Ketika Dessy melangkah menuju pintu masuk tribun VIP, seorang jurnalis yang tampaknya terkejut melihat kehadiran sosok top model itu, segera menghampirinya dengan mikrofon di tangan. "Dessy, boleh kami minta sedikit waktunya?" pintanya dengan sopan, namun tergesa-gesa saat menghadangnya di pintu masuk. Dessy mengangguk ramah, seolah sudah terbiasa dengan situasi seperti ini. "Tentu saja," jawabnya dengan senyum yang tak pernah pudar dari wajahnya, seraya menghentikan langkahnya sejenak. Si jurnalis segera meluncurkan pertanyaan pertama, "Menurutmu, bagaimana kemungkinan pertandingan ini akan berjalan? Mengingat Australia lawan yang cukup tangguh." Dessy menatap kamera dengan tenang, senyumnya kini lebih serius namun tetap elegan. "Aku tahu, Australia cukup sulit untuk dihadapi ya. Tapi aku percaya Max dan teman-teman timnas lainnya pasti akan melakukan yang terbaik dari yang terbaik," jawabnya, suaranya terdengar penuh keyakinan. Ada nada optimisme yang membuat kata-katanya terde
Kedua tim yang akan bertanding melangkah ke lapangan dengan langkah penuh keyakinan. Mereka berbaris rapi, masing-masing pemain menggandeng tangan anak gawang yang berdiri dengan bangga di samping mereka. Sorotan lampu stadion menyorot para pemain, menciptakan bayangan panjang di atas rumput hijau yang rapi terawat. Sorak-sorai penonton menggema, namun para pemain tetap tenang, fokus, dan tampak siap menghadapi tantangan di depan mereka.Max berjalan di tengah barisan, menggenggam tangan anak kecil yang menatapnya dengan sorot penuh kekaguman. Ada perasaan tanggung jawab yang mengalir dalam dirinya, bukan hanya untuk memenangkan pertandingan, tetapi juga menjadi inspirasi bagi generasi muda yang berdiri di sampingnya. Sambil melangkah ke tengah lapangan, pandangannya menyapu seluruh stadion yang dipenuhi lautan manusia. Ribuan suporter memenuhi tribun, mengenakan warna kebanggaan masing-masing negara, menciptakan pemandangan yang penuh semangat.Setelah semua pemain mencapai lapan
Di dalam rumah bergaya klasik di Inverness, Skotlandia, Rival duduk di sofa dengan tatapan tegang terpaku pada layar kaca di depannya. Tubuh mungilnya hampir tak bisa diam, seolah-olah ia sendiri yang berada di tengah lapangan hijau. Bocah itu berteriak penuh semangat, lalu menjerit ketika pemain lawan mendekati gawang Indonesia. Setiap gerakan Max di lapangan, setiap kali bola mendekat ke arah pertahanan, membuatnya semakin gelisah. Tangannya mencengkeram bantal di pangkuannya, wajahnya penuh ekspresi tegang dan penuh harap."Go, Max! Go!" teriaknya dengan suara nyaring, suaranya penuh dengan kegembiraan dan ketegangan yang tak terkendali.Di sisi lain ruangan, Nyonya Wina, yang semula tak pernah tertarik pada sepak bola, mulai penasaran oleh suara Rival yang begitu antusias. Ia berjalan mendekat, duduk di sebelah cucunya, dan mulai memperhatikan pertandingan. Matanya mengikuti gerakan Max di lapangan, melihat bagaimana ia berjuang jatuh bangun, menahan serangan lawan, dan melakuk
Saat babak kedua dimulai, suasana di stadion menjadi lebih intens. Kedua tim kembali memasuki lapangan dengan semangat yang berkobar, siap melanjutkan perjuangan mereka.“Ayo, kita bisa. Pasti bisa. Minimal kita harus bertahan imbang malam ini untuk bisa lolos ke round 3,” kata sang kapten menyemangati timnya.Max mengangguk ketika sang kapten menepuk pundaknya, seolah meletakkan harapan padanya agar melakukan pertahanan terbaik malam ini.Para suporter menyaksikan dengan penuh perhatian. Di tribun VIP, Brama menunggu dengan tegang, sedangkan di sebelahnya, Dessy masih menunjukkan kebosanan yang ia tutupi dengan senyuman palsu.Sementara itu Mia, yang masih berdiri di antrean toilet, merasa semakin gelisah saat mendengar pengumuman melalui pengeras suara bahwa babak kedua pertandingan telah dimulai. Suara sorakan penonton yang mengiringi pengumuman tersebut membuat hatinya semakin gusar. Ia melirik ke depan, berharap antrean itu bergerak lebih cepat, tetapi kenyataannya tidak banyak
