Mia berdiri di samping Joshua, merasakan perubahan atmosfer yang begitu mendadak, seolah udara di sekitar mereka menghangat dengan kehadiran pria tua itu. Ada rasa ingin tahu yang tak bisa lagi dia abaikan—siapa sebenarnya pria yang kini berdiri di sisinya? Dan mengapa banyak orang menyebutnya dengan nama ‘Tuan Valen’, sebuah nama yang terdengar begitu eksklusif, namun asing di telinganya?"Halo, Opa." Suara Dokter Joshua terdengar rendah dan penuh hormat saat ia menunduk sedikit, menyapa pria tua karismatik yang berjalan mendekatinya.Mia menatap pria itu dengan rasa penasaran. Ada sesuatu yang familiar pada wajahnya—seolah-olah dia pernah melihatnya di suatu tempat, namun ingatan itu masih samar dan tak sepenuhnya tergali.Tanpa ragu, pria sepuh itu melangkah maju, melingkarkan lengannya di sekitar Dokter Joshua dalam pelukan yang penuh kasih. Tepukan lembutnya di punggung Dokter Joshua menunjukkan hubungan yang lebih dalam daripada sekadar ikatan keluarga biasa. “Senang melihatmu
Untuk sesaat, Mia hanya bisa memandang Valen, merasakan getaran aneh yang mengalir di antara mereka. Mia merasa ada sesuatu yang berubah dalam suasana antara mereka. Sebuah ikatan yang lebih dari sekadar hubungan antara dokter dan pasien, lebih dari sekadar teman biasa. Nama “Valen” itu seolah membuka pintu ke sisi lain dari pria ini—sisi yang lebih intim, lebih personal, dan mungkin juga lebih rentan.“Mia, kamu mendengarku?” tegur Valen karena sejak tadi Mia hanya terdiam dan memandangnya.“I-iya, aku mendengarmu…, Valen.” Mia mengangguk sambil tersenyum canggung saat akhirnya memutuskan untuk mengubah panggilannya."Terima kasih, Mia," kata Valen dengan nada yang begitu tulus. "Senang sekali mendengarnya."Ketika Valen tersenyum, senyum yang ia berikan padanya kali ini berbeda dari biasanya. Ada kelembutan yang tidak pernah Mia lihat sebelumnya, kehangatan yang membuat tatapan mata Valen semakin dalam dan menawan. Senyuman itu menyentuh sesuatu di dalam hati Mia, membuatnya mera
“Val, bagaimana kalau nanti kita menukar tiket VIP dengan tiket tribun Selatan saja? Aku yakin pasti ada yang mau bertukar tiket dengan kita nanti?” Mia tiba-tiba mengajukan permintaan yang mengejutkan Valen. Pandangan tajam Valen beralih dari jendela ke arah Mia, mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mata Valen menyipit, merasa ada yang tidak beres. “Mia, ada apa sebenarnya? Dengan kondisi kehamilanmu saat ini, jujur saja… aku tidak setuju dengan ide ini.” Nada suaranya lembut, namun tegas, mengisyaratkan kekhawatirannya. Suara baling-baling helikopter yang berputar cepat di atas mereka seakan mengisi keheningan di dalam kabin, namun suara itu tak mengganggu percakapan mereka. Headphone khusus yang mereka kenakan memastikan setiap kata terdengar jelas meski di antara deru mesin. Mia menggigit bibir bawahnya, tampak ragu untuk mengungkapkan alasan sebenarnya. Helikopter terus melaju, namun waktu seolah melambat bagi Mia yang tengah bergulat dengan pikirannya. Valen meletak
