuh tahun ini diblokirnya. Setelah memeriksa bahwa nomor itu rupanya masih tetap digunakan oleh Max, iapun segera mengirim pesan.Mia: [Max, kita di ruang publik. Kamu atlet populer, orang-orang memperhatikanmu. Berhentilah memandangku. Jangan memicu spekulasi orang-orang.]Namun, pesan itu bagaikan batu yang dilemparkan ke kolam sunyi. Max bergeming, tampak asyik dengan dunianya sendiri: menonton film, berbisik-bisik dengan Rival, dan kembali memandangnya, tak sadar tatapannya yang intens itu telah menusuk Mia dengan ketidaknyamanan.Tak tahan lagi, Mia memberi isyarat agar Max memeriksa