Mia duduk nyaman di dalam mobil Dokter Joshua, menikmati bubur Manado yang lezat. Sinar matahari pagi menyinari wajahnya melalui jendela mobil, menambah kilau pada rambutnya yang tergerai. Suara notifikasi video call dari ponselnya membuat Mia tersenyum. Dia segera mengangkat panggilan itu, wajah Max langsung muncul di layar.“Aku kangen kamu, Mia. Kenapa kamu tidak menelepon aku?” Suara Max terdengar merengek seperti anak kecil yang butuh perhatian. Wajahnya dibuat-buat cemberut, namun tidak mengurangi kadar ketampanannya. Matanya memancarkan rindu yang mendalam, membuat Mia tersenyum hangat.“Aku tak mau mengganggu aktivitasmu, Max. Kupikir, biar kamu saja yang aktif menghubungiku, karena kamu yang paling tahu kapan sedang ada waktu luang untuk kita berbicara,” jawab Mia sambil tersenyum cantik, matanya berbinar penuh cinta.Max tersenyum dan mengangguk-angguk. “Iya, aku sedang luang sekarang. Sebentar lagi mau turun sarapan. Eh, kamu makan apa itu? Kamu sedang di mobil? Mau ke mana
Selesai menutup video call dengan Mia dan Rival, Max segera mencuci wajahnya, menghapus jejak tangis yang sedikit terlihat sebelum ia keluar dari kamarnya dan menuju restoran hotel, bergabung dengan teman-temannya untuk sarapan bersama. Hatinya merasa tenang dan bahagia. Senyumnya belum juga pudar saat ia mendekati meja tempat rekan-rekan timnasnya berkumpul. Semangat bertanding mulai menyala-nyala di dalam dadanya, rasanya ia tak sabar ingin segera melunasi janji golnya untuk Rival."Hei, Max! Ada apa ini? Kok kamu senyum-senyum terus?" sapa Argo, sambil mengangkat cangkir kopinya. Max tertawa kecil, mengambil tempat duduk di antara Diego dan Ravi. "Iya, baru saja video call dengan pacarku," jawabnya sambil mengulum senyum. “Dan juga dengan anakku,” lanjutnya dalam hati. Mia dan Rival, memang alasan dia tak bisa berhenti tersenyum sejak tadi.Ucapan Max itu segera menarik perhatian teman-temannya. Semua pemain yang mendengar terlihat terkejut, mereka saling menoleh dengan ekspresi
“Max, tidak ada kesepakatan yang kubuat dengan siapapun tanpa persetujuanmu.” Brama menyangkal tuduhan Max. Melihat tatapan Max yang masih penuh keraguan, dia menambahkan, “Tapi kali ini aku punya pertimbangan sendiri, Max.”Brama menarik Max sedikit menjauh dari keramaian, memastikan tak ada telinga yang mencuri dengar. Wajahnya serius, penuh desakan. “Dessy juga sedang diterpa rumor tak sedap. Ada kabar yang mengatakan dia penyuka sesama jenis. Untuk mengatasi ini, dia harus menunjukkan pada publik bahwa dia punya kekasih pria.”Max mengernyit, matanya menyala dengan kemarahan yang tertahan. “Dan kau ingin aku yang menjadi kekasihnya? Kau gila, heh?” sambar Max dengan nada tajam.“Max, itu cuma rumor. Dessy bukan wanita seperti itu, tapi ada video yang beredar, memojokkan dirinya. Itu ulah haters yang ingin menghancurkan kariernya.” Brama menghela napas berat, menatap Max dengan intensitas yang semakin mendesak. “Dessy mengalami nasib yang sama denganmu, Max. Kalian berdua sedang di
"Kalau aku memintamu menjaga jarak dengan Max, apakah kamu bisa, Mia? Tolonglah. Ini hanya untuk sementara, sampai kita memastikan bahwa skandal itu betul-betul telah berhasil ditenggelamkan oleh berita pertunangan Max dan Dessy." Brama berbicara dengan nada tegas, mencoba meyakinkan Mia bahwa ini adalah satu-satunya jalan.Mia berdiri di tangga darurat, punggungnya bersandar pada dinding beton yang dingin. Ruangan itu sepi, hanya suara gemerisik angin yang terdengar dari celah kecil di sudut ruangan. Lampu neon di atasnya berpendar redup, menciptakan bayangan panjang di lantai yang kasar.“Pertunangan?” Suara Mia pelan, penuh kebingungan. Hatinya berdegup kencang, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya."Iya, tapi... tidak sungguhan. Max akan melamar Dessy selesai pertandingan nanti malam, masih di dalam stadion GBK, disaksikan oleh ribuan suporter.” Brama kemudian menjelaskan tentang rencana skenarionya. “Di akhir pertandingan nanti, Max akan melamar Dessy yang be
