Mia baru saja menutup telepon dari Max ketika sebuah notifikasi pesan dari Nathan masuk ke dalam ponselnya. Rasa penasaran mendorongnya untuk segera membuka pesan tersebut, tetapi ketika matanya menangkap kabar tentang kematian Alyra, dunia di sekitarnya seolah berhenti sejenak.Bayangan wajah mungil Alyra, dengan senyum manis dan tatapan polosnya, segera melintas dalam pikirannya. Kenangan-kenangan itu menghantam hatinya dengan kegetiran yang tak tertahankan. Hatinya bergejolak dengan campuran emosi; duka, marah, dan rasa bersalah. Air matanya kembali mengalir, dengan isakan tertahan, Mia terduduk di anak tangga darurat yang dingin, seraya memeluk ponselnya erat-erat. Seakan-akan dalam pelukan itu, dia mencoba merasakan kembali kehadiran Alyra yang kini telah pergi untuk selamanya.Isakannya menggema di ruangan yang sepi. Mia tahu bahwa Alyra sudah berada di tempat yang lebih damai, tapi kehilangan ini terasa menyedihkan, meskipun mungkin semasa hidupnya… Alyra pernah menjadi sumber
Mia tiba di tempat pemakaman umum dengan hati yang berbalut duka. Perjalanan yang ditempuh dengan ojek online membuatnya tiba lebih cepat dari yang ia perkirakan, sebuah kelegaan kecil di tengah dukanya saat ini. Dengan membawa buket bunga mawar putih, Mia melangkah memasuki area pemakaman. Mawar putih, simbol kemurnian dan penghormatan terakhir, adalah pilihan Mia. Bunga-bunga itu melambangkan kepergian Alyra yang masih begitu suci, belum ternoda oleh dunia yang keras dan penuh tipu daya. Di balik setiap kelopak mawar putih itu, tersimpan doa Mia, sebuah harapan bahwa Alyra akan menemukan kedamaian di alam sana, jauh dari segala penderitaan yang pernah ia rasakan.Mia menelusuri jalan setapak sesuai arahan Jay. Gambar yang dikirimkan kepadanya membawa ingatan pada pohon-pohon rindang yang kini melambai lembut di atasnya, sementara angin yang berhembus seolah turut berduka. Tatapan matanya akhirnya menemukan sosok familier di sebuah makam yang ia cari-cari.Nathan, berdiri dengan tu
“Jadi…, kamu memilih Max?” Suara Nathan mengandung kepedihan yang terpendam. Matanya yang memerah menatap Mia dengan sorot tak percaya, seolah kalimat itu keluar dari mulutnya tanpa mampu ia kendalikan. Pertanyaan itu dijawab oleh Mia dengan sebuah anggukan kecil. “Sejak dulu aku sudah memilihnya, Mas. Kamu tahu sekali itu.” Ada kegetiran yang terselip di dalam suara Mia. “Kamu yang memilih masuk ke dalam kehidupanku, mengambil tempat yang sebelumnya kujaga untuk Max.”Kepiluan yang begitu mendalam menghantam perasaan Nathan, seakan ia baru saja menyadari bahwa dunia yang ia kenal telah hancur berkeping-keping. “Mia, selama ini… apakah kamu pernah mencintaiku?” bisiknya sambil memandang Mia lekat-lekat, seolah ingin menembus ke dalam mata Mia untuk mencari kejujuran yang tersembunyi di sana.“Mas Nathan, sejak menikah denganmu… aku berkomitmen untuk setia kepadamu.” Pandangan Mia terfokus pada Nathan, mencoba menahan gejolak emosi yang terasa hampir meledak di dalam dadanya. “Perlah
Mia terkejut melihat Dokter Joshua membimbingnya menuju ke sebuah motor matic, hal yang jauh dari bayangannya: Dokter Joshua dan sepeda motor."Kupikir Dokter anti naik motor? Karena Dokter sering melarangku naik motor," ujar Mia dengan nada menggoda, mencoba menutupi rasa terkejutnya.Dokter Joshua tertawa lembut, suaranya hangat dan menenangkan. Ia membantu Mia memasangkan helm dengan perhatian penuh, jemarinya bersentuhan lembut dengan kulitnya. “Aku melarangmu naik motor, karena aku tidak percaya pada orang yang memboncengmu, Mia. Mereka belum tentu bisa menjagamu dengan baik, apalagi mau mempertaruhkan nyawanya demi menjaga keselamatanmu di jalan,” jawabnya sambil terkekeh riang, nada suaranya menunjukkan keceriaan yang tulus."Memangnya Dokter mau mempertaruhkan nyawa untuk keselamatanku?" “Kenapa tidak? Tentu saja aku akan menjagamu dengan nyawaku, karena kamu sangat berharga, Mia.” Jawaban Dokter Joshua disertai tatapan yang penuh makna. Ketika Mia memandang mata dokter itu
