“Aku menginginkanmu, Mia.”
Bisikan sang suami membuat Mia meloloskan desah dari bibirnya. Wanita itu membuka mulut saat lidah Nathan mendorong masuk ke dalam celah bibirnya, sembari mengalungkan tangannya ke leher pria itu seraya menikmati ciuman mereka. Sebuah pesan dari suaminya mengantarkan Mia ke kamar ini, yang langsung disambut oleh kejutan manis dari Nathan. Rupanya, pria itu ingin mereka berkencan berdua tanpa sang buah hati dalam momen spesial ini, begitu pikir Mia. Nathan meletakkan tangannya di atas pundak Mia yang mulus, menyelipkan jarinya ke balik lingerie hitam seksi wanita itu dan menyibaknya dengan lembut. Gaun tipis itu pun meluncur turun dan teronggok di lantai. Pria itu membelai bagian-bagian tubuh Mia yang telanjang sembari membawanya ke arah yang ia inginkan–sebuah ranjang di tengah kamar hotel ini. Tanpa menghentikan aksi nakalnya, Nathan kembali berbisik mesra, ”Selamat ulang tahun, Mia Alyra Malik.” Mia tersenyum memandang Nathan yang kini sudah berada di atasnya. Wajahnya yang simetris dan maskulin amatlah tampan. Bola matanya yang hitam tajam kian mengukuhkan pesonanya. Tangan Mia bergerak menyentuh alis suaminya yang tebal, kemudian turun ke pipi dan mengelus rahang tegas Nathan yang dipenuhi bakal janggut. “Aku mencintaimu, Mas.” Mia balas berbisik mesra sembari membantu Nathan melepaskan pakaiannya. Nathan menatap Mia dengan penuh keinginan saat mereka menyatu dalam pelukan sarat gairah, menciptakan ikatan yang lebih dalam di antara mereka. Tubuh mereka bergerak seirama dengan sepenuh hasrat, menyatu di bawah cahaya lembut lampu kamar. Nathan tampak begitu lapar akan diri Mia, dengan rakus diciuminya sang istri. “Aku mencintaimu, Mia ….” Namun, di puncak kobaran hasrat mereka, tiba-tiba pintu kamar hotel diketuk. Awalnya mereka tidak peduli, tapi pintu kembali diketuk hingga berkali-kali, membuat Mia akhirnya merasa risih dan memutuskan untuk membuka pintu. “Sebentar, Mas,” ucap wanita itu sembari mendorong Nathan dan turun dari ranjang. Mia membungkus tubuhnya dengan jubah tidur dan berjalan ke arah pintu. “Siapa sih? Ganggu orang aja,” gerutu Mia dalam hati. “Selamat malam, Bu.” Seorang pria yang mengenakan seragam karyawan hotel berdiri di depan pintu. “Maaf mengganggu. Saya mengantar bunga dan kado ini. Pesanan dari Pak Nathan Romeo, katanya minta diantar langsung ke sini.” Ekspresi kesal Mia langsung sirna. Ia segera menerima paket tersebut. Setelah berterima kasih dan menutup pintu, Mia tersenyum sembari mencium buket bunga mawar merah di tangannya, berpikir bahwa Nathan kembali memberikan kejutan dengan memesan ini untuknya. Akan tetapi, kening Mia mengernyit saat melihat kartu ucapan yang ada di antara mawar tersebut. [Selamat ulang tahun, Tante Mia. Hari ulang tahun kita sama. Bolehkah setelah ini aku pinjam papaku sebentar untuk tiup lilin bersamaku? (Dari: Alyra – anak kesayangan Papa Nathan)] Usai membaca itu, Mia terkesiap. “Apa maksud–” “Mia,” panggil Nathan. Mia tidak memedulikan panggilan suaminya. Terdorong rasa penasaran dan berbagai pertanyaan di pikirannya, ia pun membuka kotak kado itu dengan tangan gemetar. Ketegangan menyelimuti dirinya seperti ular yang membelit, mencekik udara dari paru-parunya. Saat penutup kotak terangkat, napas Mia terhenti sejenak. Di dalamnya terdapat sejumlah foto, masing-masing menjadi bukti yang mengejutkan. Ada gambar-gambar Nathan, suami yang dicintainya, tengah memeluk bayi yang baru lahir dengan penuh kasih sayang. Bibir Nathan mengecup lembut dahi bayi itu, wajahnya terlihat begitu bahagia. Mata Mia menyelidiki setiap detail isi gambar. Tampaknya foto ini diambil di sebuah ruang bersalin, sepertinya di hari kelahiran bayi itu. Kejutan yang lebih besar pun datang ketika Mia melihat foto yang menampilkan Nathan bersama seorang wanita yang sedang