Max menunggu dengan cemas di depan pintu apartemen Mia, telepon di telinganya. Suara denting lift yang terbuka dan tertutup di kejauhan hanya menambah kegelisahannya. Jantungnya berdebar kencang, seolah-olah ingin menjebol dadanya. Tangannya yang menggenggam ponsel erat-erat terasa dingin. Matanya menyipit, dengan kebesaran hati dia siap mendengar apapun jawaban Dokter Joshua."Aku sedang bersama Mia. Kami baru saja tiba di apartemennya," akhirnya Dokter Joshua menjawab, dengan nada yang terasa tenang di ujung sana.Seketika kelegaan mengalir deras dalam diri Max begitu mendengar jawaban itu. “Dokter Joshua ternyata tidak menutupi kebersamaannya dengan Mia saat ini,” gumamnya dalam hati. Rasanya seperti beban besar yang sejak tadi menghimpit dadanya tiba-tiba terangkat. Max mengusap wajahnya dengan tangan sedikit gemetar. "Oke, terima kasih infonya, Dok," balas Max sebelum menutup telepon. Dia menghela napas panjang, debaran jantungnya masih terasa kuat. “Kurasa, mereka memang hany
“Mia. Jadi, bagaimana?” Max membelai wajah Mia, seolah mengerti bahwa Mia butuh untuk dikuatkan saat menyampaikan keputusan sidang itu, yang mungkin saja hasilnya tidak akan menyenangkan.Mata Mia berkaca-kaca, mencerminkan beragam perasaan yang tengah meluap di dalam hatinya. Ada rasa lega karena akhirnya terbebas dari belenggu pernikahan yang menyakitkan dengan Nathan, namun juga ada kesedihan yang mendalam karena harus mengakhiri hubungan yang pernah ia harapkan akan abadi. “Aku dan Mas Nathan, kami…,” Mia menghela napas sejenak, mencoba menenangkan dirinya. Ia bisa merasakan detak jantungnya yang berdegup kencang, seakan menggema dalam dada, “...sudah resmi bercerai,” ucapnya pelan, namun jelas. Setiap kata yang keluar dari bibirnya terasa berat, tetapi juga membawa kelegaan yang tak terhingga.Matanya menatap dalam-dalam ke mata Max yang sedang berkedip-kedip memandangnya. Ada keinginan untuk menangis, namun Mia berusaha keras untuk tetap tegar. Bagian dari dirinya merasa kosong
Max memandang Mia dengan penuh harap, matanya masih berbinar dengan sisa-sisa kebahagiaan dari ciuman mereka sebelumnya. Mereka duduk di sofa dalam suasana hangat dengan cahaya lampu yang lembut, memancarkan nuansa nyaman. Keberadaan Dokter Joshua di hadapan mereka pun seolah terabaikan untuk sejenak. Sinar lampu ruangan menciptakan bayangan lembut di wajahnya, namun sorot matanya yang sayu tidak bisa menyembunyikan rasa kecewa dan kesedihan yang mulai merayap. Dokter Joshua mencoba tersenyum, berusaha tetap menunjukkan dukungannya untuk Mia, meskipun hatinya terasa hancur melihat kemesraan wanita itu dengan Max.Sepasang kekasih itu begitu tenggelam dalam dunia mereka sendiri, seakan hanya ada mereka berdua saja di ruangan itu. Tangan mereka yang saling menggenggam erat dan tatapan penuh kasih yang saling dilemparkan membuat suasana terasa begitu intim. Bahkan suara napas mereka yang teratur seolah menyatu dalam irama yang sama.“Seharusnya aku tidak ada di sini,” desah Dokter Josh
Melihat keterkejutan di mata Max dan sikapnya yang langsung membeku, Mia menggigit bibirnya dan menunduk dalam-dalam. Dia takut membuat Max kecewa padanya untuk kedua kalinya. Dulu, ia telah meninggalkan pria ini begitu saja untuk menikah dengan pria lain. Dan sekarang, setelah ia bercerai dan ingin kembali pada Max, ia malah mengandung darah daging Nathan."Ini tidak adil buatmu, Max. Kamu berhak untuk mendapatkan perempuan lain yang masih single, yang bisa memberikanmu kebahagiaan tanpa beban masa lalu seperti aku." Mia berkata seraya melepaskan dirinya dari Max, khawatir Max tidak bisa menerima kondisinya saat ini.Namun, Max menggeleng keras. “Bicara apa sih kamu, Mia?” desahnya seraya menarik wanita yang dicintainya itu ke dalam pelukannya. Dan Max mengetatkan pelukannya ketika merasakan tubuh Mia yang bergetar dalam dekapannya. Max mengelus rambut Mia yang sedang menangis dengan lembut, memberikan ketenangan meski hatinya sendiri merasa kacau. "Mia, dengarkan aku. Aku mencinta
