Nathan meletakkan gelas whisky ke meja bar dengan kasar, terdengar benturan pantat gelas dengan meja yang menimbulkan suara tidak enak didengar, yang menandakan bahwa suasana hati Nathan sedang tidak baik-baik saja hari ini.Winda, sang sekretaris yang mendampinginya dalam perjalanan bisnis kali ini, sudah tidak kaget lagi melihatnya. Dia sudah terbiasa menangani suasana hati Nathan yang mudah berubah-ubah belakangan ini. Dengan gerakan tenang namun tegas, Winda mendekat dan mengambil botol whisky yang hampir kosong, menjauhkannya dari jangkauan Nathan. "Pak, sudah cukup," katanya sambil menatap Nathan dengan penuh perhatian. Suaranya lembut tapi tegas, menunjukkan keprihatinannya tanpa meninggalkan profesionalisme. "Ini sudah larut malam, Bapak harus segera istirahat. Besok kita masih ada satu agenda lagi," tegas Winda, matanya tetap terkunci pada Nathan, berharap kata-katanya bisa menyentuh akal sehat bosnya yang sedang mabuk.Sudah segelas whisky yang dihabiskan oleh Nathan, dan
Vena duduk lesu di sisi ranjang perawatan Alyra, tubuhnya terasa lunglai dan matanya sembab karena kurang tidur. Sudah beberapa hari ini Alyra menjalani terapi di rumah sakit, dan selama itu pula Vena hampir tidak pernah meninggalkan sisi putrinya. Rambutnya yang biasanya rapi kini berantakan, tanda kelelahan dan kurangnya perawatan diri.Dia tampak begitu letih setelah mengurusi Alyra sendirian. Setiap hari terasa seperti ujian, setiap detik diisi dengan kecemasan dan harapan agar kondisi Alyra membaik. Vena merasa sangat tertekan, terjebak dalam rutinitas tanpa akhir di rumah sakit, di mana suara mesin-mesin medis dan aroma antiseptik menjadi latar belakang yang konstan.“Padahal Pak Nathan sebelumnya tak pernah seperti ini. Biasanya dia selalu peduli pada Alyra. Tapi kenapa sekarang dia berubah?” Vena menghela napas dalam-dalam. Ada yang terasa menusuk dalam dadanya kala merasakan ketidakpedulian Nathan pada buah hati mereka lagi.Nathan belum juga kembali dari perjalanan bisnisnya
Detak jantung Mia melompat ketika suara lembut menyapanya dari belakang. Dengan cepat, ia membalikkan badan sambil merapatkan tangannya ke dadanya. "Dokter Joshua? Ya ampun, Dokter bikin saya kaget aja," Mia tertawa kecil, matanya masih terbuka lebar karena keterkejutannya. "Kenapa Dokter ke sini?" tanyanya ragu, tak yakin apakah dokter ini datang untuk menyewa barang mewah seperti klien-kliennya yang biasanya melakukannya—kebanyakan untuk keperluan membuat konten, khususnya para kreator konten seperti YouTuber atau selebgram. Tapi klien-klien dari kalangan biasa juga ada, yang menyukai gaya hidup flexing, menunjukkan kekayaan atau barang-barang mewah mereka—yang sebenarnya merupakan sewaan— dalam upaya untuk menarik perhatian dan pengakuan sosial."Mia.” Si dokter memandang ke dalam rak-rak kaca di mana barang-barang mewah yang siap untuk disewakan berjajar rapi. “Apakah ada jam tangan yang cocok untuk kupakai buat acara gala dinner?""Hah?" Mia mengulang, mencoba memproses pertanya
Mia menarik napasnya dalam-dalam. Ada yang bergetar di dalam dirinya karena tiba-tiba saja Dokter Joshua mengingatkan tentang kehamilannya. Mia sudah melakukan tes kehamilan dan hasilnya memang positif. Dokter Joshua kemudian menemaninya menemui dokter spesialis obgyn untuk melakukan USG.Meskipun Mia tidak menginginkan kehamilan ini, tapi ia sadar bahwa kewajibannya sebagai seorang ibu adalah menjaga agar janinnya tumbuh sehat. “Jam tujuh nanti kita akan bertemu dengan Victor. Katanya ada kabar baik tentang proses perceraianmu dengan Nathan.”“Kuharap itu tentang hak asuh Rival.” Mia berkata lirih sambil mencetak invoice.Dokter Joshua mengangguk, ada harapan yang sama di matanya. “Aku nanti sore ke sini lagi buat menjemputmu,” tambahnya dengan nada lembut.Mia mengunci lemari tas yang telah ia susun rapi, lalu menatap Dokter Joshua dengan pandangan penuh ketegasan. “Kita nanti ketemu saja di kantornya Victor. Dokter tak perlu repot-repot kembali ke sini hanya untuk menjemputku. Aku