Dessy memutar matanya, senyumnya sedikit memudar, tetapi semangatnya tetap tidak berkurang. “Iya, aku memang menyukai Max sejak pandangan pertama. Kali ini aku ingin membawa serta hatiku dalam drama percintaan ini, Bel. Bila aku berhasil membuat Max jatuh cinta, aku tak akan melepaskannya seperti aku pernah melepaskan pria-priaku yang lain,” jawab Dessy, suaranya terdengar lebih serius, hampir seolah ia sedang meyakinkan dirinya sendiri. Belinda menghela napas panjang, memandang teman cantiknya ini dengan tatapan iba. “Kurasa, yang meniupkan isu bahwa kamu seorang lesbi itu adalah salah satu pria yang sakit hati padamu, Dessy. Kamu sih... terlalu mudah mencampakkan pria.” Dessy mengangkat bahu acuh tak acuh, sedikit tertawa tanpa beban. “Mungkin, tapi biar saja. Setelah ini aku akan membuat semua mata melihat fakta bahwa aku sangat berbahagia dengan Max. Kami akan menjadi pasangan kekasih paling sempurna yang pernah ada.” “Dessy, ingatlah bahwa karma itu ada. Sekali lagi kuingat
Ketika Dessy melangkah menuju pintu masuk tribun VIP, seorang jurnalis yang tampaknya terkejut melihat kehadiran sosok top model itu, segera menghampirinya dengan mikrofon di tangan. "Dessy, boleh kami minta sedikit waktunya?" pintanya dengan sopan, namun tergesa-gesa saat menghadangnya di pintu masuk. Dessy mengangguk ramah, seolah sudah terbiasa dengan situasi seperti ini. "Tentu saja," jawabnya dengan senyum yang tak pernah pudar dari wajahnya, seraya menghentikan langkahnya sejenak. Si jurnalis segera meluncurkan pertanyaan pertama, "Menurutmu, bagaimana kemungkinan pertandingan ini akan berjalan? Mengingat Australia lawan yang cukup tangguh." Dessy menatap kamera dengan tenang, senyumnya kini lebih serius namun tetap elegan. "Aku tahu, Australia cukup sulit untuk dihadapi ya. Tapi aku percaya Max dan teman-teman timnas lainnya pasti akan melakukan yang terbaik dari yang terbaik," jawabnya, suaranya terdengar penuh keyakinan. Ada nada optimisme yang membuat kata-katanya terde
Kedua tim yang akan bertanding melangkah ke lapangan dengan langkah penuh keyakinan. Mereka berbaris rapi, masing-masing pemain menggandeng tangan anak gawang yang berdiri dengan bangga di samping mereka. Sorotan lampu stadion menyorot para pemain, menciptakan bayangan panjang di atas rumput hijau yang rapi terawat. Sorak-sorai penonton menggema, namun para pemain tetap tenang, fokus, dan tampak siap menghadapi tantangan di depan mereka.Max berjalan di tengah barisan, menggenggam tangan anak kecil yang menatapnya dengan sorot penuh kekaguman. Ada perasaan tanggung jawab yang mengalir dalam dirinya, bukan hanya untuk memenangkan pertandingan, tetapi juga menjadi inspirasi bagi generasi muda yang berdiri di sampingnya. Sambil melangkah ke tengah lapangan, pandangannya menyapu seluruh stadion yang dipenuhi lautan manusia. Ribuan suporter memenuhi tribun, mengenakan warna kebanggaan masing-masing negara, menciptakan pemandangan yang penuh semangat.Setelah semua pemain mencapai lapan
Di dalam rumah bergaya klasik di Inverness, Skotlandia, Rival duduk di sofa dengan tatapan tegang terpaku pada layar kaca di depannya. Tubuh mungilnya hampir tak bisa diam, seolah-olah ia sendiri yang berada di tengah lapangan hijau. Bocah itu berteriak penuh semangat, lalu menjerit ketika pemain lawan mendekati gawang Indonesia. Setiap gerakan Max di lapangan, setiap kali bola mendekat ke arah pertahanan, membuatnya semakin gelisah. Tangannya mencengkeram bantal di pangkuannya, wajahnya penuh ekspresi tegang dan penuh harap."Go, Max! Go!" teriaknya dengan suara nyaring, suaranya penuh dengan kegembiraan dan ketegangan yang tak terkendali.Di sisi lain ruangan, Nyonya Wina, yang semula tak pernah tertarik pada sepak bola, mulai penasaran oleh suara Rival yang begitu antusias. Ia berjalan mendekat, duduk di sebelah cucunya, dan mulai memperhatikan pertandingan. Matanya mengikuti gerakan Max di lapangan, melihat bagaimana ia berjuang jatuh bangun, menahan serangan lawan, dan melakuk
