Mia dan Dokter Joshua tiba di kantor Victor Sitompul, terletak di sebuah gedung tinggi yang menjulang di pusat kota. Begitu memasuki lobi, aroma wangi menyambut mereka, memberikan efek menenangkan di tengah suasana tegang yang menyertai kasus-kasus hukum para klien yang mendatangi kantor ini. Sekretaris Victor Sitompul menyambut mereka dengan senyum hangat di ruang konferensi yang tertata dengan rapi. “Silakan masuk,” katanya sambil mengangguk lembut tapi tegas. Aroma terapi lavender yang lembut dan menenangkan memenuhi udara, menciptakan lingkungan yang nyaman meskipun ruangan ini dipenuhi oleh dokumen-dokumen penting yang mungkin memuat kasus-kasus berat dan menegangkan.“Selamat sore, Mia, Dokter Joshua,” sapa Victor sambil tersenyum hangat. Victor Sitompul, pria berusia sekitar empat puluhan asal Sumatera Utara itu memiliki ciri khas wajah kotak dan kulit sawo matang yang terlihat cerah. Rambutnya hitam, sedikit mulai memutih di sisi-sisinya, disisir rapi ke belakang. Matanya y
Nathan berdiri di tengah ruangan yang penuh dengan tumpukan berkas dan dokumen hukum, keringat dingin membasahi dahi dan pelipisnya. Wajahnya merah padam, dan matanya yang biasanya tajam kini dipenuhi bara kemarahan yang membakar. Suara penuh kutukan kekesalannya atas kejadian yang tak menguntungkan dirinya menggema di ruang kerjanya yang sepi, menyisakan keheningan yang tegang, seperti suara gemuruh sebelum badai.Tangan kanannya mengepal erat, meremas kertas-kertas penting yang kini hanya menjadi lembaran tak bernilai setelah putusan pengadilan. "Sial. Sial. Siaal…!” jeritnya terdengar frustrasi. Ketika Nathan memukulkan tangannya ke meja dan dentuman yang keras itu membuat beberapa dokumen berhamburan ke lantai, seperti hujan kertas yang menyertai amarahnya.Raut wajahnya menunjukkan kemarahan yang tak terhingga. Bibirnya menyeringai, mengungkapkan betapa mendalamnya kemarahan dan kekesalannya. Keputusan pengadilan yang membuatnya kalah dalam hak asuh anak dan putusan perceraian
Max berdiri di depan pintu apartemen Mia, jarinya menekan bel dengan raut wajah yang tak sabar. Bibirnya menyunggingkan senyum lebar, namun ada sorot kegelisahan yang berbalut kerinduan dalam sepasang ‘hunter eyes’-nya yang bermanik abu-abu yang indah.Setiap kali bel berbunyi, suara dering yang tajam seakan mengingatkan betapa pentingnya kehadirannya saat ini. Ia menekan bel berulang kali, mencoba mengabaikan rasa gugup yang membalut perasaannya. Suasana malam yang sunyi hanya terganggu oleh suara dering bel yang tajam, semakin memperkuat kegelisahannya.“Ah, ini rasanya seperti kencan pertamaku saja,” gumamnya dalam hati, sambil kembali menekan bel. Namun pintu tak kunjung terbuka dan kegugupannya pun berubah menjadi cemas. Setiap detik yang berlalu seolah memperpanjang kegugupan di hatinya, membuat setiap tarikan napas terasa berat dan tercekik.“Kuharap dia tidak pingsan di dalam sana,” ujarnya penuh kekhawatiran. Setiap detik yang berlalu seolah memperpanjang kegugupan di hatinya
“Mau minum, Dok?” Dokter Joshua mengangguk seraya tersenyum ketika Mia menawarinya. “Boleh, air putih saja,” jawabnya sambil memandang Mia yang segera berbalik menuju dapur.Saat Mia berbalik, matanya mengikuti setiap gerakan Mia, dari langkah-langkah ringan yang membawanya menuju dapur hingga cara rambutnya bergoyang lembut di bahunya. Setiap detail dari sosok Mia tampak begitu mempesona di mata Dokter Joshua.Ia memperhatikan bagaimana cahaya lampu dapur menerangi wajah Mia yang cantik, menyoroti setiap lekukan dan bayangan yang mempertegas keanggunannya. Ada sesuatu yang istimewa dalam cara Mia bergerak, sebuah perpaduan antara kekuatan dan kelembutan yang membuatnya begitu menarik. Dalam sekejap, Dokter Joshua merasakan hatinya bergetar, terpesona oleh kehadiran Mia yang sederhana namun begitu memikat. Senyumnya yang hangat dan tatapan matanya yang tulus membuat Dokter Joshua merasa seperti berada di dunia yang berbeda, dunia di mana hanya ada mereka berdua. Di balik profesiona