“Dokter tidak perlu melakukan ini,” kata Mia setelah menyadari bahwa Dokter Joshua ternyata memilih menunggunya agar mereka bisa pulang bersama.“Menunggu hingga kamu selesai kerja itu masih lama, Mia. Jalanan bakal macet. Dan aku tak akan membiarkan kamu naik ojek.” Mobil mereka perlahan bergerak di antara deretan kendaraan lain yang sama-sama terjebak dalam kemacetan. Klakson mobil dan deru mesin menciptakan simfoni khas kota besar yang sibuk. “Nah. Apa kubilang, sudah mulai macet kan? Padahal belum jam pulang kantor,” kata Dokter Joshua sambil melirik Mia.“Yeah. Seharusnya kita naik helikopter saja,” gurau Mia, menatap keluar jendela mobil. Kerumunan orang berlalu-lalang di trotoar, pedagang kopi keliling menjajakan dagangannya dengan sepeda, dan hiruk-pikuk kota yang tak pernah tidur.Tiba-tiba, pikirannya melayang pada kebiasaan Nathan yang tidak mau membuang-buang waktunya hanya untuk menunggu macet. Sebagai presiden direktur sebuah perusahaan jasa transportasi mewah yang mem
Mia dan Dokter Joshua tiba di kantor Victor Sitompul, terletak di sebuah gedung tinggi yang menjulang di pusat kota. Begitu memasuki lobi, aroma wangi menyambut mereka, memberikan efek menenangkan di tengah suasana tegang yang menyertai kasus-kasus hukum para klien yang mendatangi kantor ini. Sekretaris Victor Sitompul menyambut mereka dengan senyum hangat di ruang konferensi yang tertata dengan rapi. “Silakan masuk,” katanya sambil mengangguk lembut tapi tegas. Aroma terapi lavender yang lembut dan menenangkan memenuhi udara, menciptakan lingkungan yang nyaman meskipun ruangan ini dipenuhi oleh dokumen-dokumen penting yang mungkin memuat kasus-kasus berat dan menegangkan.“Selamat sore, Mia, Dokter Joshua,” sapa Victor sambil tersenyum hangat. Victor Sitompul, pria berusia sekitar empat puluhan asal Sumatera Utara itu memiliki ciri khas wajah kotak dan kulit sawo matang yang terlihat cerah. Rambutnya hitam, sedikit mulai memutih di sisi-sisinya, disisir rapi ke belakang. Matanya y
Nathan berdiri di tengah ruangan yang penuh dengan tumpukan berkas dan dokumen hukum, keringat dingin membasahi dahi dan pelipisnya. Wajahnya merah padam, dan matanya yang biasanya tajam kini dipenuhi bara kemarahan yang membakar. Suara penuh kutukan kekesalannya atas kejadian yang tak menguntungkan dirinya menggema di ruang kerjanya yang sepi, menyisakan keheningan yang tegang, seperti suara gemuruh sebelum badai.Tangan kanannya mengepal erat, meremas kertas-kertas penting yang kini hanya menjadi lembaran tak bernilai setelah putusan pengadilan. "Sial. Sial. Siaal…!” jeritnya terdengar frustrasi. Ketika Nathan memukulkan tangannya ke meja dan dentuman yang keras itu membuat beberapa dokumen berhamburan ke lantai, seperti hujan kertas yang menyertai amarahnya.Raut wajahnya menunjukkan kemarahan yang tak terhingga. Bibirnya menyeringai, mengungkapkan betapa mendalamnya kemarahan dan kekesalannya. Keputusan pengadilan yang membuatnya kalah dalam hak asuh anak dan putusan perceraian
Max berdiri di depan pintu apartemen Mia, jarinya menekan bel dengan raut wajah yang tak sabar. Bibirnya menyunggingkan senyum lebar, namun ada sorot kegelisahan yang berbalut kerinduan dalam sepasang ‘hunter eyes’-nya yang bermanik abu-abu yang indah.Setiap kali bel berbunyi, suara dering yang tajam seakan mengingatkan betapa pentingnya kehadirannya saat ini. Ia menekan bel berulang kali, mencoba mengabaikan rasa gugup yang membalut perasaannya. Suasana malam yang sunyi hanya terganggu oleh suara dering bel yang tajam, semakin memperkuat kegelisahannya.“Ah, ini rasanya seperti kencan pertamaku saja,” gumamnya dalam hati, sambil kembali menekan bel. Namun pintu tak kunjung terbuka dan kegugupannya pun berubah menjadi cemas. Setiap detik yang berlalu seolah memperpanjang kegugupan di hatinya, membuat setiap tarikan napas terasa berat dan tercekik.“Kuharap dia tidak pingsan di dalam sana,” ujarnya penuh kekhawatiran. Setiap detik yang berlalu seolah memperpanjang kegugupan di hatinya