Nathan berdiri di ambang pintu ruang ICU, tubuhnya dilapisi pakaian steril yang terasa kaku di kulitnya. Matanya memandang tak berdaya pada sosok Alyra yang terbaring di ranjang, tubuhnya dipenuhi dengan berbagai selang dan alat medis. Suara mesin yang monoton menjadi latar belakang yang menyakitkan, mengingatkan Nathan bahwa waktu mereka bersama semakin menipis. Setiap detik berlalu seperti pukulan di dadanya, membentuk ritme yang tak bisa dia hentikan. Cahaya lampu ICU yang dingin dan steril memantulkan bayangan suram di wajah Nathan, menambah suasana kesedihan yang menggantung di ruangan itu.Dinding putih yang tak bernyawa seolah menutup dunia di luar, membuat Nathan merasa terperangkap dalam kenyataan yang tak bisa dia hindari. Bau antiseptik tajam menusuk hidungnya, menciptakan campuran rasa mual dan putus asa. Dalam kebisuan itu, Nathan bisa mendengar setiap napas Alyra, terengah-engah, seolah berjuang melawan takdir yang sudah digariskan untuknya.Nathan tahu—tidak ada yang
Mia baru saja menutup telepon dari Max ketika sebuah notifikasi pesan dari Nathan masuk ke dalam ponselnya. Rasa penasaran mendorongnya untuk segera membuka pesan tersebut, tetapi ketika matanya menangkap kabar tentang kematian Alyra, dunia di sekitarnya seolah berhenti sejenak.Bayangan wajah mungil Alyra, dengan senyum manis dan tatapan polosnya, segera melintas dalam pikirannya. Kenangan-kenangan itu menghantam hatinya dengan kegetiran yang tak tertahankan. Hatinya bergejolak dengan campuran emosi; duka, marah, dan rasa bersalah. Air matanya kembali mengalir, dengan isakan tertahan, Mia terduduk di anak tangga darurat yang dingin, seraya memeluk ponselnya erat-erat. Seakan-akan dalam pelukan itu, dia mencoba merasakan kembali kehadiran Alyra yang kini telah pergi untuk selamanya.Isakannya menggema di ruangan yang sepi. Mia tahu bahwa Alyra sudah berada di tempat yang lebih damai, tapi kehilangan ini terasa menyedihkan, meskipun mungkin semasa hidupnya… Alyra pernah menjadi sumber
Mia tiba di tempat pemakaman umum dengan hati yang berbalut duka. Perjalanan yang ditempuh dengan ojek online membuatnya tiba lebih cepat dari yang ia perkirakan, sebuah kelegaan kecil di tengah dukanya saat ini. Dengan membawa buket bunga mawar putih, Mia melangkah memasuki area pemakaman. Mawar putih, simbol kemurnian dan penghormatan terakhir, adalah pilihan Mia. Bunga-bunga itu melambangkan kepergian Alyra yang masih begitu suci, belum ternoda oleh dunia yang keras dan penuh tipu daya. Di balik setiap kelopak mawar putih itu, tersimpan doa Mia, sebuah harapan bahwa Alyra akan menemukan kedamaian di alam sana, jauh dari segala penderitaan yang pernah ia rasakan.Mia menelusuri jalan setapak sesuai arahan Jay. Gambar yang dikirimkan kepadanya membawa ingatan pada pohon-pohon rindang yang kini melambai lembut di atasnya, sementara angin yang berhembus seolah turut berduka. Tatapan matanya akhirnya menemukan sosok familier di sebuah makam yang ia cari-cari.Nathan, berdiri dengan tu
“Jadi…, kamu memilih Max?” Suara Nathan mengandung kepedihan yang terpendam. Matanya yang memerah menatap Mia dengan sorot tak percaya, seolah kalimat itu keluar dari mulutnya tanpa mampu ia kendalikan. Pertanyaan itu dijawab oleh Mia dengan sebuah anggukan kecil. “Sejak dulu aku sudah memilihnya, Mas. Kamu tahu sekali itu.” Ada kegetiran yang terselip di dalam suara Mia. “Kamu yang memilih masuk ke dalam kehidupanku, mengambil tempat yang sebelumnya kujaga untuk Max.”Kepiluan yang begitu mendalam menghantam perasaan Nathan, seakan ia baru saja menyadari bahwa dunia yang ia kenal telah hancur berkeping-keping. “Mia, selama ini… apakah kamu pernah mencintaiku?” bisiknya sambil memandang Mia lekat-lekat, seolah ingin menembus ke dalam mata Mia untuk mencari kejujuran yang tersembunyi di sana.“Mas Nathan, sejak menikah denganmu… aku berkomitmen untuk setia kepadamu.” Pandangan Mia terfokus pada Nathan, mencoba menahan gejolak emosi yang terasa hampir meledak di dalam dadanya. “Perlah