menggendong bayi yang sama. Wanita itu tersenyum dalam dekapan mesra Nathan. Jantung Mia berdegup kencang, kebingungan menusuk-nusuk pikirannya. "Mas Nathan ... selingkuh?" Suara paraunya tercekat di tenggorokan. Tega sekali Nathan melakukan hal semacam ini padanya? Di hadapannya, suaminya tampak begitu perhatian, meratukannya, mencintainya. Tapi di belakangnya, diam-diam Nathan ternyata menduakannya dengan wanita lain. Bahkan mereka memiliki anak! “Mia?” Nathan kini sudah ada di belakang sang istri dan menyentuh bahu wanita itu. "Apa yang–” Mia menepis sentuhan Nathan dan berbalik menghadap pria itu. Tangisnya sudah pecah karena ia tak sanggup menahannya lagi. Kotak kado yang ada di tangannya terjatuh, hingga foto-foto di dalamnya berhamburan keluar. “Sebenarnya, sudah sejak kapan, Mas?” Suara Mia pecah saat volumenya sudah meninggi. Nathan membeku. Sepasang matanya terbelalak saat memandangi foto-foto yang berserakan di ujung kakinya. “Ini tidak seperti yang kamu lihat, Mia." Suara pria itu terdengar pelan, hampir berbisik, berbeda dengan Mia. Mia mendekat, matanya penuh amarah dan luka yang mendalam. “Benar ini anakmu, Mas?” Suara Mia bergetar, emosinya meluap-luap. “Dan kamu menamainya Alyra?” Ada rasa jijik dalam suaranya, terdengar jelas, seakan nama tengahnya yang dipakai untuk anak itu adalah penghinaan besar. “Mia—” Nathan mencoba mendekati Mia, tangannya terulur ingin menyentuh sang istri, tapi Mia kembali menepisnya. “Jawab, Mas! Benarkah dia anakmu?” tuntut Mia. Nathan menatap Mia, diam tanpa mengucapkan apa pun selama beberapa saat. “Maaf,” ucap Nathan kemudian sembari memandang Mia dengan sorot mata penyesalan, meskipun tanpa menjawab pertanyaan Mia sebenarnya. Tanpa Mia tahu sebenarnya suaminya itu mengucap maaf untuk apa. Mia terhuyung mundur, seolah dunia di sekitarnya runtuh. Dia tak bisa memercayai pria itu lagi. Nathan maju beberapa langkah, dengan ragu tangannya mencoba meraih tangan Mia, namun Mia menarik tangannya dengan cepat, tidak sudi disentuh. “Mia, aku mencintaimu.” Nathan berucap dengan suara pelan. “Keberadaan Alyra tidak mengubah kenyataan bahwa kamu dan Rival adalah prioritas utama dalam hidupku.” Ia mencoba memberikan penjelasan. “Katakan padaku, apa yang harus aku lakukan untuk membuatmu memaafkanku, Mia?” Mia menatap Nathan, menolak percaya kata-kata pria itu. “Kamu membuatku muak, Mas!” Akhirnya wanita itu berucap. Mia memakai kembali pakaiannya, menyambar tasnya, lalu segera meninggalkan kamar menuju ke lift. Ia tidak melihat Nathan mengejarnya dan Mia tidak tahu apakah ia harus bersyukur atau tidak karena hatinya merasa lebih sakit saat tidak menemukan Nathan di belakangnya. Tangan Mia sibuk menghapus air matanya yang tak kunjung berhenti, membuat wanita itu tidak menyadari bahwa lift yang ia naiki justru naik ke atas, bukannya turun ke lobi bawah. Tepat ketika lift berhenti di lantai 25, seorang pria -yang tampaknya juga merupakan tamu hotel ini- sudah menunggu di luar pintu lift yang terbuka perlahan. “Mia?” Mata Mia melebar mendengar suara familier yang tidak pernah dia dengar lagi selama tujuh tahun belakangan. Mia mengenali sosok pria tampan di hadapannya ini. "Max?” Suara Mia serak. Hatinya bergetar ketika bertemu tatap dengan sepasang “hunter eyes” berwarna abu-abu yang dalam. Ia tidak pernah menyangka akan bertemu kembali dengan mantan kekasihnya di sini, tepat setelah Mia tahu bahwa suaminya sudah selingkuh di belakangnya.Ah, kondisi Mia sangat kacau. Bisa-bisanya–Tiba-tiba, Max masuk ke dalam lift dan memanggul tubuh Mia begitu saja di salah satu pundaknya yang tegap.