Air mata Mia mengalir deras, tangisannya menggema di ruangan. Tapi Max justru menciumnya dengan makin kasar.
Ini bukan Max yang dia kenal, bukan pria yang selama ini ia percayai dan cintai.
Mia mendorong dada Max, berusaha melepaskan diri dari cengkeramannya. Namun, kekuatannya tidak sebanding dengan kekuatan pria ini.
“Max, STOP!” Mia menggeliat, menendang, dan memukul, tapi Max seolah terbutakan oleh amarah dan keputusasaan.
Mia teringat saat-saat indah mereka bersama, senyum hangat Max, tatapan lembutnya. Bayangan itu membuatnya bertekad ingin mengembalikan Max.
“Max, lihat aku!” Mia berteriak, matanya mencari-cari mata Max, ditahannya kedua sisi wajah Max yang sejak tadi menciumnya dengan liar.
Tatapan mereka bertemu, dan di saat itu, ada sesuatu yang berubah. Mata Max yang tadinya dipenuhi amarah kini memancarkan keraguan. Mia tidak berhenti. “Ini bukan kamu, Max. Kamu bukan orang yang seperti ini,” serunya.
Max tertegun. Cengkeramannya melemah. Dalam hatinya, ia merasa ada sesuatu yang remuk. Sorot mata Mia yang penuh luka dan ketakutan menghantam kesadarannya. Ia melihat air mata yang mengalir di pipi Mia, mendengar isak tangisnya membuat hati Max terguncang.
“Maaf…,” suaranya hampir tidak terdengar. Max melepaskan tangannya dari tubuh Mia, mundur beberapa langkah dan terhuyung, seolah-olah baru saja disadarkan dari mimpi buruk. Dia jatuh berlutut di lantai, kepalanya tertunduk dalam rasa malu dan penyesalan yang mendalam.
Max menghempaskan tubuhnya ke dinding, napasnya terengah-engah, dan keringat dingin mengalir di pelipisnya. Matanya terbuka lebar, dipenuhi rasa bersalah dan penyesalan yang mendalam. Sementara itu, Mia meringkuk di sudut ranjang, tubuhnya gemetar dan pandangannya kosong.
Pertarungan mereka barusan meninggalkan bekas luka tak terlihat di hati mereka berdua. Kesunyian pun melingkupi ruangan, detik demi detik berlalu dalam keheningan yang menyesakkan.
Max membenahi pakaiannya, merapikan rambut yang kusut dengan gerakan gugup, lalu mendekat ke arah Mia.
"Maafkan aku, Mia," katanya dengan suara serak, hampir berbisik. "Aku … kehilangan kendali. Aku … benar-benar menyesal."
Mia mendongak perlahan, tatapannya menusuk tepat ke dalam mata Max. Ada ketegangan di sana, campuran antara kemarahan, ketakutan, dan ketidakpercayaan. Namun, ia tahu bahwa di balik itu semua, Max hanya sedang tersesat dalam emosinya.
"Aku tahu." Suara Mia tegar meskipun ada goresan kepedihan. Wanita itu menunduk, memandang blusnya yang terkoyak. Ia berusaha menutupinya bagian depan kancingnya yang terlepas.
“Maaf, aku akan mengganti pakaianmu yang rusak. Akan segera kubelikan.” Max berkata lirih.
Pria itu memejamkan matanya ketika menyadari bahwa dia telah menyakiti Mia. Leher wanita itu dipenuhi bekas ciuman yang memerah di beberapa tempat, menunjukkan betapa kuatnya isapan yang dia lakukan di sana tadi.
“Tidak perlu, aku punya pakaian ganti.” Mia beranjak bangun, ingin menuju ke kamar mandi.
Max mengulurkan tangan ketika melihat Mia berjalan dengan sedikit sempoyongan. Keadaan wanita ini jelas tidak baik-baik saja.
“Mia!” Max dengan sigap meraih tubuh Mia yang tiba-tiba saja terkulai pingsan.
***
Sementara itu, di kamar yang ditinggalkan Mia, Alyra, dengan gaun kecil berwarna merah muda yang anggun, duduk di depan kue tartnya dengan mata berbinar-binar. Senyumnya lebar, penuh kegembiraan anak-anak yang murni.