“Rival ada di Skotlandia, Max. Aku juga sangat merindukannya. Aku belum bertemu lagi dengan Rival sejak terakhir kali aku membawanya ke sana, beberapa bulan yang lalu.” Mia berkata dengan sendu, pikirannya terbang melayang kepada putranya yang berada nun jauh di sana.Mia menghela napas panjang. “Aku akhirnya berhasil memenangkan hak asuh atas Rival,” ia mendesah untuk sejenak. “Aku berencana akan menjemputnya setelah ini,” lanjutnya. Max mengangguk. “Aku ikut. Kita akan menjemputnya bersama-sama,” ucapnya sambil menggenggam hangat tangan Mia. Sentuhan itu penuh dengan ketulusan dan kehangatan, seolah mencoba menyampaikan bahwa mereka akan menghadapi segala sesuatu bersama.“Kamu fokus saja pada pertandinganmu, Max.”“Iya, aku tahu, Tapi soal Rivaldo, kumohon… mulai saat ini kamu harus melibatkan aku, Mia. Apapun yang menyangkut tentangnya, aku harus tahu. Bagaimanapun dia anakku, darah dagingku.”Mia mengangguk. Dia mengaku lelah dan butuh teman dalam hidupnya untuk mengurus Rival,
Tiada kata-kata yang keluar dari bibir Mia saat Max melamarnya. Sebagai jawaban, Mia mengalungkan tangannya ke leher Max, menariknya lebih dekat. Dengan tatapan lembut yang penuh cinta, ia mengangguk seraya tersenyum cantik, mengisyaratkan bahwa ia menerima lamaran Max dengan sepenuh hati.“Fokuslah bertanding, Max. Menangkanlah tiket menuju Piala Dunia untuk kita, setelah itu kita akan menjemput Rival bersama-sama.”Max memeluk Mia erat-erat seraya dengan perasaan bahagia yang memenuhi hatinya. “Tentu, sayangku. Akan kumenangkan tiket itu untukmu,” ucapnya penuh tekad, suaranya bergetar dengan emosi.Max merasa lega ketika Mia akhirnya bersedia untuk menikah dengannya. Perasaan bahagia mengalir dalam hatinya, menghangatkan setiap sudut jiwanya seperti sinar matahari pagi yang menembus kabut. Setiap detik yang dilaluinya kini terasa begitu berharga, dipenuhi harapan dan cinta yang tak terbatas.Sementara itu, di tempatnya, Dokter Joshua tersenyum tipis. Meskipun hatinya sedikit perih,
Nathan bukanlah pria yang mudah menangis. Sepanjang hidupnya, ia selalu tampil sebagai sosok yang kuat dan tak tergoyahkan. Namun, ketika akta perceraiannya dengan Mia ada di tangannya, kenyataan bahwa ia telah benar-benar gagal mempertahankan Mia sebagai miliknya lagi menghantamnya dengan keras. Perasaannya hancur luluh lantak, dan kesadaran itu membuat hatinya terasa seperti diiris-iris.Pria berwajah tampan dan beraura tegas itu berdiri di ruang kerjanya yang luas dan megah, dikelilingi oleh dinding kaca yang memperlihatkan pemandangan kota di malam hari. Lampu-lampu kota yang berkilauan di luar sana seolah-olah mengejek kesendiriannya. Tangannya gemetar saat memegang akta perceraian itu, tatapannya kosong menatap lembaran kertas yang mengubah hidupnya selamanya.Perlahan, Nathan merosot ke lantai, punggungnya bersandar pada dinding yang dingin. Air mata yang selama ini ditahannya akhirnya mengalir deras di pipinya. Isak tangis yang terpendam pecah, memenuhi ruangan yang sunyi. Tan
Di Inverness, Skotlandia, Rival menunggu kehadiran Nathan yang katanya akan segera tiba hari ini. Rival senang sekali mendengar papanya akan datang berkunjung. Meskipun dia pernah kecewa pada sang ayah yang pernah merusak bolanya, namun dalam hatinya tetap menyayangi Nathan yang sejak ia dilahirkan sudah menjadi ayahnya. Rival merindukan belaian kasih sayang ayahnya yang sudah beberapa bulan ini hidup terpisah darinya. Setiap malam, dia memeluk bantalnya, berharap bisa merasakan pelukan hangat Nathan. Di pagi hari, dia sering kali melihat foto mereka berdua yang diletakkan di samping tempat tidurnya, memandang senyum Nathan yang ceria sambil mengingat momen-momen bahagia mereka bersama. Saat bermain bola di lapangan sekolah sepak bolanya, dia sering kali membayangkan Nathan berdiri di tepi lapangan, memberikan semangat dan tepuk tangan atas setiap gol yang dia cetak."Oma, kapan papa datang?" tanya Rival dengan nada tak sabar.Nyonya Wina tersenyum sambil membelai rambut Rival yang