Nathan bukanlah pria yang mudah menangis. Sepanjang hidupnya, ia selalu tampil sebagai sosok yang kuat dan tak tergoyahkan. Namun, ketika akta perceraiannya dengan Mia ada di tangannya, kenyataan bahwa ia telah benar-benar gagal mempertahankan Mia sebagai miliknya lagi menghantamnya dengan keras. Perasaannya hancur luluh lantak, dan kesadaran itu membuat hatinya terasa seperti diiris-iris.Pria berwajah tampan dan beraura tegas itu berdiri di ruang kerjanya yang luas dan megah, dikelilingi oleh dinding kaca yang memperlihatkan pemandangan kota di malam hari. Lampu-lampu kota yang berkilauan di luar sana seolah-olah mengejek kesendiriannya. Tangannya gemetar saat memegang akta perceraian itu, tatapannya kosong menatap lembaran kertas yang mengubah hidupnya selamanya.Perlahan, Nathan merosot ke lantai, punggungnya bersandar pada dinding yang dingin. Air mata yang selama ini ditahannya akhirnya mengalir deras di pipinya. Isak tangis yang terpendam pecah, memenuhi ruangan yang sunyi. Tan
Di Inverness, Skotlandia, Rival menunggu kehadiran Nathan yang katanya akan segera tiba hari ini. Rival senang sekali mendengar papanya akan datang berkunjung. Meskipun dia pernah kecewa pada sang ayah yang pernah merusak bolanya, namun dalam hatinya tetap menyayangi Nathan yang sejak ia dilahirkan sudah menjadi ayahnya. Rival merindukan belaian kasih sayang ayahnya yang sudah beberapa bulan ini hidup terpisah darinya. Setiap malam, dia memeluk bantalnya, berharap bisa merasakan pelukan hangat Nathan. Di pagi hari, dia sering kali melihat foto mereka berdua yang diletakkan di samping tempat tidurnya, memandang senyum Nathan yang ceria sambil mengingat momen-momen bahagia mereka bersama. Saat bermain bola di lapangan sekolah sepak bolanya, dia sering kali membayangkan Nathan berdiri di tepi lapangan, memberikan semangat dan tepuk tangan atas setiap gol yang dia cetak."Oma, kapan papa datang?" tanya Rival dengan nada tak sabar.Nyonya Wina tersenyum sambil membelai rambut Rival yang
“Tante, tolong jangan bicara sembarangan.”“Aku? Bicara sembarangan?" Nyonya Wina berdecih. "Dilihat dengan mata telanjang saja jelas terlihat, Nath. Tidak ada kemiripan sama sekali antara kamu dan Rival. Anak itu memang sangat mirip dengan ayah kandungnya: Max.”Nathan merasakan detak jantungnya semakin cepat. Kata-kata Nyonya Wina terus terngiang di telinganya, membuatnya merasa sangat panik dan tersudut. Tangannya yang sedang memegang ponsel di dekat telinganya, terlihat semakin erat menggenggam. “Dari mana Tante tahu tentang Max?” desisnya dengan mata yang menyipit tajam. Namun, tantenya hanya tertawa lirih. “Tidak penting Tante tahu dari mana. Tapi yang jelas, Tante tidak akan pernah membiarkanmu memisahkan Rival dari Mia lagi. Sekarang Tante sudah tahu kebenarannya, bahwa kamu telah mengkhianati Mia. Omong kosong dengan kata-kata mamamu yang menuding Mia selingkuh. Padahal... kamulah yang selingkuh!”“Aku tidak selingkuh, Tan!”“Tidak mungkin ada Alyra kalau kamu setia! Kamu b
Brama sedang duduk di ruang kerjanya, memeriksa beberapa berkas yang harus diselesaikan sebelum akhir pekan. Suara dering telepon di meja membuatnya sedikit tersentak. Dengan cepat, dia meraih gagang telepon."Halo, dengan Brama di sini," jawabnya singkat, matanya masih tertuju pada layar komputer."Pak Brama, saya Rina dari Sido Waras," suara perempuan di seberang sana."Oh, Bu Rina. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Brama, suaranya terdengar ramah meskipun sedikit terganggu oleh interupsi tersebut."Ada sesuatu yang sangat penting yang perlu kita bicarakan. Kami di Sido Waras telah memutuskan untuk mengakhiri kontrak kerjasama kami dengan Max Julian sebagai Brand Ambassador," kata Rina langsung ke inti masalah.Brama terdiam sejenak, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Detak jantungnya semakin cepat, tangannya yang memegang gagang telepon mendadak berkeringat. "Maaf, Bu Rina. Apa Anda bisa mengulanginya? Saya khawatir salah dengar.""Kami memutuskan untuk mengakhiri