Max menunggu dengan cemas di depan pintu apartemen Mia, telepon di telinganya. Suara denting lift yang terbuka dan tertutup di kejauhan hanya menambah kegelisahannya. Jantungnya berdebar kencang, seolah-olah ingin menjebol dadanya. Tangannya yang menggenggam ponsel erat-erat terasa dingin. Matanya menyipit, dengan kebesaran hati dia siap mendengar apapun jawaban Dokter Joshua."Aku sedang bersama Mia. Kami baru saja tiba di apartemennya," akhirnya Dokter Joshua menjawab, dengan nada yang terasa tenang di ujung sana.Seketika kelegaan mengalir deras dalam diri Max begitu mendengar jawaban itu. “Dokter Joshua ternyata tidak menutupi kebersamaannya dengan Mia saat ini,” gumamnya dalam hati. Rasanya seperti beban besar yang sejak tadi menghimpit dadanya tiba-tiba terangkat. Max mengusap wajahnya dengan tangan sedikit gemetar. "Oke, terima kasih infonya, Dok," balas Max sebelum menutup telepon. Dia menghela napas panjang, debaran jantungnya masih terasa kuat. “Kurasa, mereka memang hany
“Mia. Jadi, bagaimana?” Max membelai wajah Mia, seolah mengerti bahwa Mia butuh untuk dikuatkan saat menyampaikan keputusan sidang itu, yang mungkin saja hasilnya tidak akan menyenangkan.Mata Mia berkaca-kaca, mencerminkan beragam perasaan yang tengah meluap di dalam hatinya. Ada rasa lega karena akhirnya terbebas dari belenggu pernikahan yang menyakitkan dengan Nathan, namun juga ada kesedihan yang mendalam karena harus mengakhiri hubungan yang pernah ia harapkan akan abadi. “Aku dan Mas Nathan, kami…,” Mia menghela napas sejenak, mencoba menenangkan dirinya. Ia bisa merasakan detak jantungnya yang berdegup kencang, seakan menggema dalam dada, “...sudah resmi bercerai,” ucapnya pelan, namun jelas. Setiap kata yang keluar dari bibirnya terasa berat, tetapi juga membawa kelegaan yang tak terhingga.Matanya menatap dalam-dalam ke mata Max yang sedang berkedip-kedip memandangnya. Ada keinginan untuk menangis, namun Mia berusaha keras untuk tetap tegar. Bagian dari dirinya merasa kosong
Max memandang Mia dengan penuh harap, matanya masih berbinar dengan sisa-sisa kebahagiaan dari ciuman mereka sebelumnya. Mereka duduk di sofa dalam suasana hangat dengan cahaya lampu yang lembut, memancarkan nuansa nyaman. Keberadaan Dokter Joshua di hadapan mereka pun seolah terabaikan untuk sejenak. Sinar lampu ruangan menciptakan bayangan lembut di wajahnya, namun sorot matanya yang sayu tidak bisa menyembunyikan rasa kecewa dan kesedihan yang mulai merayap. Dokter Joshua mencoba tersenyum, berusaha tetap menunjukkan dukungannya untuk Mia, meskipun hatinya terasa hancur melihat kemesraan wanita itu dengan Max.Sepasang kekasih itu begitu tenggelam dalam dunia mereka sendiri, seakan hanya ada mereka berdua saja di ruangan itu. Tangan mereka yang saling menggenggam erat dan tatapan penuh kasih yang saling dilemparkan membuat suasana terasa begitu intim. Bahkan suara napas mereka yang teratur seolah menyatu dalam irama yang sama.“Seharusnya aku tidak ada di sini,” desah Dokter Josh
Melihat keterkejutan di mata Max dan sikapnya yang langsung membeku, Mia menggigit bibirnya dan menunduk dalam-dalam. Dia takut membuat Max kecewa padanya untuk kedua kalinya. Dulu, ia telah meninggalkan pria ini begitu saja untuk menikah dengan pria lain. Dan sekarang, setelah ia bercerai dan ingin kembali pada Max, ia malah mengandung darah daging Nathan."Ini tidak adil buatmu, Max. Kamu berhak untuk mendapatkan perempuan lain yang masih single, yang bisa memberikanmu kebahagiaan tanpa beban masa lalu seperti aku." Mia berkata seraya melepaskan dirinya dari Max, khawatir Max tidak bisa menerima kondisinya saat ini.Namun, Max menggeleng keras. “Bicara apa sih kamu, Mia?” desahnya seraya menarik wanita yang dicintainya itu ke dalam pelukannya. Dan Max mengetatkan pelukannya ketika merasakan tubuh Mia yang bergetar dalam dekapannya. Max mengelus rambut Mia yang sedang menangis dengan lembut, memberikan ketenangan meski hatinya sendiri merasa kacau. "Mia, dengarkan aku. Aku mencinta