Nathan duduk di sebelahnya, menyembunyikan kegelisahan yang menggelayuti hatinya. Namun, senyum yang ia pasang untuk Alyra terlihat tulus, penuh kasih sayang.
Tadi, saat ia berniat mengejar Mia, tiba-tiba Vena, ibu dari Alyra, datang menghadangnya. Membuat emosi Nathan makin tidak karuan.
Namun, wanita itu mengatakan, “Jangan marah, Pak. Aku di sini demi Alyra.”
Oleh karena itu, Nathan menahan semua emosi dan kekalutan hatinya. Ia tidak mungkin menyalahkan gadis kecil yang tidak tahu apa-apa.
"Selamat ulang tahun, Sayang." Nathan mencium pipi Alyra yang gembul. Lalu menyanyikan lagu ulang tahun. Vena juga ikut bernyanyi untuk putrinya.
"Happy birthday to you…, happy birthday to you…, happy birthday dear Alyra…, happy birthday to you!"
Nathan menatap Alyra.. "Sekarang, tiup lilinnya, Sayang."
Alyra mengambil napas dalam-dalam, meniup lilin dengan penuh semangat. Api di atas angka tiga padam, dan Alyra bersorak girang, bertepuk tangan dengan gembira.
Nathan tertawa, suaranya penuh kebahagiaan yang menyamarkan kegelisahan di hatinya. Dia mengangkat Alyra dan memeluknya erat, mencium pipinya dengan lembut.
"Alyra anak hebat,” bisiknya memuji.
Namun, saat Nathan memeluk bocah 3 tahun itu, pikirannya melayang ke tempat lain. Di balik senyum dan tawa, hatinya dipenuhi kecemasan yang mendalam tentang Mia. Dia tidak bisa berhenti memikirkan bagaimana keadaannya sekarang, apakah dia baik-baik saja?
Rasanya tidak. Rasa bersalah menyelinap di sela-sela kegembiraannya bersama Alyra, membuatnya merasa terpecah antara cinta untuk bocah ini dan kekhawatiran untuk Mia, istri yang dicintainya.
Vena melirik Nathan, dia bisa melihat kilat kegelisahan di mata pria itu. “Pasti memikirkan Mia!” gerutunya dalam hati.
“Terima kasih sudah merayakan ulang tahun Alyra kali ini, Pak.” Vena berkata sambil menyelimuti Alyra yang baru saja tertidur. Ini menjadi kali pertama Nathan ada untuk Alyra di hari ulang tahunnya.
Nathan memasang wajah dingin, jauh berbeda dengan wajah yang senantiasa ia tampakkan untuk Alyra.
“Sekali lagi kamu mengacau, aku tidak akan memaafkanmu, Vena.” Pria itu berkata.
“Tapi, Pak … Alyra sedang sakit. Mia memiliki banyak kesempatan untuk merayakan ulang tahunnya dengan Bapak, tapi Alyra?” ratap Vena mengais iba.
Begitulah, bila sudah membawa-bawa nama Alyra, Nathan seolah tak bisa berkutik di depan Vena. Nathan tak tega pada bocah cilik itu.
“Cepat siap-siap, kuantar kalian ke Gambir,” kata Nathan esok paginya, setelah semalaman mereka menginap bersama untuk merayakan ulang tahun Alyra. Rencananya Vena dan Alyra akan kembali ke Malang naik kereta api pagi ini.
Alyra mengalungkan tangan mungilnya ke leher Nathan sambil terkekeh saat pria itu menggesekkan ujung hidung mancungnya ke ujung hidungnya. Nathan tampak menikmati kebersamaan mereka. Sementara itu di sebelah Nathan, Vena ikut tersenyum.
Tawa Nathan seketika menyurut ketika tiba-tiba saja matanya menangkap sosok sang istri di lobi hotel.
“Mia…!” panggilnya dengan nada yang tinggi.
Mia yang sedang berjalan bersisian dengan Max segera menoleh, wajahnya seketika pias. Dia tak mengira bakal melihat Nathan menggendong anaknya bersama wanita lain.
“Jadi…, semalam dia menginap bersama anaknya dan wanita selingkuhannya itu? Di sini?” geramnya dalam hati. “Setelah aku pergi?”