“Max, apa-apaan kamu?” pekik Mia.Mengabaikan kebingungan Mia, Max melangkah mantap menuju sebuah kamar yang tadi ia tinggalkan. “Kita perlu bicara banyak, Mia.” Suara Max terdengar dalam, membuat tubuh Mia gemetar. “Ke mana saja kamu menghilang selama tujuh tahun ini? Aku mencari-carimu seperti orang gila!” Tubuh Mia dilemparkan begitu saja ke atas ranjang.Ya, Mia tahu. Ia bersalah pada lelaki ini.Max berkacak pinggang, berdiri di tepi ranjang. Tatapannya mengurung Mia dengan rasa ingin tahu yang tak terelakkan. “Jelaskan apa yang terjadi selama tujuh tahun ini, Mia.” Max bergerak mendekat dan duduk di tepi ranjang. “Kenapa kamu tiba-tiba menghilang, Mia? Meninggalkanku tanpa kabar sama sekali.” Mia beringsut mundur, menjauhi Max dengan tatapan takut-takut, seolah ada rahasia besar yang selama ini dia sembunyikan dari mantan kekas
Air mata Mia mengalir deras, tangisannya menggema di ruangan. Tapi Max justru menciumnya dengan makin kasar. Ini bukan Max yang dia kenal, bukan pria yang selama ini ia percayai dan cintai. Mia mendorong dada Max, berusaha melepaskan diri dari cengkeramannya. Namun, kekuatannya tidak sebanding dengan kekuatan pria ini. “Max, STOP!” Mia menggeliat, menendang, dan memukul, tapi Max seolah terbutakan oleh amarah dan keputusasaan.Mia teringat saat-saat indah mereka bersama, senyum hangat Max, tatapan lembutnya. Bayangan itu membuatnya bertekad ingin mengembalikan Max. “Max, lihat aku!” Mia berteriak, matanya mencari-cari mata Max, ditahannya kedua sisi wajah Max yang sejak tadi menciumnya dengan liar.Tatapan mereka bertemu, dan di saat itu, ada sesuatu yang berubah. Mata Max yang tadinya dipenuhi amarah kini memancarkan keraguan. Mia tidak berhenti. “Ini bukan kamu, Max. Kamu bukan orang yang seperti ini,” serunya.Max tertegun. Cengkeramannya melemah. Dalam hatinya, ia merasa ada se
Vena cepat-cepat mengambil alih Alyra yang kaget dan ketakutan mendengar teriakan Nathan yang menggelegar. Bocah itu menangis. Vena buru-buru menenangkannya sambil berjalan menuju sebuah Toyota Vellfire hitam yang telah menunggu mereka di lobi.Sementara itu Nathan, dengan sorot matanya yang menyala-nyala, segera menuju ke arah Mia yang sedang saling berpegangan tangan dengan Max. “Rupanya kamu masih di sini?” katanya sambil menarik tangan Mia. Dengan sekali sentak, Mia terlepas dari Max. “Kalian bersama semalam?” cecar Nathan pada Mia, lalu pria itu menoleh kepada Max. Bila tatapan Nathan bisa membunuh, mungkin Max sudah menggelepar di lantai sekarang.Max mengenali sosok pria di depannya. Nathan adalah sepupu Mia, sudah seperti kakak kandung bagi Mia. Pria itu memang dikenalnya over protektif terhadap Mia sejak dulu. “Nathan? Apa kabar?” Max mengulurkan tangan, ingin bersalaman. Namun tangannya hanya menggantung di udara, tak menerima sambutan dari Nathan.Max menarik kembali tan
“Mas, kita perlu bicara.” Mia buka suara begitu Nathan memasuki kamar pada esok paginya. Semalam, Nathan tak kembali ke kamar mereka. Mia mendengar balita itu terus saja menangis dan dia tahu Nathan pasti ada di kamar itu untuk menenangkan putrinya.Oh, Tuhan. Fakta bahwa Nathan memiliki seorang putri bersama wanita lain telah membuat hati Mia remuk. Ditambah sekarang, mereka juga ada di sini, di rumahnya! Perasaan marah dan kecewa bercampur aduk dalam dadanya.“Bicaralah.” Nathan duduk di tepi kasur, dengan nada lelah dan sorot mata redup seperti masih mengantuk. Namun, seberat apapun kondisinya, dia ingin memberi kesempatan istrinya berbicara.“Vena…," suara Mia sedikit bergetar, "dia tidak seharusnya ada di sini." Nathan menghela napas panjang, mengusap wajahnya dengan tangan. “Aku tahu, Mia. Aku tahu." Pria itu mengangguk-angguk pelan. "Tapi kita tak boleh mengusirnya. Dia harus tetap di sini.” Nathan memandang Mia lurus-lurus.Pernyataan Nathan barusan seperti belati yang menusuk