Media massa digegerkan oleh berita kedekatan antara Max dan Dessy. Kabar ini langsung menyebar seperti api yang tak bisa dikendalikan, membuat headline di berbagai platform berita.Di layar televisi, sebuah tayangan infotainment sedang membahas rumor hubungan mereka.“Pemirsa, kita kembali dengan berita yang sangat menarik dari dunia selebriti dan olahraga. Max Julian, bintang Timnas sepak bola Indonesia, baru saja tertangkap kamera bersama Dessy Gunawan, top model Indonesia yang namanya juga sudah terkenal di Eropa. Lewat foto-foto eksklusif ini sepertinya sulit bagi mereka untuk mengelak, bahwa memang ada 'something special' di antara mereka. Yuk, mari kita lihat!"Foto-foto yang ditampilkan di layar televisi sangat jelas. Salah satu foto menunjukkan Max dan Dessy sedang dinner di sebuah kafe. Mereka berdua tersenyum lebar, mata mereka saling menatap dengan penuh keakraban. Wajah mereka berdua berseri-seri, seolah-olah tidak ada orang lain di sekitar mereka.Foto berikutnya menunjuk
“Oh, jadi kamu sudah dengar tentang gosip Max dan Dessy, ya?”Mia mengangguk dan tersenyum tipis. “Iya, Dokter juga tahu?”“Gosipnya langsung jadi trending di media sosial, bagaimana aku tidak tahu? Aku kan Dokter gaul yang tak bisa lepas dari media sosial.” Dokter Joshua menjawab sambil tertawa, suara tawanya yang renyah lebur bersama tawa Mia. Tawa mereka terdengar seperti melodi yang menyatu, mengisi ruang kecil di antara mereka dengan kehangatan dan keakraban yang nyata.“Kamu tidak cemburu, Mia? Kok ketawanya gitu amat?” Dokter Joshua memandang Mia yang tampak cantik dengan pakaian serba hitam yang kontras dengan kulitnya yang bersih cerah. Mata pria itu menyapu setiap detail penampilannya, mengagumi kecantikan dan kekuatan batin yang terpancar dari wanita di hadapannya.“Bohong kalau aku tidak cemburu, Dok, apalagi dengan kondisiku saat ini,” Mia tersenyum kecut sambil membelai perutnya yang masih belum terlalu terlihat buncit. “Aku hanya sedang menghibur diriku. Tapi… aku makl
Mia duduk nyaman di dalam mobil Dokter Joshua, menikmati bubur Manado yang lezat. Sinar matahari pagi menyinari wajahnya melalui jendela mobil, menambah kilau pada rambutnya yang tergerai. Suara notifikasi video call dari ponselnya membuat Mia tersenyum. Dia segera mengangkat panggilan itu, wajah Max langsung muncul di layar.“Aku kangen kamu, Mia. Kenapa kamu tidak menelepon aku?” Suara Max terdengar merengek seperti anak kecil yang butuh perhatian. Wajahnya dibuat-buat cemberut, namun tidak mengurangi kadar ketampanannya. Matanya memancarkan rindu yang mendalam, membuat Mia tersenyum hangat.“Aku tak mau mengganggu aktivitasmu, Max. Kupikir, biar kamu saja yang aktif menghubungiku, karena kamu yang paling tahu kapan sedang ada waktu luang untuk kita berbicara,” jawab Mia sambil tersenyum cantik, matanya berbinar penuh cinta.Max tersenyum dan mengangguk-angguk. “Iya, aku sedang luang sekarang. Sebentar lagi mau turun sarapan. Eh, kamu makan apa itu? Kamu sedang di mobil? Mau ke mana
Selesai menutup video call dengan Mia dan Rival, Max segera mencuci wajahnya, menghapus jejak tangis yang sedikit terlihat sebelum ia keluar dari kamarnya dan menuju restoran hotel, bergabung dengan teman-temannya untuk sarapan bersama. Hatinya merasa tenang dan bahagia. Senyumnya belum juga pudar saat ia mendekati meja tempat rekan-rekan timnasnya berkumpul. Semangat bertanding mulai menyala-nyala di dalam dadanya, rasanya ia tak sabar ingin segera melunasi janji golnya untuk Rival."Hei, Max! Ada apa ini? Kok kamu senyum-senyum terus?" sapa Argo, sambil mengangkat cangkir kopinya. Max tertawa kecil, mengambil tempat duduk di antara Diego dan Ravi. "Iya, baru saja video call dengan pacarku," jawabnya sambil mengulum senyum. “Dan juga dengan anakku,” lanjutnya dalam hati. Mia dan Rival, memang alasan dia tak bisa berhenti tersenyum sejak tadi.Ucapan Max itu segera menarik perhatian teman-temannya. Semua pemain yang mendengar terlihat terkejut, mereka saling menoleh dengan ekspresi