Saat babak kedua dimulai, suasana di stadion menjadi lebih intens. Kedua tim kembali memasuki lapangan dengan semangat yang berkobar, siap melanjutkan perjuangan mereka.“Ayo, kita bisa. Pasti bisa. Minimal kita harus bertahan imbang malam ini untuk bisa lolos ke round 3,” kata sang kapten menyemangati timnya.Max mengangguk ketika sang kapten menepuk pundaknya, seolah meletakkan harapan padanya agar melakukan pertahanan terbaik malam ini.Para suporter menyaksikan dengan penuh perhatian. Di tribun VIP, Brama menunggu dengan tegang, sedangkan di sebelahnya, Dessy masih menunjukkan kebosanan yang ia tutupi dengan senyuman palsu.Sementara itu Mia, yang masih berdiri di antrean toilet, merasa semakin gelisah saat mendengar pengumuman melalui pengeras suara bahwa babak kedua pertandingan telah dimulai. Suara sorakan penonton yang mengiringi pengumuman tersebut membuat hatinya semakin gusar. Ia melirik ke depan, berharap antrean itu bergerak lebih cepat, tetapi kenyataannya tidak banyak
Di lobi gedung rumah sakit elit di jantung kota Jakarta, sebuah sedan Rolls Royce hitam berhenti dengan anggun, memancarkan aura kemewahan yang nyata di antara deretan mobil mewah lainnya yang sedang memasuki halaman rumah sakit tersebut.Pintu mobil sedan mewah itu terbuka, menampilkan seorang pria tampan berwajah oriental yang melangkah keluar dengan aura kecerdasan dan percaya diri. Berbalut sepatu kulit hitam mengkilap, kaki pria itu menapak lantai lobi dengan ketegasan seorang pemimpin sejati. Setelan jas hitam yang dikenakannya begitu pas membingkai tubuhnya yang tinggi dan atletis, menambah kesan elegan dan berwibawa yang kini melekat erat pada diri pria berusia 40 tahun itu.“Silakan, Tuan Valen,” sapa asistennya sambil membukakan pintu mobil, memberikan anggukan hormat pada CEO “Bintang Hospital Group” yang baru saja tiba.Aura Dokter Joshua Valen kini begitu berbeda, mencerminkan transformasi yang telah ia lalui dalam beberapa tahun ini. Sejak ditinggalkan oleh Mia, Valen me
Max dan Mia memulai babak baru dalam kehidupan mereka di Lake District, Inggris, sebuah tempat yang menawarkan ketenangan dan keindahan alam yang kontras dengan kehidupan kota yang sibuk. Keputusan mereka untuk menetap di kawasan ini adalah bagian dari keinginan mereka untuk menemukan kedamaian dan kebahagiaan dalam kehidupan baru mereka bersama.Rumah mereka, sebuah cottage yang terletak di tepi danau, dikelilingi oleh hutan hijau dan pegunungan yang menjulang, memberikan latar belakang yang sempurna untuk melanjutkan kehidupan mereka. Setiap pagi, mereka disambut oleh pemandangan matahari terbit yang memukau dan suara lembut angin yang berdesir di antara pepohonan. Ini adalah tempat di mana Mia dan Max dapat menghindar dari hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari dan benar-benar fokus pada kebersamaan mereka.Max, sebagai pemain sepak bola profesional, berhasil menjalani karier yang cemerlang di Inggris bersama Lakeside City, klub sepak bola yang kini terdaftar dalam EPL (English Premi