Mia memandang Vena dengan sorot marah dan juga jijik.
Sial. Dia pikir mentalnya kuat saat berhadapan dengan si pelakor itu, tapi rupanya tidak!
Andai Max tak segera merangkul dan menopang tubuhnya yang gemetar, mungkin Mia sudah merosot ke lantai saat ini.
“Mia, kamu tidak apa-apa?” bisik Max, terdengar khawatir.
Mia berpegangan erat pada lengan Max yang kokoh, menjadikannya sandaran dalam situasi sulitnya saat ini.
“MIA…!” Suara Nathan kembali menggema di sana, menyoroti dirinya dan Max dengan tatapan seperti siap membunuh.
Vena cepat-cepat mengambil alih Alyra yang kaget dan ketakutan mendengar teriakan Nathan yang menggelegar. Bocah itu menangis. Vena buru-buru menenangkannya sambil berjalan menuju sebuah Toyota Vellfire hitam yang telah menunggu mereka di lobi.Sementara itu Nathan, dengan sorot matanya yang menyala-nyala, segera menuju ke arah Mia yang sedang saling berpegangan tangan dengan Max. “Rupanya kamu masih di sini?” katanya sambil menarik tangan Mia. Dengan sekali sentak, Mia terlepas dari Max. “Kalian bersama semalam?” cecar Nathan pada Mia, lalu pria itu menoleh kepada Max. Bila tatapan Nathan bisa membunuh, mungkin Max sudah menggelepar di lantai sekarang.Max mengenali sosok pria di depannya. Nathan adalah sepupu Mia, sudah seperti kakak kandung bagi Mia. Pria itu memang dikenalnya over protektif terhadap Mia sejak dulu. “Nathan? Apa kabar?” Max mengulurkan tangan, ingin bersalaman. Namun tangannya hanya menggantung di udara, tak menerima sambutan dari Nathan.Max menarik kembali tan
“Mas, kita perlu bicara.” Mia buka suara begitu Nathan memasuki kamar pada esok paginya. Semalam, Nathan tak kembali ke kamar mereka. Mia mendengar balita itu terus saja menangis dan dia tahu Nathan pasti ada di kamar itu untuk menenangkan putrinya.Oh, Tuhan. Fakta bahwa Nathan memiliki seorang putri bersama wanita lain telah membuat hati Mia remuk. Ditambah sekarang, mereka juga ada di sini, di rumahnya! Perasaan marah dan kecewa bercampur aduk dalam dadanya.“Bicaralah.” Nathan duduk di tepi kasur, dengan nada lelah dan sorot mata redup seperti masih mengantuk. Namun, seberat apapun kondisinya, dia ingin memberi kesempatan istrinya berbicara.“Vena…," suara Mia sedikit bergetar, "dia tidak seharusnya ada di sini." Nathan menghela napas panjang, mengusap wajahnya dengan tangan. “Aku tahu, Mia. Aku tahu." Pria itu mengangguk-angguk pelan. "Tapi kita tak boleh mengusirnya. Dia harus tetap di sini.” Nathan memandang Mia lurus-lurus.Pernyataan Nathan barusan seperti belati yang menusuk
Mia meringis kesakitan sebab Nathan mencengkeram pergelangan tangannya dengan kekuatan yang terlalu berlebihan. Matanya berkaca-kaca. Ada rasa sakit yang tersorot di dalamnya. Suaminya justru melindungi perempuan yang menghina dirinya. Sementara itu senyum tipis menghiasi wajah Vena, memancarkan aura kemenangan yang membuat darah Mia mendidih."Lepaskan tanganku, Mas!” Tangisan Alyra pun pecah, wajah bocah itu bingung dan ketakutan melihat Mia yang tampak bernafsu ingin menyakiti ibu yang disayanginya. "Sudah, Mia! Kamu bikin Alyra ketakutan." Nathan membentak, nada suaranya yang tegas dan penuh perintah memotong udara seperti pisau tajam. Mata kelamnya menyala, penuh peringatan saat melihat Mia masih berusaha melampiaskan amarahnya. Pria itu berdiri tegak, tubuh gagahnya menjadi benteng yang melindungi Vena dari amukan Mia. Sementara itu, Vena meringkuk di balik punggung Nathan, menggunakan pria itu sebagai tameng, senyum tipis lagi-lagi bermain di bibirnya.Mia, dengan mata yang