Mia meringis kesakitan sebab Nathan mencengkeram pergelangan tangannya dengan kekuatan yang terlalu berlebihan. Matanya berkaca-kaca. Ada rasa sakit yang tersorot di dalamnya. Suaminya justru melindungi perempuan yang menghina dirinya. Sementara itu senyum tipis menghiasi wajah Vena, memancarkan aura kemenangan yang membuat darah Mia mendidih."Lepaskan tanganku, Mas!” Tangisan Alyra pun pecah, wajah bocah itu bingung dan ketakutan melihat Mia yang tampak bernafsu ingin menyakiti ibu yang disayanginya. "Sudah, Mia! Kamu bikin Alyra ketakutan." Nathan membentak, nada suaranya yang tegas dan penuh perintah memotong udara seperti pisau tajam. Mata kelamnya menyala, penuh peringatan saat melihat Mia masih berusaha melampiaskan amarahnya. Pria itu berdiri tegak, tubuh gagahnya menjadi benteng yang melindungi Vena dari amukan Mia. Sementara itu, Vena meringkuk di balik punggung Nathan, menggunakan pria itu sebagai tameng, senyum tipis lagi-lagi bermain di bibirnya.Mia, dengan mata yang
Mia terbangun dan memandang sisi ranjang yang kosong di sebelahnya. Kekosongan dalam hatinya kian menjadi, setiap Nathan tidak tidur di kamar mereka terasa seperti pengkhianatan. Pria itu lebih banyak menghabiskan waktunya dengan Alyra, anak kecil yang rapuh itu. Mia merasa jahat, karena cemburu pada bocah tiga tahun yang tak berdosa. Alyra berhak mendapatkan cinta dari ayahnya, Mia tahu itu. Tapi, rasa cemburu itu tetap menggerogoti hatinya, membuatnya merasa tersingkirkan dan tak berdaya.Nathan adalah suaminya, dan Mia merasa seharusnya masih memiliki hak atas dirinya. Mia menghela napas panjang, merasakan cemburu yang semakin sulit untuk diabaikan. Nathan mulai berat sebelah, dan itu tak bisa disangkal lagi. Sementara itu, Vena semakin sering mencuri ruangnya, seolah ingin mengukuhkan posisinya yang lebih istimewa daripada Mia. Setiap kali Vena ada di dekat Nathan dan Alyra, Mia merasa perannya sebagai istri Nathan semakin dipertanyakan.Mia menolak larut dalam kesedihan. Dia seg
Posisinya di tribun VIP memberikan Mia pandangan yang sempurna ke lapangan. Di sana, Max bermain dengan ketangkasan yang memikat. Max menguasai bola dengan keahlian yang membuat suporter terpana. Gelandang bernomor punggung 23 itu memimpin serangan tim dengan visi yang tajam, mengirimkan umpan-umpan yang akurat."Omaygat. Karin, pacarmu keren," ujar Michella dengan nada menggoda.“Baru tahu? Kasihan.” Karin memutar bola mata sambil tertawa riang.“Hmm ya, pacarmu terlihat hebat di lapangan, kurasa staminanya di ranjang sudah tidak perlu diragukan lagi, bukan?” balas Michella.“Ciumannya saja luar biasa, asal kau tahu,” sahut Karin, tersenyum bangga.Mia mengabaikan obrolan nakal antara Michella dan Karin di sebelahnya. Dia tak bisa mengalihkan pandangannya dari Max. Dia selalu tahu bahwa Max berbakat. Setiap kali Max menguasai bola, Mia seakan menahan napas, menantikan apa yang akan terjadi selanjutnya. Sementara di sebelahnya, Karin dan Michella terus saja bergosip.Max menggirin
“Kamu memang harus lebih menerimaku, Mia," ucap Vena. Ia menyerobot Mia di dapur dan mengambil alih persiapan bekal makan Rival. "Bukankah asyik kalau kita bisa akur dan saling membantu begini? Bersama-sama mengurus anak-anak dan suami kita.”Mia mendengus pelan. "Suami kita?" balasnya, seakan-akan jijik dengan pilihan kata yang dipakai Vena. "Jangan membual."Ia mengambil alih kotak makan siang dari tangan Vena. "Iyuh..., menjijikkan." Dia mencuci kotak bekal itu sambil meringis.Mia menyabun dan membilasnya hingga tiga kali, bahkan mensterilkannya dengan air panas.Vena mengepalkan tangan. “Kau–” Dia menahan geram melihat cara Mia memperlakukan benda itu, seolah-olah baru saja bersentuhan dengan sesuatu yang najis. Mia sengaja membawa Rival berangkat lebih awal, menghindari momen sarapan bersama Nathan, Alyra, dan juga Vena. Melihat kebersamaan mereka membuat Mia mual.Mia beralasan, “Jam latihan sepakbola Rival dimajukan lebih pagi. Kami berangkat sekarang, Mas.” Setibanya di la