Pertandingan masih berlangsung dengan intensitas yang memuncak. Skor masih imbang 0-0, dan kedua tim terus berjuang untuk meraih kemenangan. Suasana di stadion sangat menegangkan, setiap detik menjadi begitu krusial. Tujuh menit waktu tambahan yang sudah ditentukan sudah hampir habis. Semua pemain tampak kelelahan, namun semangat mereka tak jua padam. Timnas Australia, dengan segala upaya, terus melancarkan serangan, mencoba untuk memecah pertahanan timnas Indonesia. Sementara itu, Max berdiri tegak di jantung pertahanan, bekerja keras untuk menghalau setiap ancaman.Tiba-tiba, sebuah kesalahan tak terduga terjadi dari tim Australia. Salah satu pemain mereka, dalam upaya terburu-buru, gagal mengontrol bola dengan baik. Bola yang terlepas menggelinding ke arah tengah lapangan, menjadi peluang emas bagi timnas Indonesia.Max, yang sudah memantau situasi dengan cermat, cepat bereaksi atas serangan balik itu. Dengan kecepatan dan ketepatan yang mengesankan, ia melaju ke satu sisi yang l
Suara sorak-sorai suporter Indonesia semakin ramai ketika wasit meniup peluit dengan bunyi panjang, menandakan akhir pertandingan. Suara announcer pun menggema di dalam stadion, memberikan pengumuman kemenangan Timnas sepakbola Indonesia yang unggul 1-0 dari Australia. Max, yang berdiri di tengah lapangan dengan jersey merah yang basah oleh keringat, merasakan keharuan yang mendalam. “Rivaldo, kamu melihat ayah, nak? Ayah sudah melunasi janji gol untukmu, sayang.” Bibirnya gemetar saat ia berbicara dalam hatinya. Di antara pelukan hangat dan tepukan bangga dari rekan-rekannya, Max merindukan pelukan satu orang yang lebih dari yang lainnya—Rivaldo, darah dagingnya yang kini berada jauh di benua lain. Hatinya juga merindukan pelukan Mia, wanita yang telah menjadi pusat cintanya. Dengan rasa haru dan penuh kerinduan, Max berjalan ke tepi lapangan bersama rekan-rekannya, melambaikan tangannya ke arah kamera, berharap Rivaldo dan Mia bisa melihatnya lewat layar kaca. Ia membayangkan wa
Max bersama para pemain lainnya berjalan menuju tepi lapangan, wajahnya berseri-seri dengan senyum hangat menghiasi bibirnya. Tangannya terangkat, melambai ke arah suporter yang memenuhi tribun, seolah ia ingin menyapa setiap orang yang telah memberikan dukungan penuh selama pertandingan. Setiap langkah yang ia ambil terasa penuh dengan kebanggaan, mencerminkan kemenangan yang baru saja mereka raih.Sesampainya di tepi lapangan, Max sedikit membungkukkan badannya sebagai penghormatan tulus kepada para suporter. “Terima kasih!” teriaknya kemudian, sambil kembali melambaikan tangannya.Aksinya diikuti oleh rekan-rekan timnas yang lain. Seketika sikap rendah hati para pemain itu memicu gelombang tepuk tangan yang riuh dari tribun. Sorak-sorai membahana, mengapresiasi sikap hormat yang ditunjukkan oleh Max dan para pemain timnas.Langkah Max dan timnya terhenti tepat di depan tribun Selatan. Di sana, lautan suporter dengan kostum hitam—warna khas Ultras Garuda, mendominasi pemandangan. N
Jeritan cinta yang begitu menggema dari Max seolah merobek kebisingan di stadion, menimbulkan kekagetan di pikiran begitu banyak orang, khususnya Mia. Dia tak pernah membayangkan bahwa Max akan melakukan sesuatu yang begitu nekat, begitu terbuka, di depan puluhan ribu pasang mata.Mia membeku, tubuhnya kaku seperti patung di tengah lautan manusia yang seakan tidak berhenti bergejolak dengan sorak sorai dan tepukan tangan. Dalam diri Mia, perasaan malu, terkejut, dan kebingungan bergulat satu sama lain, membuat tubuhnya gemetar. Jantungnya berdetak cepat, seolah tak bisa mengimbangi kekacauan yang terjadi di dalam pikirannya. Dia tidak terbiasa menjadi pusat perhatian seperti ini.Tatapan Mia yang biasanya lembut kini terpaku lurus ke depan, mencoba menghindari pandangan orang-orang yang kini tertuju padanya. Setiap mata di stadion ini seolah sedang memperhatikannya, menilai, dan mungkin bahkan menghakiminya. Tangannya yang dingin berusaha mencari pegangan, dan tanpa sadar, ia mengge