Mia terbangun dan memandang sisi ranjang yang kosong di sebelahnya. Kekosongan dalam hatinya kian menjadi, setiap Nathan tidak tidur di kamar mereka terasa seperti pengkhianatan. Pria itu lebih banyak menghabiskan waktunya dengan Alyra, anak kecil yang rapuh itu. Mia merasa jahat, karena cemburu pada bocah tiga tahun yang tak berdosa. Alyra berhak mendapatkan cinta dari ayahnya, Mia tahu itu. Tapi, rasa cemburu itu tetap menggerogoti hatinya, membuatnya merasa tersingkirkan dan tak berdaya.Nathan adalah suaminya, dan Mia merasa seharusnya masih memiliki hak atas dirinya. Mia menghela napas panjang, merasakan cemburu yang semakin sulit untuk diabaikan. Nathan mulai berat sebelah, dan itu tak bisa disangkal lagi. Sementara itu, Vena semakin sering mencuri ruangnya, seolah ingin mengukuhkan posisinya yang lebih istimewa daripada Mia. Setiap kali Vena ada di dekat Nathan dan Alyra, Mia merasa perannya sebagai istri Nathan semakin dipertanyakan.Mia menolak larut dalam kesedihan. Dia seg
Posisinya di tribun VIP memberikan Mia pandangan yang sempurna ke lapangan. Di sana, Max bermain dengan ketangkasan yang memikat. Max menguasai bola dengan keahlian yang membuat suporter terpana. Gelandang bernomor punggung 23 itu memimpin serangan tim dengan visi yang tajam, mengirimkan umpan-umpan yang akurat."Omaygat. Karin, pacarmu keren," ujar Michella dengan nada menggoda.“Baru tahu? Kasihan.” Karin memutar bola mata sambil tertawa riang.“Hmm ya, pacarmu terlihat hebat di lapangan, kurasa staminanya di ranjang sudah tidak perlu diragukan lagi, bukan?” balas Michella.“Ciumannya saja luar biasa, asal kau tahu,” sahut Karin, tersenyum bangga.Mia mengabaikan obrolan nakal antara Michella dan Karin di sebelahnya. Dia tak bisa mengalihkan pandangannya dari Max. Dia selalu tahu bahwa Max berbakat. Setiap kali Max menguasai bola, Mia seakan menahan napas, menantikan apa yang akan terjadi selanjutnya. Sementara di sebelahnya, Karin dan Michella terus saja bergosip.Max menggirin
“Kamu memang harus lebih menerimaku, Mia," ucap Vena. Ia menyerobot Mia di dapur dan mengambil alih persiapan bekal makan Rival. "Bukankah asyik kalau kita bisa akur dan saling membantu begini? Bersama-sama mengurus anak-anak dan suami kita.”Mia mendengus pelan. "Suami kita?" balasnya, seakan-akan jijik dengan pilihan kata yang dipakai Vena. "Jangan membual."Ia mengambil alih kotak makan siang dari tangan Vena. "Iyuh..., menjijikkan." Dia mencuci kotak bekal itu sambil meringis.Mia menyabun dan membilasnya hingga tiga kali, bahkan mensterilkannya dengan air panas.Vena mengepalkan tangan. “Kau–” Dia menahan geram melihat cara Mia memperlakukan benda itu, seolah-olah baru saja bersentuhan dengan sesuatu yang najis. Mia sengaja membawa Rival berangkat lebih awal, menghindari momen sarapan bersama Nathan, Alyra, dan juga Vena. Melihat kebersamaan mereka membuat Mia mual.Mia beralasan, “Jam latihan sepakbola Rival dimajukan lebih pagi. Kami berangkat sekarang, Mas.” Setibanya di la