Di sebuah rumah sakit, Valen duduk di ruang tunggu keluarga pasien, menantikan Mia yang sedang menjalani operasi darurat dan harus dikuret karena mengalami keguguran. Valen masih mengenakan kemejanya yang bersimbah darah—darah Mia. Asistennya mencoba membujuknya untuk mengganti pakaian. Namun, Valen menggelengkan kepala, menolak tawaran itu. Gelengan itu membuat asistennya mundur, memberikan ruang bagi Valen yang masih terlihat kalut dan terpukul oleh peristiwa tragis yang menimpa Mia.Di depannya, Max yang juga sedang tegang menantikan Mia, ia mengamati semua gerak-gerik Dokter Joshua yang semakin jelas di matanya. “Kamu jatuh cinta pada Mia kan, Dok?”Tanpa ragu, Valen mengangguk. “Aku jatuh cinta padanya sejak pertama kali kami bertemu, di ruang IGD itu. Kupikir saat itu aku hanya merasa iba kepadanya, tapi ternyata tidak… itu bukan hanya rasa iba ataupun sekadar simpati. Aku selalu ingin bersamanya sejak saat itu. Ingin melindunginya, ingin memastikan bahwa dia selalu baik-baik
Gavin menginjak gas mobilnya lebih dalam, melesat keluar dari basement dengan kecepatan yang mencerminkan kepanikan dalam dirinya. Jantungnya berpacu, diliputi oleh ketakutan dan penyesalan yang menghantui setiap pikiran.“Maafkan aku, Valen. Maafkan aku…!” suaranya nyaris tak terdengar, tercekik oleh emosi yang bergolak. Bibirnya gemetar, dan air mata mulai membanjiri pandangannya.Tangis Gavin pecah, mengalir deras seperti sungai yang tak terbendung. Hatinya terasa remuk, diremas oleh kepedihan yang tak tertahankan saat bayangan Valen melintas di benaknya. Bagaimana kondisi pria yang dicintainya itu sekarang?Pikiran itu mencabik-cabik ketenangannya. Ketakutan menyeruak, menggerogoti setiap sudut batinnya. Bagaimana jika Valen… mati? Atau lebih buruk, bagaimana jika Valen cacat permanen akibat keputusan impulsif yang baru saja ia buat?“Tidak…! Tidak!” Gavin memukul-mukul setir mobil dengan frustrasi.Penyesalannya datang terlambat, menghempaskan Gavin ke dalam jurang keputusasaan.
Di dalam basement, area parkir sebuah apartemen, tatapan Gavin tak lepas dari mobil yang terletak beberapa meter di depannya. Mobil itu seolah menjadi simbol dari seseorang yang diam-diam telah menjadi pusat dunianya—Dokter Joshua Valen. Hati Gavin bergejolak dengan perasaan yang tak pernah ia ungkapkan kepada siapa pun, kecuali kepada pemilik mobil itu sendiri.Joshua Valen, sang dokter yang tampan dan baik hati, adalah sosok yang telah membuat Gavin merasakan ketenangan yang tak pernah ia dapati dari orang lain. Setiap kali berada di dekat Valen, Gavin merasa damai, seolah semua beban hidupnya menghilang dalam sekejap. Kekaguman Gavin terhadap Valen melampaui batas-batas yang wajar, melebihi rasa kagum seorang pasien biasa kepada dokternya. Gavin telah jatuh cinta—perasaan yang ia tahu salah, namun tak bisa ia kendalikan.Gavin masih mengingat dengan jelas hari ketika ia akhirnya memberanikan diri mengungkapkan perasaannya kepada Valen. Detik-detik itu penuh ketegangan baginya, n
“Michella, kamu sekarang bisa mencairkan nilai pokok investasi milik Mia, lakukan segera.” Nathan menyampaikan instruksi itu lewat telepon. Michella terkejut mendengar permintaan Nathan. Padahal sebelumnya, Nathan kerap memberinya ancaman yang mengerikan bila ia sampai memberikan bantuan keuangan pada Mia, apalagi sampai mengembalikan nilai pokok investasi yang sudah sering diminta oleh Mia.Namun, tanpa banyak tanya lagi—khawatir Nathan berubah pikiran, Michella segera mentransfer uang itu pada Mia. Membuat Mia menangis lega saat ia menyampaikan kabar baik itu.“Maaf, aku baru bisa mengembalikan uang investasimu sekarang, Mia.” Michella berkata dengan hati yang diliputi rasa bersalah.“Tidak apa-apa, Michella…, yang penting sekarang bisnismu sudah stabil, kan?” ucap Mia begitu tulus.Michella diam-diam merasa bersalah dalam hatinya karena sebenarnya bisnisnya baik-baik saja selama ini. Tetapi ia tak berkutik dan tunduk pada perintah Nathan karena ancaman-ancamannya terhadap bisnis M