Mia berdiri di samping Joshua, merasakan perubahan atmosfer yang begitu mendadak, seolah udara di sekitar mereka menghangat dengan kehadiran pria tua itu. Ada rasa ingin tahu yang tak bisa lagi dia abaikan—siapa sebenarnya pria yang kini berdiri di sisinya? Dan mengapa banyak orang menyebutnya dengan nama ‘Tuan Valen’, sebuah nama yang terdengar begitu eksklusif, namun asing di telinganya?"Halo, Opa." Suara Dokter Joshua terdengar rendah dan penuh hormat saat ia menunduk sedikit, menyapa pria tua karismatik yang berjalan mendekatinya.Mia menatap pria itu dengan rasa penasaran. Ada sesuatu yang familiar pada wajahnya—seolah-olah dia pernah melihatnya di suatu tempat, namun ingatan itu masih samar dan tak sepenuhnya tergali.Tanpa ragu, pria sepuh itu melangkah maju, melingkarkan lengannya di sekitar Dokter Joshua dalam pelukan yang penuh kasih. Tepukan lembutnya di punggung Dokter Joshua menunjukkan hubungan yang lebih dalam daripada sekadar ikatan keluarga biasa. “Senang melihatmu
Untuk sesaat, Mia hanya bisa memandang Valen, merasakan getaran aneh yang mengalir di antara mereka. Mia merasa ada sesuatu yang berubah dalam suasana antara mereka. Sebuah ikatan yang lebih dari sekadar hubungan antara dokter dan pasien, lebih dari sekadar teman biasa. Nama “Valen” itu seolah membuka pintu ke sisi lain dari pria ini—sisi yang lebih intim, lebih personal, dan mungkin juga lebih rentan.“Mia, kamu mendengarku?” tegur Valen karena sejak tadi Mia hanya terdiam dan memandangnya.“I-iya, aku mendengarmu…, Valen.” Mia mengangguk sambil tersenyum canggung saat akhirnya memutuskan untuk mengubah panggilannya."Terima kasih, Mia," kata Valen dengan nada yang begitu tulus. "Senang sekali mendengarnya."Ketika Valen tersenyum, senyum yang ia berikan padanya kali ini berbeda dari biasanya. Ada kelembutan yang tidak pernah Mia lihat sebelumnya, kehangatan yang membuat tatapan mata Valen semakin dalam dan menawan. Senyuman itu menyentuh sesuatu di dalam hati Mia, membuatnya mera
“Val, bagaimana kalau nanti kita menukar tiket VIP dengan tiket tribun Selatan saja? Aku yakin pasti ada yang mau bertukar tiket dengan kita nanti?” Mia tiba-tiba mengajukan permintaan yang mengejutkan Valen. Pandangan tajam Valen beralih dari jendela ke arah Mia, mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mata Valen menyipit, merasa ada yang tidak beres. “Mia, ada apa sebenarnya? Dengan kondisi kehamilanmu saat ini, jujur saja… aku tidak setuju dengan ide ini.” Nada suaranya lembut, namun tegas, mengisyaratkan kekhawatirannya. Suara baling-baling helikopter yang berputar cepat di atas mereka seakan mengisi keheningan di dalam kabin, namun suara itu tak mengganggu percakapan mereka. Headphone khusus yang mereka kenakan memastikan setiap kata terdengar jelas meski di antara deru mesin. Mia menggigit bibir bawahnya, tampak ragu untuk mengungkapkan alasan sebenarnya. Helikopter terus melaju, namun waktu seolah melambat bagi Mia yang tengah bergulat dengan pikirannya. Valen meletak
Dessy memutar matanya, senyumnya sedikit memudar, tetapi semangatnya tetap tidak berkurang. “Iya, aku memang menyukai Max sejak pandangan pertama. Kali ini aku ingin membawa serta hatiku dalam drama percintaan ini, Bel. Bila aku berhasil membuat Max jatuh cinta, aku tak akan melepaskannya seperti aku pernah melepaskan pria-priaku yang lain,” jawab Dessy, suaranya terdengar lebih serius, hampir seolah ia sedang meyakinkan dirinya sendiri. Belinda menghela napas panjang, memandang teman cantiknya ini dengan tatapan iba. “Kurasa, yang meniupkan isu bahwa kamu seorang lesbi itu adalah salah satu pria yang sakit hati padamu, Dessy. Kamu sih... terlalu mudah mencampakkan pria.” Dessy mengangkat bahu acuh tak acuh, sedikit tertawa tanpa beban. “Mungkin, tapi biar saja. Setelah ini aku akan membuat semua mata melihat fakta bahwa aku sangat berbahagia dengan Max. Kami akan menjadi pasangan kekasih paling sempurna yang pernah ada.” “Dessy, ingatlah bahwa karma itu ada. Sekali lagi kuingat