Dalam temaramnya bioskop, Mia merasakan tatapan panas Max yang tak henti-hentinya mendarat pada dirinya. Membuat Mia tak bisa memusatkan perhatiannya pada film Doraemon yang sedang tayang.Dia tahu, Max tak tertarik pada film animasi itu, Max lebih menyukai gemerlap dunia film live action yang penuh aksi dan adrenalin. Mia menghela napas, dia memutuskan untuk membuka nomor kontak Max yang selama tujuh tahun ini diblokirnya. Setelah memeriksa bahwa nomor itu rupanya masih tetap digunakan oleh Max, iapun segera mengirim pesan.Mia: [Max, kita di ruang publik. Kamu atlet populer, orang-orang memperhatikanmu. Berhentilah memandangku. Jangan memicu spekulasi orang-orang.]Namun, pesan itu bagaikan batu yang dilemparkan ke kolam sunyi. Max bergeming, tampak asyik dengan dunianya sendiri: menonton film, berbisik-bisik dengan Rival, dan kembali memandangnya, tak sadar tatapannya yang intens itu telah menusuk Mia dengan ketidaknyamanan.Tak tahan lagi, Mia memberi isyarat agar Max memeriksa
Mia menghela napas, memandang Rival yang tertidur. “Nah, kan. Dia selalu saja begini, ketiduran di akhir-akhir film.”“Biar saja.” Max menahan tangan Mia yang sedang menepuk-nepuk pelan pipi Rival, bermaksud membangunkannya. “Dia kelelahan,” ujar Max sambil tersenyum, memandang Rival. “Tadi dia bersemangat sekali di lapangan.” Max teringat bagaimana Rival berupaya keras menunjukkan aksi-aksinya yang memukau saat sesi latihan bersamanya tadi. Membuat Max diam-diam mengagumi bakatnya. Mia memandang sekeliling bioskop yang kini kosong. “Max,” panggilnya pelan. “Orang-orang sudah keluar semua, tinggal kita.”“Tidak apa-apa," Max mengerling penuh keisengan padanya, "paling kita cuma diusir…”“Max!” Mia sewot, tapi Max malah tertawa ringan.Mia berdiri, Max juga ikut berdiri dan segera menggendong Rival dengan begitu mudah. Bobot tubuh Rival yang bagi Mia berat, terlihat ringan dalam gendongan Max.Max menuruni undakan demi undakan lantai bioskop dengan gerakan atletis yang mengagumkan,
Di lobi gedung rumah sakit elit di jantung kota Jakarta, sebuah sedan Rolls Royce hitam berhenti dengan anggun, memancarkan aura kemewahan yang nyata di antara deretan mobil mewah lainnya yang sedang memasuki halaman rumah sakit tersebut.Pintu mobil sedan mewah itu terbuka, menampilkan seorang pria tampan berwajah oriental yang melangkah keluar dengan aura kecerdasan dan percaya diri. Berbalut sepatu kulit hitam mengkilap, kaki pria itu menapak lantai lobi dengan ketegasan seorang pemimpin sejati. Setelan jas hitam yang dikenakannya begitu pas membingkai tubuhnya yang tinggi dan atletis, menambah kesan elegan dan berwibawa yang kini melekat erat pada diri pria berusia 40 tahun itu.“Silakan, Tuan Valen,” sapa asistennya sambil membukakan pintu mobil, memberikan anggukan hormat pada CEO “Bintang Hospital Group” yang baru saja tiba.Aura Dokter Joshua Valen kini begitu berbeda, mencerminkan transformasi yang telah ia lalui dalam beberapa tahun ini. Sejak ditinggalkan oleh Mia, Valen me
Max dan Mia memulai babak baru dalam kehidupan mereka di Lake District, Inggris, sebuah tempat yang menawarkan ketenangan dan keindahan alam yang kontras dengan kehidupan kota yang sibuk. Keputusan mereka untuk menetap di kawasan ini adalah bagian dari keinginan mereka untuk menemukan kedamaian dan kebahagiaan dalam kehidupan baru mereka bersama.Rumah mereka, sebuah cottage yang terletak di tepi danau, dikelilingi oleh hutan hijau dan pegunungan yang menjulang, memberikan latar belakang yang sempurna untuk melanjutkan kehidupan mereka. Setiap pagi, mereka disambut oleh pemandangan matahari terbit yang memukau dan suara lembut angin yang berdesir di antara pepohonan. Ini adalah tempat di mana Mia dan Max dapat menghindar dari hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari dan benar-benar fokus pada kebersamaan mereka.Max, sebagai pemain sepak bola profesional, berhasil menjalani karier yang cemerlang di Inggris bersama Lakeside City, klub sepak bola yang kini terdaftar dalam EPL (English Premi