“Bisa-bisanya kamu menciptakan kiamat untuk kariermu sendiri, Max!” Brama mengomel dengan nada yang semakin meninggi saat menemuinya di hotel usai pertandingan malam itu, nadanya penuh dengan kekhawatiran. Dia membayangkan dampak dari tindakan Max yang sembrono ini—reputasi yang hancur, skandal yang meledak, efek domino yang bisa berakibat fatal bagi kariernya. Brama sangat memahami bagaimana dunia olahraga bisa kejam; satu langkah salah bisa menghancurkan segalanya dalam sekejap.Brama menatap Max sambil geleng-geleng kepala, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan gelisah. Kepalanya yang botak berkilau di bawah cahaya lampu. Sementara itu, Max duduk dengan tenang di hadapannya, menyandarkan punggung ke kursi dengan senyum tipis yang tampak santai. Matanya memancarkan keteguhan yang sulit digoyahkan, seolah semua kata-kata Brama hanya angin lalu.Senyuman Max mencerminkan keyakinan dan ketidakpeduliannya terhadap apa kata dunia atas tindakannya. “Mia sudah bercerai dari Nathan, itu
Jeritan cinta yang begitu menggema dari Max seolah merobek kebisingan di stadion, menimbulkan kekagetan di pikiran begitu banyak orang, khususnya Mia. Dia tak pernah membayangkan bahwa Max akan melakukan sesuatu yang begitu nekat, begitu terbuka, di depan puluhan ribu pasang mata.Mia membeku, tubuhnya kaku seperti patung di tengah lautan manusia yang seakan tidak berhenti bergejolak dengan sorak sorai dan tepukan tangan. Dalam diri Mia, perasaan malu, terkejut, dan kebingungan bergulat satu sama lain, membuat tubuhnya gemetar. Jantungnya berdetak cepat, seolah tak bisa mengimbangi kekacauan yang terjadi di dalam pikirannya. Dia tidak terbiasa menjadi pusat perhatian seperti ini.Tatapan Mia yang biasanya lembut kini terpaku lurus ke depan, mencoba menghindari pandangan orang-orang yang kini tertuju padanya. Setiap mata di stadion ini seolah sedang memperhatikannya, menilai, dan mungkin bahkan menghakiminya. Tangannya yang dingin berusaha mencari pegangan, dan tanpa sadar, ia mengge
Max bersama para pemain lainnya berjalan menuju tepi lapangan, wajahnya berseri-seri dengan senyum hangat menghiasi bibirnya. Tangannya terangkat, melambai ke arah suporter yang memenuhi tribun, seolah ia ingin menyapa setiap orang yang telah memberikan dukungan penuh selama pertandingan. Setiap langkah yang ia ambil terasa penuh dengan kebanggaan, mencerminkan kemenangan yang baru saja mereka raih.Sesampainya di tepi lapangan, Max sedikit membungkukkan badannya sebagai penghormatan tulus kepada para suporter. “Terima kasih!” teriaknya kemudian, sambil kembali melambaikan tangannya.Aksinya diikuti oleh rekan-rekan timnas yang lain. Seketika sikap rendah hati para pemain itu memicu gelombang tepuk tangan yang riuh dari tribun. Sorak-sorai membahana, mengapresiasi sikap hormat yang ditunjukkan oleh Max dan para pemain timnas.Langkah Max dan timnya terhenti tepat di depan tribun Selatan. Di sana, lautan suporter dengan kostum hitam—warna khas Ultras Garuda, mendominasi pemandangan. N