Di sebuah rumah sakit, Valen duduk di ruang tunggu keluarga pasien, menantikan Mia yang sedang menjalani operasi darurat dan harus dikuret karena mengalami keguguran. Valen masih mengenakan kemejanya yang bersimbah darah—darah Mia. Asistennya mencoba membujuknya untuk mengganti pakaian. Namun, Valen menggelengkan kepala, menolak tawaran itu. Gelengan itu membuat asistennya mundur, memberikan ruang bagi Valen yang masih terlihat kalut dan terpukul oleh peristiwa tragis yang menimpa Mia.Di depannya, Max yang juga sedang tegang menantikan Mia, ia mengamati semua gerak-gerik Dokter Joshua yang semakin jelas di matanya. “Kamu jatuh cinta pada Mia kan, Dok?”Tanpa ragu, Valen mengangguk. “Aku jatuh cinta padanya sejak pertama kali kami bertemu, di ruang IGD itu. Kupikir saat itu aku hanya merasa iba kepadanya, tapi ternyata tidak… itu bukan hanya rasa iba ataupun sekadar simpati. Aku selalu ingin bersamanya sejak saat itu. Ingin melindunginya, ingin memastikan bahwa dia selalu baik-baik
Gavin menginjak gas mobilnya lebih dalam, melesat keluar dari basement dengan kecepatan yang mencerminkan kepanikan dalam dirinya. Jantungnya berpacu, diliputi oleh ketakutan dan penyesalan yang menghantui setiap pikiran.“Maafkan aku, Valen. Maafkan aku…!” suaranya nyaris tak terdengar, tercekik oleh emosi yang bergolak. Bibirnya gemetar, dan air mata mulai membanjiri pandangannya.Tangis Gavin pecah, mengalir deras seperti sungai yang tak terbendung. Hatinya terasa remuk, diremas oleh kepedihan yang tak tertahankan saat bayangan Valen melintas di benaknya. Bagaimana kondisi pria yang dicintainya itu sekarang?Pikiran itu mencabik-cabik ketenangannya. Ketakutan menyeruak, menggerogoti setiap sudut batinnya. Bagaimana jika Valen… mati? Atau lebih buruk, bagaimana jika Valen cacat permanen akibat keputusan impulsif yang baru saja ia buat?“Tidak…! Tidak!” Gavin memukul-mukul setir mobil dengan frustrasi.Penyesalannya datang terlambat, menghempaskan Gavin ke dalam jurang keputusasaan.
Di dalam basement, area parkir sebuah apartemen, tatapan Gavin tak lepas dari mobil yang terletak beberapa meter di depannya. Mobil itu seolah menjadi simbol dari seseorang yang diam-diam telah menjadi pusat dunianya—Dokter Joshua Valen. Hati Gavin bergejolak dengan perasaan yang tak pernah ia ungkapkan kepada siapa pun, kecuali kepada pemilik mobil itu sendiri.Joshua Valen, sang dokter yang tampan dan baik hati, adalah sosok yang telah membuat Gavin merasakan ketenangan yang tak pernah ia dapati dari orang lain. Setiap kali berada di dekat Valen, Gavin merasa damai, seolah semua beban hidupnya menghilang dalam sekejap. Kekaguman Gavin terhadap Valen melampaui batas-batas yang wajar, melebihi rasa kagum seorang pasien biasa kepada dokternya. Gavin telah jatuh cinta—perasaan yang ia tahu salah, namun tak bisa ia kendalikan.Gavin masih mengingat dengan jelas hari ketika ia akhirnya memberanikan diri mengungkapkan perasaannya kepada Valen. Detik-detik itu penuh ketegangan baginya, n
“Michella, kamu sekarang bisa mencairkan nilai pokok investasi milik Mia, lakukan segera.” Nathan menyampaikan instruksi itu lewat telepon. Michella terkejut mendengar permintaan Nathan. Padahal sebelumnya, Nathan kerap memberinya ancaman yang mengerikan bila ia sampai memberikan bantuan keuangan pada Mia, apalagi sampai mengembalikan nilai pokok investasi yang sudah sering diminta oleh Mia.Namun, tanpa banyak tanya lagi—khawatir Nathan berubah pikiran, Michella segera mentransfer uang itu pada Mia. Membuat Mia menangis lega saat ia menyampaikan kabar baik itu.“Maaf, aku baru bisa mengembalikan uang investasimu sekarang, Mia.” Michella berkata dengan hati yang diliputi rasa bersalah.“Tidak apa-apa, Michella…, yang penting sekarang bisnismu sudah stabil, kan?” ucap Mia begitu tulus.Michella diam-diam merasa bersalah dalam hatinya karena sebenarnya bisnisnya baik-baik saja selama ini. Tetapi ia tak berkutik dan tunduk pada perintah Nathan karena ancaman-ancamannya terhadap bisnis M
“Bisa-bisanya kamu menciptakan kiamat untuk kariermu sendiri, Max!” Brama mengomel dengan nada yang semakin meninggi saat menemuinya di hotel usai pertandingan malam itu, nadanya penuh dengan kekhawatiran. Dia membayangkan dampak dari tindakan Max yang sembrono ini—reputasi yang hancur, skandal yang meledak, efek domino yang bisa berakibat fatal bagi kariernya. Brama sangat memahami bagaimana dunia olahraga bisa kejam; satu langkah salah bisa menghancurkan segalanya dalam sekejap.Brama menatap Max sambil geleng-geleng kepala, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan gelisah. Kepalanya yang botak berkilau di bawah cahaya lampu. Sementara itu, Max duduk dengan tenang di hadapannya, menyandarkan punggung ke kursi dengan senyum tipis yang tampak santai. Matanya memancarkan keteguhan yang sulit digoyahkan, seolah semua kata-kata Brama hanya angin lalu.Senyuman Max mencerminkan keyakinan dan ketidakpeduliannya terhadap apa kata dunia atas tindakannya. “Mia sudah bercerai dari Nathan, itu
Jeritan cinta yang begitu menggema dari Max seolah merobek kebisingan di stadion, menimbulkan kekagetan di pikiran begitu banyak orang, khususnya Mia. Dia tak pernah membayangkan bahwa Max akan melakukan sesuatu yang begitu nekat, begitu terbuka, di depan puluhan ribu pasang mata.Mia membeku, tubuhnya kaku seperti patung di tengah lautan manusia yang seakan tidak berhenti bergejolak dengan sorak sorai dan tepukan tangan. Dalam diri Mia, perasaan malu, terkejut, dan kebingungan bergulat satu sama lain, membuat tubuhnya gemetar. Jantungnya berdetak cepat, seolah tak bisa mengimbangi kekacauan yang terjadi di dalam pikirannya. Dia tidak terbiasa menjadi pusat perhatian seperti ini.Tatapan Mia yang biasanya lembut kini terpaku lurus ke depan, mencoba menghindari pandangan orang-orang yang kini tertuju padanya. Setiap mata di stadion ini seolah sedang memperhatikannya, menilai, dan mungkin bahkan menghakiminya. Tangannya yang dingin berusaha mencari pegangan, dan tanpa sadar, ia mengge
Max bersama para pemain lainnya berjalan menuju tepi lapangan, wajahnya berseri-seri dengan senyum hangat menghiasi bibirnya. Tangannya terangkat, melambai ke arah suporter yang memenuhi tribun, seolah ia ingin menyapa setiap orang yang telah memberikan dukungan penuh selama pertandingan. Setiap langkah yang ia ambil terasa penuh dengan kebanggaan, mencerminkan kemenangan yang baru saja mereka raih.Sesampainya di tepi lapangan, Max sedikit membungkukkan badannya sebagai penghormatan tulus kepada para suporter. “Terima kasih!” teriaknya kemudian, sambil kembali melambaikan tangannya.Aksinya diikuti oleh rekan-rekan timnas yang lain. Seketika sikap rendah hati para pemain itu memicu gelombang tepuk tangan yang riuh dari tribun. Sorak-sorai membahana, mengapresiasi sikap hormat yang ditunjukkan oleh Max dan para pemain timnas.Langkah Max dan timnya terhenti tepat di depan tribun Selatan. Di sana, lautan suporter dengan kostum hitam—warna khas Ultras Garuda, mendominasi pemandangan. N